Anda di halaman 1dari 3

Anda juga bisa ikut ambil peran dalam penyebaran pengetahuan bebas.

Mari bergabung dengan sukarelawan


Wikipedia bahasa Indonesia!

Kerusuhan Mei 1998


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jump to navigationJump to search

Kerusuhan Mei 1998

Bagian dari Kejatuhan Soeharto

Orang-orang yang menjarah toko etnis Tionghoa pada tanggal

14 Mei

Tanggal 4–8 dan 12–15 Mei 1998

Lokasi Kerusuhan utama terjadi di Medan, Jakarta,

dan Surakarta.

Sebab Kritik terhadap pemerintah Orde Baru, dan

keruntuhan ekonomi akibat dari krisis finansial

Asia 1997.

Hasil Pengunduran diri Presiden Soeharto dan

pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan di

bawah pimpinan B. J. Habibie

Medan
Jakarta
Surakarta
Peta lokasi kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi
di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di
beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi
Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam
demonstrasi 12 Mei 1998. Dan penurunan jabatan Presiden Soeharto

Daftar isi

 1Kerusuhan
 2Pengusutan dan penyelidikan
o 2.1Penuntutan Amendemen KUHP
 3Lihat pula
 4Rujukan
 5Pranala luar

Kerusuhan[sunting | sunting sumber]


Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa—terutama milik
warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta,
Medan dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan
mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa
beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak
warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang
aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita
Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa,
dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam
Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka
toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Sebagian masyarakat
mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9
November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan
berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh
benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun
terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah
mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan
atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai
hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini
merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama
pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang
Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa
yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan
tertentu hingga menyebar ke masyarakat.

Pengusutan dan penyelidikan[sunting | sunting sumber]


Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk
menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan
TGPF" [4]
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF
menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatar
belakang militer[5]. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangab saat itu (Wiranto) dan Pangdam
Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam
provokasi kerusuhan ini[6][7][8].
Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1
Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.[9]
Penuntutan Amendemen KUHP[sunting | sunting sumber]
Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta supaya
dilakukan amendemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Andy, Kitab UU
Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke
alat kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi
sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998),
disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam, anal, dan oral. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut
belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.[10]

Anda mungkin juga menyukai