Anda di halaman 1dari 3

DAMPAK PARIWISATA TERHADAP PENINGKATAN KASUS HIV/ AIDS DI BALI

Sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam upaya penerimaan pendapatan


pemerintah daerah yang cukup menjanjikan. Pariwisata dapat disoroti dari berbagai sudut
pandang karena sangat kompleks. Kompleksitas yang terkandung dalam aktivitas pariwisata
antara lain pariwisata sebagai sumberdaya, pariwisata sebagai bisnis, pariwisata sebagai
industri. Hal ini menunjukkan bahwa pariwisata sangat potensial untuk menunjang kehidupan
sektor ekonomi. Salah satu wujud nyata dibidang ekonomi atas dikembangkannya pariwisata
di Bali adalah dibangunnya fasilitas-fasilitas wisata sebagai usaha untuk mendukung
kepariwisataan di Bali. Dengan dibukanya usaha-usaha tersebut, maka banyak pendatang
yang mencari pekerjaan di Bali. Adanya pendatang yang tinggal baik untuk sementara
maupun menetap tentunya akan mengadakan interaksi sosial dengan masyarakat setempat,
yang menjadikan masyarakat bersifat heterogen. Heterogenitas ini menyebabkan
pertumbuhan jumlah penduduk di Bali semakin meningkat. Akan tetapi, selain peningkatan
dari sektor ekonomi, meningkatnya kepadatan penduduk juga menjadi faktor penentu
perkembangan penyebaran penyakit menular seperti HIV/ AIDS. Perkembangan HIV/ AIDS
menunjukkkan lonjakan yang sangat tinggi. Di Bali kasus HIV/ AIDS tidak hanya terjadi di
perkotaaan. Kini, semakin banyak bermunculan kasus-kasus HIV/ AIDS dipedesaan. Sampai
saat ini proses edukasi pencegahan HIV/ AIDS secara struktural yang melibatkan lembaga
formal dan lembaga adat belum bisa menyentuh masyarakat pedesaan berdasarkan alasan
kawasan geografis dan aktivitas sehari-hari masyarakatnya. Disamping itu upaya pencegahan
HIV/ AIDS selalu berangkat dari kepentingan dan sudut pandang pengambil kebijakan/
pemerintah, padahal subyek dan obyek HIV/ AIDS adalah masyarakat itu sendiri.

Secara kasat mata, pekerjaan yang dilakukan dalam industri pariwisata sebenarnya tidak
memiliki hubungan langsung berkenaan dengan penularan virus HIV/AIDS. Memasak,
memberikan pelayanan makanan dan minuman, membersihkan kamar, menjadi guide, atau
menjual cindera mata tentu tidak memiliki andil dalam menyebarkan virus HIV yang menurut
penelitian memang tidak menular semudah itu, misalnya lewat sentuhan antar kulit.
Meskipun begitu, terdapat sebuah fenomena yang timbul akibat adanya aktifitas pariwisata di
suatu daerah. Fenomena tersebut adalah dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pariwisata
terhadap lingkungan, sosial budaya dan ekonomi masyarakat yang berada di sekitar destinasi
wisata. Dampak tersebut terbagi menjadi dua, yaitu dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif dari kegiatan pariwisata dapat berupa adanya rasa cinta yang lebih terhadap
kebudayaan dan lingkungan seperti yang terjadi di Provinsi Bali, dimana kebudayaan dapat
menjadi “tuan rumah” di tempat sendiri, serta keadaan lingkungan yang terjaga dari
kerusakan. Sayangnya, selain manfaat positif dari sisi ekonomi, budaya dan lingkungan,
pariwisata juga mempunyai “sisi gelap” yang cukup memprihatinkan. Misalnya saja
kejahatan berupa pungutan liar atau pemalakan yang dilakukan oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab yang tentu meresahkan wisatawan.
Belum lagi jika kita bicara masalah transportasi. Semua orang tentu sadar, semakin giat
aktifitas pariwisata di suatu daerah, semakin padat pula kendaraan yang lalu lalang, hingga
tak jarang menyebabkan macet. Lihat saja daerah Puncak ketika musim liburan. Namun,
menurut saya, dampak yang paling buruk selain dampak negatif di atas adalah adanya
penurunan nilai moralitas masyarakat lokal yang ada di daerah wisata. Tentu tidak semua
masyarakat lokal mengalami ini, namun tidak dapat dipungkiri jika terdapat kenyataan bahwa
semakin sering suatu daerah dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara,
maka semakin berkuranglah nilai-nilai luhur di daerah tersebut. Entah karena meleburnya
kebudayaan lokal dengan kebudayaan yang dibawa oleh wisatawan atau karena masuknya
orang-orang baru yang kemudian tinggal di sekitar daerah wisata tersebut. Akibat dari
fenomena ini, timbullah berbagai macam aktifitas negatif. Salah satunya adalah aktifitas
prostitusi. Prostitusi dilihat dari sisi manapun merupakan aktifitas illegal di Indonesia, baik
dari sisi hukum, sosial maupun agama. Prostitusi yang kemudian timbul dari kegiatan
pariwisata berkembang secara terselubung dan sulit diberantas meskipun hal tersebut sudah
menjadi rahasia umum. Kegiatan prostitusi yang marak terjadi di sekitar destinasi wisata
inilah yang menyebabkan sektor pariwisata dipandang ikut bertanggung jawab dalam
penyebaran virus HIV/AIDS.

Dengan melihat data di atas, jelaslah bahwa penyebaran penyakit HIV/AIDS sudah
sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu dilakukan kegiatan penanggulangan yang dilakukan
secara terpadu oleh semua pihak. Kegiatan penanggulangan HIV/AIDS adalah segala upaya,
yang meliputi pelayanan promotif, preventif, diagnosis, kuratif, dan rehabilitatif yang
ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan, serta
penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain, serta mengurangi dampak
negatif yang ditimbulkan oleh penyakit HIV/AIDS tersebut. Penanggulangan HIV/AIDS
harus dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan. Kegiatan penanggulangan
HIV/AIDS, terdiri dari promosi kesehatan, pencegahan, diagnosis, serta pengobatan dan
rehabilitasi terhadap individu, keluarga, juga masyarakat. Promosi kesehatan merupakan
pilihan kebijakan dalam rangka pencegahan penularan penyait HIV/AIDS. Promosi kesehatan
ditujukan meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan
penularan HIV /AIDS dan menghilangkan stigma serta diskriminasi. Namun sayangnya
pilihan kebijakan promosi kesehatan ini tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang
mampu mendukung lancarnya promosi kesehatan. Pemerintah belum mengatur dasar hukum
yang kuat dan konsisten yang mengatur promosi kesehatan HIV/AIDS. Pemerintah selama ini
hanya fokus kepada populasi yang terdampak HIV/ AIDS. Kebijakan terkait HIV/AIDS
selama ini hanya bersifat vertikal dan sentralistik sehingga mengabaikan konteks situasi
sosial dan budaya lokal. Jumlah tenaga promosi kesehatan pun sangat terbatas dan biasanya
mempunyai jabatan rangkap.
Perawat merupakan salah satu tenaga yang selama 24 jam penuh berinteraksi dengan
masyarakat. Kedekatan antara perawat dan masyarakat terjalin tidak hanya secara fisik, tetapi
juga terjalin secara emosional. Keberadaan perawat di tengah-tengah masyarakat dan
kedekatan perawat dengan masyarakat dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk melakukan
edukasi, khususnya tentang pencegahan HIV/AIDS, sehingga sangat layak jika perawat
dijadikan ujung tombak dalam pemberantasan HIV/AIDS.

Peran perawat dalam promosi kesehatan pencegahan penyakit HIV/AIDS perlu mendapat
dukungan dari pemerintah. Pemerintah hendaknya melakukan beberapa hal agar peran
perawat dalam program pencegahan penyakit HIV/AIDS dapat lebih optimal.
Kebijakan yang perlu dilakukan sebagai berikut.

1. Menyediakan dasar hukum yang kuat agar perawat dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik tanpa dibayang-bayangi ketakutan akan proses hukum sebagai dampak
dari pertentangan yang terjadi.
2. Menyediakan pendidikan khusus untuk perawat yang akan melakukan promosi
kesehatan pencegahan HIV/AIDS.
Kedekatan masyarakat secara emosional kepada perawat akan sangat menguntungkan
perawat dalam melaksanakan edukasi. Saat perawat mengedukasi masyarakat,
perawat hendaknya telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang materi yang akan
disampaikan. Sehingga, saat masyarakat memiliki permasalahan terkait pencegahan
HIV/AIDS, masyarakat dapat berkonsultasi kepada perawat.
3. Menyediakan tunjangan khusus sebagai kompensasi adanya risiko akibat
berhubungan dengan penderita HIV/AIDS.
Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh perawat dalam melaksanakan
pencegahan HIV/AIDS dengan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat
menimbulkan risiko tersendiri bagi perawat. Risiko ini dapat muncul karena
penularan penyakit akibat interaksi secara langsung antara perawat dan masyarakat.
Risiko lain adalah adanya tuntutan hukum dari pasien yang merasa hak dan
kepentingannya terabaikan.

Dengan melihat risiko yang muncul, sangat layak jika perawat yang berperan sebagai
promosi kesehatan mendapat tunjangan khusus sebagai kompensasi adanya risiko akibat
berhubungan langsung dengan penderita HIV/AIDS. Harapannya semoga dengan makin
optimalnya peran perawat sebagai ujung tombak pencegahan HIV/AIDS, Indonesia akan
bebas dari HIV/AIDS pada 2030, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Nafsiah
Mboi pada Konferensi AIDS 2014 di Melbourne, Australia.

Anda mungkin juga menyukai