Bahan Jawaban No 1
Bahan Jawaban No 1
PENDAHULUAN
Membahas tentang filsafat manajemen pendidikan, tidak bisa kita pisahkan dengan sejarah filsafat.
Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat
adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu
pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa
ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun
disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu
ilmu pengetahuan (manajemen pendidikan), paling sedikit kita pertanyakan (1) apa hakikat
gejala/objek itu (landasan ontologis), (2) bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan
gejala/objek itu (landasan epistemologis), (3) apa manfaat gejala/objek itu (landasan aksiologis).
Rumusan Masalah :
Menurut Husaini (2006:7) pengertian manajemen pendidikan adalah seni atau ilmu mengelola
sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaa,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Manajemen pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya
pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sumber daya pendidikan adalah
sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi enam
hal; (1) administrasi peserta didik; (2) administrasi tenaga pendidik; (3)administrasi
keuangan; (4) administrasi sarana dan prasarana; (5) admistrasi hubungan sekolah dengan
masyarakat; dan (6)administrasi layanan khusus.
Perencanaan adalah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk dilaksanakan pada suatu
periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan.
Tujuan perencanaan adalah (1) standar pengawasan, (2) Mengetahui kapan pelaksanaan dan
selesainya suatu kegiatan, (3) mengetahui siapa saja yang terlibat, (4) mendapatkan kegiatan yang
sitematis, (5) meminimalkan kegiatan yang tidak produktif, (6) mendeteksi hambatan dan kesulitan
yang ditemui, dan (7) mengarahkan pada pencapaian tujuan.
Salah satu fungsi manejeman adalah pengerahan atau pelaksanaan. Setelah melaksanakan
perencaan dan pengorganisian yang terpenting adalah implementasi dari perencaaan yaitu
pelaksaan. Pelasanaan dalam program organisasi sangat terggantung dari dua aspek, yaitu:
Kepemimpinan, dan motivasi kerja anggota organisasi. Antar pemimpin dan pelaksana mempunyai
tugas dan bertanggung jawab masing masing atas tugasnya. Program tidak akan berjalan sesuai
dengan yang diinginkan apabila tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan motivasi kerja
para anggota organisasi.
Pengendalian adalah proses pemantauan, penilaian dan pelaporan perencanaan atas pencapaian
tujuan yang dicapai yang telah ditetapkan untuk tindakan korektif guna penyempurnaan lebih
lanjut.
Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan
demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan
data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil
ilmu manajemen pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi
empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca
positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan
sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya
pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi: 1999)
Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan
mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam
kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu
pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih
bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan tidak hanya
bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk
menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh
yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu
pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan
administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk
memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu
sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula untuk menjembatani persoalan yang sedang
berlangsung maupun yang akan terjadi.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
(pragmatis) dalam Managemen pendidikan mempunyai peran penting dalam :
1. Menentukan nilai-nilai filosofis dalam pengembangan manajemen pendidikan.
2. Dasar ontologi manajemen pendidikan adalah objek materi manjemen pendidikan
ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan,
pengorganisasian, Pengerahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan,
komonikasi, koordinasi, dan negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian
(Meliputi Pemantauan,penilaian, dan pelaporan.
3. Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu
pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
4. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan adalah Kemanfaatan teori Manajemen
pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk
memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan
manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan diharapkan
melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi agar supaya upaya dan
usaha yang menjadi program dalam manajemen pendidikan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
PENDAHULUAN
Membahas tentang filsafat manajemen pendidikan, tidak bisa kita pisahkan dengan sejarah filsafat.
Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat
adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu
pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa
ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun
disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu
ilmu pengetahuan (manajemen pendidikan), paling sedikit kita pertanyakan (1) apa hakikat
gejala/objek itu (landasan ontologis), (2) bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan
gejala/objek itu (landasan epistemologis), (3) apa manfaat gejala/objek itu (landasan aksiologis).
Rumusan Masalah :
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari manajemen pendidikan.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan manajemen pendidikan melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris baik yang berupa tingkat kwalitas
maupun kwantitas hasil yang dicapai. Objek materi manjemen pendidikan pendidikan ialah sisi
manajemen yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan, pengorganisasian,
Pengerahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komonikasi, koordinasi, dan
negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (Meliputi Pemantauan,penilaian, dan
pelaporan.
Menurut Husaini (2006:7) pengertian manajemen pendidikan adalah seni atau ilmu mengelola
sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaa,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Manajemen pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya
pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sumber daya pendidikan adalah
sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi enam
hal; (1) administrasi peserta didik; (2) administrasi tenaga pendidik; (3)administrasi
keuangan; (4) administrasi sarana dan prasarana; (5) admistrasi hubungan sekolah dengan
masyarakat; dan (6)administrasi layanan khusus.
Perencanaan adalah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk dilaksanakan pada suatu
periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan.
Tujuan perencanaan adalah (1) standar pengawasan, (2) Mengetahui kapan pelaksanaan dan
selesainya suatu kegiatan, (3) mengetahui siapa saja yang terlibat, (4) mendapatkan kegiatan yang
sitematis, (5) meminimalkan kegiatan yang tidak produktif, (6) mendeteksi hambatan dan kesulitan
yang ditemui, dan (7) mengarahkan pada pencapaian tujuan.
Pengorganisasian adalah (1) penentuan sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan organisasi, (2) proses perencanaan dan pengembangan suatu organisasi, (3) penguasaan
tanggung jawab tertentu, (4) pendelegasian wewenangyang diperlukan untuk individu-individu
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Tiga komponen pengorganisasian:
Salah satu fungsi manejeman adalah pengerahan atau pelaksanaan. Setelah melaksanakan
perencaan dan pengorganisian yang terpenting adalah implementasi dari perencaaan yaitu
pelaksaan. Pelasanaan dalam program organisasi sangat terggantung dari dua aspek, yaitu:
Kepemimpinan, dan motivasi kerja anggota organisasi. Antar pemimpin dan pelaksana mempunyai
tugas dan bertanggung jawab masing masing atas tugasnya. Program tidak akan berjalan sesuai
dengan yang diinginkan apabila tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan motivasi kerja
para anggota organisasi.
Pengendalian adalah proses pemantauan, penilaian dan pelaporan perencanaan atas pencapaian
tujuan yang dicapai yang telah ditetapkan untuk tindakan korektif guna penyempurnaan lebih
lanjut.
Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan
demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan
data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil
ilmu manajemen pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi
empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca
positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan
sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya
pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi: 1999)
Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan
mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam
kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu
pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih
bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
Peran Esensial Pemimpin Kepemimpinan mempunyai peran strategis dalam upaya perbaikan
kualitas. Setiap anggota organisasi harus memberikan konstribusi penting dalam upaya tersebut.
Namun, setiap upaya perbaikan yang tidak didukung secara aktif oleh pimpinan, komitment,
kreatifitas, maka lama-kelamaan akan hilang
C. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan
Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan tidak hanya
bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk
menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh
yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu
pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan
administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk
memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu
sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula untuk menjembatani persoalan yang sedang
berlangsung maupun yang akan terjadi.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
(pragmatis) dalam Managemen pendidikan mempunyai peran penting dalam :
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan diharapkan
melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi agar supaya upaya dan
usaha yang menjadi program dalam manajemen pendidikan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Label: Pendidikan
29 komentar:
1.
assalamualaikum wr.wb
Balas
2.
ali26 April 2011 20.
Cari
Tulisan Terakhir
NDP
NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP) Fersi Tim Delapan
TASAWUF
PENGANTAR LOGIKA MARXISME
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI PENDAHULUAN
Komentar Terbaru
Arsip
September 2013
Kategori
Uncategorized
Meta
Daftar
Masuk
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com
coffeeloverscommunityblog
GAPAI MIMPI DENGAN KOPI
LANJUT KE KONTEN
BERANDA
ABOUT
ONTOLOGI,
EPISTEMOLOGI DAN
AKSIOLOGI PENDAHU
LUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di
sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu?
Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan
pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna
proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa
yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang
yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[1]
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita
dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan
manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu,
seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling
memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka
bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah
dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan
agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat
pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan
ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta
universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam
rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua
bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi
tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya
penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di
ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para
ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi
menampilkan aspek materialisme dari mental.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik,
abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat
khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi
cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi
metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua,
yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari
predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan
hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
B. Epistemologi
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan
pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?[3]
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania,
mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang
kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman
inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan
menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta
refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-
hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat
dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak
dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau
setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran
dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika
kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada
kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.
Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita
dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis
dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang
sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak
kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di
dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang
sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini
memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh
indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi
pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap
benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan
demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa
dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa
bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi,
sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh
analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang
menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan.
Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak
kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang
senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.
C. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi
dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan
perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau
dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang
menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,”
melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan?
Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak
merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya;
namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali
perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-
pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan
berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral
namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka
timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang
berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,
sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-
pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di
antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh
pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak
berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran.
Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi
intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya
seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan
kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib,
“asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian
yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/professional?[4]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud
yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap
manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral?[5]
Namun dewasa ini, dunia pendidikan kita sedang dilanda krisis “profesionalisme guru”,
khususnya yang terjadi pada lembaga pendidikan Islam, karena disebabkan oleh berbagai hal.
Hal tersebut menjadi problematika dunia pendidikan dan menjadi belenggu bagi terciptanya
suatu tatanan pendidikan yang mapan dalam upaya penciptaan mutu lulusan yang capabel di
bidang keilmuannya, skillnya dan bahkan akhlaqnya.
Krisis profesionalisme guru dalam dunia pendidikan merupakan problematika tersendiri bagi
dunia pendidikan dalam menciptakan mutu yang baik yang disebabkan oleh kurangnya
kesadaran guru akan jabatan dan tugas yang diembannya serta tanggung jawab keguruannya.
Guru hanya menganggap “mengajar” sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau
hanya untuk memperoleh salary dan sandang pangan demi survival fisik jangka pendek,
agaknya akan berbeda dengan cara seseorang yang memandang tugas atau pekerjaannya
sebagai calling profesio dan amanah yang hendak dipertanggung jawabkan di hadapan
Tuhan[17].
Disamping itu munculnya sikap malas dan tidak disiplin waktu dalam bekerja dapat
bersumber dari pandangannya terhadap pekerjaan dan tujuan hidupnya. Karena itu, adanya
etos kerja yang kuat pada seseorang guru memerlukan kesadaran mengenai kaitan suatu
pekerjaan dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh dan memberinya keinsyafan
akan makna dan tujaun hidunya.
Hal yang mempengaruhi terhadap lemahnya sikap profesionalisme dan etos kerja guru
disebabkan oleh dua faktor penting :
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep
dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan
ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
1. A. Pendahuluan
Dalam dunia keilmuan Islam, pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan
manusia, karena dengan pendidikanlah manusia akan bisa eksis dan berjaya di muka bumi
ini. Sebagai suatu system, pendidikan memiliki sejumlah komponen yang saling berkaitan
antara yang satu dan lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan[1]. Komponen
pendidikan tersebut antara lain komponen kurikulum, guru, metode, sarana prasarana, dan
evaluasi. Selanjutnya, dari sekian komponen pendidikan tersebut, guru merupakan komponen
pendidikan terpenting, terutama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan peningkatan mutu pendidikan.
Melalui tindakan-tindakan guru ini, nasib pendidikan kita bergantung kepadanya. Sementara
itu, diketahui bahwa dewasa ini tugas guru semakin terasa berat. Hal ini terjadi antara lain
karena kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta perubahan cara pandang
dan pola hidup masyarakat yang menghendaki strategi dan pendekatan dalam proses belajar
mengajar yang berbeda-beda, di samping materi pengajaran itu sendiri.
Dengan keadaan perkembangan masyarakat yang sedemikian itu, maka mendidik merupakan
tugas berat dan memerlukan seseorang yang cukup memiliki kemampuan yang sesuai dengan
jabatan tersebut. Mendidik adalah pekerjaan professional yang tidak dapat diserahkan kepada
sembarang orang, karena hal ini akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam kehidupannya, begitu juga terhadap
lembaga pendidikan di mana ia mengabdikan dirinya untuk profesi yang diembannya.
Profesionalitas seorang guru berkaitan dengan upaya penyiapan peserta didik menjadi
manusia yang ulul albab yang nantinya diharapkan bisa mengangkat dunia keilmuan Islam
yang selama ini “mandeg” merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi dan harus segera
dimiliki oleh setiap guru muslim agar tercipta suatu tatatan dunia keilmuan Islam yang maju
dan dapat mempengaruhi terhadap semua bangsa seperti pada masa kejayaan Islam dahulu
kala.
Untuk mewujudkan profesionalisme dalam pribadi seorang guru tidaklah mudah, karena hal
tersebut memerlukan proses yang cukup panjang dan biaya yang cukup banyak. Disamping
itu, diperlukan pula penyadaran akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai calling
profesio yang harus terus dibina agar supaya apa yang menjadi harapan dan cita-cita dari
masyarakat terhadap hasil pembelajarannya yang dilakukan bersama muridnya dapat tercapai,
sehingga tercipta kualitas dan mutu out put yang bisa dipertanggung jawabkan secara
intelektual, memiliki keterampilan yang tinggi dan memiliki akhlaqul karimah yang mapan.
1. B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan pentingnya profesionalisme guru dalam penyiapan out put yang
memiliki kualitas dan mutu yang dapat dipertanggung jawabkan, yang berimplikasi pada
terangkatnya dunia keilmuan Islam, maka dalam penulisan makalah ini, penulis
memfokuskan kepada dua masalah, yaitu :
1. Apa yang menjadi problematika bagi guru guna mewujudkan
profesionalisme keguruannya dalam menciptakan mutu lulusan yang
baik ?
2. Bagaimana telah epistemologis dalam mengatasi problematika guru
menuju profesionalisme kinerja yang baik, yang dapat mengangkat
dunia keilmuan Islam ?
3. C. Konsep Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagai salah satu cabang ilmu filsafat bukan sekedar metode penelitian atau
cara penulisan karya ilmiah, melainkan merupakan dasar dan arah pengembangan ilmu
pengetahuan yang terus menerus berupaya tanpa mengenal titik henti mencari kebenaran /
kenyataan (an unfinished journey). Di sisi lain Koento Wibisono menyatakan, bahwa filsafat
ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajah
kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak akan
pernah selesai diterangkan.
Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di
dalam dirinya. Dengan memahami filsafat ilmu, berarti memahami seluk-beluk ilmu yang
paling mendasar, sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan
pengembangannya, keterjalinan antar cabang ilmu yang satu dengan yang lain.
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi
ilmu meliputi apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan
bagaimana (yang) “ada”itu (being, seni, het zijin). Adapun epistemologi ilmu, meliputi
sumber sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan
ilmiah. Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologi akan dengan sendirinya
mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand),
akal budi (vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi,
merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model
epistemologi seperti rasionalisme, empirisme, kritisme atau rasionalisme kritis, positivisme,
fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan
kekurangan sesuatu model epistemologi beserta tolak ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu
seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatisme, dan teori intersubjektif. Sedangkan
aksiologi meliputi nilai-nilai (value) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi
berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-materil. Lebih
dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu condicio since
quanon yang dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di
dalam menerapkan ilmu.
Jujun S. Suriasumantri[2] mengatakan bahwa setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri
yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini sangat berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait
dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan
seterusnya.
Berangkat dari hal tersebut, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan
metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu[3].
Apakah obyek kajian ilmu itu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan
kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif,
subyektif, absolut atau relatif.
Subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas,
sehingga kajian ilmu pada realitasnya selalu berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang
melingkupi hidup manusia sendiri, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya,
dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya selalu membawa konsekwensi-konsekwensi
tertentu. Batas-batas waktu hidup seseorang berpengaruh pada kualitas kajiannya, sehingga
banyak sekali revisi dan koreksi dilakukan oleh seseorang terhadap hasil kajiannya yang
terdahulu.
1. Sumber-sumber ilmu
2. Cara memperoleh ilmu
3. Ruang lingkup ilmu
4. Validitas pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu bagain dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab
epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang luas jangkauan
metafisika sendiri. Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Kendati demikian, menurut P.
Hardono Hadi[7], kalau kita berani memasuki permasalahan epistemologi, akan tampak
betapa pentingnya suatu upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada
pertanggung jawaban ilmiah. Hal ini penting untuk membedakan hal manakah yang perlu
dipercaya, dipegang dan dipertahankan, dan hal manakah yang kiranya cukup ditanggapi
dengan sikap “biasa”.
Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini : Pertama, apakah sumber-sumber
pengetahuan itu ? Di manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita
mengetahuinya ?. Kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu ? Apakah ada dunia yang benar-
benar berada di luar pikiran kita, kalau ada apakah kita mengetahuinya ? Ini persoalan
tentang apa yang kelihatan (phenomena atau appearance) versus hakikat (noumena atau
essence). Ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid) ? Serta bagaimana kita dapat
membedakan yang benar dari yang salah ? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau
verivikasi[8].
Semenjak manusia diciptakan, manusia memiliki alat guna memperoleh epistemologi, yaitu
“indera”. Manusia memiliki berbagai macam indera ; indera penglihatan, indera pendengaran,
indera peraba. Seandainya manusia kehilangan semua indera itu, maka ia akan kehilangan
semua bentuk epistemologi. Ada sebuah ungkapan yang amat populer sejak dahulu kala, dan
kemungkinan itu adalah ungkapan yang datangnya dari Aristoteles “barang siapa yang
kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu ilmu”. Setiap manusia yang kehilangan
salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan salah satu bentuk epistemologi. Jika
seseorang dilahirkan dalam keadaan buta, maka ia tidak mungkin dapat membayangkan
warna-warni, berbagai bentuk dan jarak. Kita tidak akan mampu memberikan penjelasan
kepadanya mengenai suatu warna, sekalipun dengan menggunakan berbagai macam kalimat
dan ungkapan guna mendefinisikan warna itu agar ia dapat mengenalinya. Kita juga tidak
akan mampu untuk menjelaskan kepadanya mengenai warna dari suatu benda.
Selain alat indera yang dimiliki oleh manusia tersebut, manusia juga masih memerlukan pada
satu perkara ataupun beberapa perkara yang lain dalam memperoleh pengetahuan, manusia
terkadang memerlukan pada suatu bentuk pemilahan dan penguraian serta adakalanya
memerlukan berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian[9]. Pemilahan dan
penguraian merupakan aktivitas rasio itu, adalah meletakkan berbagai perkara pada
kategorinya masing-masing, di mana hal itu disebut dengan pemilahan. Begitu juga dengan
penyusunan dalam bentuk khusus, dan di sini logika yang bertugas melakukan aktivitas
pemilahan dan penyusunan, yang mana hal ini memiliki penjelasan yang panjang. Sebagai
contoh, jika kita mengenal berbagai macam permasalahan ilmiah, maka mereka akan
mengatakan kepada kita, “yang itu masuk dalam kategori kuantitas dan yang ini masuk dalam
kategori kualitas, dan di sini perubahan kuantitas telah berubah menjadi perubahan kualitas”.
Sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan alam, adalah alam
materi, alam ruang dan waktu, alam gerak, alam yang sekarang kita tengah hidup di
dalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai alat
indera kita. Sedikit sekali fakultas yang menolak alam sebagai sumber epistemologi, tetapi
baik pada masa duhulu dan juga pada masa sekarang ini ada beberapa ilmuwan yang tidak
mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi. Plato tidak mengakui alam sebagai
sumber epistemologi, karena hubungan manusia dengan alam adalah dengan perantaraan alat
indera dan sifatnya particular bukanlah suatu hakikat. Pada dasarnya ia hanya meyakini rasio
sebagai sumber epistemologi, dan dengan menggunakan suatu metode argumentasi, di mana
Plato menamakan metode dan cara tersebut dengan “dialektika”.
Sedangkan sumber yang lain adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita
mengakui bahwa alam ini merupakan “sumber luar” bagi epistemologi, lalu apakah manusia
juga memiliki “sumber dalam” bagi epistemologi ataukah tidak memiliki ?. Hal ini tentunya
berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional, berbagai perkara yang
sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas yang menyakatan bahwa kita memiliki “sumber alam”
itu, sementara sebagian yang lain menafikan keberadaannya. Ada sebagian fakultas yang
meyakini keterlepasan rasio dari indera, dan semua permasalahan itu akan menjadi jelas,
setelah kita memasuki berbagai pembahasan yang akan datang.
Hal yang mempengaruhi terhadap lemahnya sikap profesionalisme dan etos kerja guru
disebabkan oleh dua faktor penting :
3. Faktor pertimbangan internal, yang menyangkut ajaran yang diyakini
atau sistem budaya dan agama, semangat untuk menggali informasi
dan menjalin komunikasi.
4. Faktor pertimbangan eksternal yang menyangkut pertimbangan
historis, termasuk di dalamnya latar belakang pendidikan dan
lingkungan alam di mana ia hidup, pertimbangan sosiologis atau
sistem sosial di mana ia hidup dan pertimbangan lingkungan lainnya.
Dalam konteks pertimbangan eksternal, terutama yang menyangkut lingkungan kerja, ada
beberapa hal yang dapat mempengaruhi semangat kinerja guru, yaitu : (1) volume upah yang
dapat memenuhi kebutuhan seseorang (2) suasana kerja yang menggairahan atau iklim yang
ditunjang dengan komunikasi demokrasi yang serasi dan manusiawi antara pimpinan dan
bawahan (3) penanaman sikap dan pengertian di kalangan pekerja (4) sikap jujur dan dapat
dipercaya dari kalangan pimpinan terwujud dalam kenyataan (5) penghargaan terhadap need
for achievement (hasrat dan kebutuhan untuk maju) atau penghargaan terhadap yang
berperstasi (reward and punishment) dan (6) sarana yang menunjang bagi kesejahteraan
mental dan fisik[18].
1. E. Telaah Epistemologis Menuju Profesionalisme Guru dalam
Dunia Keilmuan Islam
Menghadapi problematika dunia pendidikan dewasa ini yang berkaitan dengan penyiapan
tenaga pendidik (guru) yang profesional merupakan tantangan tersendiri yang membutuhkan
penyelesaian secara epistemologis. Problematika tersebut antara lain, mampukah dunia
pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat memainkan peranan secara fungsional di
tengah-tengah dunia keilmuan yang sedang berkembang, dan mampukah dunia pendidikan
menciptakan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam seperti sedia kala
(seperti masa keemasan dunia keilmuan Islam).
Tantangan tersebut bila dapat dijawab secara tepat akan menjadi peluang yang akan
memberikan keuntungan yang luar biasa bagi terciptanya profesionalisme guru yang
berimplikasi pada penyiapan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam.
Hal tersebut perlu dikemukakan karena secara kelembagaan dunia pendidikan dengan ujung
tombak guru merupakan lembaga yang dipercaya untuk menyiapkan kader pemimpin masa
depan bangsa. Berkaitan dengan ini, maka upaya untuk membangun profesionalisme guru
secara epistemologis tidak dapat ditunda-tunda lagi. Untuk itu, beberapa pemikiran
epistemologis guna menciptakan profesionalisme guru yang dapat mengangkat dunia
keilmuan Islam di bawah ini perlu dipertimbangkan dan direnungkan.
Pertama, telah banyak pemikiran yang dikemukakan para ahli dalam rangka menjawab
pertanyaan yang dihadapi lembaga pendidikan tersebut. Sebagian pakar mengajukan
konsep cooperative kearning. Argumen yang diajukan berkenaan dengan konsep ini adalah
masalah-masalah yang kita hadapi dewasa ini dan di masa depan sebenarnya bersifat saling
berkaitan dan lebih tepat kalau dipandang sebagai jaringan-jaringan masalah yang kompleks.
Dengan konsep belajar itu, setiap masalah akan didekati dengan pendekatan yang
bersifat holistic dan integrated, mengingat masalah pendidikan bukanlah masalah yang
bersifat hierarkis struktural, melainkan saling terkait dengan masalah lain secara horizontal.
Kerja sama dunia pendidikan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, perusahaan,
industri, yayasan dan lain sebagainya sangat diperlukan dalam rangka pembinaan dan
peningkatan profesionalisme guru dalam mempersiapkan mutu lulusan yang mampu
menciptakan kemajuan dalam dunia keilmuan Islam seperti halnya kemajuan yang pernah
dicapai oleh dunia keilmuan Islam tempo dulu.
Kedua, Torstein Hussein dalam bukunya Learning Society, sebagaimana dikutip oleh Abudin
Nata mengajukan konsep yang disebut sebagai “masyarakat belajar”[19]. Menurut konsep ini,
belajar di masa sekarang tidak dapat hanya dilakukan di ruang kelas, tetapi dengan cara
mengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat ke dalam kegiatan
belajar mengajar. Bahan-bahan informasi yang terdapat di berbagai media massa, seperti
surat kabar, majalah, radio, televisi, komputer dan lain sebagainya harus didayagunakan
untuk kepentingan proses pembelajaran. Melalui hal ini, guru akan mendapatkan suatu
arahan, pembinaan mengenai hal-hal yang dapat meningkatkan keprofesionalannya dalam
proses pembelajaran di lembaga pendidikan di mana ia bertugas, sehingga ia dapat dengan
mudah menciptakan kualitas dan mutu peserta didiknya yang up to date dan sesuai dengan
harapan masyarakat.
Ketiga, problematika dunia pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, menghendaki
dunia pendidikan menata ulang berbagai aspek pendidikan yang selama ini dilakukan. Aspek-
aspek pendidikan seperti dasar pendidikan, tujuan, kurikulum, metode dan pendekatan yang
digunakan, sarana dan prasarana yang tersedia, lingkungan, evaluasi dan sebagainya perlu
ditinjau ulang. Mengingat gurulah yang berada paling depan dalam kegiatan pendidikan,
maka guru harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan tugas dan profesi yang
diembannya dan jangan pernah menganggap profesinya itu sebagai kegiatan untuk mencari
uang saja atau untuk hidup survive dalam waktu jangka pendek. Dalam diri guru harus
ditanamkan sikap tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diembannya dan guru
harus memiliki sikap-sikap sebagai manusia yang berfikir rasional, dinamis, kreatif, inovatif,
beroientasi pada produktivitas, bekerja secara profesional, berwawasan luas, berpikir jauh ke
depan, menghargai waktu dan seterusnya. Selain itu, diperlukan penanaman kepribadian yang
tangguh dan pembudayaan akhlaqul karimah dalam setiap perbuatan kesehariannya agar
menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya.
Keempat, dalam rangka penyiapan profesionalisme guru yang mampu mengangkat terhadap
dunia keilmuan Islam, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemimpin
lembaga pendidikan sebagai pembuat kebijakan di sekolah. Dalam hal ini, pemimpin
lembaga pendidikan Islam hendaknya memiliki pandangan ke depan (visioner) terhadap
lembaga pendidikan yang dipimpinnya, sehingga ia akan termotivasi untuk selalu
meningkatkan kinerja stafnya (termasuk guru) menuju kepada profesionalitas yang tinggi
dalam rangka menyiapkan mutu lulusannya yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam.
Di samping itu, untuk meningkatkan profesionalisme gurunya, pemimpin hendaknya
memiliki strategi yang efektif dan efisien dalam mewujudkan guru yang profesional tersebut,
sehingga visi, misi dan target pendidikan yang berlangsung dalam lembaga yang dipimpinnya
dapat tercapai, apakah dengan memberikan reward bagi yang berhasil dan sukses atau
memberikan pengarahan lebih lanjut atau bahkan punishment bagi mereka yang tidak mau
meningkatkan keprofesionalannya dan lain sebagainya.
Disamping peran pemimpin dalam lembaga pendidikan, maka diperlukan pula political
will atau kebijakan politis dari pemerintah dalam rangka menciptakan guru yang profesional,
misalnya dengan memberikan penyuluhan, pelatihan, pemberian dana dalam upaya
peningkatan profesionalitas guru agar supaya tercipta sosok guru yang profesional dan
bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Tentunya dengan adanya kerja sama
dari berbagai pihak tersebut, maka tantangan apapun yang berkaitan dengan upaya
peningkatan profesionalisme guru dapat teratasi dengan mudah.
1. F. Kesimpulan
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang
sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu yang tinjauannya meliputi :
sumber-sumber ilmu, cara memperoleh ilmu, ruang lingkup ilmu dan
validitas pengetahuan.
Guru yang profesional harus guru memiliki dua kategori,
yaitu capability dan loyality, artinya guru itu harus memiliki
kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki
kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai
perencanaan, implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas
keguruan, yakni loyal kepada tugas-tugas keguruan yang tidak semata-
mata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah di kelas
Problematika profesionalisme guru disebabkan oleh kurangnya
kesadaran guru akan jabatan dan tugas yang diembannya serta
tanggung jawab keguruannya secara vertikal maupun horizontal dan
munculnya sikap malas dan tidak disiplin waktu dalam bekerja yang
mengarah pada lemahnya etos kerja.
Untuk mengatasi problematika pendidikan yang berkaitan dengan
profesionalisme guru diperlukan kerja sama dunia pendidikan dengan
instansi-instansi lain, pengintegrasikan seluruh sumber informasi yang
ada di masyarakat ke dalam kegiatan belajar mengajar, penananaman
tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diembannya dan
pembudayaan akhlaqul karimah dalam setiap perbuatan kesehariannya
serta diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemimpin
lembaga pendidikan dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Ghafur, 1989, Desain Instruksional , Tiga Serangkai, Solo.
Abudin Nata, 2001, Paradigma Pendidikan Islam : Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT
Gramedia, Jakarta.
Ahmad Tafsir, 2001, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Rosda Karya,
Bandung.
Dede Rosyada, 2004, Paradigma Pendidikan Demoratis, Kencana, Jakarta.
Jujun S. Suriasumantri, 1996, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Harold H. Titus, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, (penerjemah M. Rasyidi), Bulan
Bintang, Jakarta.
Moch. Agus Krisno Budianto, 2004, Hand Out Filsafat Ilmu, PPS Univ. Muhammadiyah
Malang, Malang.
Mochtar Buchori, 1994, Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan, IKIP
Muhammadiyah Perss, Jakarta.
Muhammad Ali, 1992, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung.
Muhaimin, 2002, Paradirgma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Murtadha Muthahhari, 2001, Mengenal Epistemologi, Lentera Basritama, Jakarta.
Musa Asy’ari, 2001, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir), LEFSI, Yogyakarta.
M. U. Usman, 1999, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nasution, 1999, Sosiologi Pendidikan, Sinar Baru, Bandung.
Oemar Hamalik, 1991, Sistem dan Prosedur Pengembangan Kurikulum Lembaga
Pendidikan dan Pelatihan, Trigenda Karya, Bandung.
P. Hardono Hadi, 1994, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta.
Prasetya, 2002, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung.
Syaiful Sagala, 2000, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung.
[1] Abd. Ghafur, 1989, Desain Instruksional, Tiga Serangkai, Solo, hal : 15.
[2] Jujun S. Suriasumantri, 1996, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hal : 105.
[3] Musa Asy’ari, 2001, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir), LEFSI, Yogyakarta,
hal : 65.
[4] Prasetya, 2002, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, hal : 143.
[5] Moch. Agus Krisno Budianto, 2004, Hand Out Filsafat Ilmu, PPS Univ. Muhammadiyah
Malang, Malang, hal : 1.
[6] Ahmad Tafsir, 2001, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Rosda
Karya, Bandung, hal : 23.
[7] P. Hardono Hadi, 1994, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, hal :
6-7.
[8] Harold H. Titus, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, (penerjemah M. Rasyidi), Bulan
Bintang, Jakarta, hal : 187-188.
[9] Murtadha Muthahhari, 2001, Mengenal Epistemologi, Lentera Basritama, Jakarta, hal :
52-53.
[10] Dede Rosyada, 2004, Paradigma Pendidikan Demoratis, Kencana, Jakarta, hal : 112.
[11] M. U. Usman, 1999, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal : 07.
[12] Mochtar Buchori, 1994, Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam
Renungan, IKIP Muhammadiyah Perss, Jakarta, hal : 37.
[13] Oemar Hamalik, 1991, Sistem dan Prosedur Pengembangan Kurikulum Lembaga
Pendidikan dan Pelatihan, Trigenda Karya, Bandung, hal : 23.
[14] Nasution, 1999, Sosiologi Pendidikan, Sinar Baru, Bandung, hal : 96.
[15] Syaiful Sagala, 2000, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung, hal :
197.
[16] Muhammad Ali, 1992, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung, hal
: 22-23.
[17] Muhaimin, 2002, Paradirgma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal : 118.
[18] Ibid, hal : 119.
[19] Abudin Nata, 2001, Paradigma Pendidikan Islam : Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT
Gramedia, Jakarta, hal : 148.
Report this ad
Report this ad
Share this:
Twitter
Facebook
Google
SEPTEMBER 10, 2013BY COFFEELOVERSCOMMUNITYBLOG
NAVIGASI TULISAN
← NADHOM ALFIYAH IBNU MALIK
PENGANTAR LOGIKA MARXISME →
TINGGALKAN BALASAN
BERANDA
TENTANG
INFORMASI PENDAFTARAN
DOKUMENTASI
SEPEDA SANTAI, MALAM SENI DAN PENGAJIAN AKBAR 2013
UNCATEGORIZED
PENTINGNYA PROFESIONALISASI
DALAM PENDIDIKAN
28 TuesdayMAY 2013
POSTED BY MASALHIDAYAHMENANG IN UNCATEGORIZED
≈ LEAVE A COMMENT
Tags
globalisasi dalam pendidikan
Tuntutan terhadap lulusan dan layanan lembaga pendidikan yang bermutu semakin
mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu
implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan
peluang lembaga pendidikan asing membuka sekolahnya diIndonesia. Oleh karena itu
persaingan antar lembaga penyelenggara pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin
besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya
mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk
akademik dan layanan lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu
pendidikan. Dalam hal ini maka akan ada paradigma baru dalam pendidikan akan etos
kerja dan profesionalisme guru serta tantangan dunia pendidikan terkait dengan
perkembangan teknologi informasi.
Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia
keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi
profesi, terampil, tidak terampil.
Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia
berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh
masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu :
Seorang yang memiliki profesi tertentu haruslah meliliki keahlian atau ilmu pengetahuan
sesuai dengan profesinya.
b. Aplikasi kemampuan/kecakapan.
Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat. Dengan
kata lain profesi berorientasi memberikan jasa untuk kepentingan umum daripada
kepentingan sendiri. Dokter, pengacara, guru, pustakawan, engineer, arsitek memberikan
jasa yang penting agar masyarakat dapat berfungsi.Hal tersebut tidak dapat dilakukan
oleh seorang pakar permainan catur misalnya. Bertambahnya jumlah profesi dan
profesional pada abad 20 terjadi karena ciri tersebut. Untuk dapat berfungsi maka
masyarakat modern yang secara teknologis kompleks memerlukan aplikasi yang lebih
besar akan pengetahuan khusus daripada masyarakat sederhana yang hidup pada abad-
abad lampau. Produksi dan distribusi enersi memerlukan aktivitas oleh banyak engineers.
Berjalannya pasar uang dan modal memerlukan tenaga akuntan, analis sekuritas,
pengacara, konsultan bisnis dan keuangan. Singkatnya profesi memberikan jasa penting
yang memerlukan pelatihan intelektual yang ekstensif.
Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar
pengukuran profesi guru.
Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan
sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan
status).Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat
didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan
bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.
Profesi keguruan tugas utamanya adalah melayani masyarakat dalam dunia pendidikan,
sehingga profesionalisasi dalam bidang keguruan mengandung peningkatan segala daya
dan usaha dalam rangka mencapai secara optimal layanan yang akan diberikan kepada
masyarakat.
Lebih khusus Sanusi; dkk. (1991) dalam Sulaiman Samad (2004 : 12) mengajukan enam
asumsi yang melandasi perlunya profesionalisme dalam pendidikan :
5. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya yaitu situasi dimana terjadi dialog antara
peserta didik dengan pendidik.
Sedangan Semiawan (1994) dalam Sulaiman Samad (2004 : 13) mengemukakan tingkat
prosionalisme guru kedalam tiga kategori, yaitu ;
1. Tenaga professional.
2. Tenaga semiprofessional.
3. Tenaga paraprofessional.
National education association ( sucipto, kosasi & abimanyu ) dalam Sulaiman samad(
2004 : 5 ) menyusun sejumlah syarat atau criteria yang mesti ada dalam jabatan guru,
yaitu :
Seperti pada criteria sebelumnya, pada criteria ini juga terdapat perbedaan pendapat.
Yang membedakan jabatan professional dengan non-profesional antara lain adalah dalam
menyelesaikan pendidikan melalui kurikulum, yaitu ada yang di atur universitas/institute
atau melalui pengalaman praktik dan pemagangan atau campuran pemagangan dan
kuliah. Pertama, yaitu pendidikan melalui perguruan tinggi, di sediakan untuk jabatan
professional, sedangkan yang kedua, yaitu pendidikan melalui pengalaman praktik dan
pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah diperuntukkan bagi jabatan yang
non-profesional ( Ornstein dan Levine, 1984) dalam Sulaiman Samad (2004:8).
Jabatan guru cenderunng menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan professional,
sebab hamper setiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan professional, baik
yang mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit.
Untuk criteria ini tampaknya dapat dipenuhi jabatan guru di Indonesia sekarang ini. Hal
ini di sebabkan karna tidak begitu banyak guru yang oindah ke bidang lain, walaupun
bukan berartii jabatan guru mempunyai pendapatan yang tinggi. Alasan ketidak pindahan
tersebut mungkin karna lapangan kerja dan system pindah jabatan yang agak sulit.
Pada setiap jabatan profesi, anggota kelompok dianggap sanggup untuk membuat
keputusan professional berhubungan dengan iklim kerjanya. Para professional biasanya
membuat peraturan sendiri dalam daerah kompetinsinya, kebiasaan dan tradisi yang
berhubungan dengan pengawasan yang efektif tentang hal-hal yang berhubungan dengan
pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan langganan (kliennya). Pada dasarnya
pengawasan luar atau dalam adalah musuh alam dari profesi, karna membatasi kekuasaan
profesi dan membuka pintu terhadap pengaruh luar ( Ornstein dan Levine, 1984) dalam
Sulaiman Samad (2004:9).
Jabatan mengajar adalah jabatan yang mempunyai nilai yang tinggi, tidak perlu diragukan
lagi. Guru yang baik akan sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih
baik dari warga masa depan. Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu
jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain.
h. Jabatan yang mempunyai organisasi profesi yang kuat dan terjalin erat.
Semua profesi yang dikenal mempunyai organisasi profesi yang kuat untuk mewadahi
tujuan bersama dan melindungi anggotanya.
Howsam (1976) dalam Sulaiman Samad (2004:11), bahwa guru harus dilihat sebagai
profesi yang baru muncul, dan karena itu mempunyai status yang lebih tinggi daripada
jabatan semiprofessional, malahan mendekati status jabatan profesi penuh.
Lebih khusus sanusi; dkk. (1991) dalam sulaiman samad (2004:12) mengajukan enam
asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yakni sebagai berikut:
2. Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan bertujuan, maka
pendidikan menjadi normative yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik
secara universal, nasional, maupun local, yang merupakan acuan para pendidik,peserta
didik, dan pengelola pendidikan.
3. Teori-teori pendidikan merupakan jawaban kerangka hipotesis dalam menjawab
permasalahan pendidikan.
4. Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai
potensi yang baik untuk berkembang.
5. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yaitu situasi dimana terjadi dialog antara
peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang
di kehendaki oleh pendidik dan selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
masyarakat.
6. Sering terjadi dilemma antara tujuan utama pendidikan yakni menjadi manusia
sebagai manusia yang baik (dimensi intrinsic) dengan misi instrumental yakni yang
merupakan alat untuk perubahan atau mencapai sesuatu.
Selengkapnya:
Disini: =======
Report this ad
Report this ad
SHARE THIS:
Twitter
Facebook
RELATED
Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan Nasional
MENGGAGAS PENDIDIKAN ALA MARX
Pedagogi dalam PendidikanIn "ilmu pendidikan"
Post navigation
← Previous postNext post →
LEAVE A REPLY
Search… Go
Search:
SHORT CUT
Google Indonesia
Yahoo
Login Blogger
Teologi Pendidikan
CATEGORIES
Uncategorized
OUR TWITTER
OUR FCAEBOOK
Report this ad
RECENT COMMENTS
masalhidayahmenang on Pedagogi dalam Pendidikan
Profesionalisasi Guru
Profesionalisasi Guru
Sebagi tenaga profesional, guru dituntut memvalidasi ilmunya, baik melalui belajar
sendiri maupun melalui program pembinaan dan pengembangan yang
dilembagakan oleh pemerintah atau masyarakat. Pembinaan merupakan upaya
peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan melalui kegiatan seminar,
pelatihan, dan pendidikan. Pembinaan guru dilakukan dana kerangka pembinaan
profesi dan karier. Pembinaan profesi guru meliputi pembinaan kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial. Pembinaan karier sebagaimana dimaksud pada meliputi meliputi penugasan,
kenaikan pangkat, dan promosi.
Profesionalisasi seorang guru secara garis besar ditentukan oleh tiga faktor,
yakni: faktor internal dari guru itu sendiri, kondisi lingkungan tempat kerja, dan
kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu profesionalisasi (upaya meningkatkan
profesionalisme) guru agar menjadi guru profesional harus dilakukan secara
sinergis melalui tiga jalur dimaksud. Berikut adalah penjelasan masing-masing
faktor.
3. Kebijakan pemerintah.
Kebijakan pemerintah dalam profesionalisasi guru profesional ini terutama terkait
dengan award and punishment. Award diberikan kepada para guru profesional
(yang telah menunjukkan kinerja dengan profesionalisme tinggi), sekaligus
diberikan kepada mereka yang selalu berusaha untuk meningkatkan
keprofesionalannya. Punishment diberikan kepada guru yang tidak bekerja secara
profesional. Apabila kebijakan pemerintah ini dijalankan, maka profesionalisasi
guru profesional akan semakin mudah mencapai sasaran.
Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan
prinsip-prinsip profesional. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan
jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang
pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang
diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
Report this ad
Report this ad
Bagikan ini:
Twitter
Facebook
Google
Tinggalkan Balasan
Eriska Novitasari
TULISAN TERAKHIR
Modul APBN & APBD
Mind Map
Power Point APBN & APBD
Vidio Pembelajaran
Halo dunia!
KOMENTAR TERBARU
ARSIP
Juni 2015
Mei 2015
KATEGORI
Tak Berkategori
META
Daftar
Masuk
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com
Report this ad
FOTO
Cari untuk:
FEB
Profesionalisasi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan teknologi yang ada sehingga kita bebas
mengakses belahan dunia yang sulit kita jangkau sekalipun menuntut kita untuk senantiasa
memperbaharui informasi setiap harinya. Bagi sebuah profesi tertentu dituntut adanya
peningkatan kemampuan dalam rangka untuk memenuhi kemajuan jaman yang semakin cepat.
Guru adalah salah satu profesi yang melibatkan seluruh kemampuan dalam rangka
memanajemen manusia. Guru adalah salah satu diantara dua pelaku pendidikan yang sangat
vital fungsinya sehingga menuntut peningkatan-peningkatan dari segala segi. Melalui
pendidikan upaya-upaya dalam rangka mencerdaskan masyarakat ditempuh maka dianjurkan
pelakunya juga sudah dibekali dengan kemampuan-kemampuan baik sebelum ia menjabat
maupun sesudah ia menjabat.
Guru merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pendidikan. Maka dalam
rangka meningkatkan kualitas guru diharapkan pemerintah lebih serius menangani hal ini.
Seiring laju jaman, guru tidak lagi hanya sekedar mentransfer ilmu tetapi kekinian guru
diharuskan menjadi fasilitator, motivator, mobilisator, mediator dan sebagainya sehingga perlu
adanya upgrade keilmuan serta kemampuan seorang guru.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mengalami kecepatan dan percepatan luar
biasa, memberi tekanan pada perilaku manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya. Di
bidang pendidikan, hal ini memunculkan kesadaran baru untuk merevitalisasi kinerja guru dan tenaga
kependidikan dalam rangka menyiapkan peserta didik dan generasi muda masa depan yang mampu
merespon kemajuan IPTEK, serta kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Peserta didik dan generasi muda sekarang merupakan manusia Indonesia masa depan yang hidup
pada era global. Globalisasi memberi penetrasi terhadap kebutuhan untuk mengkreasi model-model dan
proses-proses pembelajaran secara inovatif, kreatif, menyenangkan, dan transformasional bagi pencapaian
kecerdasan global, keefektifan, kekompetitifan, dan karakter bangsa. Negara-negara yang berhasil
mengoptimasi kecerdasan, menguasai IPTEK, keterampilan, serta karakter bangsanya akan menjadi
pemenang. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang gagal mewujudkannya akan menjadi pecundang.
Aneka perubahan era globalisasi, agaknya menjadi ciri khas yang berjalan paling konsisten.
Manusia modern menantang, mencipta, sekaligus berpotensi diterpa oleh arus perubahan. Perubahan
peradaban ini menuntut pertaruhan dan respon manusia yang kuat agar siap menghadapi tekanan internal
dan eksternal, serta menunjukkan eksistensi diri dalam alur peradaban.
Pada era globalisasi, profesi guru bermakna strategis, karena penyandangnya mengemban tugas
sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan, pembudayaan, dan pembangun karakter bangsa.
Esensi dan eksistensi makna strategis profesi guru diakui dalam realitas sejarah pendidikan di Indonesia.
Pengakuan itu memiliki kekuatan formal tatkala tanggal 2 Desember 2004, Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi. Satu tahun kemudian, lahir Undang-undang (UU) No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebagai dasar legal pengakuan atas profesi guru dengan segala
dimensinya.
Metamorfosis harapan untuk melahirkan UU tentang Guru dan Dosen telah menempuh
perjalanan panjang. Pencanangan Guru sebagai Profesi oleh Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono menjadi salah satu akselerator lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 itu. Di dalam UU
ini disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
2.3.2 Alur Pengembangan Profesi dan Karir
Saat ini, pengakuan guru sebagai profesi dan tenaga profesional makin nyata. Pengakuan atas
kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi mengangkat martabat dan peran guru sebagai agen
pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Aktualitas tugas dan fungsi penyandang
profesi guru berbasis pada prinsip-prinsip: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (2)
memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (3)
memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (4) memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan
tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (7)
memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat; (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
(9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru.
Saat ini penyandang profesi guru telah mengalami perluasan perspektif dan pemaknaannya. Dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, sebutan guru mencakup: (1) guru -- baik guru
kelas, guru bidang studi/mata pelajaran, maupun guru bimbingan dan konseling atau konselor; (2) guru
dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah; dan (3) guru dalam jabatan pengawas. Dengan demikian,
diharapkan terjadi sinergi di dalam pengembangan profesi dan karir profesi guru di masa depan.
Telah lama berkembang kesadaran publik bahwa tidak ada guru, tidak ada pendidikan formal. Telah
muncul pula kesadaran bahwa tidak ada pendidikan yang bermutu, tanpa kehadiran guru yang profesional
dengan jumlah yang mencukupi. Pada sisi lain, guru yang profesional nyaris tidak berdaya tanpa dukungan
tenaga kependidikan yang profesional pula. Paralel dengan itu, muncul pranggapan, jangan bermimpi
menghadirkan guru yang profesional, kecuali persyaratan pendidikan, kesejahteraan, perlindungan, dan
pemartabatan, dan pelaksanaan etika profesi mereka terjamin.
Selama menjalankan tugas-tugas profesional, guru dituntut melakukan profesionalisasi atau proses
penumbuhan dan pengembangan profesinya. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar guru tetap memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum serta kemajuan IPTEK. Di sinilah
esensi pembinaan dan pengembangan profesional guru. Kegiatan ini dapat dilakukan atas prakarsa institusi,
seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi banding, dan lain-lain. Prakarsa ini menjadi
penting, karena secara umum guru masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan
sebagainya.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 membedakan antara pembinaan dan pengembangan
kompetensi guru yang belum dan yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-IV. Pengembangan dan peningkatan
kualifikasi akademik bagi guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV dilakukan melalui
pendidikan tinggi program S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program
pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program pendidikan nonkependidikan yang terakreditasi.
Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik
dilakukan dalam rangka menjaga agar kompetensi keprofesiannya tetap sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dan/atau olah raga. Pengembangan dan peningkatan kompetensi
dimaksud dilakukan melalui sistem pembinaan dan pengembangan keprofesian guru berkelanjutan yang
dikaitkan dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional.
Pembinaan dan pengembangan keprofesian guru meliputi pembinaan kompetensi-kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sementara itu, pembinaan dan pengembangan karier
meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Upaya pembinaan dan pengembangan karir guru ini
harus sejalan dengan jenjang jabatan fungsional mereka. Pola pembinaan dan pengembangan profesi dan
karir guru tersebut, diharapkan dapat menjadi acuan bagi institusi terkait dalam melaksanakan pembinaan
profesi dan karir guru.
Pengembangan profesi dan karir diarahkan untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam
rangka pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Inisiatif meningkatkan
kompetensi dan profesionalitas ini harus sejalan dengan upaya untuk memberikan penghargaan, peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan terhadap guru.
Seperti telah dijelaskan pada PP No. 74 Tahun 2005 tentang Guru mengamanatkan bahwa terdapat
dua alur pembinaan dan pengembangan profesi guru, yaitu: pembinaan dan pengembangan profesi, dan
pembinaan dan pengembangan karir. Pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi pembinaan
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Pembinaan dan pengembangan profesi guru
sebagaimana dimaksud dilakukan melalui jabatan fungsional.
Semua guru memiliki hak yang sama untuk mengikuti kegiatan pembinaan dan pengembangan
profesi. Program ini berfokus pada empat kompetensi di atas. Namun demikian, kebutuhan guru akan
program pembinaan dan pengembangan profesi beragam sifatnya. Kebutuhan dimaksud dikelompokkan ke
dalam lima kategori, yaitu pemahaman tentang konteks pembelajaran, penguatan penguasaan materi,
pengembangan metode mengajar, inovasi pembelajaran, dan pengalaman tentang teori-teori terkini.
Kegiatan pembinaan dan pengembangan profesi dapat dilakukan oleh institusi pemerintah, lembaga
pelatihan (training provider) nonpemerintah, penyelenggara, atau satuan pendidikan. Di tingkat satuan
pendidikan, program ini dapat dilakukan oleh guru pembina, guru inti, koordinator guru kelas, dan sejenisnya
yang ditunjuk dari guru terbaik dan ditugasi oleh kepala sekolah. Analisis kebutuhan, perumusan tujuan dan
sasaran, desain program, implementasi dan layanan, serta evaluasi program pelatihan dapat ditentukan secara
mandiri oleh penyelenggara atau memodifikasi/mengadopsi program sejenis.
Pembinan dan pengembangan karir guru terdiri dari tiga ranah, yaitu penugasan, kenaikan pangkat,
dan promosi. Sebagai bagian dari pengembangan karir, kenaikan pangkat merupakan hak guru. Dalam
kerangka pembinaan dan pengembangan, kenaikan pangkat ini termasuk ranah peningkatan karir. Kenaikan
pengkat ini dilakukan melalui dua jalur. Pertama, kenaikan pangkat dengan sistem pengumpulan angka
kredit. Kedua, kenaikan pangkat karena prestasi kerja atau dedikasi yang luar biasa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Seiring dengan semakin pesatnya kemajuan jaman maka kekritisan masyarakat pun dipengaruhi
sehingga kebutuhan akan pendidikan yang berkualitas sangat diharapkan. Ini selaras dengan program
profesionalisasi yang dicanangkan pemerintah dimana guru diwajibkan memenuhi standar kualifikasi
akademik yang telah ditetapkan pemerintah dan juga dengan adanya perhatian pemerintah terhadap
kesejahteraan guru dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan jaman.
3.2 Saran
Alangkah baiknya pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang terkait dengan
masalah peningkatan kualitas guru. Masyarakat diharapkan peran sertanya dalam rangka menyampaikan
aspirasinya tentang pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kekinian
0
Tambahkan komentar
Percikan Ilmu
Membacalah maka kamu akan
Flipcard
Beranda
Terkini
Tanggal
Label
Pengarang
Link parenting
Link parenting
Aug 23rd
Seluk Beluk Menyusui
Seluk Beluk Menyusui
Aug 21st
Mendidik Anak di Era Cyber
Mendidik Anak di Era Cyber
Aug 6th
Tips Promil Tepat dan Bahagia
Tips Promil Tepat dan Bahagia
Jul 24th
#30 Menit Lebih Dekat XXXVI
#30 Menit Lebih Dekat XXXVI
Jul 24th
#30 Menit Lebih Dekat XXXV
#30 Menit Lebih Dekat XXXV
Jul 24th
#30 Menit Lebih Dekat XXXIV
#30 Menit Lebih Dekat XXXIV
Jul 24th
#30 Menit Lebih Dekat XXXIII
#30 Menit Lebih Dekat XXXIII
Jul 24th
#30 Menit Lebih Dekat XXXII
#30 Menit Lebih Dekat XXXII
Jul 24th
#30 Menit Lebih Dekat XXXI
#30 Menit Lebih Dekat XXXI
Jul 24th
#30 Menit Lebih Dekat XXX
#30 Menit Lebih Dekat XXX
Jul 24th
#30 Menit Lebih Dekat XXIX
#30 Menit Lebih Dekat XXIX
Jul 24th
Dengan Istiqamah Meraih Husnul Khatimah
Dengan Istiqamah Meraih Husnul Khatimah
Jul 24th
Seputar MPASI
Seputar MPASI
Jul 23rd
100 Hari Pertama Kehidupan
Jul 23rd
Sistem Kerja Syaraf Otak
Jul 23rd
Sensory Integration
Sensory Integration
Jul 23rd
Kuesioner Tumbuh Kembang Anak
Kuesioner Tumbuh Kembang Anak
Jul 23rd
Fase Egosenteris pada Anak
Fase Egosenteris pada Anak
Jul 23rd
Perkembangan Motorik Kasar Bayi
Perkembangan Motorik Kasar Bayi
Jul 23rd
Link
Link
Jul 23rd
Mengelola Keuangan
Mengelola Keuangan
Jul 23rd
Efek Samping Farmaceutical Skincare
Efek Samping Farmaceutical Skincare
Jul 23rd
Ciri-ciri Autis
Jul 23rd
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
Jul 23rd
Rangkuman Seminar "Smart Parents Smart Children"
Rangkuman Seminar "Smart Parents Smart Children"
Jul 23rd
Kebutuhan Anak Usia Pubertas
Kebutuhan Anak Usia Pubertas
Jul 23rd
Remaja
Remaja
Jul 23rd
Kurikulum Allah with Ust Aad
Kurikulum Allah with Ust Aad
Jul 23rd
Buruknya Perlakuan Orang Tua Terhadap Anak
Buruknya Perlakuan Orang Tua Terhadap Anak
Jul 23rd
Kurikulum Sekolah Kehidupan di Setiap Tahapan Usia Dini
Kurikulum Sekolah Kehidupan di Setiap Tahapan Usia Dini
Jul 23rd
Orangtua Mengeluh
Orangtua Mengeluh
Jul 23rd
Assessment Tools Terbaik bagi Anak
Assessment Tools Terbaik bagi Anak
Jul 23rd
Anak Sukses? Bermula dari Bangun Pagi
Anak Sukses? Bermula dari Bangun Pagi
Jul 23rd
Sekolah yang Mencerdaskan
Sekolah yang Mencerdaskan
Jul 23rd
Link Ebook Ramadhan
Link Ebook Ramadhan
Jul 22nd
Anak Kita, Mad'u Kita
Anak Kita, Mad'u Kita
Jul 22nd
Main Peran
Main Peran
Jul 22nd
Kekayaan Yang Hilang di Tanah Minang
Kekayaan Yang Hilang di Tanah Minang
Jul 22nd
Q and A Seputar Bakat Anak
Q and A Seputar Bakat Anak
Jul 22nd
Mengenal dan Menemukan Bakat Anak
Mengenal dan Menemukan Bakat Anak
Jul 22nd
Link Rekaman Kajian Kitab
Link Rekaman Kajian Kitab
Jul 22nd
Link Beasiswa Luar Negeri
Link Beasiswa Luar Negeri
Jul 22nd
Link PDF Kitab
Link PDF Kitab
Jul 22nd
Aplikasi Android para Ustadz
Aplikasi Android para Ustadz
Jul 22nd
Link seputar lembaga PAUD
Link seputar lembaga PAUD
Jul 22nd
Selamat Hari Pendidikan Nasional
Selamat Hari Pendidikan Nasional
Jul 22nd
35 Printable
35 Printable
Jul 22nd
Surah Maryam
Surah Maryam
Jul 22nd
Jumlah Garam Untuk Bayi dan Anak
Jumlah Garam Untuk Bayi dan Anak
Jul 22nd
Agar Bayi dan Anak Tidak Kurang Gizi
Agar Bayi dan Anak Tidak Kurang Gizi
Jul 22nd
Kulwhapp MPASI
Jul 22nd
Resep Manajemen Qalbu Aa Gym
Resep Manajemen Qalbu Aa Gym
Jul 22nd
Link Bacaan Bagus
Link Bacaan Bagus
Jul 22nd
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini
Jul 22nd
Mengembangkan Fitrah Anak
Mengembangkan Fitrah Anak
Jul 22nd
Cara Membuat Resolusi Tahunan
Cara Membuat Resolusi Tahunan
Jul 22nd
Review NHW #6
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XXVIII
#30 Menit Lebih Dekat XXVIII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XXVII
#30 Menit Lebih Dekat XXVII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XXV
#30 Menit Lebih Dekat XXV
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XXIV
#30 Menit Lebih Dekat XXIV
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XXIII
#30 Menit Lebih Dekat XXIII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XXII
#30 Menit Lebih Dekat XXII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XXI
#30 Menit Lebih Dekat XXI
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XX
#30 Menit Lebih Dekat XX
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XIX
#30 Menit Lebih Dekat XIX
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XVIII
#30 Menit Lebih Dekat XVIII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XVII
#30 Menit Lebih Dekat XVII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XVI
#30 Menit Lebih Dekat XVI
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XV
#30 Menit Lebih Dekat XV
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XIV
#30 Menit Lebih Dekat XIV
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XIII
#30 Menit Lebih Dekat XIII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XII
#30 Menit Lebih Dekat XII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat XI
#30 Menit Lebih Dekat XI
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat X
#30 Menit Lebih Dekat X
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat IX
#30 Menit Lebih Dekat IX
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat VIII
#30 Menit Lebih Dekat VIII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat VII
#30 Menit Lebih Dekat VII
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat VI
#30 Menit Lebih Dekat VI
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat V
#30 Menit Lebih Dekat V
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat IV
#30 Menit Lebih Dekat IV
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat III
#30 Menit Lebih Dekat III
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat II
#30 Menit Lebih Dekat II
Jul 22nd
#30 Menit Lebih Dekat I
#30 Menit Lebih Dekat I
Jul 22nd
Bahasa Ibu
Bahasa Ibu
Jul 22nd
Literasi Media
Literasi Media
Jul 22nd
Link Tutorial
Link Tutorial
Jul 22nd
Link Kuliah Online Bunda Cekatan dan Bunda Sayang
Link Kuliah Online Bunda Cekatan dan Bunda Sayang
Jul 22nd
Link Materi Parenting
Link Materi Parenting
Jun 7th
Kuliah Kecantikan Bersama Utami Dewi
Kuliah Kecantikan Bersama Utami Dewi
Jun 6th
Kulwhaap Bersama Benny Arnas
Kulwhaap Bersama Benny Arnas
Jun 5th
Belajar dari Keluarga Zubair bin Awwam
Belajar dari Keluarga Zubair bin Awwam
Jun 5th
Bayiku Akrab dengan Gadget
Bayiku Akrab dengan Gadget
Jun 5th
Komunikasi Efektif Pada Anak
Komunikasi Efektif Pada Anak
Jun 5th
Bedah Buku "Media Moms and Digital Dads Menjadi Orangtua Bijak di Era Digitial" karya Yalda
T.Uhls, MBA,Ph.D
Jun 5th
Link Video tentang Kesehatan
Link Video tentang Kesehatan
Jun 5th
NHW #10
NHW #10
Dec 24th
NHW #9
NHW #9
Dec 19th
NHW #8
NHW #8
Dec 10th
Memuat
Tema Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.
« PYZAM.COM
SI BROKOKOK
SITUS INI BERISIKAN PIKIRAN, GAGASAN, OPINI DAN UNEK-UNEK
TENTANG MANAJEMEN PENDIDIKAN DAN PERSEKOLAHAN
A. RASIONAL
Latar belakang
Standarisasi serta kompetensi yang merasuk dalam kehidupan modern menurut
sementara pakar sebenarnya merupakan peralihan dari era modernisme ke
posmodernisme. Apabila modernisme dikuasai oleh akal manusia di dalam menguasai
alam dalam memperbaiki taraf hidupnya, maka kehidupan dewasa ini mengarah kepada
individualisme, hedonisme, serta merelatifisasikan berbagai ukuran dengan menciptakan
standar-standar yang baru. Kemajuan ( Progress ) ditandai oleh standar yang terus
menerus meningkat, sayangnya bukan untuk kepentingan rakyat banyak, tetapi untuk
kepentingan dunia permodalan yang kuat alias kapitalisme. (Tilar, HAR. 2006)
Kemajuan (progress) tersebut, merupakan pendapat-pendapat dari Hegel dan Comté
yang mengatakan bahwa manusia yang menguasai ilmu pengetahuan adalah manusia
yang akan tetap survive di masa depan. Kemajuan dalam hal ini berkaitan dengan
konsep keterarahan (directionality). Pendapat ini sesuai dengan pendapat Spencer dan
Durkhéim yang mengatakan bahwa keterarahan (directionality) dari perubahan sosial
bermula dari homogenitas kearah heterogenitas secara terstruktur.
Kehidupan bersama bukan lagi ditentukan oleh kerja sama atau kohesi sosial tetapi oleh
persaingan bebas. Persaingan di dalam dunia industri memerlukan benchmarking atau
pengetahuan mengenai mutu dari kompetitor. Memang persaingan dapat mendorong
peningkatan kualitas namun kualitas yang ingin dicapai adalah kualitas yang bersifat
hedonistik yang memuaskan pelanggan dalam arti material dan bukan dalam arti yang
memenuhi kepuasan kebutuhan rohani. Persaingan pada akhirnya akan membuat
manusia bersifat sangat individualistik serta awning sebab menganggap sesama sebagai
saingan atau musuh.
Dari uraian di atas menunjukkan berbagai konsekuensi yang dapat muncul dari konsep
standarisasi dan kompetensi yang lahir dari era modernisasi yang merupakan abad ilmu
pengetahuan dan abad informasi, dimana kehidupan menuntut masyarakat yang terbuka
dan efisien, lahirnya masyarakat konsumen yang semakin cerdas yang menuntut
produk-produk serta servis yang memberikan kepuasan, kemudahan, kecepatan
pemberian servis dan ketepatan. Di dalam masyarakat yang demikian standar dan
kompetensi merupakan tuntutan-tuntutan yang mutlak.
Dilain pihak, perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin mengglobal
akan membawa dampak terhadap pendidikan yang untuk selanjutnya akan
menyebabkan perlunya suatu reaktualisasi di dalam cara memandang pendidikan.
Pendidikan merupakan sarana utama bagi suatu bangsa untuk dapat berkembang
mengikuti arus globalisasi. Suatu bangsa harus memiliki standar mutu dan kompetensi
pendidikan yang baik dan tinggi disesuaikan dengan perubahan dinamika masyarakat,
karena pendidikan merupakan sarana untuk penguasaan Iptek.
Peranan manusia sebagai sumber daya di dalam suatu organisasi, semakin diyakini
kepentingannya. Kesadaran akan keyakinan ini banyak mendorong terhadap
perkembangan ilmu yang berhubungan dengan berbagai upaya untuk mengoptimalkan
pendayagunaan sumber daya manusia tersebut, agar dapat mencapai produktivitas
kerja yang semaksimal mungkin. (Hasbulah, 2006)
Di Indonesia khususnya, dan di masyarakat global pada umumnya telah terjadi
transformasi kompetensi tenaga kerja, yaitu dari tenaga fisik menuju ke keterampilan,
kemampuan, ilmu, pengetahuan, teknologi dan seni. Di dalam pengembangannya, kita
juga perlu siap menghadapai transformasi nilai, seperti penghargaan akan waktu,
akurasi, produktivitas, dan entrepreneurship. Dengan demikian, budaya nilai berkaitan
pula dengan wawasan, mentalitas, sikap dan lain-lain yang berkaitan dengan kualitas
kehidupan masyarakat global.
Indonesia pada saat ini sedang menghadapi pergeseran sosio-demografik, yang ditandai
dengan meningkatnya persentasi kelas menengah, yang ditandai dengan kualitas
kehidupan masyarakat, baik kesejahteraan maupuan tingkat pendidikan mereka.
Pergeseran pola kebutuhan masyarakat ini tentu saja memerlukan perubahan pada cara
kita memenuhi kebutuhan tersebut. Kesemuanya ini akan mempengaruhi kompetensi
SDM yang kita butuhkan, yaitu mereka yang cakap dalam penerapan teknologi, yang
menguasai manajemen, memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan serta
kepakaran yang memadai, serta indicator-indikator lainnya, dimana kesemuanya
tersebut berhubungan dengan kompetensi.
Dalam hubungannya dengan desentralisasi pendidikan, Sumber Daya Manusia
merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desentralisasi
tersebut. Banyak kekhawatiran dalam kesiapan SDM ini, diantaranya belum
terpenuhinya bidang kerja dengan kemampuan sumber daya yang ada. Implementasi
desentralisasi pendidikan masih menyimpan kendala, diantaranya kendala dalam sistem
pengelolaan SDM, seperti rekrutmen, rotasi, promosi dan demosi jabatan.
Sejak bergulirnya otonomi daerah, pengelolaan SDM didaerah baik tingkat propinsi
maupun kabupaten/kota cukup memprihatinkan. Banyak pimpinan daerah yang secara
serampangan menempatkan orang-orangnya tidak dengan memperhatikan aspek
kompetensi dan profesionalisme. Kordinasi antar lembaga terhambat karena memang
antara pusat-daerah-propinsi-kabupaten/kota yang tidak adanya hubungan hierarkis lagi
Bagaimanapun, sumberdaya manusia yang kurang professional dan tidak mempunyai
kompetensi akan menghambat sistem pendidikan. Penataan SDM yang tidak sesuai
dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya akan menyebabkan pelaksanaan
pendidikan semakin tidak professional. Guna mewujudkan hal tersebut maka pendidikan
di Indonesia sangat membutuhkan dukungan tenaga pendidik dan kependidikan yang
memadai, berkualitas dan profesional serta mampu bersaing baik di forum regional,
nasional maupun internasional.
Oleh karena itu berdasarkan pemikiran tersebut diatas, pengembangan profesionalisme
tenaga kependidikan harus segera dilakukan, khususnya yang menyangkut tenaga
kependidikan yang berada pada Satuan Pendidikan ( Kepala TU, Tenaga administrasi,
Laboran, Pustakawan, operator TIK ) sebagai upaya konkrit dalam pembinaan dan
pengelolaan SDM, terutama dalam rangka meningkatkan profesionalismenya yaitu
dengan ditetapkannya stándar kompetensi yang berlaku di seluruh Indonesia.
2. Definisi konseptual
a. Tenaga Adiministrasi Sekolah ( dalam nomenklatur sekolah sekolah juga disebut Tata
Usaha Sekolah ) ialah sumberdaya manusia di sekolah yang tidak terlibat langsung
dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tetapi berperan mendukung kelancaran
proses pembelajaran dan administrasi sekolah (Anonim, 2001).
b. Standar adalah kriteria minimal yang harus dipenuhi dan berlaku diseluruh wilayah
hukum negara kesatuan republik indonesia
c. Kualifikasi adalah persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk
memangku jabatan tertentu
d. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus
dimiliki oleh seseorang dalam melaksanakan tugas profesinya
Landasan
a. Landasan filosofis
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 dikemukakan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan Nasional tersebut, pendidikan
perlu dikelola secara professional yang pada gilirannya juga mempersyaratkan tenaga
kependidikan dan tenaga pendidik yang professional.
Berbagai pandangan filosofis berikut memperkuat pentingnya kebutuhan tenaga
kependidikan yang professional.
Dari sudut pandang ontology, pengetahuan administrasi dan manajemen menekankan
bahwa perilaku manajer merupakan suatu fungsi dari sistem keyakinan diri seseorang,
sedangkan keyakinan diri seseorang tersebut merupakan perwujudan dari asumsi
metafisik yg dimilikinya (Sallis, E. 2003).
Asasumsi-asumsi metafisik ini pada gilirannya akan mempengaruhi idealisme,
komitmen, motivasi dan kinerja aktual seseorang manajer. Dengan demikian, karena
pekerjaan adiministrasi bersinggungan dengan manajemen, dalam menyiapkan tenaga
administrasi sekolah yang professional perlu mempertimbangkan aspek-aspek diluar
kemampuannya seperti idealisme, komitmen, motivasi dan kinerja sebelum menjadi
tenaga administrasi sekolah
Dari sudut pandang epistemologi, pengetahuan administrasi dan manajemen
menekankan pentingnya pekerjaan administrasi dikelola secara logis dan rasional untuk
mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
Menurut (Sallis, E. 2003) tersebut, perbedaan antara manajer yang kompeten dan yang
tidak kompeten terletak pada kapasitas dan ketajaman logika mereka. Hal ini berarti
diperlukan seperangkat pengetahuan bagi tenaga administrasi sekolah sebagai pengelola
administrasi sekolah dalam menjalankan tugas-tugasnya, terutama dalam membantu
Kepala Sekolah menganalisis kebijakan, menyusun proposal dan mengimplementasikan
program-program yang disiapkan oleh sekolah bersama dengan komite sekolah.
Dari sudut pandang aksiologi, pengetahuan administrasi dan manajemen menekankan
pentingnya nilai-nilai kebenaran, etika dan estetika dalam praktek manajemen
pendididkan, khususnya dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Dalam hal ini
pengambilan keputusan dalam administrasi persekolahan hendaknya mengacu pada
nilai-nilai pendidikan secara universal. Konsekuensi logisnya, Tenaga Administrasi
Sekolah perlu memiliki sikap dan kepribadian yang selaras dengan nilai nilai tersebut,
yaitu nilai-nilai kemanusiaan dalam kontribusinya melayani peserta didik di Satuan
Pendidikan dan terutama nilai nilai kepribadian bangsa indonesia yang sesuai dengan
pancasila
Pandangan-pandangan filsafat tadi , menunjukkan bahwa tenaga administrasi sekolah
berfungsi membantu kepala sekolah sebagai administrator maupun sebagai manajer.
Sebagai administrator seseorang perlu memiliki kemampuan dalam pembuatan
kebijakan dan menginflementasikannya apabila ia bertindak, dan sebagai manajer
mampu memobilisasi sumberdaya, mengelola, dan mengawasinya apabila ia bertindak
b. Landasan yuridis
b.1. Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :
Terutama yang berkaitan dengan butir-butir berikut. :
1. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
2. Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. (Pasal 35
ayat 1 dan 2)
3. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi pengelolaan,
pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan
(pasal 39, ayat 1)
4. Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban – menciptakan suasana pendidikan
yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, - mempunyai komitmen
secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan – memberi teladan dan
menjad nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang
diberikan kepadanya ( pasal 40 ayat 2 )
5. Pengangkatan, penempatan dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur
oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (
41, ayat 2)
6. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan
pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu ( 41, ayat 3 )
7. Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan
berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan dan prestasi kerja (
43, ayat 1 )
8. Perlunya pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan (pasal 44 ayat 1, 2 dan
3)
b.2. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005
Bab VI mengenai standar pendidik dan tenaga kependidikan menyatakan :
Tenaga kependidikan pada:
a. TK/RA atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala TK/RA
dan tenaga kebersihan TK/RA.
b. SD/MI atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala
sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, dan tenaga kebersihan
sekolah/madrasah.
c. SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA, atau bentuk lain yang
sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga
administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan
sekolah/madrasah.
d. SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala
sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan
tenaga kebersihan sekolah/madrasah.
e. SDLB, SMPLB, dan SMALB atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri
atas kepala sekolah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium,
tenaga kebersihan sekolah, teknisi sumber belajar, psikolog, pekerja sosial, dan terapis.
f. Paket A, Paket B dan Paket C sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola kelompok
belajar, tenaga administrasi, dan tenaga perpustakaan.
g. lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan sekurang-kurangnya terdiri atas
pengelola atau penyelenggara, teknisi, sumber belajar, pustakawan, dan laboran. (
Bagian Kedua, Pasal 35 ayat 1 dan ayat 2 )
b.3. Tujuan pembangunan pendidikan nasional jangka menengah
1. Meningkatkan kualitas pendidikan dengan tersedianya standar pendidikan nasional
dan standar pelayanan minimal (SPM), serta meningkatkan kualifikasi minimun dan
sertifikasi bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya;
2. Menata sistem pengaturan dan pengelolaan pendidikan yang semakin efisien,
produktif, dan demokratis dalam suatu tata kelola yang baik dan akuntabel;
3. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas manajemen pelayanan pendidikan melalui
peningkatan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, peran serta masyarakat dalam
pembangunan pendidikan, serta efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi
pendidikan termasuk otonomi keilmuan ( Renstra Depdiknas, 2004 )
c. Landasan teoritik
Keefektifan suatu sekolah dalam menggapai visi, mengemban misi, dan menjalankan
aktivitas pendidikan selain mempersyaratkan adanya seorang kepala sekolah yang
efektif, yaitu kepala sekolah yang mampu mengelola sumber daya manusia maupun
non-manusia secara efektif dan efisien, juga perlu adanya dukungan dari tenaga
administrasi sekolah.
Lebih-lebih, dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah memperkenalkan dan
menggalakkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ( School Based Quality
Improvement ), yang lebih dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (School Based
Management), kehadiran Tenaga Administrasi Sekolah yang efektif merupakan
komponen organik, sebab bagaimanapun banyaknya sarana dan prasarana pendidikan
yang dimiliki sekolah, betapapun besarnya dana yang tersedia bagi pembiayaan
operasional sekolah, dan betapapun banyaknya sumber daya manusia yang tersedia
untuk mengoperasikan kegiatan sekolah, semuanya akan sia-sia belaka bilamana tidak
dikelola secara bersama-sama oleh tenaga administrasi yang profesional dan kepala
sekolah yang efektif dan efisien.
Sedikitnya ada 3 (tiga) kompetensi yang harus dimiliki Tenaga Administrasi sekolah,
diantaranya. :
a. Kompetensi manajerial dan teknis ( technical competency ) yang berkenaan dengan
pengetahuan khusus yg diperlukan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi Tenaga
Administrasi Sekolah
b. Kompetensi Kepribadian/hubungan antar pribadi atau Kompetensi sosial
( interpersonal competency ) berkenaan dengan kemampuan tenaga administrasi
sekolah dalam bekerja sama dengan orang lain dan memotivasinya
c. Kompetensi konseptual ( conceptual competency ) berkenaan dengan keluasan
wawasan dan konsep seorang tenaga administrasi sekolah yang diperlukan untuk
menganalisis dan memecahkan masalah masalah yang rumit
Sama dengan tenaga kependidikan lainnya ( dalam hal ini Kepala Satuan Pendidikan ),
maka Tenaga Administrasi Sekolah harus memiliki kemampuan sebagai seorang manajer
yang tangguh dalam : (1) Merencanakan, (2) Mengorganisasikan, (3) Memimpin (4)
Mengendalikan tenaga, sarana prasarana dan dana serta informasi. ( Mengelola Sumber
Daya, Dit.SLTP, 2001 ).
Keempat kemampuan seorang manajer tersebut di atas, dipadu dengan dengan ciri
otonomi dan pengambilan keputusan partisipatif dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
bagi Tenaga Admnistrasi Sekolah, akan menjadi faktor pendukung yang sangat penting
bagi sekolah dalam upaya meraih peningkatan mutu pendidikan yang telah ditetapkan.
Peran yang harus dimainkan oleh tenaga administrasi sekolah sebagai seorang manajer
dalam pelaksanaan mpmbs, diantaranya harus memiliki kemampuan memadukan
sumberdaya (tenaga, dana, sarana dan prasarana termasuk informasi). Kemampuan
memadukan sumberdaya merupakan hal yang penting dalam mencapai tujuan
organisasi. (Manajemen Pendidikan, 2000)
Tenaga Administrasi Sekolah harus mampu menjadi Tim-Kerja yang Kompak dan
Cerdas, untuk memberikan dukungan yang bersifat adminstratif agar dapat membantu
upaya mewujudkan
(1). Proses Belajar Mengajar yang Efektifitasnya Tinggi;
(2). Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib;
(3). Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan;
(4). Responsifabilitas dan Antisipatif terhadap Kebutuhan;
(5). Komunikasi yang baik; dan
(6). Akuntabilitas.
Selain itu, Tenaga Administrasi Sekolah harus (1) memiliki kebijakan, tujuan dan
sasaran mutu yang jelas; (2). memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang
tersedia dalam keadaan Siap, kompeten dan berdedikasi; serta (3). memiliki harapan
prestasi yang tinggi dalam menajalankan tugas dan fungsinya dengan tetap (4). fokus
layanan kepada para pelanggan yaitu : siswa, orang tua siswa, guru, kepala sekolah dan
semua pihak yang terkait dalam upaya meraih peningkatan mutu pendidikan.
Tugas utama Tenaga Administrasi Sekolah adalah memberikan pelayanan prima kepada
pelanggan internal dan eksternal sekolah (Sallis, 2003). Pelanggan internal sekolah
antara lain: kepala sekolah, guru, siswa, tenaga laboratorium sekolah, tenaga
perpustakaan, dan tenaga administrasi sekolah. Pelanggan eksternal sekolah antara lain:
orang tua/wali siswa, pemerintah, pengusaha, tokoh masyarakat, alumni, dan anggota
lembaga profesi.
Selain itu tugas Tenaga Administrasi Sekolah adalah mengerjakan sejumlah pekerjaan
administrasi sekolah yang berhubungan dengan pengarsipan, surat menyurat,
pelaporan, pemberian layanan informasi bagi siswa, orang tua, ataupun fihak lain yang
memerlukan informasi sekolah baik langsung maupun melalui perangkat komunikasi
lain, memelihara data, keuangan, pengoperasian alat-alat kantor, ketenagaan,
kesiswaan, ketidakhadiran guru, dsb.
Pendek kata petugas Tenaga Administrasi Sekolah harus dapat menyediakan informasi-
informasi administratif yang diperlukan. Kita semua tahu bahwa aspek administratif
tidak dapat dikesampingkan begitu saja karena sebuah organisasi tidak akan berjalan
dengan baik tanpa adanya dukungan administrasi yang baik. Dan administrasi yang baik
hanya akan didapatkan apabila pengelolanya atau tenaga yang mengurusnya
mempunyai kompetensi dan profesional.
Oleh karena itu Tenaga Administrasi Sekolah harus memahami dan melakukan metode,
praktik, dan prosedur kerja yang sesuai dengan tuntutan ideal. Apabila di sekolah belum
tersedia alat kerja dan SDM Tenaga Administrasi Sekolah yang memadai tidak berarti
bahwa pekerjaan keadministrasian menjadi tidak berjalan. Yang harus dilakukan adalah
bekerja sesuai dengan kondisi yang ada di masing-masing sekolah dengan
menggunakan perangkat kerja yang tersedia di bawah kepemimpinan Kepala Sekolah,
sambil sekolah terus berupaya untuk terus meningkatkan kualitas kerja dan sarana yang
diperlukan untuk berjalannya pekerjaan Tenaga Administrasi Sekolah yang diharapkan.
Ruang lingkup dan Jenis Tenaga Administrasi Sekolah :
1. Kepala Tenaga Administrasi Sekolah
2. Pelaksana Urusan Kepegawaian
3. Pelaksana Urusan Keuangan
4. Pelaksana Urusan Sarana Prasarana
5. Pelaksana Urusan Humas
6. Pelaksana Urusan Persuratan dan Kearsipan
7. Pelaksana Urusan Kesiswaan
8. Pelaksana Urusan Kurikulum
Rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing bagian (sebuah alternatif):
1. Kepala Tenaga Administrasi Sekolah bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan
administrasi sekolah dan bertugas:
a. Menyusun program tahunan ketenagaadministrasian sekolah yang mengacu pada
program tahunan sekolah dan program sekolah jangka menengah maupun jangka
panjang,
b. Menyusun rincian tugas Tenaga Administrasi Sekolah sesuai dengan kondisi yang ada,
c. Melakukan pengontrolan internal ketenagaadministrasian sekolah,
d. Memelihara jalannya pekerjaan adminsitrasi sekolah dengan baik,
e. Mengarahkan, membimbing, dan mengembangkan staf Tenaga Administrasi Sekolah,
f. Menyelesaikan permasalahan administrasi sekolah,
g. Pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan erat dengan urusan Kepala Tenaga
Administrasi Sekolah.
2. Pelaksana Urusan Administrasi Kepegawaian bertugas dan bertanggung jawab untuk:
a. Mengisi Buku Induk Pegawai,
b.Melengkapi File Pegawai,
c. Menyusun Daftar Urut Kepangkatan,
d. Mengurus kenaikan pangkat / gaji berkala,
e. Menyelesaikan administrasi mutasi pegawai,
f. Menyelesaikan administrasi pensiun,
g. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan erat dengan urusan
administrasi kepegawaian.
3. Pelaksana Urusan Administrasi Keuangan bertugas dan bertan ggung jawab untuk:
a. Mencatat dan membukukan setiap penerimaan dan pengeluaran uang sesuai dengan
peraturan yang berlaku,
b. Mengarsipkan seluruh bukti pengeluaran ( mis: kuitansi dan SPJ) dan menyusunnya
secara teratur,
c. Menghitung ulang jumlah pemasukan dan pengeluaran secara teliti,
d. Melaporkan keadaan keuangan sekolah kepada Kepala Sekolah dan Komite Sekolah,
dan kepada Dinas Pendidikan setempat secara periodik,
e. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan erat dengan urusan
administrasi keuangan sekolah.
4. Pelaksana Urusan Administrasi Sarana Prasarana bertugas dan bertanggung jawab
untuk:
a. Membuat data dan inventaris sarana yang meliputi: luas tanah, gedung, barang-
barang inventaris sekolah serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran secara teratur, Pendataan perabot dan perlengkapan sekolah yang
rusak,
b. Mengerjakan / membuat penghapusan barang’
c. Menerima dan mencatat pembelian ATK,
d. Memelihara sarana dan prasarana sekolah seperti yang diamanatkan oleh PP 19 Pasal
47, Ayat (1) dan (2),
e. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan urusan sarana
prasarana.
5. Pelaksana Urusan Administrasi Hubungan Masyarakat bertugas dan bertanggung
jawab untuk:
a. Melakukan surat menyurat dengan stake holders sekolah,
b. Membuat dan mengedarkan surat hubungan kerja sama dengan pihak-pihak terkait.
c. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan urusan hubungan
masyarakat.
6. Pelaksana Urusan Administrasi Persuratan dan Pengarsipan bertugas dan bertanggung
jawab untuk:
a. Mengagendakan surat-surat masuk,
b. Mengagendakan surat-surat ke luar,
c. Mengisi kartu disposisi surat masuk dan menyampaikannya kepada Kepala Sekolah
untuk ditindaklanjuti,
d. Mengarsipkan surat-surat masuk dan ke luar pada file yang berbeda,
e. Mengarsipkan segala bentuk administrasi sekolah baik dalam bentuk hard copy
maupun dalam bentuk soft copy,
f. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan administrasi
persuratan dan pengarsipan.
7. Pelaksana Urusan Administrasi Kesiswaan bertugas dan bertanggung jawab untuk:
a. Pengisian Buku Induk peserta didik,
b. Pengisian Buku Klaper,
c. Pengisian Buku Mutasi peserta didik,
d. Pembuatan Kohort,
e. Pembuatan Daftar peserta didik per kelas,
f. Pembuatan nomor Induk peserta didik,
g. Penyusunan daftar peserta Ujian Nasional,
h. Pencatatan ketidakhadiran siswa,
i. Pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan urusan administrasi kesiswaan.
8. Pelaksana Urusan Administrasi Kurikulum bertugas dan bertanggung jawab untuk:
a. Bekerja sama dengan Wakil Kepala Sekolah dalam:
a.1. pengadministrasian kelengkapan kurikulum,
a.2. berdasarkan input dari guru, memasukkan nilai ke dalam file nilai baik secara
manual maupun digital,
a.3. pembuatan daftar peserta Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Nasional.
b. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan administrasi
kurikulum.
c. Landasan empirik
Data keadaan Tenaga Administrasi di Indonesia menurut Direktorat Peningkatan Mutu
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan ( PMPTK) Depdiknas pada kurun waktu 2001-2003
menunjukkan rata-rata jumlah Tenaga Administrasi sekolah menurut jenjang Sekolah
sbb. :
1. Jumlah Pegawai Administrasi SD Negeri dan Swasta Di Indonesia
No.
Provinsi
Jumlah th
2001-2002
Jumlah th
2002-2003
Jumlah th
2003-2004
1.
DKI Jakarta
897
748
760
2.
Jawa Barat
602
595
701
3.
Banten
192
247
209
4.
Jawa Tengah
260
289
452
5.
DI Yogyakarta
53
52
121
6.
Jawa Timur
2554
2558
2852
7.
Nanggroe Aceh
51
47
63
8.
Sumatera Utara
475
465
607
9.
Sumatera Barat
61
68
65
10.
Riau
220
262
272
11.
Jambi
33
41
49
12.
Sumatera Selatan
175
168
143
13.
Bangka Belitung
38
38
58
14.
Bengkulu
52
55
54
15.
Lampung
95
99
116
16.
Kalimantan Barat
74
81
108
17.
Kalimantan Tengah
9
9
13
18.
Kalimantan Selatan
42
46
63
19.
Kalimantan Timur
201
193
227
20.
Sulawesi Utara
27
27
62
21.
Gorontalo
8
13
38
22.
Sulawesi Tengah
24
20
24
23.
Sulawesi Selatan
312
323
228
24.
Sulawesi Tenggara
9
9
14
25.
Maluku
18
11
46
26.
Maluku Utara
7
7
29
27.
Bali
40
43
47
28.
Nusa Tenggara Barat
11
15
13
29.
Nusa Tenggara Timur
40
39
74
30.
Papua
79
74
179
Indonesia
6.659
6.642
7.687
Dari data yang tersaji maka Sekolah dasar yang ada di Indonesia belum seluruhnya
memiliki tenaga administrasi sekolah. Sebagai contoh jumlah SD yang ada di Jawabarat,
menjurut data ada 701 orang, padahal jumlah SD yang ada di Jawabarat tidak seperti
yang tersaji dalam data. Hal ini mengisyaratkan bahwa masih perlunya pembenahan
tenaga administrasi di jenjang pendidikan Dasar
2. Jumlah Pegawai Administrasi SMP Negeri dan Swasta Tahun 03/04
No
Provinsi
Tata Usaha
Bendaha
Juru
Ketik
Penjaga
Sekolah
1
DKI Jakarta
812
912
1557
1548
2
Jawa Barat
1641
2105
3360
2861
3
Banten
264
155
422
421
4
Jawa Tengah
1995
2307
5432
5541
5
DI Yogyakarta
260
370
651
736
6
Jawa Timur
1963
1869
4521
4663
7
NA Darussalam
245
282
666
397
8
Sumatera Utara
857
608
1800
645
9
Sumatera Barat
288
281
1027
346
10
Riau
377
326
540
293
11
Jambi
142
152
338
134
12
Sumatera Selatan
489
522
1362
630
13
Bangka Belitung
68
67
215
114
14
Bengkulu
99
133
239
99
15
Lampung
96
143
569
448
16
Wilayah Sumatera
2661
2514
6756
3106
17
Kalimantan Barat
353
211
1190
525
18
Kalimantan Tengah
121
104
288
61
19
Kalimantan Selatan
248
187
524
217
20
KalimantanTimur
258
188
400
327
21
Sulawesi Utara
255
183
708
55
22
Gorontalo
52
41
161
27
23
Sulawesi Tengah
115
148
432
94
24
Sulawesi Selatan
487
519
1473
454
25
Sulawesi Tenggara
100
174
539
59
26
Maluku
108
85
614
83
27
Maluku Utara
11
7
31
12
28
Bali
177
294
1000
425
29
Nusa Tenggara Barat
205
256
747
466
30
Nusa Tenggara Timur
186
269
500
114
31
Papua
162
144
549
113
Data yang tersaji, untuk propinsi Jawabarat jumlah tenaga administrasi SMP Negeri dan
SMP swasta berjumlah seperti dibawah, artinya tinggal pembinaan dan pengembangan
terutama dalam peningkatan kompetensi dan profesionalisasinya.
1641
2105
3360
2861
Dari data tersebut tampak bahwa jumlah Tenaga Administrasi Sekolah belum secara
signifikan memperlihatkan kekurangan atau kelebihan Tenaga Administrasi dalam satuan
pendidikan. Sebagai contoh, sebaran Tenaga Bendaharawan Sekolah di Jawabarat hanya
ada 828 orang, setara dengan 828 SMA Negeri padahal jumlah SMA Negeri yang ada di
Jawabarat lebih dari itu. Berdasarkan pengalaman, kekurangan Tenaga Administrasi
Sekolah yang ada disekolah-sekolah biasanya diisi oleh tenaga Sukarelawan ( Sukwan
TU ) yang kadang-kadang tidak berdasarkan kualifikasi yang ada.
Sementara di lapangan juga banyak ditemukan adanya kinerja Tenaga Administrasi
Sekolah yang belum diharapkan. Tidak sedikit Tenaga Administrasi Sekolah yang belum
mampu menyusun rencana kerjanya, belum mempu melakukan analisis kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan pekerjaannya. Malahan ada sebagian Tenaga
Administrasi Sekolah merupakan beban tersendiri bagi Satuan Pendidikan karena tidak
memahami tugas pokok dan fungsinya.
Begitu juga secara khusus banyak Kepala Tenaga Administrasi Sekolah atau lebih sering
disebut Kepala TU/Kaur TU/Kabag TU yang tidak mampu memotivasi, mendorong,
menggalang, mengarahkan, membimbing dan mengawasi anak buah yang menjadi
tanggungjawabnya. Kepala TU terbiasa menerima, menelaah dan mengamalkan
pentunjuk teknis ( juknis ) berbagai pengelolaan Administrasi Sekolah yang berasal dari
Kepala Sekolah atau Dinas Pendidikan setempat.
Kompetensi
Subkompetensi
3. Mengendalikan diri
5. Memiliki fleksibilitas
6. Memiliki ketelitian
7. Memiliki kedisiplinan
Kompetensi
Subkompetensi
1. Bekerja sama
dalam Tim
2. Memberikan
Layanan Prima
3. Memiliki
kesadaran
berorganisasi
4. Berkomunikasi
Efektif
5. Membangun
hubungan kerja
Kompetensi
Subkompetensi
5. Mengambil keputusan
8. Mengendalikan staf
9. Mengelola konflik
7.1 Memberdayakan aset organisasi berupa sumber daya manusia, sarana prasarana,
dana, dan sumber daya alam
7.2 Mengadministrasikan aset organisasi berupa sumber daya manusia, sarana
prasarana, dana, dan sumber daya alam
8.1 Memantau pekerjaan staf
8.2 Menilai proses dan hasil kerja
8.3 Melaporkan hasil penilaian
8.4 Memberikan umpan balik
Subkompetensi
Kompetensi
Subkompetensi
Kompetensi
Subkompetensi
1. Mengadministrasikan kepegawaian
Kompetensi
Subkompetensi
2. Menggunakan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
Subkompetensi
1. Mengadministrasi-kan standar sarana dan prasarana
Kompetensi
Subkompetensi
Kompetensi
Subkompetensi
Kompetensi
Subkompetensi
1. Mengadministrasikan standar pengelolaan yang berkaitan dengan peserta didik
2. Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK
1.1 Membantu kegiatan penerimaan peserta didik
1.2 Membantu kegiatan masa orientasi
1.3 Membantu mengatur rasio peserta didik per kelas
1.4 Mendokumentasikan prestasi akademik dan non akademik
1.5 Membuat: data statistik peserta didik (pendaftar, yang diterima, putus
sekolah/madrasah, lulusan, dan mutasi), buku induk peserta didik, data pribadi peserta
didik, buku penghubung, buku catatan khusus, daftar peserta didik yang melanjutkan
1.6 Menginventarisir program kerja pembinaan peserta didik bulanan, semesteran dan
tahunan
1.7 Mendokumentasikan program kerja OSIS, Pramuka, Paskibra, dan Palang Merah
Remaja (PMR), dan dokumen tata tertib sekolah/madrasah
1.8 Mendokumentasikan program pengembangan diri.
Kompetensi
Subkompetensi
1. Mengadministrasikan standar isi
KEPUSTAKAAN
Depdiknas. (1994), Analisis Jabatan Tenaga Kependidikan di SMK
2. Depdiknas, 2002. Kompetensi Tenaga Kependidikan Khusus Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Bahan Rujukan Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
3. Dit.SLTP, 2001, Mengelola Sumber Daya,
4. --------- 2000. Manajemen Pendidikan,
5. Kepmendikans Nomor 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan
Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah
6. Kemendikbud Nomor 23 Tahun 1976 tentang Hadiah Seni, Ilmu Pengetahuan,
Pendidikan, Pengabdian dan Olah Raga.
7. Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelengaraan
Pelayanan Publik
8. Kouzes, J.M. & Posner, B.Z. 1995. The Leadership Challenge. San Francisco: Jossey-
Bass Publishing.
9. Manning, G., & Curtis, K. 2003. The art of leadership. New York McGraw-Hill Irwin.
10. Post, Charles. 1991. Profil kekuasaan – apakah Anda Seorang pemimpin unggul,
dalam Kepemimpinan. Jakarta: PT. Gramedia.
11. Renstra Depdiknas, 2004
12. Sallis, E. 2003. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page
Educational Management Series.
13. Hasbulah, 2006. Otonomi Pendidikan- Kebijakan otonomi Daerah dan Implikasinya
terhadap penyelenggaraan Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
14. Sam, Tuti M Chan, 2005. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah-Analisis SWOT,
PT Rajagrafindo Persada, Jakarta
Tilar, HAR. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional. Rineka Cipta, Jakarta
1 KOMENTAR:
Posting Komentar
ABOUT ME
BROKOKOK
BLOG ARCHIVE
▼ 2008 (7)
o ► Oktober (2)
o ▼ Maret (5)
Wilujeng Sumping
MAY
27
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens
Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang
kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih
jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan
pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya
di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek
materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat
khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri
semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi
dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metafisik.
B. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and
limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”,
“pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan sebagai cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu?; 2)
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat
diperoleh?; 4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai?; 5) Apa perbedaan antara
pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan puma pengalaman)?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan,
pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran,
kebolehjadian, kepastian?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan
ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang
baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu
mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus
penelaahan.
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan diantaranya adalah:
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan
bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula
rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke,
seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan
ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat
dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat
atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi
saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang
barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang
menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan
di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang
sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham
ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh
indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi
pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar
dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian
pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
C. Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh
(Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral
conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Kedua,- esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat
sosio-politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu
kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata
kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah
polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul
antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika
ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaratt yang
nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai antara yang baik
dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S.
Suriasumantri, 2000:36).
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan,
bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi
oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler
yang mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun
S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga
dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai
teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka
terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial,
manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi, menghargai
prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan;
(3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat
produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan
penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan
nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang
diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan
nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan
dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).
Diposting 27th May 2011 oleh Ardhana Januar
0
Tambahkan komentar
.ardhana januar.
sebuah tantangan..
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
1.
MAY
10
1
Lihat komentar
2.
MAR
25
1
Lihat komentar
3.
DEC
29
Memperebutkan
PIALA BERGILIR REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
LATAR BELAKANG
Pidato Kebangsaan ini sebagai bentuk implementasi terhadap nilai-nilai Pancasila dalam
diri siswa-siswi sebagai penerus bangsa, serta untuk menumbuhkan ide dan konsep serta
nalar kritis terhadap pemerintah dalam rangka mengembangkan jiwa nasionalisme dalam
menghadapi arus globalisasi.
Bagaimanapun moment seperti inilah yang merupakan ajang untuk mepertahankan nilai
eksistensi peran siswa serta semangat idealisme dalam rangka mewujudkan nilai-nilai
keintelektualan dan jiwa nasionalisme untuk mendukung Indonesia maju pada tahun 2020.
TEMA
Sub-tema:
Menumbuhkan nasionalisme kaum muda melalui keberagaman budaya
Generasi muda calon pemimpin bangsa
Peran generasi muda dalam rangka globalisasi
PESERTA
Peserta adalah siswa-siswi SMA/sederajat se wilayah Eks-Karisidenan Madiun, Kediri, dan
Surakarta
JADWAL PELAKSANAAN
Hari Selasa s.d Kamis, tanggal 17 s.d 19 Februari 2015, pukul 07.30 s.d selesai
Technical Meeting hari senin, tanggal 16 Februari 2015, pukul 07.30 s.d selesai
TEMPAT PELAKSANAAN
Ruang Seminar, Dome Unmuh Ponorogo
Jl. Budi Utomo 10, Ponorogo.
FASILITAS
Sertifikat
Marchandise
Snack
Makan siang
JUARA
Juara I : Uang Pembinaan Rp. 1.000.000, Sertifikat, Piala, Bingkisan
Juara II : Uang Pembinaan Rp. 750.000, Sertifikat, Piala, Bingkisan
Juara III : Uang Pembinaan Rp. 500.000, Sertifikat, Piala, Bingkisan
Serta untuk peserta yang masuk ke babak final akan mendapat sertifikat dan bingkisan
Seluruh peserta akan mendapat sertifikat
PENDAFTARAN
Pendaftaran sebesar Rp. 75.000,- per peserta.
Bagi yang mendaftarkan lebih dari 3 biaya pendaftaran Rp. 65.000,- per peserta.
Pendaftaran dimulai tanggal 5 Januari s.d 11 Februari 2015.
1. Mengisi formulir yang ada di brosur dan dikirim ke sekipjogja@yahoo.co.id. atau dikirim
langsung ke
sekretariat panitia (Plasa Lt. 1 Unmuh Ponorogo)
2. Melalui pesan singkat (SMS) atau telefon ke nomor panitia (contact person).
3. Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer ke nomor rekening: BNI Syariah
0254525508 a.n Ardhana Januar Mahardhani atau langsung ke sekretariat panitia
4. Pendaftaran ditutup sewaktu-waktu jika telah memenuhi kuota
CONTACT PERSON
Ahmad Wahid Zariat (08982238517)
Ismail (087758775289)
Nandra Dwi Fauzi (081938746055)
0
Tambahkan komentar
4.
NOV
28
2
Lihat komentar
5.
AUG
16
0
Tambahkan komentar
6.
JUN
29
0
Tambahkan komentar
7.
DEC
Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran (DPP) mengundang rekan-rekan dosen, guru,
mahasiswa, serta praktisi yang bergiat dalam dunia pendidikan untuk menulis di Jurnal Dimensi
Pendidikan dan Pembelajaran yang diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Adapun penerimaan artikel untuk penerbitan jurnal Volume 1, Nomor 2, Januari 2014 adalah
sampai dengan 15 Desember 2013.
Artikel berupa hasil penelitian atau gagasan konseptual dalam bidang pendidikan dan
pembelajaran, panjang artikel maksimum lima belas halaman dalam format dua kolom dengan
ukuran kertas A4. Artikel ditulis dalam jarak 1 (satu) spasi. Jenis huruf yang digunakan
adalah Times New Roman (font size 11).
Naskah dapat dikirim melalui email: sekipjogja@yahoo.co.id
Hormat kami
Ketua Redaksi Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran
Diposting 3rd December 2013 oleh Ardhana Januar
0
Tambahkan komentar
8.
MAY
24
Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran (DPP) mengundang rekan-rekan dosen, guru,
mahasiswa, serta praktisi yang bergiat dalam dunia pendidikan untuk menulis di Jurnal Dimensi
Pendidikan dan Pembelajaran yang diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Adapun penerimaan artikel untuk penerbitan jurnal Volume 2, Nomor 1, Juli 2013 adalah sampai
dengan 15 Juni 2013.
Artikel berupa hasil penelitian atau gagasan konseptual dalam bidang pendidikan dan
pembelajaran, panjang artikel maksimum lima belas halaman dalam format dua kolom dengan
ukuran kertas A4. Artikel ditulis dalam jarak 1 (satu) spasi. Jenis huruf yang digunakan
adalah Times New Roman (font size 11).
Naskah dapat dikirim melalui email: sekipjogja@yahoo.co.id
Hormat kami
Ketua Redaksi Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran
Diposting 24th May 2013 oleh Ardhana Januar
0
Tambahkan komentar
9.
MAR
30
0
Tambahkan komentar
10.
MAY
27
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens
Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang
kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih
jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan
pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya
di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek
materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat
khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri
semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi
dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metafisik.
B. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and
limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”,
“pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan sebagai cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu?; 2)
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat
diperoleh?; 4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai?; 5) Apa perbedaan antara
pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan puma pengalaman)?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan,
pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran,
kebolehjadian, kepastian?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan
ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang
baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu
mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus
penelaahan.
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan diantaranya adalah:
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan
bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula
rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke,
seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan
ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat
dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat
atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi
saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang
barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang
menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan
di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang
sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham
ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh
indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi
pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar
dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian
pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
C. Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh
(Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral
conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Kedua,- esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat
sosio-politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu
kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata
kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah
polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul
antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika
ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaratt yang
nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai antara yang baik
dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S.
Suriasumantri, 2000:36).
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan,
bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi
oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler
yang mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun
S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga
dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai
teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka
terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial,
manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi, menghargai
prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan;
(3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat
produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan
penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan
nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang
diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan
nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan
dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).
Diposting 27th May 2011 oleh Ardhana Januar
0
Tambahkan komentar
11.
MAY
16
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka
bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia
tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik,
yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Pada makalah ini, akan dikaji hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan formal yang
diselenggarakan di Indonesia. Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan akan menimbulkan
dua macam dampak yang saling bertentangan. Kedua dampak itu adalah dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positif adalah segala sesuatu yang merupakan harapan dari
pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat disebut sebagai ’Tujuan’. Sedangkan
dampak negatif adalah segala sesuatu yang bukan merupakan harapan dalam pelaksanaan
kegitan tersebut, sehingga dapat disebut sebagai hambatan atau masalah yang ditimbulkan.
Jika peristiwa di atas dihubungkan dengan pendidikan, maka pelaksanaan pendidikan
akan menimbulkan dampak negatif yang disebut sebagai masalah dan hambatan yang akan
dihadapi. Hal ini akan lebih tepat bila disebut sebagai permasalahan Pendidikan. Istilah
permasalahan pendidikan diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah
segala sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Sedangkan kata permasalahan berarti
sesuatu yang dimasalahkan atau hal yang dimasalahkan. Jadi Permasalahan pendidikan adalah
segala-sesuatu hal yang merupakan masalah dalam pelaksanaaan kegiatan pendidikan.
Adapun masalah yang dipandang sangat rumit dalam dunia pendidikan adalah sebagai
berikut.
a. Pemerataan
b. Mutu dan Relevansi
c. Efisiensi dan efektivitas
Setiap masalah yang dihadapi disebabkan oleh faktor-faktor pendukungnya adapun faktor-
faktor yang menyebabkan berkembangnya 4 masalah di atas adalah sebagai berikut.
a. Ilmu Pengeahuan dan Teknologi (IPTEK)
b. Laju Pertumbuhan penduduk
c. Kelemahan guru/dosen (tenaga pengajar) dalam menangani tugas yang dihadapinya, dan
ketidakfokusan peserta didik dalam menjalani proses pendidikan (Permasalahan Pembelajaran).
DAFTAR RUJUKAN
- Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan.
Yogyakarta: Reka Sarasih
- Shane, Harlod G., 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
- http://sim.ormawa.uns.ac.id/2009/01/05/masalah-pendidikan-di-indonesia/
0
Tambahkan komentar
Memuat
Tema Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.