Anda di halaman 1dari 16

ASAL MULA NAMA INDONESIA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah

Pendidikan kewarganegaraan

Oleh :

Ajrin Bagus Nugraha (17734050)

Dosen :

Bpk. Darmansif Nur, SH., MH

YAYASAN PERSADA BUNDA

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

Maret 2018
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 3

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................................. 4

A. Rumusan Masalah ............................................................................................ 6

B. Tujuan Penulisan Makalah............................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 7

A. Sejarah nama Indonesia ................................................................................... 7

B. Asal Mula Nama Indonesia.............................................................................. 8

C. Politik ............................................................................................................. 11

BAB III PENUTUPAN ......................................................................................... 14

A. Kesimpulan .................................................................................................... 14

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 16


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa atas

rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu,

yang berjudul“ ASAL MULA NAMA INDONESIA ” .

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu mata

kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di semester 2. Tulisan ini akan membahas

bagaimana nama Indonesia ditemukan lalu faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi terciptanya nama Indonesia sehingga menjadikan nama Indonesia

sebagai simbol negara hingga dikenal sampai saat ini. Untuk mengetahui itu

semua, penulis akan menjabarkan dan merunut ke akar sejarah di masa lampau.

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Darmansif Nur, S.H., M.H

sebagai dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan karena

berkat arahan dan juga materi yang disampaikan oleh beliau, makalah ini dapat

terlaksana dengan baik. Terima kasih juga penulis ucapkan atas dukungan rekan-

rekan mahasiswa yang telah mendukung dan memberi masukan terhadap tulisan

ini, kalian luar biasa.

Pekanbaru, Maret 2018

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nama suatu negara pasti mempunyai sejarah dan asal mula bagaimana
nama tersebut dilahirkan. Begitu pula negara Indonesia, nama Indonesia tidak
tercetus begitu saja, nama Indonesia mempunyai cerita di masa lalu yang perlu
diketahui. Mengingat bangsa Indonesia yang mempunyai cerita historis yang
tinggi.

Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam
catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai dengan sebutan
Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India juga
pernah menamai kepulauan ini dengan sebutan Dwipantara (Kepulauan Tanah
Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara
(luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan
pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke
Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan
Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab
luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan
dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera.
Sampai hari ini jemaah haji Indonesia masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang
Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga
dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau
itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Berbagai nama di gunakan untuk menyebut tanah air kita, dari berbagai
macam nama pada zaman purba. Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi
yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan
pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia
Timur). Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama
samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan
kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (
Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer. Pada tahun
1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950), yang dikenal
sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama
untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada
lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.
Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang
ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes
dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan


pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, nusantara
digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa
Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (pulau Jawa).
Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun
amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati
istirahat)

Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi


jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu
asli antara, maka Nusantara memiliki arti yang baru yaitu, “nusa diantara dua
benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara
yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer
penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah
tanah air dari Sabang sampai Merauke.

Dari berbagai macam nama Indonesia yang pernah di sebutkan, munculah


nama Indonesia. Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah
tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA). majalah
tersebut merupakam awal munculnya nama Indonesia. Dari latar belakang
tersebut, disusunlah makalah yang bejudul Asal Mula Nama Indonesia.

A. Rumusan Masalah
Makalah ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana sejarah nama Indonesia?


2. Bagaimana asal mula nama Indonesia?
3. Apa makna politis nama Indonesia?

B. Tujuan Penulisan Makalah

Makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut.

1. Mengetahui bagaimana sejarah nama Indonesia.


2. Mengetahui asal mula nama Indonesia.
3. Mengetahui makna politis nama Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah nama Indonesia

Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan
aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-
hai (“Kepulauan Laut Selatan”). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai
kepulauan ini Dwipantara (“Kepulauan Tanah Seberang”), nama yang diturunkan
dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana
karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang
diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (“Pulau Emas”, diperkirakan Pulau
Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan
Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab,
luban jawi (“kemenyan Jawa”), sebab para pedagang Arab memperoleh
kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di
Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji Indonesia masih sering dipanggil “orang
Jawa” oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun.
Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis
(Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi (“semuanya
Jawa”).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang
terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia
Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia
Belakang”, sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia
(Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau Hindia Timur
(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai
adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel
Malais).

Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi
Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945
memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di
kepulauan ini.

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran


Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan
Indonesia, yaitu “Insulinde”, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (dalam
bahasa Latin “insula” berarti pulau). Nama “Insulinde” ini selanjutnya kurang
populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di
awal abad ke-20.

B. Asal Mula Nama Indonesia

Asal-usul nama Indonesia mulai dikenal pada medio tahun 1800-an. Menurut
sejarawan Universitas Oxford, Peter Carey, nama Indonesia muncul dan
diperkenalkan James Richardson Logan (1819-1869).

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of
the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: “Jurnal Kepulauan Hindia
dan Asia Timur”), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869),
seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh.
Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel
Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the
Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations
(“Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan
Melayu-Polinesia”). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba
saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki
nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering
rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama:
Indunesia atau Malayunesia (“nesos” dalam bahasa Yunani berarti “pulau”). Pada
halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa
Inggris):

“… Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan


menjadi “Orang Indunesia” atau “Orang Malayunesia”".

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu)


daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras
Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka
saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl
berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam
tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai
istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan
menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (“Etnologi dari
Kepulauan Hindia”). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya
nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago
(“Kepulauan Hindia”) terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian
memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan
huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama
kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam
tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):

“Mr Earl menyarankan istilah etnografi “Indunesian”, tetapi menolaknya dan


mendukung “Malayunesian”. Saya lebih suka istilah geografis murni
“Indonesia”, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia
atau Kepulauan Hindia”
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” sepertinya Logan tidak menyadari bahwa
di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara
konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan
lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang
etnologi dan geografi.

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf
Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des
Malayischen Archipel (“Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”)
sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di
kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang
memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat
timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang
tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië
tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari
tulisan-tulisan Logan.

Bangsa Eropa mengenal dua wilayah Hindia, yakni Hindia-Barat, yaitu wilayah
Kepulauan Karibia yang ditemukan Christopher Columbus yang semula diyakini
sebagai wilayah Hindia (India) atau pusat rempah-rempah yang dicari orang
Eropa. Sesudah ekspedisi Vasco da Gama dan Magellan, ditemukanlah Hindia
Timur, yakni Kepulauan Nusantara, yang merupakan pusat rempah-rempah yang
selama berabad-abad dicari orang Eropa. Wilayah Nusantara tersebut merupakan
persimpangan peradaban dan pengaruh budaya India dan Tiongkok sehingga
ilmuwan Perancis, Dennis Lombard, menyebutnya sebagai carrefour de
civilization atau silang budaya.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi


Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan sebuah biro pers dengan
nama Indonesische Pers-bureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk
“Indonesia”) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (“Hindia”) oleh Prof
Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (“pribumi”)
diganti dengan Indonesiër (“orang Indonesia”).

C. Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu
identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya,
pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan
Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan
mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama
Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau
Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang


akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia-
Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan
dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan
politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu
tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia
(Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk
kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di
tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.
Adapun kelahiran Indische Partij dan kemunculan gerakan Sarikat Islam (SI) oleh
HOS Tjokroaminoto dan kawan-kawan pada zaman Gubernur Jenderal Idenburg
memicu pergerakan kebangsaan lebih lanjut oleh para pemuda yang mengalami
banyak tekanan.

Pada saat yang sama, krisis ekonomi global melanda dunia dan memukul Hindia-
Belanda yang ekonominya mengandalkan ekspor komoditas, seperti gula dan
berbagai bahan mentah. Pemanasan menjelang Sumpah Pemuda dimulai ketika
tahun 1927, WR Supratman dan Yo Kim Tjan, pemilik Toko Musik Popular di
Pasar Baru, berkolaborasi merekam lagu Indonesia Raya yang kemudian
digandakan di Inggris. Selanjutnya, pada 1928, para pemuda membuka Kongres
Pemuda II di lahan Jong Katoliek Bond di Kompleks Katedral dan ditutup di
rumah Sie Kong Liong di Jalan Kramat Raya 106, yang kini menjadi Museum
Sumpah Pemuda. Pemuda, seperti Mohammad Yamin, Amir Sjarifoeddin, dan
Asaat, yang kelak menjadi pejabat presiden RI, pernah indekos di rumah Sie Kong
Liong yang menyokong gerakan para pemuda hingga akhirnya nama “Indonesia”
dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-
Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan
Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen
Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan
Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar
nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”.
Permohonan ini ditolak. Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942,
lenyaplah nama “Hindia-Belanda”. Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul
deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

Di sisi yang lain, penulis buku Perang Napoleon di Jawa, 1811, Jean Rocher yang
lulusan Akademi Militer Saint Cyr dan fasih berbahasa Indonesia mengatakan,
reformasi politik pertama pada zaman penjajahan Belanda dilakukan oleh tokoh
yang tak populer dalam sejarah Indonesia, yakni Herman Willem Daendels.
Daendels memecat birokrat korup dan mencabut hak-hak bangsawan lokal yang
berlebihan serta menjalankan efisiensi pemerintahan. Sejarah menempatkan
Daendels pada posisi antagonis.

Mengenai pertumbuhan dan kesadaran politik, Peter Carey menjelaskan, Hindia-


Belanda jauh tertinggal dibandingkan dengan Filipina yang merupakan jajahan
Amerika Serikat dan India yang merupakan jajahan Inggris. Kesadaran untuk
mempersiapkan kemerdekaan negeri jajahan sudah disadari pihak AS dan Inggris.
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Nama suatu negara pasti mempunyai sejarah dan asal mula bagaimana nama
tersebut dilahirkan. Begitu pula negara Indonesia, nama Indonesia tidak tercetus
begitu saja, nama Inonesia mempunyai cerita di masa lalu yang perlu diketahui.
Mengingat bangsa Indonesia yang mempunyai cerita historis yang tinggi.

Pada zaman purba, kepulauan tanah air Indonesia disebut dengan beraneka ragam
nama seperti, Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan Indonesia sebagai
Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa), kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut
kawasan Indonesia sebagai Nan-hai (“Kepulauan Laut Selatan”), berbagai catatan
kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (“Kepulauan Tanah
Seberang”), Eduard Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan
Indonesia, yaitu “Insulinde”, yang artinya juga “Kepulauan Hindia”, dan sebutan
nusantara yang dikenalkan oleh Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli).

Sekitar tahun 1847 di Singapura, terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of
the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: “Jurnal Kepulauan Hindia
dan Asia Timur”) yang dikelola oleh James Richardson Logan dan redaksinya
George Samuel Windsor Earl. Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, Earl menulis
artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-
Polynesian Nations (“Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua,
Australia dan Melayu-Polinesia”). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa
sudah saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk
memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan
sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan
nama: Indunesia atau Malayunesia. Earl memilih nama Malayunesia untuk
menyebut Bangsa Indonesia karena Malayunesia tepat untuk ras melayu, dan
bahasa melayu digunakan diseluruh kepulauan ini. Earl juga menggunakan nama
Malayunesia dalam jurnalnya.

Dalam artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (“Etnologi dari Kepulauan
Hindia”) yang ditulis oleh James Richardson Logan, menyatakan bahwa istilah
Indian Archipelago (“Kepulauan Hindia”) terlalu panjang dan membingungkan.
Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u
digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah
Indonesia.

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu
identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya,
pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan
Logan itu.

Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk
kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di
tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama
“Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada
Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini
dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Daftar Pustaka

http://aritmaxx.wordpress.com/2011/06/23/asal-usul-nama-indonesia/

http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=2368

http://wihans.info/blog/sejarah-dan-asal-usul-nama-indonesia

http://artikel-populer.blogspot.com/2012/03/asal-mula-nama-indonesia.html

https://nasional.kompas.com/read/2015/10/29/18000081/Asal-
usul.Nama.Indonesia?page=all.

Anda mungkin juga menyukai