1
Pencatatan…
Ainun Yudhistira
Dosen Pada Fakultas Syari’ah STAIN Salatiga
E-mail: ainunyudhistira@yahoo.com
Abstrak
Pendahuluan
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal satu (1) disebutkan bahwa
Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
hukum kepada para pihak yang bersangkutan, maka dibentuklah lembaga perkawinan.
Bagi warga negara yang beragama Islam penyelesaian perkawinan dilaksanakan oleh
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sedangkan bagi warga non Muslim
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi sampai saat ini masih
masyarakat (muslim) masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fikih
sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fikih sudah
terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan di Kantor Urusan Agama dan tidak perlu surat
secara sirri tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah sebagai petugas resmi
perkawinan secara diam-diam (sirri) tersebut antara lain (1) pengetahuan masyarakat
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka
masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak
perlu ada campur tangan pemerintah/negara; (2) tidak ada izin istri dan Pengadilan
Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang; (3) adanya
kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul “rapat” dengan calon
istri/suami, sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, lalu
Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta
melaksanakan tugas telah ditetapkan adanya Pegawai Pencatat Nikah yang sehari-hari
dalam masyarakat dikenal dengan sebutan Penghulu, sebagai Pejabat terdepan dan
Rujuk.
3. Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004, tentang Pencatatan
Nikah.
4. Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 1 Tahun 1995, tentang Kutipan Akta Nikah.
5. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan UU. No. 1 Tahun
Pengertian Pencatatan
manusia, maka mutlak perlu didaftarkan pada kantor urusan agama (KUA) bagi
mereka yang beragama islam dan bagi non islam pada kantor catatan sipil. Karena
jika dikemudian hari terdapat masalah tidaklah mudah dalam penyelesaianya, kecuali
Pencatatan sipil, oleh lie Oen Hock di artikan sebagai suatu lembaga yang
berpendapat bahwa, lembaga catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan
dalam arti menjaga jangan sampai perkawinan melanggar ketentuan hokum, baik
dengan maksud agar peristiwa perkawinan itu dapat menjadi jelas, baik yang
bersangkutan maupun orang atau masyarakat lainya. Karena dengan surat yang
bersifat resmi tersebut, yang termuat dalam daftar khusus dan memang disediakan
untuk itu, maka sewaktu-waktu dapat dipergunakan dimana perlu, terutama sebagai
alat bukti tertulis3 dan bukti otentik. Bukti otentik tersebut berupa kutipan akta nikah.
1 Nico Ngani dan I.Nyoman Budi Jaya, Seri Hukum Perdata Barat Cara Untuk Memperoleh Akta-Akta
Catatan Sipil, Cet.Ke-1 (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal.6.
2 Nico Ngani dan I.Nyoman Budi Jaya, Ibid, hal.6.
3 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet. Ke-4 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Januari 2003), hal.148.
Latar Belakang Filosofis
5
Pencatatan…
Istilah “akta” dalam bahasa belanda di sebut “acte”, dan dalam bahasa inggris disebut
“dead” yang keduanya mempunyai arti yang sama yaitu surat tanda bukti kebenaran
yang ditandatangani oleh orang yang berkepentingan, hal itu merupakan tanda bukti
yang dapat dijadikan saksi tulisan4. Menurut Peter Salim dan Yenny Salim dalam
kamus bahasa indonesia kontemporer, akta diartikan sebagai dokumen yang berisi
pernyataan resmi yang disahkan oleh notaris atau pejabat pemerintah yang
Mertokusumo, “akta” adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa,
dan menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja
untuk pembuktian.6 Hal ini senada dengan Subekti bahwa Akta adalah suatu tulisan
yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa
dan ditandatangani.7
pencatatan nikah, Talak, Tujuk yang waktu itu diberlakukan di daerah Jawa, Madura.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatan Nikah, Talak dan
Rujuk, yang waktu hanya diberlakukan untuk Jawa dan Madura, mulai tanggal 26
kepentingan orang yang beragama Islam, sedangkan yang selain beragama Islam
dilaksanakan oleh Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand). Setelah lahirnya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, masalah pencatatan menjadi beban tugas Direktorat Agama Islam
Departemen Agama RI bagi yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non-Islam
Pegawai Pencatat Nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat setelah
8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006), hal. 54.
9 Abdul Manan, Ibid.
10 Abdul Manan, Ibid.
Latar Belakang Filosofis
7
Pencatatan…
tersebut, perkawinan telah dicatat secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kepada kedua mempelai diberikan kutipan akta nikah sebagai alat bukti bahwa benar
Pada dasarnya, tidak ada landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan
nikah secara spesifik dalam hukum islam, bahkan dalam al-Qur’an dan hadis pun
tidak ada teks yang secara eksplisit menjelaskan betapa pencatatan perkawinan itu
sangat penting.
adalah sebagai salah satu bukti tertulis, maka dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa pencatatan (bukti tertulis) itu selalu
dilaksanakan pada perdagangan yang tidak tunai. Dan yang dimasukkan kepada
kategori yang tidak tunai adalah semua perjanjian perikatan yang ada kelanjutanya
(seperti halnya perkawinan), serta tidak selesai persoalanya hanya pada saat terjadinya
akad, yang bisa diduga kemungkinan terjadi permasalahan atau timbul perkara serta
persengketaan pada kemudian hari.12 Hal ini di dalam kehidupan rumah tangga
bukanlah sesuatu yang tabu, akan tetapi di dalamnya seringkali terjadi perselisihan
jalan buntu, karena dari salah satu pihak tidak ada yang bisa dijadikan bukti.
Demikian juga, karena pencatatan nikah dijadikan sebagai bukti, maka yang
dapat dijadikan dasar atau landasan hukum dari hadis nabi adalah sebagai berikut:
Dari hadis tersebut diatas, bisa dipahami bahwa, bagi penggugat (baik itu dari
pihak suami atau pihak istri kalau dalam perkawinan) sebagai pihak yang mengajukan
gugatan dalam perkara, akan dikenakan suatu acara pembuktian. Pengertian bayyinah
sendiri dalam al-Qur’an, as- Sunnah dan perkataan para sahabat adalah nama bagi
setiap sesuatu yang dapat menyatakan dan mengungkapkan kebenaran. Pengertian ini
lebih umum dari pada pengertian yang dipaparkan menurut para ahli fiqh yang
mengkhususkan artinya hanya kepada dua orang saksi laki-laki saja atau seorang laki-
adalah dua orang saksi, dan tidak ragu-ragu lagi bahwa alat-alat bukti lainya selain
dua orang saksi kadang-kadang kedudukanya lebih kuat dari pada dua orang saksi, 15
hal yang sangat kuat dalam konteks sekarang dan banyak digunakan dalam
pada pihak penggugat sebagai kenyataan (bukti) gugatanya itu sesuatu hal yang benar.
13 Bukhari, Sahih Bukhari Kitab Arrohmi Wa al-Hadiri (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal.116.
14 Ibnu al-Qayyim, I’Ianul Muwaqiin (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), hal. 90.
15 Salam Madzkur, al-Qada Fi al-Islam, Imron AM (terj.), (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1993), hal.104.
Latar Belakang Filosofis
9
Pencatatan…
atau menolak terhadap apa yang dilaporkan pihak lain kepadanya, dengan
berdasarkan keadaan yang zahir itu (akta nikah) misalnya pihak suami yang
mengingkari terhadap isterinya sehingga dia kawin dengan wanita lain/ lari dari
tanggung jawab, maka isteri dapat mengajukan bukti-bukti seperti halnya akta nikah.
agamanya dan kepercayaanya itu selain agama islam, dilakukan oleh pegawai
sebuah landasan hukum, bahwasanya pencatatan perkawinan suatu hal yang niscaya
adanya.
aturan hukum dari masing-masing agamanya dan kepercayaanya20, maka akad akan
hadirnya dua orang saksi, sebagaimana dijelaskan pada Bab III Pasal 10 ayat 3 yang
mempelai suami dan isteri, kedua orang saksi dan pegawai pencatat secara berurutan.
Ketiga dari komponen tersebut (suami isteri, dua orang saksi dan pencatat nikah)
sahnya suatu perkawinan. Persyaratan formil ini bersifat prosedual dan administratif,
akan tetapi tidak mengabaikan persyaratan materil. Karena menurut mukti arto, suatu
perkawinan bisa dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat yaitu:
2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada pegawai
21 Bab III Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) PP No 9 Tahun 1975.
22 Bab III Pasal 11 ayat (3) PP No 9 Tahun 1975.
23 Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahaya Perkawinan, Jurnal “Lembar Hukum”
Vol VII No 26, Mei 1996.
24 Semua ini adalah landasan filosofis lembaga pencatatan pada pasal 2 ayat (2) UU No Tahun 1974 jo
KHI Pasal 5 ayat (1), dan (2), Pasal 6 ayat (1) dan (2) serta pasal 7 ayat (1).
Latar Belakang Filosofis
11
Pencatatan…
Hal ini, merupakan suatu upaya yang diatur oleh undang-undang untuk
dalam kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini negaralah yang berhak, serta lebih
Kebijakan yang diambil pemerintah ini adalah suatu langkah yang tepat,
pula problem kehidupanya. Tentu saja hal itu membutuhkan aturan-aturan yang
kehidupan dan demi adanya kepastian hukum bagi masyarakatnya. Disamping itu,
dengan pencatatan perkawinan dapat meminimalisir tiga hal yang sangat berbahaya
“poligami liar” dengan bias keinginan subyektif dari pihak suami untuk sekedar
sisi kebahagiaan dan nilai keadilan yang merupakan misi utama dalam sebuah
perkawinan. Kedua, akan sangat mudah bagi banyak masyarakat untuk menghidupkan
praktek “kawin sirri” yang sangat beresiko tinggi terhadap kemungkinan terjadinya
resiko yang pertama (poligami liar) yang dalam realitas masyarakat sering kali
dijumpai praktek “kawin bawah tangan” tanpa melibatkan petugas pegawai pencatat
nikah dan tanpa sepengetahuan pihak isteri pertama. 25 Karena ketika kehendak
perkawinan dilaporkan atau didaftarkan kepada petugas pencatat nikah, maka petugas
yang salah satunya mempunyai tugas mengawasi perkawinan, sehingga kalau terjadi
25 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Cet. Ke-3 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
hal.109.
Latar Belakang Filosofis
12
Pencatatan…
perselisihan atau percekcokan antara pihak suami dan isteri cenderung akan
mengalami jalan buntu, karena tidak ada bukti yang sah secara tertulis dan otentik dari
Kalau dari salah satu pihak tersebut di atas terdapat alat bukti (akta nikah)
yang sah maka, tentu saja bisa melakukan upaya hukum. Karena tujuan diadakanya
Hal ini sebagai bukti bahwa alat bukti yang sah mempunyai kekuatan untuk
melakukan upaya hukum. Karena sebagai alat bukti tersebut, masing-masing dari
salah satu pihak atau mempunyai kekuatan dalam sebuah pengadilan sebagai upaya
subekti kekuatan pembuktian akta otentik dapat dibedakan menjadi tiga kekuatan
Pertama, kekuatan pembuktian lahir yaitu bahwa surat yang secara lahiriah
tampil sebagai akta yang sah, sepanjang tidak terbukti sebaliknya. Kedua, kekuatan
pembuktian formil yaitu membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tadi. Hal yang dimaksud adalah tentang
Ketiga kekuatan pembuktian materil yaitu membuktikan antara para pihak yang
bersangkutan, bahwa sunguh-sungguh peristiwa yang disebutkan benar terjadi, hal ini
memelihara hak-hak dan kewajiban para pihak yang bersangkutan anak-anak dan
mengantisipasi semakin menipisnya iman kaum muslim. Sebab, salah satu akibat
dengan dalih yang dibuat-buat untuk lari dari kewajiban. Karena tolak ukur iman itu
adalah sesuatu yang tersembunyi, maka salah satu jalan keluar yang harus ditempuh
Sementara menurut Ahmad Rofiq, ada dua fungsi pencatatan perkawinan yang
kekurangan rukun dan syarat perkawinan menurut hukum agama (fiqh) di satu pihak,
dan perundangan-undangan hukum dipihak lain. Kedua, fungsi represif yaitu, suami
istri bila karena suatu hal tidak dibuktikan dengan akta nikah, dibuka kesempatan
agama.29
masyarakat tampaknya masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat
pemahaman yang fiqih sentris, yang dalam kitab- kitab fiqih hampir tidak pernah
dibicarakan, sejalan dengan situasi dan kondisi waktu fiqih itu ditulis. Namun apabila
satu rukunnya. Akan tetapi sangat disayangkan tidak ada sumber-sumber fiqih yang
dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat tersebut. Menurutnya, praktik
hukum Islam dengan metode istislah atau maslahah. Meskipun secara formal tidak
bagi manusia.30
Berbeda halnya dengan Mukti Arto bahwa akta nikah mempunyai dua fungsi
yaitu fungsi formil dan fungsi materiil. Fungsi formil artinya, untuk lengkapnya atau
sempurnanya suatu perkawinan, haruslah dibuat akta otentik, yaitu akta nikah yang
dibuat oleh pegawi pencatat nikah. Disini akta nikah merupakan syarat formil untuk
adanya perkawinan yang sah. Sedangkan fungsi materiil artinya, akta nikah
mempunyai fungsi sebagai alat bukti karena memang sejak semula akta nikah dibuat
suatu penilaian. Serta dalam upaya memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta yang
dikemukakan agar masuk akal yaitu apa yang dikemukakan sebagai fakta-fakta itu
mempertegas kembali tentang pencatatan nikah bagi seluruh warga negara Indonesia,
khususnya bagi warga negara yang beragama Islam. Pentingnya pencatatan nikah
tersebut adalah sebagai bukti telah melaksanakan perkawinan yang sah sesuai dengan
kewarisan, dan berbagai kepentingan lainnya. Agar hal ini dapat terlaksana dengan
baik, maka setiap perkawinan yang dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia harus
dicatat sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dan
yang tidak berwenang dapat dikategorikan sebagai nikah fasid karena kurang
persyaratan yang telah ditentukan dan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan
Pengadilan Agama.32
Penutup
epistemologi hukum Islam dengan metode istislah atau maslahah. Meskipun secara
formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan,
perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua
pihak. Karena ia memiliki landasan yang cukup kokoh yang menurut Asy-Syatibi
maslahat mursalah ini merupakan dalil qath’i yang dibangun atas dasar kejadian
induktif.
Daftar Pustaka
Arto, Mukti. 2003. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet, Ke-4.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bukhari. 1937. Sahih Bukhari Kitab Arrohmi Wa al-Hadiri. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibnu al-Qayyim. 1973. I’Ianul Muwaqiin. Beirut: Dar al-Fikr.
Madzkur, Salam. 1993. al-Qada Fi al-Islam, Imron AM. (terj.). Surabaya: PT.Bina
Ilmu.
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Ngani, Nico. 1984. Seri Hukum Perdata Barat Cara Untuk Memperoleh Akta-Akta
Catatan Sipil. Yogyakarta: Liberty.
Pramudya, Yan Puspa. tt. Kamus Hukum Bahasa Belanda Indonesia Inggris.
Semarang: Cv Anika.
Latar Belakang Filosofis
17
Pencatatan…
Salim, Peter. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, cet. Ke-1. Jakarta:
Modern English Press.
Syaltut, Mahmud. tt. Al-Fatawa Dirasatu Lil Musykilat al-Muslim al-Mua shirah Fi
Hayatihi al-Yaumiyah Wa al-Amanah, cet. Ke-3. Dar al-Qalam. Rofiq
Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia, Cet. Ke-3. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.