Anda di halaman 1dari 11

MENYATAKAN IMAN

DALAM KEPEDULIAN KASIH

Bahan pertemuan katekese Ajaran Sosial Gereja

Pengantar
Bahan ini adalah bahan katekese ajaran sosial Gereja, yang bisa digunakan di
lingkungan-lingkungan. Secara sengaja diambil dari keprihatinan sosial Gereja Katolik akhir-
akhir ini, agar kita pun bisa melihat apa yang dipikirkan, diprihatinkan, diajarkan dan
diupayakan Gereja dalam memberi sumbangan bagi kehidupan yang lebih baik.
Bahan ini hanya memuat bahan doa, renungan, dan pertanyaan untuk sharing atau
berbagi pengalaman. Lagu dan hal-hal lain yang dirasa perlu untuk mendukung berjalannya
pertemuan, silahkan diupayakan sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan
masing-masing. Yang lebih dipentingkan di sini bukan pengetahuan, tetapi lebih pada sharing
atau berbagi pengalaman. Maka, diharapkan anggota lingkungan bisa saling terbuka untuk
saling berbagi, mendengarkan, dan belajar satu sama lain.
Akan menjadi lebih baik kalau di pertemuan terakhir dipikirkan pula apa yang akan
menjadi wujud niat lingkungan, entah untuk mau saling peduli dan melayani yang
membutuhkan atau untuk membuat aksi bagi pelestarian lingkungan hidup.
Selamat saling mendalami bahan ini.
PERTEMUAN I
PANGGILAN KASIH

Pengantar
Paus Benediktus XVI dalam tulisannya Deus Caritas Est, menuliskan, “Jika hidup
saya sepenuhnya tidak mampu memperhatikan sesama, hanya secara eksklusif ingin menjadi
‘saleh’ dan hanya mau menjalani ‘kewajiban-kewajiban religius’ belaka, maka relasi saya
dengan Allah akan kering dan layu. Itu memang baik, tapi tanpa kasih. Hanya dalam
kesediaan untuk menjalin relasi dengan sesama dan menampakkan kasih kepada mereka kita
akan semakin peka akan Allah. Hanya jika saya melayani sesama mata ssaya dapat terbuka
akan apa yang Allah kerjakan dalam diri saya dan mengenali betapa Dia begitu mencintai
saya”. Maka lalu dilanjutkannya, “pembelaan terbaik akan Allah dan manusia terletak persis
di dalam kasih”.
Masyarakat kita tampak semakin terasa individualis, masing-masing cenderung
mengejar pamrihnya masing-masing, lalu kurang mau peduli dengan orang lain. Juga dalam
beragama, sering muncul saling menyalahkan, saling menganggap benar sendiri, lalu
fanatisme muncul di mana-mana. Sikap saling mau peduli, tepa selira, mau membantu satu
sama lain kadang lagi tidak tumbuh.
Dalam pertemuan ini kita mau mendalami salah satu pokok dari jatidiri kita sebagai
umat Katolik, pengikut Kristus. Panggilan kita untuk mencintai Allah tidak bisa dilepaskan
dri panggilan untuk mencintai sesama pula. “Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang
dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita
terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1 Yoh
4:20-21). Itulah panggilan kita: panggilan saling mengasihi.

Doa Pembukaan:
Ya Allah, Bapa kami, Engkau menghendaki agar kami peduli dan saling berbagi. Engkau
sendiri telah berbagi dengan kami, dengan mengutus Putra-Nya, Yesus, kepada kami, agar
hidup kami pun Engkau lengkapi dan sempurnakan. Kami mohon ajarkanlah kami agar mau
peduli dan berbagi, agar kami tidak hanya sibuk dengan urusan dan kepentingan diri kami
masing-masing, namun berani membagikan cintakasih Kristiani kepada siapa saja, sebab
Putra-Mu sendiri telah mengajarkan dan meneladankan hal itu kepada kami. Semua itu kami
haturkan kepada-Mu, dengan perantaraan Kristus Tuhan kami. Amin

Bacaan (Deus Caritas Est dari Paus Benediktus XVI (no 25))
“Sejauh ini dua fakta penting muncul dalam refleksi kita:
a) Hakekat terdalam Gereja terwujud dalam tiga bidang tugas: pewartaan sabda Allah
(kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia), dan pewujudan pelayanan
kasih (diakonia). Masing-masing tugas perutusan ini mengandaikan satu sama lain dan tidak
saling terpisahkan. Maka bagi Gereja, karitas bukanlah bentuk pelayanan sosial, yang dapat
dengan begitu saja dilalaikan demi yang lain, namun merupakan bagain dari hakekat dirinya,
ungkapan yang tak terpisahkan dari keberadaannya .
b) Gereja adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun boleh dibiarkan
hidup tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun secara bersamaan dengan itu
caritas- agape berkembang pun melampauai batas Gereja. Perumpamaan mengenai orang
Samaria yang murah hati tetap merupakan patokan yang mendorong diwujudkannya kasih
universal pada mereka yang membutuhkan, mereka yang kita temukan secara kebetulan (lih
Luk 10,31), siapapun dia. Tanpa dengan cara apapun menarik diri dari perintah cinta
universal ini, Gereja menyatakan tugasnya secara khusus: jangan sampai di dalam keluarga
Gereja ada orang yang mengalami penderitaan apapun juga. Ajaran dari surat Galatia secara
jelas menegaskannya, "Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita
berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman" (Gal
6,10).”
(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Bacaan Kitab Suci: Lukas 10:25-37


......

(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Sharing (berbagi pengalaman iman)

1. Mengapa kita kadang cenderung kurang mau peduli, sibuk dengan urusan dan
kepentingan sendiri, sehingga kurang mau menyapa dan berbagi?
2. Apa kiranya yang menyebabkan orang beragama kadang cenderung jauh tertutup,
fanatik, kurang mau terbuka dan membantu yang lain, tapi cenderung mencari
kesalahan yang lain?
3. Apa yang perlu kita buat supaya kita bisa semakin peduli, hidupnya seimbang antara
doa dan pelayanan, sehingga semakin bisa memberikan kesaksian kasih kepada
sesama di tengah masyarakat di sekitar kita?

Diakhiri dengan Bapa Kami

Doa Penutup
Ya Allah, kami bersyukur kepada-Mu, karena Engkau telah mengumpulkan kami di sini
untuk saling belajar dan mendengarkan. Engkau menghendaki agar kami terus-menerus
memperbaharui hidup kami dengan kesediaan untuk keluar dari diri sendiri, mau mengasihi
sesama kami, walaupun berbeda. Semoga kami pun semakin berani memberikan kesaksian
kasih di tengah masyarakat kami, sehingga nama-Mu semakin dipuji dan dimuliakan, kini
dan sepanjang segala masa. Amin
PERTEMUAN II
JANGAN BOROS, JANGAN MEMBUANG

Pengantar
Tidak jarang kita temui, orang gemar belanja banyak, walau sebenarnya apa yang
dibeli tidak sangat dibutuhkan, namun hanya ditumpuk begitu saja. Maka ada yang punya
sepatu, pakaian atau pula makanan begitu banyak, disimpan di lemari. Setelah dianggap
terlalu banyak, lalu disingkirkan atau dibuang, untuk lalu beli yang baru lagi. Kita lihat juga,
tidak sedikit orang mengambil makanan, namun akhirnya sebagian dibuang, karena tidak
habis dimakannya. Hidup jadi boros dan kita jadi senang membuang. Semua itu terjadi di
tengah kenyataan bahwa tidak sedikit orang kekurangan makan atau sandang.
Memang orang lebih senang memikirkan kebutuhan sendiri, tidak melihat dan
berpikir akan kekurangan orang lain. Hidup terpengaruh oleh iklan, lalu cenderung untuk
membeli dan membeli, belanja dan belanja. Penghasilan dihabiskan untuk konsumsi, namun
akibatnya biaya bagi pendidikan, peningkatan hidup atau kebutuhan-kebutuhan yang lebih
penting lainnya kurang diprioritaskan. Orang lain pun seakan kita singkirkan, karena tidak
kita pedulikan, kita abaikan. Ajaran Gereja mengatakan, bukan karena kekurangan sumber
daya dan sumber dana, namun lebih karena ada pembagian pendapatan dan konsumsi yang
tidak adil, itulah salah satu penyebab adanya kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Gereja mengajarkan agar kita berani hidup ‘secukupnya”, “sak madya”. Kita diajak
untuk berani memilih apa yang penting, apa yang berharga, apa yang berguna. Hidup yang
lebih sederhana, prasaja, berani menahan diri merupakan suatu kesaksian Kristiani yang
dibutuhkan di tengah dunia dewasa ini.

Doa pembukaan
Ya Allah, Bapa kami, Engkau mengutus Putra-Mu, Yesus Kristus, rela menjadi
miskin, agar dalam kemiskinan-Nya, Dia memperkaya hidup kami. Dengannya, Engkau
mengajarkan agar kami tidak hanya ingin memenuhi kebutuhan diri belaka, memuaskan
keinginan untuk mau belanja, akibatnya hidup jadi boros, dan membuang begitu saja apa
yang kami anggap sisa dan sudah tidak lagi dibutuhkan, karena kami lebih mau memikirkan
diri sendiri. Ajarilah kami agar kami berani hidup sederhana, tidak rakus, tidak pamer,
sehingga hidup kami tidak menjadi batu sandungan di tengah sesama kami yang banyak
masih miskin dan membutuhkan. Semua itu kami mohonkan kepada-Mu dengan perantaraan
Kristus, Tuhan dan pengantara kami.Amin.

Bacaan:
Evangelii Gaudium dari Paus Fransiskus (no 53)
Sebagaimana perintah “Jangan membunuh” menetapkan batasan jelas demi menjaga nilai
hidup manusia, saat ini kita juga harus mengatakan “jangan” pada ekonomi penyingkiran
dan ketidaksetaraan. Praktek ekonomi semacam itu membunuh. Bagaimana bisa terjadi
bahwa bukanlah suatu berita ketika seorang tunawisma tua meninggal, tetapi menjadi berita
ketika pasar saham turun 2 poin? Ini adalah soal pengecualian. Dapatkah kita terus bertahan
ketika makanan dibuang sementara orang kelaparan? Hal ini adalah masalah ketidaksetaraan.
Hari ini segala hal berada di bawah hukum kompetisi dan berjuang menjadi yang terkuat, di
mana yang semakin kuat menguasai yang semakin lemah. Akibatnya, sebagian besar
masyarakat menemukan diri mereka sendiri tersisih dan tersingkir: tanpa pekerjaan, tanpa
kemungkinan, tanpa sarana keluar dari itu semua.
Umat manusia sendiri dipandang sebagai barang konsumsi yang bisa dipakai dan kemudian
dibuang. Kita telah menciptakan budaya “sekali pakai, buang” yang sekarang sedang berlaku
di mana-mana. Hal ini tidak lagi melulu tentang eksploitasi dan penindasan, tetapi sesuatu
yang baru. Penyingkiran akhirnya terkait dengan apa artinya menjadi bagian dari masyarakat
tempat kita hidup; mereka yang disingkirkan tidak lagi menjadi bagian dari kelas bawah atau
masyarakat pinggiran atau yang tercabut haknya – malahan mereka tidak lagi menjadi bagian
dari masyatakat. Mereka yang disingkirkan tidak hanya “dieksploitasi”, tetapi juga menjadi
orang buangan, “sisa masyarakat”.

(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Bacaan Kitab Suci: 1 Yoh 3:11-18

(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Sharing (berbagi pengalaman)

1. Mengapa kita cenderung mudah boros, suka mengambil dan mengumpulkan banyak,
tidak berpikir pada kebutuhan orang lain, seakan-akan puas kalau punya banyak dan
mudah merasa kurang terus, akibatnya lalu banyak yang tidak mendapatkan?
2. Hidup sederhana tampaknya semakin menjadi sulit, karena gaya hidup pamer dan
belanja sudah semakin merasuk dan menyebar. Bagaimana kita bisa membangun
kesaksian hidup yang sederhana, prasaja, dan sak madya?
3. Bagaimana kita membangun hidup bersama yang tidak menyingkirkan atau
membuang sesama, sehingga berkuranglah kemiskinan dan ketidakadilan?

Bapa Kami

Doa penutup
Ya Allah, syukur kepada-Mu, karena lewat Putra-Mu, Yesus Kristus, Engkau
mengajarkan agar kami tidak hanya memikirkan diri sendiri saja, kebutuhan diri sendiri
belaka, namun mau pula memperhatikan sesama kami, terlebih mereka yang membutuhkan.
Tuhan kami Yesus Kristus mudah tergerak hati-Nya oleh belaskasihan, maka gerakkanlah
pula hati kami agar kami juga tergerak menyapa dan membantu mereka yang membutuhkan,
agar cintakasih Kristiani semakin merasuk dalam diri kami dan dalam masyarakat kami.
Semua ini kami haturkan dengan perantaraan Kristus, yang hidup dan meraja, kini dan
sepanjang segala masa. Amin.
PERTEMUAN III
GLOBALISASI KETIDAKPEDULIAN

Pengantar
Sesuatu yang tidak jarang kita temui di media atau kita lihat sendiri, saat ada orang
kesusahan atau menderita, ada saja orang yang tetap tenang, tidak terusik, berpesta atau enak-
enak dengan kesenangannya sendiri. Itulah sikap tidak peduli, tanda egoisme. Kalau ada
orang miskin atau menderita, mereka disalahkan, dianggap bodoh dan seakan dianggap
menganggu saja. Memang orang miskin, menderita dan kalah selalu dianggap salah dan
bodoh. Mereka adalah sampah masyarakat.
Paus Fransiskus lalu menyebut tentang gejala globalisasi ketidakpedulian.
Berkembang suatu sikap tidak peduli di seluruh dunia ini. Sikap ini menggambarkan suatu
cara pandang untuk merendahkan yang lain, sebab yang dipandang baik dan berharga adalah
sesuatu yang bisa mendatangkan keuntungan, sedangkan orang yang kalah dari persaingan
untuk mendapatkan keuntungan itu tidak dihargai, tidak dipedulikan. Kesusahan orang lain
tidak dipedulikan, tidak menggerakkan hati kita.
Yesus tergerak oleh belaskasihan ketika melihat penderitaan dan kesusahan orang
lain. Yesus tidak tinggal diam, senantiasa mau berbuat sesuatu untuk mereka. Menjadi murid-
murid Kristus tidak bisa menjadi orang yang tidak peduli, tidak tergerak oleh belaskasihan.
Saling membantu dan meringankan beban derita sesama, itu pun salah satu panggilan kita
menjadi umat Kristiani.

Doa pembukaan
Ya Allah, Bapa kami, ajarilah kami peduli, agar hati kami tidak tertutup dan buta akan
penderitaan serta kesusahan sesama. Buatlah hati kami menjadi seperti hati Yesus, Putra-Mu,
yang tergerak oleh belaskasihan melihat sesama, sehingga selalu mau membantu dan peduli.
Jangan biarkan hati kami hanya mau mencari untung dan senang sendiri belaka. Jadikanlah
hati kami menjadi baru, karena peduli dan mengasihi. Semua ini kami haturkan kepada-Mu,
dengan perantaraan Kristus, Tuhan dan pengantara kami, kini dan sepanjang segala masa.
Amin.

Bacaan
Evangelii Gaudium dari Paus Fransiskus no 54
Dalam konteks ini, beberapa orang terus mempertahankan teori “tetesan ke bawah” yang
beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi, yang didorong oleh pasar bebas, pasti akan
berhasil dalam menimbulkan keadilan dan plibatan semua di dunia. Pendapat ini, yang tidak
pernah dikuatkan oleh fakta-fakta, mengungkapkan kepercayaan mentah dan naif pada
kebaikan mereka yang memegang kekuatan ekonomi dan pada pekerjaan yang disakralkan
oleh sistem ekonomi yang berlaku. Sementara itu, orang-orang yang terbuang masih
menunggu. Untuk mempertahankan gaya hidup yang menyingkirkan sesama tersebut, atau
untuk mempertahankan antusiasme demi cita-cita egois itu, globalisasi ketidakpedulian telah
berkembang. Hampir tanpa menyadari hal tersebut, kita akhirnya tak mampu merasakan
belas kasihan kepada jeritan kaum papa, menangis untuk penderitaan sesama, dan merasa
perlu untuk membantu mereka, seolah-olah semua ini adalah tanggung jawab orang lain dan
bukan tanggung jawab diri kita sendiri. Budaya kesejahteraan membunuh kita; kita bergairah
ketika pasar menawarkan sesuatu yang baru untuk dibeli; dan pada saat yang sama, mereka
yang hidupnya terhambat karena kurangnya kesempatan tampak hanya sekedar sebagai
sebuah tontonan belaka; mereka tidak mampu menggerakkan kita.

(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Bacaan Kitab Suci: Mat 14:13-21


(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Sharing (pengalaman iman)

1. Mengapa orang miskin dan menderita sering dipersalahkan, dipandang sampah


masyarakat, sehingga orang bukannya cenderung membantu namun tidak
mempedulikan mereka?
2. Sikap tidak peduli, tidak merasakan belaskasihan atas kesulitan sesama, mengapa itu
mudah berkembang, apa yang salah dalam dunia kehidupan sekarang?
3. Bagaimana kita menanamkan sikap peduli, agar selalu memiliki hati yang tergerak
oleh belaskasihan seperti Tuhan Yesus, bagaimana Gereja bisa semakin menjadi
Gereja yang peduli dan mau berbagi?

Bapa Kami

Doa penutup
Ya Bapa, kami bersyukur kepada-Mu, karena Engkau memberikan Yesus Kristus
kepada kami, agar kami selalu mau belajar dari Dia, meneladan dan mengikuti-Nya. Engkau
telah menyatakan kepedulian-Mu kepada kami, maka jangan biarkan kami menjadi tidak
peduli kepada sesama kami, berilah kami hati Putra-Mu, hati yang mau berbagi, yang
tergerak oleh belaskasihan, agar kami semakin mau mengasihi siapa saja, terlebih mereka
yang membutuhkan dan menderita. Semua ini kami mohonkan kepada-Mu, dengan
perantaraan Kristus, yang hidup yang berkuasa kini dan sepanjang segala masa. Amin.

PERTEMUAN IV
MEMELIHARA KELESTARIAN LINGKUNGAN

Pengantar
Bumi makin panas. Demikian sering dikatakan. Lingkungan hidup makin rusak,
polusi makin parah, sampah tersebar di mana-mana. Polusi udara dan suara membuat udara
makin kotor pula. Tidak hanya itu, bencana yang sebenarnya bisa kita hindarkan, seperti
banjir, longsor atau kekeringan mudah terjadi di mana-mana. Bumi, dengan alam dan
satwanya, yang diciptakan Allah baik adanya, tampak semakin rusak, jauh dari baik. Kini
dunia yang rusak ini perlu dipulihkan, kelestarian alam perlu dijaga.
Kita mempunyai tanggungjawab atas kelangsungan bumi ini, demi anak-cucu kita,
agar mereka dapat hidup dalam dunia yang subur, indah, bersih dan hijau, sehingga dunia ini
layak dihuni. Kita tentu senang hidup kalau lingkungan alam kita ini subur dan hijau, kalau
udaranya bersih, kalau airnya sehat dan tidak ada polusi di lingkungan sekitar kita. Maka kita
perlu memulihkan alam ini agar kembali seperti dikehendaki Allah: baik adanya.
Tuhan Yesus datang untuk memulihkan dunia, agar kita hidup harmonis dengan alam
sekitar, dalam lingkungan kita. Dia menebus dunia, sehingga dunia ini pun menjadi
lingkungan yang sehat bagi kita semua, sehingga kita dapat hidup damai, sehat dan sejahtera
karena memiliki lingkungan yang sehat dan serasi.

Doa pembukaan
Ya Allah, Bapa kami, betapa kami hidup di tengah dunia yang sesak dan kotor. Maka
kami merindukan saat seperti ketika dunia Engkau ciptakan, bersih, subur, hijau dan indah.
Memang kami hanya bisa membangun hidup sehat, kalau kami memiliki lingkungan alam
yang sehat pula. Bantulah kami untuk membangun bumi ini agar kembali sehat, dan
melestarikan lingkungan alam yang indah, bersih, hijau dan subur. Semua ini kami sampaikan
kepada-Mu, dengan perantaraan Kristus, Tuhan kami. Amin

Bacaan
Laudato Si dari Paus Fransiskus no 5.
Santo Yohanes Paulus II sangat memberi perhatian akan persoalan lingkungan. Dalam
ensiklik pertamanya, dia memperingatkan bahwa umat manusia tampak sering “memandang
lingkungan alam tidak lain hanya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan sesaat dan
keperluan konsumsi belaka”. Oleh karena itu, kita memerlukan suatu pertobatan ekologis. Di
saat yang sama, dia mencatat bahwa hanya sedikit upaya dibuat untuk menjaga kondisi moral
bagi lingkungan hidup yang sejati. Kerusakan lingkungan hidup sudah sangat parah, tidak
hanya karena Allah telah mempercayakan dunia kepada kita, namun juga karena kehidupan
manusia itu sendiri adalah sebuah karunia yang perlu dijaga dari berbagai bentuk kehancuran.
Setiap usaha untuk untuk memelihara dan memulihkan dunia kita ini sangat membutuhkan
suatu perubahan gaya hidup, cara produksi dan konsumsi, dan juga perubahan struktur
kekuasaan yang menguasai masyarakat dewasa ini. Perkembangan hidup sejati memerlukan
suatu karakter moral. Hal itu mengandaikan adanya suatu penghargaan utuh akan pribadi
manusia, tetapi juga perhatian pada dunia di sekitar kita dan memperhitungkan alam masing-
masing dan keterkaitannya satu sama lain dalam tata bumi ini. Dengannya, diperlukan daya
kesediaan kita manusia untuk mengubah realitas agar semakin sesuai dengan karunia awal
Allah saat menciptakan semua ini.
(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Bacaan Kitab Suci: Kej 2:4-25


(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Sharing (pengalaman iman)

1. Mengapa kita sering kurang peduli dengan kelestarian alam kita, dengan buang
sampah sembarangan, tidak memelihara tanaman, membuat polusi di lingkungan kita,
padahal hidup kita sering diancam oleh bencana alam?
2. Apakah artinya kalau Gereja menyarankan agar kita mengubah gaya hidup, agar gaya
hidup kita lebih mau membangun alam ciptaan ini kembali menjadi sehat, bersih dan
indah, apakah yang pertama-tama perlu kita ubah?
3. Apa yang perlu kita usahakan agar lingkungan hidup kita kembali lestari dan hijau,
subur serta baik adanya, terlebih di lingkungan kita masing-masing, agar kita bisa
memberikan sumbangan bagi lingkungan yang sehat di wilayah kita?
Bapa Kami

Doa penutup
Ya Allah, seringkali tidak merasa bahwa lingkungan alam kita sedang mengalami
krisis, padahal kami sering mendengar, dan bahkan mengalami sendiri, bencana banjir,
kekeringan ataupun longsor, sungai-sungai kotor dan udara tidak bersih. Ajarilah kami agar
berkehendak untuk menjaga kelestarian alam ini, agar tetap sesuai dengan kehendak-Mu,
yang hidup dan berkuasa, kini dan sepanjang segala masa. Amin
PERTEMUAN V
MEMBANGUN BUDAYA BELASKASIH

Pengantar
Belaskasih adalah obat yang diperlukan di zaman ini. Demikian dikatakan Paus
Yohanes XXIII saat membuka Konsili Vatikan II (1962). Apa yang dikatakan Paus itu tetap
berlaku saat ini. Abad 21 adalah abad yang merindukan dan mengharapkan berkuasanya
belaskasihan, agar dunia ini semakin memiliki hati, semakin dibangun dalam cinta kasih
sejati, sehingga damai sejahtera dapat semakin terbangun di dunia ini.
Gereja sebenarnya dipanggil untuk mengikuti jejak Kristus, yang adalah wajah
belaskasih Allah. Gereja adalah sakramen belaskasih Allah tersebut dan menjadi saksi akan
belaskasihan Allah di dunia yang ditandai dengan pertentangan dan kekerasan ini. Maka kita
perlu membangun budaya belaskasih dalam diri kita masing-masing, dalam masyarakat,
Gereja dan dunia ini, agar kasih semakin meraja di mana-mana. Hanya dengan itulah maka
kita mewujudkan Kerajaan Allah, Kerajaan damai dan kasih di bumi ini.
Belaskasih ditandai dalam kesediaan untuk saling mengampuni, keberanian untuk
saling melayani satu sama lain. Belaskasih bukan terutama mau mengadili dan menghukum,
namun membangun jembatan yang menghubungkan agar kemudian relasi kita satu sama lain
dibangun, sehingga lalu kita bersama-sama merasakan dan mengalami kemurahan belakasih
Allah, yang telah dan akan selalu menebus dan mengasihi kita.

Doa pembukaan
Ya Allah, tidak jarang kami merasa diri lebih baik dari yang lain, lalu suka mengadili
dan mencari-cari kesalahan yang lain. Dalam semua itu kami tidak memiliki kasih, namun
menghukum, kami tidak membangun damai namun perpecahan, kami tidak mengampuni
namun menyingkirkan sesama kami. Hati kami lalu menjadi beku dan kaku, tidak ditandai
dengan belaskasihan. Ajarilah kami menjadi seperti Putra-Mu, Yesus Kristus, yang hati-Nya
penuh dengan belaskasihan, sebab Dialah, Tuhan kami, yang hidup dan berkuasa, kini dan
sepanjang segala masa. Amin

Bacaan
Misericordiae Vultus dari Paus Fransiskus
Dengan mata kita terarah kepada Yesus dan tatapan kasih-Nya, kita mengalami kasih
dari Tritunggal Mahakudus. Perutusan Yesus yang diterima dari Bapa itulah yang
menyingkapkan misteri kasih Ilahi dalam kepenuhannya. “Allah adalah kasih” (1 Yoh
4:8,16), Yohanes menegaskannya untuk pertama kali dan hanya ada di dalamnya pernyataan
itu dari keseluruhan Kitab Suci. Kasih tersebut kini terlihat dan tampak nyata dalam
keseluruhan hidup Yesus. Pribadi-Nya tiada lain hanya kasih, kasih yang diberikan secara
murah hati. Relasi yang dibangun-Nya dengan orang-orang yang mendekati-Nya
mengungkapkan sesuatu yang sepenuhnya unik dan tak terulangi. Tanda-tanda yang
dikerjakan-Nya, terlebih saat menghadapi mereka yang berdosa, miskin, tersingkir, sakit dan
menderita, semuanya dimaksudkan untuk mengajarkan tentang kemurahan hati. Segala yang
ada dalam diri-Nya berbicara tentang belaskasih.
Tak ada sesuatu dalam diri-Nya yang bertentangan dengan kemurahan hati. Yesus,
setelah melihat banyak orang yang mengikuti-Nya, melihat bahwa mereka itu lelah dan tak
berdaya, terlantar dan tanpa penuntun, maka Dia tergerak hati-Nya oleh belaskasihan kepada
mereka (lih Mat 9:36). Atas dasar belaskasihan tersebut Dia menyembuhkan orang sakit yang
datang kepada-Nya (lih Mat 14;14), dan hanya dengan sedikit potong roti dan ikan Dia
mengenyangkan banyak orang (lih Mat 15:37). Apa yang menggerakkan Yesus dalam semua
situasi tersebut tiada lain hanyalah karena belaskasih, dalam belaskasih tersebut Dia
mengenali hati mereka yang dijumpai dan menanggapi kebutuhan terdalam mereka. Ketika
Dia mendekati janda dari Nain yang mengiringi anaknya ke pemakaman, Dia tergerak hati-
Nya oleh belaskasihan, dan menyerahkan anaknya itu kepadanya dengan membangkitkannya
dari mati (lih Luk 7:15).

(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Kitab Suci: Luk 6:27-36

(hening sejenak...dibaca dan direnungkan sendiri-sendiri)

Sharing (pengalaman iman)


1. Apa yang melandasi belaskasih Yesus kepada mereka yang sakit, berdosa, lemah dan
membutuhkan, mengapa kita tidak mudah memiliki sikap seperti itu?
2. Mengapa dikatakan dunia sekarang lebih membutuhkan belaskasihan, padahal sikap
belaskasih kadang dianggap sikap lemah dan kalah, sehingga orang lebih suka dengan
balas dendam, merendahkan yang lain dan kekerasan?
3. Bagaimana membangun budaya belaskasih dalam diri pribadi, keluarga dan
masyarakat, bagaimana pula Gereja semakin hadir sebagai Gereja yang
berbelaskasihan?
Bapa Kami

Doa penutup
Ya Allah, ajarilah kami berbelaskasih, agar kami sanggup menjadi saksi belaskasihan-
Mu dan membangun Gereja kami sebagai Gereja belaskasih. Sebab memang hanya karena
Engkau berbelaskasih kepada kami, maka Engkau memulihkan hidup kami dan menjadikan
kami sanggup memiliki hidup baru. Maka ajarilah kami berbelaskasih, agar kami pun ikut
bersama Putra-Mu, membangun hidup baru di dunia ini, sebab Dialah, yang hidup dan
berkuasa, kini dan sepanjang segala masa. Amin

Anda mungkin juga menyukai