Hukum Lingkungan Siska

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

Bab VII Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia Melalui Peningkatan Kesadaran Hukum dan

Lingkungan Penegakan hukum lingkungan di Indonesia dalam tulisan ini mencakup penataan dan
penindakan (compliance and enforcement yang meliputi bidang hukum administrasi negara,
bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana. Pengertian peningkatan kesadaran masyarakat
mencakup kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi dan pendidikan baik formal maupun
nonformal tentang hukum dan lingkungan. Pendekatan yang penulis lakukan untuk memaparkan
sistem penegakan hukum lingkungan demikian adalah pendekatan yang melibatkan berbagai
disiplin ilmu, baik non hukum maupun hukum dalam sistem hukum lingkungan Indonesia
berdasarkan UULH-82.

Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional tahun 1972 di
Unpad yang bekerja sama dengan Bapenas telah mengawali konsep pembangunan Indonesia yang
berwawasan lingkungan (ecodevelopmen). Perkembangan baru ini juga membawa pengaruh pada
pengaturan hukum lingkungan yang konsep dasarnya juga pada prinsip-prinsip lingkungan
(ekosistem) Di samping pengaruhnya pada konsep pembangunan dengan masuknya pertimbangan
lingkungan dalam setiap keputusan rencana pembangunan, juga membawa pengaruh pada konsep
pendidikan tinggi dalam pengembangan PIP (Pola miah Pokok) Unpad, yaitu Bina Mulia Hukum
dan Lingkungan Hidup, dan bersamaan dengan itu terbentuk pula Lembaga Ekologi Unpad, suatu
lembaga yang membicarakan konsep konsep pembangunan dan gagasan akademis yang
mendukung konsep tersebut. Lembaga Ekologi Unpad telah menjadi salah satu mitra kerja Kantor
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, pada tahun 1978 (sekarang
disebut Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup) Dengan berlakunya
Undang-undang Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982, selanjutnya disebut UULH-82, perhatian
dan kesadaran lingkungan berdasarkan hukum yang berlaku meningkat. Hal ini diperlihatkan oleh
pemberitaan yang luas di media massa tentang masalah lingkungan di Indonesia. Hampir setiap
hari terdapat berita tentang masalah atau kasus lingkungan. Bahkan, beberapa kasus telah diajukan
ke pengadilan dan disidangkan. Apabila pemberitaan media massa tentang masalah yang
dipersoalkan memperhatikan argumentasi yang dikemukakan pelbagai pihak atas pokok gugatan
dan sanggahan, alat bukti dan keterangan saksi, serta hasil penelitian yang dijadikan bahan bukti
atau

pertimbangan hakim, terdapat keanekaragaman pendapat yang tidak berdasarkan pemahaman


yang baik atas UULH-82 dan ketentuan perundang-undangan yang terkait. Keadaan ini dapat
menyebabkan UULH-82 dengan ketentuan hukum yang menyertainya menjadi tidak efektif dan
ditafsirkan lain dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang sendiri. Salah satu upaya
untuk mengatasi hal tersebut, antara lain, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
pendidikan dan pelatihan singkat bagi para penegak hukum dan aparatur pemerintah yang akan
melaksanakan undang-undang ini, anggota masyarakat yang tugas pokoknya di bidang hukum
Sebagai bidang hukum yang baru, yang asas dan sistemnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan,
penyebarluasan dan pengembangannya harus dilakukan secara sistematis pula disertai dengan
pengetahuan dasar tentang prinsip-prinsip ekologi Masalah hukum yang dijadikan pokok
perdebatan pada umumnya menyangkut ius standi, masalah pembuktian, asas ganti rugi,
pemulihan lingkungan, pidana lingkungan, kesaksian ahli, peranan lab dan metode analisis
pencemar untuk menetapkan ada tidaknya pencemaran dalam arti hukum dan pertimbangan yang
didasarkan pada perkembagangan ilmu dan teknologi, dan lain sebagainya. Masalah ini tidak saja
menjadi pokok perdebatan yang menarik di kalangan ahli hukum lingkungan (di luar maupun
dalam negeri), tetapi juga telah mempengaruhi secara mendasar konsep hukum yang berlaku.
Dalam perkembangan baru ini yang penting dikemukakan dalam kaitannya dengan pembentukan
hukum lingkungan nasional ialah peranan hakim untuk melakukan pembaharuan hukum, melalui
penafsiran

hukum, pengembangan doktrin sebagai sumber hukum baru, peran serta masyarakat sebagai
refleksi kesadaran hukum masyarakat, terutama untuk mengatasi kelam- banan pembetukan
hukum baru melalui perundang undangan. Pembentukan hukum lingkungan baru yang demikian
akan diuraikan melalui beberapa putusan hakim (baik nasional maupun hakum asing) yang mem
pengaruhi perkembangan hukum lingkungan nasional sebagai salah satu bentuk perkembangan
dari konsep penegakan hukum lingkungan Indonesia, ialah hak menggugat dari masyarakat (ius
standi) dalam perkara lingkungan (standing to sue) Masalah ius standi atau lazim pula disebut
sebagai standing to sue di negara-negara common law system merupakan salah satu pokok
perdebatan yang mempengaruhi tata peradilan (court system) di bidang hukum lingkungan. Kasus
Sierra Club v. Morton (SC. USA, 1972) merupakan salah satu kasus penting yang banyak dibahas
karena mempersoalkan keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM Lingkungan). Yang
dipersoalkan di sini apakah suatu organisasi yang kegiatannya bertujuan melindungi lingkungan
dapat memiliki ius standi atau tidak. Secara garis besar kasus ini dapat diterangkan sebagai
berikut. Dinas Kehutanan Amerika Serikat yang tugasnya mengelola dan berwenang memberikan
izin kegiatan di kawasan hutan, melihat potensi daerah The Mineral King Valley suatu daerah
yang indah terletak di Sierra Nevada Mountain Kabupaten Tulane, California, yang letaknya
berdekatan pula dengan Sequoia National Park sangat baik untuk tempat rekreasi. Sebenarnya,
pada tahun 1926 daerah ini telah ditetapkan sebagai national game refugee berdasarkan Special
Act of Congress. Meskipun sebelumnya daerah The Mineral King Valley ini

merupakan daerah pertambangan ekstensif, telah lama kawasan ini dijadikan daerah wisata.
Karena kurangnya fasilitas yang tersedia bagi kegiatan rekreasi, jumlah pengunjung makin
berkurang dari waktu ke waktu Gagasan untuk membangun fasilitas rekreasi dilatar belakangi pula
oleh minat yang terus meningkat di bidang olah raga ski. Kemudian pada tahun 1965, prospektus
diedarkan serta para developer swasta diundang untuk mengajukan usulan (bids) membawa
berbagai untuk ski termasuk berbagai bangunan pendukung bagi fasilitas rekreasi musim panas
Walt Disney Enterprises Inc. yang memenangkan tawaran (bid ini diberi izin tiga tahun
mengadakan survey dan eksplorasi untuk menyusun master plan pemba ngunannya. Rancangan
Final Walt Disney disetujui pada tahun 1969, dan diperkirakan akan menelan biaya sekitar 35 juta
dolar Amerika untuk pembangunan daerah motels, restoran, kolam renang, tempat parkir, serta
pemba- ngunan lainnya sehingga kompleks ini dapat menampung 14.000 tamu setiap hari.
Konstruksi bangunan akan memerlukan tanah seluas 80 ha di lembah ini, dengan hak pakai (use
permi) selama 30 tahun dari Dinas Kehutanan. Berdekatan dengan daerah ini akan dibangun pula
konstruksi lain yang diperlukan untuk fasilitas ski, seperti rel ski, a cog-assited railway, serta
instalasi lainnya Bangunan ini berada di daerah lembah Mineral King. Untuk melengkapi daerah
ini dengan fasilitas jalan keluar (access read), Negara Bagian Kalifomia membangun pula jalan tol
(highway) sepanjang 20 mil yang letaknya melintasi daerah Taman Negara Sequoia (Sequoia
National Park dengan tiang pancang untuk kabel listrik tegangan tinggi. Kedua kegiatan terakhir
memerlukan izin dari Departemen Dalam Negeri

Semua kegiatan di atas dipantau dengan cermat Sierra Club, suatu LSM terkenal di Amerika
Serikat. Sejak rencana ini di buat pada tahun 1965, Sierra Club tidak melihat adanya proses public
hearing. Surat menyurat mereka dengan Dinas Kehutanan dan Departemen Dalam Negeri tentang
keberatan atas rencana ini keseluruhan dan hal-hal tertentu dari proyek, ternyata tidak membawa
hasil. Atas dasar ini, pada tahun 1969 Sierra mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri antara
lain, menyatakan keberatan atas berbagai usul pembangunan yang dianggap bertentangan dengan
undang-undang federal dan peraturan yang bertalian dengan the preservation of national parks,
forests, and game refuges, juga menuntut diambilnya suatu keputusan sela, yang menolak pejabat
federal memberikan persetujuan atas usulan dan dikeluarkannya izin proyek Mineral King, Sierra
Club menggugat atas alasan bahwa organisasi ini sebagai badan hukum mempunyai A special
interest in the conservation and the sound maintenance of the national parks, game refugees and
forests of the country. Dalam sidang pertama di pengadilan negeri, permohonan penggugat
terhadap putusan sela dikabulkan dan tidak menyetujui dalil tergugat bahwa Sierra Club tidak
mempunyai standing to sue. Kemudian tergugat mengajukan banding pada pengadilan banding
Sebaliknya, pengadilan banding dalam putusannya justru menolak ius standi dari penggugat,
Sierra Club, yang antara lain menyatakan bahwa: No allegation in the complaint that members of
the Sierra Club would be actions of (the respondents) other than the fact that the actions are
personally displeasing or distasteful to them,

Selanjutnya mengatakan We do not believe such club concern without a showing of more direct
interest can constitute standing in the legal sense sufficient to challenge the exercise of
responsibilities on behalf of all the citizens by two cabinet level officials of the government acting
under Congressional and Constitutional authority Berdasarkan pemyataan di atas, pengadilan
banding berpendapat bahwa: The Sierra Club had not made an adequate showing of irreparable
injury and likehood of success on the merits to justify issuance of a preliminary injunction.
Dengan demikian putusan sela dibatalkan Dengan uraian di atas, persoalan pokok yang akan
dijawab ialah tentang apakah Sierra Club mempunyai hak menuntut di pengadilan atau tidak?
Gugatan Sierra Club didasarkan pada $10 of the Administrative Procedure Act (APA), 5 USCA
$702 yang menyatakan bahwa: A person suffering legal wrong because of agency action,
adversely affected or aggrieved by agency action within the meaning of a relevant statue, is
entitled to judicial review thereof Terhadap ketentuan ini, beberapa putusan terdahulu telah
memberikan interpretasi yang tidak seragam dalam rumusan legal interest dan legal wrong. kasus
Association of Data Processing Service Organization Inc. versus Camp diambil keputusan yang
menetapkan gugat orang mempunyai standing untuk meng- pemerintah (agency) di pengadilan
injury in fact atas apabila tindakannya menyebabkan terhadap kepentingan yang berada dalam

lingkup zone of interest si penggugat yang dilindungi oleh undang-undang. Kasus-kasus di atas,
seperti halnya Data Processing atau Barlow telah menampilkan serangkaian pertanyaan tentang
apa yang harus dijadikan dasar tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang tidak bersifat ekonomis
yang dimiliki oleh banyak orang (noneconomic nature to interest that are widely shared
Kecenderungan penyelesaian kasus-kasus yang ber- dasarkan APA dan statuta telah memberikan
wewenang menggugat aparat federal dan telah mengakui teori bahwa pokok gugatan tidak lagi
terbatas pada kerugian ekonomis (economic injury). Karena itu, dalam kasus Data Processing
(USA), misalnya, gugatannya dapat meliputi: aspek aesthetic, conservational, and recretional as
well as economic value. Bahkan, dalam beberapa putusan pengadilan telah dapat diperlihatkan
kesediaan untuk menerima teori bahwa organisasi dapat memiliki standing apabila ia
memperlihatkan an organizational interest in the problem of environmental or consumer protection
(lihat environmental Defense Fund Hardin) Penulis katakan dapat karena dengan adanya interest
in a problem saja belum merupakan adversely affected atau aggrieved menurut APA, USA.
Meskipun kasus LSM Lingkungan dalam perkara Sierra Club v. Morton dianggap suatu putusan
yang negatif dalam masalah doktrin ius ini menjadi pokok perdebatan yang luas dan mendalam di
kalangan akademis dalam perkembangan hukum lingkungan di perguruan tinggi. Karena itu, teori
tentang salah satu topik pembahasan yang penting Terhadap kasus di atas terdapat berbagai
komentar yang penting. Dalam komentar secara terpisah, hakim Brennan dan hakim Blackmun
masing-masing sampai pada kesimpulan meskipun dengan argumentasi dan

dasar teori yang berbeda. Dapat disimpulkan bahwa LSM Lingkungan seperti Sierra Club
mempunyai ius standi. Sebagai suatu organisai non-profit, Sierra Club sebagai badan hukum yang
berkedudukan di San Fransisco, California, sejak 1892, dengan kegiatan (a special interest di
bidang konservasi dan pertamanan (national parks), game refuges dan hutan lindung negara telah
mengajukan keberatan atas pembangunan Taman Rekreasi Disneyland oleh Walt Disney
Enterprises Inc. Dikemukakan, antara lain, bahwa pembangunan ini akan menyebabkan Would
destroy or otherwise adversely affect the scenery, natural and historic objects and wildlife of the
park and would impair the enjoyment of the park for the future generations. Hal ini dikategorikan
banyak pengamat hukum dan lingkungan sebagai an organizational interst in the problem of
environmental protection Di dalam mengomentari kasus ini secara pribadi (dissenting), hakim
Blackmun mengatakan, antara lain: Bilamana kita menghargai lingkungan hidup dan mengetahui
ada ancaman, bahaya, dan perburukan yang akan mengakibatkan kerusakan ekologis, patut
dipertanyakan Must our law be so rigid and our procedural concepts so inflexible that the render
ourselves helpless when the existing methods and the traditional concepts do not quite fit and do
not prove to be entirely adequate for new issues. Teori tentang ius stand dari suatu LSM
Lingkungan di Indonesia dalam masalah lingkungan juga mendapat perhatian yang besar dan
cenderung meningkat pada akhir-akhir ini. Perkembangan ini dicatat sebagai suatu hal yang
menarik dan patut diperhatikan bagi perkem-

bangan hukum nasional Indonesia di masa yang akan datang. Untuk kepentingan analisis masalah
konkret kasus lingkungan di Indonesia, di bawah ini disajikan beberapa bagian dari argumentasi
hukum keputusan hakim tentang Kasus LSM Indonesia v. Pemerintah (bukan nama sebenamya)
Persyaratan formal dalam perdata adalah keharusan adanya kepentingan hukum (rechtsbelangen)
bagi seseorang untuk mengajukan gugatan, sebagaimana yang telah digariskan dalam doktrin ilmu
hukum sehingga Mr. C. Starbussman mengisyaratkan bahwa hanya tuntutan hak yang mempunyai
kepentingan hukum diterima oleh pengadilan (vide buku beliau yang berjudul Hoofdstukken van
Burgerlijke Rechtsvordering, penerbit De Erven F. Bohn NV. Haarlem, 1948) Pokok pemikiran
yang demikian menimbulkan ungkapan hukum yang tidak asing lagi dalam hukum acara perdata,
yaitu Tiada gugatan dalam kepentingan hukum. Dalam pertimbangan majelis menurut hemat
majelis yang harus dikaji lebih lanjut, khususnya dalam perkara ini, ialah kepentingan penggugat
dalam mengajukan gugatan ini Atas kualitas apakah penggugat bertindak dan untuk
mempertahankan hak mengajukan gugatan ini? Bertitik tolak dari isi surat gugatan penggugat,
jelaslah bahwa penggugat menggugat para tergugat I s d V a dasar dalil-dalilnya bahwa para
tergugat tidak mengindahkan ketentuan ketentuan dalam Undang- Nomor 4 tahun. 1982 tentang
Ketentuan ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup di surat-surat keputusan atau
memberikan ersetujuan bagi pembangunan pabrik milik tergugat VI,

dan pihak tergugat VI telah melaksanakan keputusan keputusan dari tergugat I s.d. V tersebut.
Keputusan keputusan itu bertentangan dengan Undang-undang No. 4 tahun 1982 dihubungkan
dengan 39 Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan. Karena itu, pokok persengketaan dalam perkara ini adalah mengenai penerbitan
keputusan-keputusan penguasa (pemerintah) dan pelaksanaannya yang menyangkut masalah
lingkungan hidup, dengan berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1982 dan Peraturan
Pemerintah No. 29 tahun 1986 tersebut. Dalam penjelasan Umum Undang-undang tahun 1982
tersebut telah disebutkan pada pokoknya bahwa terpeliharanya lingkungan hidup Indonesia
sebagai suatu ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggung jawab yang menuntut peran
serta setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Secara tegas dalam
Pasal 5 Undang-undang No. 4 tahun 1982 disebutkan bahwa: (1) Setiap orang mempunyai hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; (2) Setiap orang berkewajiban memelihara ling-
kungan hidup dan mencegah serta menang gulangi kerusakan dan pencemarannya Selanjutnya,
Pasal 6 menentukan bahwa: (1) Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta
dalam rangka penge-lolaan lingkungan hidup (2) Peran serta sebagaimana tersebut dalam ayat (1)
pasal ini diatur dengan peraturan perundang- undangan

Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah orang
seorang kelompok orang, atau badan hukum. Penjelasan ayat (2) menyatakan bahwa kewajiban
setiap orang sebagaimana tersebut didalam ayat ini tidak terlepas dari kedudukan sebagai anggota
masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan adanya kedu- dukan yang penting dari manusia sebagai
seseorang mandiri dan sekaligus juga sebagai makhluk sosial yang tidak terlepas dari lingkungan
dan mempunyai kewajiban-kewajiban sesama manusia lainnya di dalam ikatan kemasyarakatan.
Karena itu, sebagaimana yang ditulis oleh sarjana Heinhard Steiger cs, bahwa hak-hak subjektif
(subjective rights) untuk perlindungan seseorang memberikan kepada yang mempunyai suatu
tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya atas suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat
itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan
hukum oleh pengadilan dan perangkat perangkat lainnya. Tidaklah disangkal bahwa penegakan
peraturan perundang-undangan adalah perlu sekali bagi perlindungan hukum lingkungan hidup
sese- orang (vide Prof Dr. Koesnadi dalam buku beliau Hukum Tata Lingkungan edisi ketiga,
Gajah Mada University Press, 1988 halaman 127-128) Penggugat sebagai kelompok orang yang
tergabung dalam Yayasan LSM Indonesia harus dilihat dalam konteks tersebut di atas, yang
memang berdasarkan anggaran dasarnya mempunyai maksud dan tujuan: Mendorong peran serta
lembaga swadaya masyarakat dalam usaha pengembangan lingkungan hidup, serta menyalurkan
aspirasinya dalam lingkungan nasional.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat sebaga pembina lingkungan dan peman- aatan sumber
daya secara bijaksana (vide Anggaran Dasar Indonesia Pasal 5) Yang menarik untuk dibahas dari
isi ini adalah bahwa memang benar, peran serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana masih akan diatur dengan peraturan perundang- undangan. Namun, hal itu tidaklah
berarti tidak penggugat tidak mempunyai kepentingan sehingga ada dasarnya untuk mengajukan
suatu gugatan, sebab yang akan diatur dengan suatu peraturan perundang- undangan adalah
mengenai bentuk peran sertanya dan tata caranya. Akan tetapi, hal tersebut harus dibedakan
dengan kriterium kepentingan untuk menggugat yang harus dikaitkan dengan hak-hak subjektif
seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum sehubungan dengan hak dan kewajibannya
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Bahwa bentuk peran serta dalam bentuk, sekarang sudah
tampak dalam berbagai antara lain juga dalam bentuk pusat studi lingkungan hidup di universitas-
universitas, ataupun juga seperti Yayasan LSM Indonesia (penggugat) dan sebagainya, sebagai
salah satu bentuk lembaga-swadaya masyarakat yang dimaksud oleh Pasal 19 Undang- undang
No. 4 tahun 1982 Ditinjau dari segi ilmu perbandingan hukum comparative law study, apalagi
dilihat dari ketentuan yang berlaku di berbagai negara dalam masalah lingkungan hidup,
pengelolaan lingkungan hidup itu berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap orang,
dimungkinkan atau dibuka kemungkinan bagi setiap orang untuk mengajukan gugatan (ius standi
karenasehat dan bersihnya lingkungan hidup merupakan kepentingan umum dan juga kepentingan
setiap orang. Misalnya di Jepang, dalam Pasal 25 konstitusi Jepang dinyatakan dalam ayat (1)
bahwa semua orang mempunyai hak untuk memelihara standar minimum kehidupan yang sehat
dan berbudaya. Juga di Spanyol dalam Pasal 45 Konstitusinya dinyatakan: adanya hak semua
orang untuk menikmati lingkungan hidup yang selaras dengan pengembangan pribadinya.
Demikian pula di Portugal dalam konstitusi barunya Pasal 10 disebutkan bahwa: setiap orang
mempunyai hak atas lingkungan yang sehat dan seimbang (ayat 1) dan selanjutnya, bahwa setiap
warga negara mempunyai hak untuk menuntut berakhirnya gangguan-gangguan terhadap haknya
atas lingkungan hidup yang sehat, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan bahwa ia
dapat menuntut ganti kerugian. (vide Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., dalam buku
beliau Hukum Tata Lingkungan edisi ketiga, Gajah Mada University Press, 1988 halaman 128-
129) Di Nederland juga suatu badan hukum berbentuk perhimpunan yang berkaitan dengan
lingkungan hidup (verenigingtot behoud van Natuurmonumenten in Nederland dapat bertindak
sebagai penggugat untuk kepentingan umum (algemeen belang), sebagaimana yang telah
diputuskan oleh Hoge Raad tanggal 16 Maret 1973 (vide buku Arresten burgerlijk Recht,
kumpulan Mr. J. Van Zeben dan Prof Mr. TA.W. Sterk, terbitan Tjeenk Willink Zwolle. 1984,
halaman 814-832) Masalah pengelolaan lingkungan hidup juga banyak berkaitan dengan hukum
tata usaha negara (administratiefrech), terutama dalam kasus perkara ini

yang pokok sengketanya adalah mengenai penerbitan surat-surat keputusan tata usaha negara atau
keputusan pemerintah (administratief beschikking). Karena itu dalam hal-hal tertentu dikenal
adanya p actio popularis, yaitu memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk mengajukan
gugatan, karena kepentingan yang hendak dilindungi itu menyangkut setiap orang (Misalnya di
Nederland dalam Undang-undang tentang Pemilihan Umum (Kiewe) Pasal 12, Undang-undang
tentang Pendidikan Dasar (Lager Onderwisiswe) Pasal 76, ataupun yang berkaitan dengan izin
lingkungan (milleuvergunning) Atas dasar hal tersebut undang-undang memberikan kriterium
yang sangat luas tentang siapa yang berhak mengajukan suatu gugatan sehingga masalah tentang
dapat diterima atau penggugat tidak dipersoalkan lagi. Karena itu, popularis tersebut berlaku
sebagai suatu perkecualian dan hanya dalam hal-hal tertentu saja. Nederlands administratief
procesrecht karangan Mr. Ten Berge dan Prof Mr. C. Tak, terbitan Willink Zwole, 1983, jilid I
halaman 177; Bahwa atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang terurai di atas, majelis
berpendapat bahwa dalam kasus ini Yayasan LSM Indonesia dapat bertindak sebagai penggugat
untuk melindungi kepentingan setiap orang dalam pengelolaan lingkungan hidup yang ketentuan
pokoknya tertuang dalam Pasal 5 Undang-undang No. 4 tahun 1982; Sebagaimana terurai dalam
kedua kasus di atas salah satu masalah pokok yang diperdebatkan dalam kasus lingkungan ialah
tentang ada atau tidaknya hak menuntut/menggugat (ius standi dari Sierra Club (LsM) sebagai
badan hukum yang memiliki kepeduliannya terhadap lingkungan yang terancam oleh suatu
proyekatau kegiatan pembangunan dan sekaligus merupakan perwujudan peran serta masyarakat
sebagian diatur masyarakat tersebut, (special interest in the conservation and the sound
maintenance of the national parks, game refuges and forest of the country) Menurut UULH-70
(NEPA-USA-70) jo Pasal 10 the Administrative Procedure Act (USA), LSM (Sierra Club)
mempunyai standing to sue Uudicial review) apabila: A person suffering legal wrong because of
agency action, or lwho isl adversely affected or aggrieved by agency action within the meaning of
a relevant statute. Dari beberapa putusan pengadilan sebelumnya, pengertian ini diinterpretasikan
sebagai formulasi adanya legal interests dan legal wrong untuk menunjukkan dasar hak
menggugat (standing menyangkut sumber estetika, dan ekologi, environmental interests are shared
by the many rather than the few. Jadi, hal ini menyangkut public interest. Karena itu, putusan
pengadilan dalam perkara Scripps-Howard Radio Inc. V. FCC (USA), menegaskan bahwa these
private litigants have standing only as representative of the public interest. Di sini terjadi
perk(economic loss atau direct damages) sudah ditinggalkan, sebab aesthetic and environmental
well-being, like economic well-being, are important ingredients of the quality of life in our
society, and the fact that particular environmental interest are shared by the many rather than the
few does not make them less deserving of legal protection thorough the judicial process. Akan
tetapi, alat penguji injury in fact memerlukan penafsiran lebih luas daripada yang lazim
dipergunakan agar dapat berfungsi secara layak bagi kepentingan umum dalam masalah estetika,
konservasi, dan aspek-aspek wisata yang dapat terancam. Masalah penegakan hukum lingkungan
berikut nya adalah mengenai beban pembuktian (burden of proof Salah satu masalah yang
diperdebatkan dalam kasus-kasus lingkungan ialah mengenai beban pem buktian dan masalahnya
lazim disebut sebagai problems tentang a da tidaknya unsur kesalahan (fault, kelalaian
(negligence), ketakhati-hatian (careless) apakah ada kesengajaan (intentionally), apakah ada
perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigedaad; tor), kerusakan (damages), injury, apakah ada
hubungan kausal (causality: the burden of proving a cause and effect relationship), dan
sebagainya. Meskipun nuisance theory telah digunakan untuk membuktikan terjadinya personal
atau property damages pada pencemaran udara, njury kesukaran penggugat untuk menerangkan
berbagai aspek dari masalah ini ke dalam bahasa hukum yang dapat dipahami oleh hakim tetap
menjadi suatu hambatan. pencemaran mana yang paling berbahaya bagi si penggugat dari berbagi
sumber di suatu kawasan industri tidak dapat dilakukan dibuktikannya. Karena itu beban
pembuktian yang dipikul oleh si korban untuk mengatakan bahwa pelaku telah lalai, atau
dilakukan dengan sengaja atau melalaikan suatu upaya yang tidak
embangan istilah dan penafsiran interest, public interest, zone of interest, organizational interest in
the problem of environmental, special interest, dan sebagainya sebagai dasar pertimbangan ada
atau tidaknya ius standi untuk menggugat pemerintah sebagai manager sumber daya dan
lingkungan (Lihat Peradilan Tata Usaha Negara) Selain itu, tindakan ini harus menimbulkan injury
in fact, baik bersifat ekonomi (economic loss or economic injury maupun kepentingan yang
bersifat non-economic, seperti perubahan estetika dan ekologi alam, yang dimiliki oleh orang
banyak. Injury in fact dalam arti tradisional

memadai (Unreasonable) merupakan sebagian dari per- soalan yang ada. Karena itu seorang
komentator mengatakan bahwa suatu kesulitan mendasar dari peradilan untuk menangani
pencemaran adalah: The inherent inability of courts to deal efficiently with issues of a
scientifically complex nature. The chemical, biological, physiological, and other scientific
evidence required to prove the causal connection between the alleged polluter's discharge and the
plaintiff's harm is often highly technical and next to impossible for even the most conscientious
and alert judge or layman to assimilate and evaluate Pernyataan ini membuktikan perlunya sumber
daya manusia yang berkualitas, berpendidikan akademis atau berlatih khusus tentang hukum dan
lingkungan. Karena itu, masalah pembuktian dalam kasus pencemaran perusakan lingkungan akan
pokok pembahasan yang menarik kalangan akademis. Sementara itu, ilmu dan teknologi akan
terus berkembang. Hal baru akan diperdebatkan. Dapatkah hukum berpacu dengan disiplin ilmu
lain, seperti teknologi, ekonomi, dan sebagainya? Dalam sistem yang berlaku sekarang, penggugat
(plaintiffs)- umumnya masyarakat berpenghasilan rendah, masih tetap memikul beban pembuktian
yang paling berat dari keseluruhan proses pembuktian. (Kaum miskin kurang mempunyai
kemampuan melindungi lingkungan ke arah yang lebih baik, karena masih terpusat pada soal
makan, sandang dan papan) Salah satu masalah penting dalam kasus lingkaran seperti dalam hal
teriadinya pidana lingkungan ialah untuk membuktikan ada (atau) tidaknya hubungan kausal
(cause and effect relationship dengan bantuan ilmu medis. (Kasus Komatsu v. Mitsui Kinzoku
Kogyo K.K., Jepang dalam perkara penyakit itai-itai (itai-itai disease) (Nagoya High Court, 1972,
Agustus 9)

Penyakit itai itai dalam kasus di atas disebabkan oleh kandungan cadnium, timah hitam, senyawa
zinc dalam konsentrasi yang tinggi pada tanaman padi di sekitar korban. Limbah ini berasal dari
Kamioka Mining Facility Mitsui Metal Mining K.K. Melalui air minum atau produksi pangan di
kawasan ini masyarakat sekitamya menderita penyakit itai-itai. Dalam kasus ini epidemiological
proof of causality telah dianggap memadai untuk melaksanakan tuntutan penggugat. Menurut
hakim, dalam keadaan demikian tidak diperlukan unsur kelalaian atau kesalahan si pelaku, dan
karenanya bagi si pelaku atau pemilik industri dianggap strictly liable berdasarkan UU
Pertambangan (Mining Law). Kasus juga memberikan bukti yang jelas pada kita bahwa asas
tanggung jawab mutlak yang dianut oleh Pasal 21 UULH-82 dapat dikembangkan supaya dapat
diberlakukan untuk jenis kegiatan tertentu melalui putusan hakim. Hal lain yang menarik pula
untuk dibahas dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah kesaksian
ahli/ilmuwan sebagai alat bukti ilmiah untuk menerangkan adanya hubungan kausal. (Kasus Ono
v. Showa Denko K.K. mengenai Agano River-Nigata Minamata Disease) Sebagaimana diketahui
bahwa dalam kasus Ono v Showa Denko K.K., timbulnya penyakit disebabkan oleh limbah
Industri kimia yang mengandung senyawa mercury yang telah merusak syaraf manusia, melalui
ikan yang dimakan dari hasil tangkapan di Sungai Dalil tergugat mengatakan bahwa: No causal
relation between the methyl mercury released and the injury sustained by the plaintiffs and that the
defendant had not acted with any negligence, telah ditolak oleh hakim, sebab dalam

kasus ini tidak diperlukan point-by-point scientific verification in order to establish causality. Hal
ini dapat menimbulkan hambatan bagi pemulihan hak-hak perseorangan (civil relief. Yang
diperlukan di sini adalah mengenai dapat atau tidaknya charateristic symptoms of the disease dan
route by which pathogenic substances were transmitted to the victims could be explained by an
accumulation of circumstantial evidence, supported by the relevant fields of science, which traced
the source of pollution to the doorstep of the enterprise, then proof of legal causality would be
considered to have been made unless the injuring business could prove that in discharging causal
substances, its plant could not have been the source of pollution. Selanjutnya, dikatakan bahwa:
the possibility of danger, even with equipment of the technological quality, partial or even total
suspension of operation is required sebab menurut putusan ini, pada prinsipnya suatu industri
hanya diperkenankan berproduksi apabila kegiatan ini in harmony with the integrity of the
environmental of the area's residents. Dikatakan bahwa: there is no reason to protect business
interest to the point of sacrificing human health and life, which can be rightfully said to be the
most fundamental rights of the residents. Dari argumentasi ilmiah di atas, telah dapat diperlihatkan
pentingnya ilmu dalam masalah pembuktian, terutama dalam masalah pencemaran/perusakan
lingkungan. Dari sudut hukum perdata sistem dan asas tanggung jawab dalam kasus lingkungan
(terutama pencemaran atau lingkungan yang disebabkan oleh bahan berbahaya atau risiko tinggi)
merupakan perkembangan baru yang patut diperhatikan. Hal ini dianggap penting karena hingga
sekarang asas tanggung jawab (asas ganti

rugi) yang dianut masih didasarkan pada KUH Perdata (BW) suatu asas ganti rugi yang dibentuk
jauh sebelum teknologi berkembang seperti sekarang (Ha ini dapat disaksikan pada kasus Shiono
v Showa Yokkaichi Sekiyu Jepang mengenai kasus Yokkaichi Asma Untuk memacu pertumbuhan
ekonomi Jepang telah dikeluarkan kebijakan untuk membangun industri minyak di Jepang, antara
lain, petroleum combinat di kawasan bekas depot minyak angkatan laut. Kegiatan ini ternyata
mengakibatkan emisi gas asam sulfur, asap, dan jelaga. Akibatnya, banyak orang di Distrik lsotsu
menderita asma dan penyakit syaraf (mental suffering) di Distrik lsotsu serta tingkat bronkhitis
yang kronis. Sembilan orang dari penderita asma tersebut menggugat perusahaan combinat Dari
data yang diperoleh sejak tahun 1960 hingga 1967 industri ini telah mengeluarkan asap dan jelaga
yang mengandung sekitar 2.367.152 ton gas asam sulfat dengan senyawa SO2 yang mencapai dua
hingga tiga kali lebih besar dari standar yang berlaku. Karena letak geografis industri dan arah
angin yang membawa zat pencemar, menurut teori biologi, hubungan sebab akibat ini dapat
diterangkan berdasarkan penelitian epidemio- Yang menarik dari putusan pengadilan ini ialah dalil
yang memungkinkan jawab bersama antar- beberapa pelaku (the joint liability of the defendants,
berdasarkan anggapan bahwa: Even where activities of any one party alone may not have
produced the effect in question, the effects was produces in combination with activities of the
other parties, and thus it would be sufficient to establish that had it not been for the activities of
one paity....It would be sufficient, according to the decision, to prove the existence of other
activities and the predictability of the

effect of these activities when combined with such sungle activity Joint, not separate, liability
would stand even when the amount of smoke and soot emitted was small, even if there was no
obligation to take precautions inlocating plants so as not to endager the lives and health of
residents in the area, and even was no effective methods to remove all sulfur one could not claim
that it was impossible to avoid pollution Dalil tergugat bahwa: The industry was for the good of
community; it was socially appropriate: sulfure dioxide emissions were neglible in amount, the
companies had obverved authorized emission levels; the victims were hypersensitive; and to forth,
telah ditolak oleh Hakim. Kasus ini merupakan kasus pertama di Jepang yang mengakui liability
of industrial firms for atmospheric pollution sehingga putusan ini membawa pengaruh besar bagi
pembangunan masyarakat serta kebijakan mengenai lokasi industri. Meningkatnya kegiatan
industri yang mempunyai dampak penting pada lingkungan telah ikut mendorong pembentukan
konsep tata ruang dalam masalah tukan tanah (tata guna tanah) pada masa pembangunan.
Sementara itu, konsep tata ruang telah diakui sebagai salah satu alat pengendalian dan
perencanaan pembangunan; Atas dasar Land use planning is the process of consciously exercising
rational control over the development of the physical environment and of certain aspects of the
social environment, in the light common scheme of values, goals and assumtion. Perlunya
ditingkatkan, kemampuan sumber daya manusia untuk melaksanakan hukum lingkungan dalam
arti di atas sudah jelas. Hal ini dibuktikan pula olehargumentasi hakim dalam putusan di bawah
ini. Dalam kasus ini ilmu dan teknologi harus dapat membantu meramalkan aspek futuris dari
pengaturan hukum lingkungan. (lihat konsep Amdal) Dalam Kasus Watanabe v. Chisso K.K.
mengenai kasus the Kumamoto Minamata Disease (1973) pada tahun 1953 telah diperdebatkan
timbulnya gejala peracunan syaraf otak manusia (central nerves system of a toxic type) di kawasan
Teluk Minamata dan sekitamya Kucing yang mati dikawasan ini ternyata akibat makan ikan mati
yang terdampar di tepi pantai. Penyakit minamata penduduk yang tinggal di kawasan ini temyata
juga disebabkan makan ikan yang berasal dari kawasan tersebut. Setelah penelitian dilakukan
terhadap limbah industri Chisso Company's Manamata plant, terbukti air limbah mengandung
mangan, selenium, thalium, kimia, kemudian berakumulasi pada tubuh ikan dan lalu dimakan oleh
manusia yang tinggal di daerah ini. Dari hasil penelitian Kumamoto University dan keterangan
aparatur Pemerintah setempat, dapat dipastikan bahwa senyawa methylmercury yang digunakan
oleh pabrik acetaldehyde merupakan penyebab patogenik penyakit minamata dan hal ini telah
dibuktikan dengan mem perlihatkan hubungan kausal antara limbah buangan dan penyakit yang
terjadi. Pengadilan menyatakan bahwa to ensure safety, the waste water should have been tested to
see if it was toxic, and the defendant's negligence lay in its failure to foresee injury to human
beings. Selanjutnya, dikatakan bahwa the residents of the area were ignorant as to what products
were being produced in the factory and in what manner and since they were not informed of these
matters, the factory had the duty to ensureing the safety of life and health of the residents. Karena
itu, konsep kawasan industri yang berlaku sekarang dikaitkan pula dengan ketentuan Amdal
(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang mengharuskan Penyajian Informasi Lingkungan
(PIL) diajukan sebelum rencana kegiatan (eg. Izin lokasi) disetujui. Sebagaimana diketahui
dokumen Amdal suatu rencana kegiatan wajib diumumkan oleh pemrakarsa kegiatan dan
dinyatakan terbuka untuk umum (lih. Pasal 31 PP No. 29/1986 tentang Amdal). Hal lain yang
penting dari putusan hakim ialah cara menetapkan kompensasi berdasarkan berbagai faktor seperti
hidup atau matinya korban, sifat dan yang diobati, usia, pekerjaan, jumlah tahun si korban di
perkirakan baru dapat bekerja, penghasilannya, keadaan ekonominya dan sebagainya. Salah satu
unsur pendukung penting dalam pe- nyelesaian kasus-kasus lingkungan di atas, ialah peranan
saksi ahli dari disiplin ilmu tertentu sesuai dengan sifat kasusnya. Agar peranannya efektif
diperlukan per- syaratan tertentu. Praktik dalam kasus lingkungan di negara maju menunjukkan
bahwa untuk menetapkan saksi ahli dalam kasus lingkungan setidak-tidaknya ada 4 hal yang harus
diperhatikan: (i) tingkat pendidikannya; (ii) spesialisasinya (iii) pengalamannya, (iv) dan
pengakuan dari asosiasi keahlian yang sejenis. Kesaksian ahli dan persyaratan yang dituntut dari
padanya makin mempengaruhi kasus-kasus pencemaran/ perusakan lingkungan dalam masalah
pembuktian. Telah diuraikan di atas, karena masalah pence- maran/penusakan mengandung
pengertian teknis dan ilmiah yang sangat mendasar, kesulitan utama yang dihadapi para hakim,
jaksa, polisi, dan pengacara dalam proses pengadilan ialah merumuskan pengertian

teknis dan ilmiah itu ke dalam rumusan rumusan hukum yang mudah dipahami. Tidak semua ahli
dapat menerangkan bahasa ilmiah ini ke dalam bahasa hukum praktis sehingga diperlukan
keahlian khusus untuk mengalihbahasakan istilah-istilah teknisilmiah tersebut ke dalam bahasa
hukum menurut sistem hukum yang berlaku di pengadilan Dengan uraian di atas, jelaslah bahwa
tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap tingkat kesadaran/perhatian terhadap hukum dan
lingkungan. Dalam perkara Martin v. Reynolds Metals Comp. (1952) dikemukakan argumentasi
bahwa: It is stipulated by the parties that in the course of defendant's legitimate use of property,
that gases, fumes and particulates emanate into the atmosphere from said plant, consisting
primarily of hydrogen flouride, cryolite, calcium flouride, iron flouride, and silicon tetraflouride,
which are immediately diffused into the air, and that portions thereof have settled at various times
upon the lands occupied by the plaintiffs. Furhtermore, it is agreed by all the experts who
appeared here that the majority of these compounds are toxic or poisonous, but debate between the
experts and the question the jury is going to have to determine is at what point or quality do these
compounds become poisonous or are likely to become poisonous and harmful to humans. It is a
matter of quality or degree as they point out Dalam kesaksian ahli kasus Martin di atas
diterangkan bahwa: One of the experts witness, the British doctor who had some prior experience
with similar etching of glass located near industrial plants abroad, testified that the glass from the
Martin Window which he was during the testimony was an indications of exercise quantities of
flouride contamination in the atmosphere.

Kesaksian ahli medis ini telah banyak membantu menerangkan sebab kelumpuhan, cacat yang
tejadi akibat gas flourida dari pabrik sehingga dikatakan pula bahwa: Their qualification to testify
was not only adequate but their experience with the subject upon which they testified was
outstanding. (Krier, 1971) Dalam kasus penyakit minamata di Jepang (1973) Guru besar Tomohei
Taniguchi mengomentari bahwa untuk memperoleh keadilan pada saat ini, dengan tidak adanya
bantuan bahasa ilmiah (kesaksian ahli) tidak lagi memuaskan (A Commentary on the legal theory
of the four major pollution cases, Law in Japan, 1976). Dengan demikian, jelaslah bahwa program
pendidikan dan pelatihan di bidang hukum dan lingkungan dapat meningkatkan perhatian pada
lingkungan. Masalah lain yang makin penting dalam kasus-kasus lingkungan adalah peranan
laboratorium sebagai laboratorium rujukan untuk menetapkan terjadi tidaknya pencemaran dalam
arti hukum. Beberapa kasus pencemaran di Indonesia (lihat Kasus Sidoarjo, Jawa Timur) telah
memperlihatkan pentingnya laboratorium rujukan ini agar terdapat persepsi dan penafsiran yang
sama tentang terjadi tidaknya pencemaran. Sebenarnya, peranan laboratorium ini pemah
digunakan dalam kasus New York v. New Jersey pada tahun 1921. Di antara pernyataan Hakim
Clark dalam kasus tersebut bahwa: Only one point upon which all the experts called for the
opposing parties agree, viz., that in the present state of learning upon the subject the amount of
dissolved o en (DO) in water is the best index or measure of the degree to which it is polluted by
organic substances, it seemingly being accepted by them all that upon the oxygen content of water

depends its capacity to digesting sewage that is, for converting organic matters into inorganic and
harmless substances by direct oxygen and by bacteria which assist in such conversion. (Hingga
sekarang parameter Do di samping parameter COD dan BOD masih tetap digunakan. Lihat PP No.
20/1990) Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air di Indonesia, wewenang untuk menetapkan laboratorium rujukan baik di tingkat
pusat maupun di daerah tidak dipersoalkan lagi. Hal ini telah diatur dalam Pasal 34, yang
menyatakan: (1) Menteri menunjuk laboratorium tingkat pusat dalam rangka pengendalian
pencemaran air. (2) Kepala Daerah Tingkat 1 menunjuk labora- torium di daerah untuk melakukan
analisis kualitas air dan kualitas limbah rangka pengawasan dan pemantauan pen- cemaran air
Menurut Gordon Thomson, ahli dari Kanada yang membantu Kantor Meneg KLH untuk
mengembangkan peranan laboratorium dalam sistem peradilan di Indonesia menyatakan bahwa:
Alat bukti yang paling vital adalah surat dari laboratorium yang memeriksa sampel limbah.
Sebelum sampai ke laboratorium, sampel harus terlebih dahulu melalui proses pengambilan
sampel Lokakarya Penegakan Hukum Lingkungan, Batu Malang, 1990. Telah penulis jelaskan di
atas, teori mengenai interpretasi akan tetap memainkan peranan penting untuk

menyesuaikan kaidah hukum lama dengan perkem- bangan hukum baru, terutama pengaruh dari
prinsip- prinsip ekologi. Masalah interpretasi perlu dilakukan dengan memperhatikan
perkembangan hukum lingkungan di negara-negara lain berdasarkan putusan hakim. Ilmu dan
teknologi tidak lagi dipandang sebagai hal yang netral dalam perkembangan hukum dewasa ini
Pendapat para pakar terkenal telah ikut pula mempengaruhi pembentukan hukum baru (lihat
review clause). Pengaruh kerumitan teknologi pada hukum lingkungan pada saat ini dikemukakan
pula oleh seorang pakar hukum perminyakan lepas pantai (offshore drilling technology law yang
antara lain mengatakan: The increasing complexity of the technology involved together with the
more hostile settings, from which the oil will be produced, inevitable lead too greater risks and
hazards. The minimization of these risks is very expensive. Just as the technology has become
more sophisticated, so too have the legal relations become more important and more intricate. Di
atas telah dikemukakan bahwa masalah tanggung jawab pencemarlperusak lingkungan dan
masalah ganti kerugian merupakan salah satu perkembangan baru dalam hukum lingkungan,
Masalah pembuktian dan teori dasar yang mendukungnya akan mempengaruhi sifat, bentuk dan
besarnya tanggung jawab dan ganti kerugian yang dibebankan kepada si pencemarperusak ling-
kungan. Setelah memberikan uraian tentang peranan hakim dalam pembentukan hukum
lingkungan, terutama di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (common law system),
harus dicatat bahwa hukumlingkungan Indonesia terutama didasarkan pada ketentuan perundang-
undangan meskipun tidak dapat disangkal bahwa keputusan pengadilan serta komentar ara hakim
yang berpengaruh, tetap merupakan sumber hukum penting. Hal ini terlihat jelas dalam UULH-82.
Berdasarkan Pasal 20 UULH-82 diatur mengenai tanggung jawab atas akibat
pencemaran/perusakan lingkungan (1) Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan
hidup memikul tanggung jawab 'dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita
yang telah dilanggar haknya atas lingkungan yang baik dan sehat. (2) Tata cara pengaduan oleh
penderita, tata cara penelitian oleh tim tentang bentuk, jenis, dan besarnya kerugian serta tata cara
ganti kerugian diatur dengan peraturan perundang-undangan (3) Barang siapa merusak dan atau
mencemarkan Angkungan hidup memikul tanggung jawab membayar biaya pemulihan lingkungan
hidup kepada negara. (4) Tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan lingkungan hidup
diatur dengan peraturan perundang-undangan. Konsep hukum tanggung jawab di sini merupakan
konsekuensi dari kewajiban setiap orang untuk melestarikan kemampuan lingkungan hidup untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan developmen) (Penjelasan Pasal 20). Konsep
hukum tanggung jawab membayar ganti kerugian dan biaya pemulihan di atas masih bergantung
kepada pertanyaan, Berapa "permissible levels of injury" yang diperkenan kan. Menurut
penjelasan undang-undang No. 4/82

bentuk dan jenis kerugian akibat perusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya kerugian
Bentuk, jenis dan besarnya kerugian ini ditetapkan berdasarkan hasil penelitian dari suatu tim
yang dibentuk khusus untuk ini Penelitian bersifat interdisipliner dari ilmu medis, ekologi, sosial
budaya, dan lain-lainnya. Tim ini terdiri dari pihaklkuasa penderita pemerintah pihak kuasa
pencemar dan unsur Apabila tidak diperoleh kesepakatan dalam batas waktu tertentu,
penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan negeri. (Penjelasan UULH-82). Konsep hukum
tanggung jawab di atas ditelusuri lebih jauh menurut perundang-undangan termasuk UULH-82
memberikan beban tanggung jawab yang makin besar kepada pemerintah sebagai manager
kekayaan alam dan pengelola lingkungan hidup sebab pencemaran lingkungan oleh proses alam
dimasukkan dalam kewajiban negara (UULH-82). Karena itu, pada waktu Rancangan Deklarasi
Stockholm dirumuskan, konsep tanggung jawab baik oleh individu (perdata) maupun oleh negara
(publik) dengan jelas tampak dalam rumusan berikut: Everyone has a responsibility to protect
Kemudian prinsip ini diambil alih dalam Pasal 5 ayat UULH-82. Setiap orang berkewajiban
memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya
Di samping tanggung jawab yang bersifat negara mempunyai tanggung jawab publik (State
responsibility) sebagai pengelola kepentingan umum (public interest.

State shall carefully husband their narural resources and shall hold in trust for present and future
generations the air, water, land, plants and animals on which all life depends, dan selanjutnya each
state has the responsibility to compensate for damage to the environment caused by activities
carried on within territory. Prinsip ini kemudian menjadi Principle 21 Stockholm dan diambil alih
oleh perundang-undangan lingkungan nasional (ihat Pasal 4 huruf e) Hal lain yang penting
dikemukakan tanggung jawab adalah perubahan dari asas tanggung jawab dari liability based on
fault ke asas tanggung jawab mutlak atau lazim disebut sebagai strict liability principle (Pasal 21
UULH-82). Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung
jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan
atau pencemaran ling- kungan hidup pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undangan
Tanggung jawab secara mutlak dalam pasal ini merupakan asas tanggung jawab yang berbeda dari
apa yang dianut oleh ketentuan perundang-undangan seperti Pasal 1365 KUH Perdata, yang
menyatakan: Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Asas ini disebut sebagai liability based on fault. tanggung jawab mutlak si pencemar segera
memikul tanggung jawab membayar kerugian tanpa memper soalkan ada tidaknya unsur
kesalahan. Sebagaimana diuraikan di atas, dalam masalah pencemaran (air, udara, dan sebagainya)
sulit memperoleh data apalagi membuktikan

Hal lain yang penting diketahui ialah lingkup dan sifat kerusakan yang dipertanggungjawabkan
kepada pencemar. Kerugian yang disebabkan oleh pencemaran dan atau perusakan lingkungan
dapat meliputi, kerusakan langsung (direct damages), kerusakan ekologis, biaya pencegahan dan
penanggulangan pencemarannya, ter- masuk pemulihan lingkungan. Apabila dianut pengertian
pencemaran/perusakan dalam arti luas, séperti di atas, makin luas masalah yang harus
diperdebatkan, makin sulit menghitung kerugian yang tepat. Kesulitan lini juga disebabkari oleh
tidak adanya keseragaman dari para ahli tentang akibat biologis dari beberapa jenis pencemaran
seperti mlnyak di laut, limbah yang sifat toksis dan sebagainya. Pengaruh konsep lingkungan (eco
terhadap konsep hukum sejak tahun 1960-an sangat dominan dan bersifat global. Pengaruh ini
kemudian mencapai klimaksnya pada Konferensi Stockholm-72 yang memuat prinsip-prinsip
pengelolaan lingkungan yang bersifat ekologis telah menjadi model bagi konsep perundang-
undangan lingkungan nasional di berbagai negara. Karena itu, Maurice Strong yang menjadi
Sekjen Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm mengatakan bahwa Deklarasi
Stockholm-72 menjadi A new and important indeed and dispensible beginning of an attempt to
articulate a code of international conduct for the age of environment. Banyak perundang-undangan
lingkungan nasional, termasuk Indonesia telah menjadikan Deklarasi sebagai acuan pembinaan
hukum lingkungan nasional, yang bersifat ekologis. Banyak pakar lingkungan (environmentalists)
mempromosikan konsep ecocentric ethic karena keterbatasan konsep menjawab tantangan
pembangunan

homocentric ethic. Dengan meletakkan peranan sentral pada fungsi ekosistem dalam sistem
pendukung kehidupan, pengaruhnya pada perlindungan lingkungan tidak lagi terbatas pada
persoalan ada tidaknya pengaruh langsung pada manusia (the protection of the environment for its
own sake, quite apart from its relevance to humans: Law Reform Commission of Canada, 1985).
Dalam pengertian ini, hak lingkungan (environmental righ) dapat mempengaruhi hukum, termasuk
hukum pidana (sekarang dikenal pidana lingkungan atau ecocrme). Apabila masalah lingkungan
ini dikaitkan dengan konsep pembangunan yang sedang dilaksanakan di seluruh dunia, hukum
cenderung makin bersifat futuris mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Menanggapi hal ini
Cry California, yang dipublikasikan tahun 1976, antara lain, mengatakan: Government must seek
always to deal with the future consequences of actions and not only plan, but plan comprehensive
between recognizing that the devisions agencies do not refiect any equality distinct demarcations
in the world they deal with. Transportation planning is land-use planing, water planning is
agricultural planning waste-management planning is energy planning. The boundary lines are
crossed in so many ways that, soaner or later, have to admit that they simply don't work very well
They may have some convenience, but when come to grappling with the what we want to do with
our present and our future, we have to think in broader terms. Terbentuknya konsep hukum
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun
1986 merupakan perkem- bangan baru yang revolusioner. Pengaruhnya pada hukum lingkungan
nasional secara menyeluruh baru dapat diketahui pada masa yang akan datang.

Pengaruh ilmu lingkungan/ekologi pada konsep hukum ilmu pada konsep hukum baru
dikemukakan oleh ketua Commission on lain Policy, Law and Administration dari lUCN,
mengatakan International policies relating to the nature environment were not initially based upon
environmental conceps perse. Most international, and all global, policies relating to the protection
of nature, of nature resources, and of the environment have been developed in the twentieth
century. The earlier attempts at international cooperations. In the earlier treaties arbitrations and
adjudications involving environment related disputes, establish principles of international law
were extended to environmental releted issues rather than legal concepts being modified or
enlarged by environmental concepts. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem
penegakan hukum lingkungan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Pertama,
pengakuan ius standi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tujuan dan bidang kegiatannya
khusus mengenai perlindungan lingkungan dan memper- lihatkan kepeduliannya pada lingkungan
merupakan mitra kerja pemerintah yang dapat berlangsung langgeng karena didasarkan pada
idealisme sebagai pembina lingkungan dan mempunyai landasan hukum yang kuat, baik
perundang-undangan maupun putusan hakim harus disertai dengan pembinaan oleh pemerintah
dan masyarakat Kedua, masalah pembuktian akan tetap menjadi pokok bahasan yang menarik
karena mempersoalkan berbagai kepentingan dan telah merupakan salah satu masalah pokok dan
mendasar dalam pelaksanaan hukum lingkungan yang baru. Masalah ini terkait dengan sifat teknis
yang rumit, ragam disiplin ilmu yang terlibat dan

syarat-syarat sahnya suatu alat bukti dan kesaksian ahli serta peranan laboratorium. Ketiga, asas
tanggung jawab mutlak (strict liability) meskipun telah diterima sebagai asas ganti rugi yang luas
di berbagai negara dan telah diterima dalam perundang- undangan Indonesia, karena kurangnya
dipahami sejarah dan tujuan diberlakukannya asas ini pada pencemaran/ perusakan lingkungan,
penegakan hukumnya akan lebih banyak menguntungkan pihak yang ekonominya kuat apabila
tidak diberlakukan secara tegas. Keempat, masalah interpretasi kaidah hukum lingkungan masih
tetap menjadi perdebatan di antara para pakar dan penegak hukum. Atas dasar hasil penafsirannya
harus tetap memperhatikan ilmu lingkungan sebagai dasar penilaian dan penyeragaman
persepsinya. Selain itu, perlu dipahami bahwa konsep hukum yang bersifat ekologis, bukan lagi
sistem atau konsep hukum yang lazim dianut oleh penegak hukum sebelum tahun 1970-an,
melainkan konsep lingkungan atau ekologi yang mempengaruhi sifat kaidah hukumnya secara
mendasar. Kelima, sesuai dengan pola pembangunan/pem- binaan hukum nasional (lihat
REPELITA ll, 1974) pembentukan hukum lingkungan di samping melalui ketentuan perundang-
undangan berdasarkan UULH-82, perlu dikembangkan pembentukan hukum lingkungan
berdasarkan putusan hakim dengan melibatkan saksi ahli dan laboratorium rujukan. Keenam,
untuk melaksanakan kaidah hukum lingkungan secara baik dan efektif perlu pendidikan atau
pelatihan (training) di bidang lingkungan dan meningkat kan penyuluhan serta penyebarluasan
pengetahuan, informasi di bidang hukum dan lingkungan.

Ketujuh, Unpad sesuai dengan Pola ilmiah Pokoknya dan pengalamannya di bidang lingkungan
selama lebih 18 tahun dapat berperan aktif meningkatkan kualitas sumber manusia yang sadar
hukum dan lingkungan melalui pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat. Dengan demikian, jelaslah bahwa Unpad yang memiliki Pola Ilmiah Pokok, Bina
Mulia Hukum dan Lingkungan Hidup, dengan pengalamannya sejak 18 tahun yang lalu, serta ikut
serta meletakkan dasar pembangunan berwawasan lingkungan, sistem hukum lingkungan
Indonesia yang berlaku sekarang, dapat pula menjawab tantangan di bidang penegakan hukum
Indonesia, sebagaimana penulis kemukakan di atas.

Anda mungkin juga menyukai