Anda di halaman 1dari 17

Latar Belakang Filosofis

1
Pencatatan…

LATAR BELAKANG FILOSOFIS PENCATATAN PERKAWINAN

Ainun Yudhistira
Dosen Pada Fakultas Syari’ah STAIN Salatiga
E-mail: ainunyudhistira@yahoo.com

Abstrak

Pencatatan perkawinan bagi sebagian masyarakat tampaknya masih perlu


disosialisasikan. Boleh jadi hal ini adalah sebagai akibat pemahaman yang fiqih
sentris, yang dalam kitab-kitab fiqih hampir tidak pernah dibicarakan tentang
pencatatan perkawinan, yang sejalan dengan situasi dan kondisi waktu fiqih itu
ditulis. Praktik pemerintah mengatur tentang pencatatan ini adalah sesuai dengan
epistemologi hukum Islam dengan metode istishlahi atau maslahat. Meskipun secara
formal tidak ada ketentuan ayat atau sunah yang memerintahkan pencatatan, namun
kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia. Oleh karena itu, dalam Kompilasi Hukum Islam
menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Adapun perkawinan yang tidak dicatat sesuai
dengan ketentuan yang telah diterapkan, maka perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum dan perlindungan hukum dari negara.

Kata Kunci: Akta Nikah, Pencatatan Perkawinan

Pendahuluan

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal satu (1) disebutkan bahwa

Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian untuk mencapai tujuan perkawinan yang dapat memberi kepastian

hukum kepada para pihak yang bersangkutan, maka dibentuklah lembaga perkawinan.

Bagi warga negara yang beragama Islam penyelesaian perkawinan dilaksanakan oleh

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sedangkan bagi warga non Muslim

dilaksanakan oleh Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil.


Latar Belakang Filosofis
2
Pencatatan…

Meskipun masalah pencatatan perkawinan telah terisolasikan dalam Pasal 2

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi sampai saat ini masih

didasarkan adanya kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini mungkin sebagian

masyarakat (muslim) masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fikih

tradisional. Menurut pemahaman sebagian masyarakat tersebut bahwa perkawinan

sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fikih sudah

terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan di Kantor Urusan Agama dan tidak perlu surat

nikah sebab hal itu diatur pada zaman Rasulullah.

Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas, banyak timbul perkawinan

secara sirri tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah sebagai petugas resmi

mengenai urusan perkawinan. Adapun faktor-faktor penyebab mereka melakukan

perkawinan secara diam-diam (sirri) tersebut antara lain (1) pengetahuan masyarakat

terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka

masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak

perlu ada campur tangan pemerintah/negara; (2) tidak ada izin istri dan Pengadilan

Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang; (3) adanya

kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul “rapat” dengan calon

istri/suami, sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, lalu

dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama.

Tugas Pokok Departemen Agama adalah menyelenggarakan sebagian tugas

pemerintahan di bidang Keagamaan yang salah satu tugasnya adalah pelayanan

pencatatan perkawinan bagi umat Islam, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa untuk


Latar Belakang Filosofis
3
Pencatatan…

melaksanakan tugas telah ditetapkan adanya Pegawai Pencatat Nikah yang sehari-hari

dalam masyarakat dikenal dengan sebutan Penghulu, sebagai Pejabat terdepan dan

ujung tombak Departemen Agama dalam melaksanakan tugas pelayanan, pengawasan

dan pembinaan pelaksanaan pernikahan atau perkawinan.

Adapun landasan hukum tentang pencatatan nikah adalah:

1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946, tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan

Rujuk.

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.

3. Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004, tentang Pencatatan

Nikah.

4. Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 1 Tahun 1995, tentang Kutipan Akta Nikah.

5. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan UU. No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

Pengertian Pencatatan

Dalam proses perkawinan merupakan peristiwa penting yang terjadi pada

manusia, maka mutlak perlu didaftarkan pada kantor urusan agama (KUA) bagi

mereka yang beragama islam dan bagi non islam pada kantor catatan sipil. Karena

jika dikemudian hari terdapat masalah tidaklah mudah dalam penyelesaianya, kecuali

dengan beberapa bukti otentik yang memang disediakan untuk itu.

Pencatatan sipil, oleh lie Oen Hock di artikan sebagai suatu lembaga yang

bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan serta pembukuan yang selengkap-


Latar Belakang Filosofis
4
Pencatatan…

lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberikan kepastian hukum, yang sebesar-

besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan dan kematian.1

Sedangkan menurut R. Soetojo Prawirohamidjo dan Aziz Safroeddin

berpendapat bahwa, lembaga catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan

memungkinkan dengan selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya memberikan

kepastian sebesar-besarnya mengenai kejadian seperti kelahiran, perkawinan,

kematian dan sebagainya.2

Mencatatkan berarti mendaftarkan peristiwa perkawinan kepada

petugas/pejabat yang berwenang untuk dicatat sebagai bukti bahwa perkawinan

tersebut benar-benar terjadi. Selain sebagai pencatat pencatat perkawinan, petugas

juga mempunyai kewajiban sebagai pengawas terhadap perkawinan. Mengawasi

dalam arti menjaga jangan sampai perkawinan melanggar ketentuan hokum, baik

menurut hokum islam maupun hukum perundang-undangan yang berlaku. Sehingga

perkawinan yang terjadi merupakan perkawinan yang sah.

Pencatatan perkawinan yang tujuan utamanya untuk melakukan upaya hukum,

dengan maksud agar peristiwa perkawinan itu dapat menjadi jelas, baik yang

bersangkutan maupun orang atau masyarakat lainya. Karena dengan surat yang

bersifat resmi tersebut, yang termuat dalam daftar khusus dan memang disediakan

untuk itu, maka sewaktu-waktu dapat dipergunakan dimana perlu, terutama sebagai

alat bukti tertulis3 dan bukti otentik. Bukti otentik tersebut berupa kutipan akta nikah.

1 Nico Ngani dan I.Nyoman Budi Jaya, Seri Hukum Perdata Barat Cara Untuk Memperoleh Akta-Akta
Catatan Sipil, Cet.Ke-1 (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal.6.
2 Nico Ngani dan I.Nyoman Budi Jaya, Ibid, hal.6.
3 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet. Ke-4 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Januari 2003), hal.148.
Latar Belakang Filosofis
5
Pencatatan…

Istilah “akta” dalam bahasa belanda di sebut “acte”, dan dalam bahasa inggris disebut

“dead” yang keduanya mempunyai arti yang sama yaitu surat tanda bukti kebenaran

yang ditandatangani oleh orang yang berkepentingan, hal itu merupakan tanda bukti

yang dapat dijadikan saksi tulisan4. Menurut Peter Salim dan Yenny Salim dalam

kamus bahasa indonesia kontemporer, akta diartikan sebagai dokumen yang berisi

pernyataan resmi yang disahkan oleh notaris atau pejabat pemerintah yang

berwenang: sertifikat, akta kelahiran, akta perkawinan.5 Sementara menurut Sudikno

Mertokusumo, “akta” adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa,

dan menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja

untuk pembuktian.6 Hal ini senada dengan Subekti bahwa Akta adalah suatu tulisan

yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa

dan ditandatangani.7

Pencatatan Perkawinan Dalam Lintasan Sejarah

Pada zaman Hindia Belanda, masalah pencatatan perkawinan diatur dalam

Huwelijksordonantie Staatsblad 1929 Nomor 348, Verstenlandsche

Huwelijksordonantie Staatsblad 1933 Nomor 48 dan Huwelijksordonantie

Buitengewesten Staatsblad 1932 Nomor 482. Setelah Indonesia merdeka semua

peraturan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang

pencatatan nikah, Talak, Tujuk yang waktu itu diberlakukan di daerah Jawa, Madura.

Sedangkan untuk Sumatera oleh pemerintah RI diberlakukan Ketetapan Nomor


4 Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum Bahasa Belanda Indonesia Inggris (Semarang: Cv Anika tt),
hal 31.
5 Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, cet. Ke-1 (Jakarta: Modern English Press,
1991), hal.33.
6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Liberty, 1999),
hal.121.
7 Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradya Paramita, 1975), hal.25.
Latar Belakang Filosofis
6
Pencatatan…

01/PDRI/KA tanggal 16 Juni 1949. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik

Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatan Nikah, Talak dan

Rujuk, yang waktu hanya diberlakukan untuk Jawa dan Madura, mulai tanggal 26

Oktober 1954 diberlakukan untuk seluruh wilayah Nusantara. Kemudian untuk

pengganti Huwelijksordonantie Buitengewesten Staatsblad 1932 Nomor 482

dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.8

Kedua peraturan perundang-undangan tersebut di atas adalah untuk

kepentingan orang yang beragama Islam, sedangkan yang selain beragama Islam

dilaksanakan oleh Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand). Setelah lahirnya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975, masalah pencatatan menjadi beban tugas Direktorat Agama Islam

Departemen Agama RI bagi yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non-Islam

tetap di Kantor Pencatatn Sipil.9

Terakhir sehubungan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, Menteri Agama RI dengan peraturan Menteri Agama RI

Nomor 2 Tahun 1991 menetapkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah.10

Dengan memperhatikan tata cara dan ketentuan perkawinan menurut hukum

masing-masing agamanya, maka perkawinan haruslah dilaksanakan di hadapan

Pegawai Pencatat Nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat setelah

perkawinan dilaksanakan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang

telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan selesainya penandatanganan

8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006), hal. 54.
9 Abdul Manan, Ibid.
10 Abdul Manan, Ibid.
Latar Belakang Filosofis
7
Pencatatan…

tersebut, perkawinan telah dicatat secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kepada kedua mempelai diberikan kutipan akta nikah sebagai alat bukti bahwa benar

mereka telah melaksanakan perkawinan secara resmi dan sah.

Landasan Hukum Pencatatan Nikah

Pada dasarnya, tidak ada landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan

nikah secara spesifik dalam hukum islam, bahkan dalam al-Qur’an dan hadis pun

tidak ada teks yang secara eksplisit menjelaskan betapa pencatatan perkawinan itu

sangat penting.

Namun demikian, karena pencatatan ditinjau dari segi pengertianya di atas

adalah sebagai salah satu bukti tertulis, maka dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat

282 bisa dijadikan landasan hukum sebagaimana bunyinya:

‫يا يهاالذين امنوا اذاتداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه‬11

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa pencatatan (bukti tertulis) itu selalu

dilaksanakan pada perdagangan yang tidak tunai. Dan yang dimasukkan kepada

kategori yang tidak tunai adalah semua perjanjian perikatan yang ada kelanjutanya

(seperti halnya perkawinan), serta tidak selesai persoalanya hanya pada saat terjadinya

akad, yang bisa diduga kemungkinan terjadi permasalahan atau timbul perkara serta

persengketaan pada kemudian hari.12 Hal ini di dalam kehidupan rumah tangga

bukanlah sesuatu yang tabu, akan tetapi di dalamnya seringkali terjadi perselisihan

dan percekcokan. Sehingga kadang untuk menyelesaikan perkaranya itu mendapatkan

jalan buntu, karena dari salah satu pihak tidak ada yang bisa dijadikan bukti.

11 Al-Baqarah (2): 282.


12 Kamal Muhtar, Nikah Sirri Di Indonesia, Jurnal “al-Jami’ah”, No. 56, 1994.
Latar Belakang Filosofis
8
Pencatatan…

Demikian juga, karena pencatatan nikah dijadikan sebagai bukti, maka yang

dapat dijadikan dasar atau landasan hukum dari hadis nabi adalah sebagai berikut:

‫االبينة علي المدعي واليمين علي المد عي عليه‬13

Dari hadis tersebut diatas, bisa dipahami bahwa, bagi penggugat (baik itu dari

pihak suami atau pihak istri kalau dalam perkawinan) sebagai pihak yang mengajukan

gugatan dalam perkara, akan dikenakan suatu acara pembuktian. Pengertian bayyinah

sendiri dalam al-Qur’an, as- Sunnah dan perkataan para sahabat adalah nama bagi

setiap sesuatu yang dapat menyatakan dan mengungkapkan kebenaran. Pengertian ini

lebih umum dari pada pengertian yang dipaparkan menurut para ahli fiqh yang

mengkhususkan artinya hanya kepada dua orang saksi laki-laki saja atau seorang laki-

laki dengan sumpah penggugat.14

Oleh sebab itu, Ibnul Qayyim memberikan pemahaman bahwa yang di

maksud dengan hadis tersebut adalah bagi penggugat untuk membuktikan

tuntutanya/dakwaanya, ia harus membawakan bayyinah, sedang diantara bayyinah itu

adalah dua orang saksi, dan tidak ragu-ragu lagi bahwa alat-alat bukti lainya selain

dua orang saksi kadang-kadang kedudukanya lebih kuat dari pada dua orang saksi, 15

hal yang sangat kuat dalam konteks sekarang dan banyak digunakan dalam

pengadilan adalah alat bukti tertulis.

Dalam acara peradilan, pembuktian adalah sesuatu yang memang dibebankan

pada pihak penggugat sebagai kenyataan (bukti) gugatanya itu sesuatu hal yang benar.

Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh:

13 Bukhari, Sahih Bukhari Kitab Arrohmi Wa al-Hadiri (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal.116.
14 Ibnu al-Qayyim, I’Ianul Muwaqiin (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), hal. 90.
15 Salam Madzkur, al-Qada Fi al-Islam, Imron AM (terj.), (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1993), hal.104.
Latar Belakang Filosofis
9
Pencatatan…

‫االبينة الثابات خلفا الظاهرو اليمين البقاءالصال‬16

Oleh karenanya terhadap pihak yang mempunyai masalah dapat mengingkari

atau menolak terhadap apa yang dilaporkan pihak lain kepadanya, dengan

berdasarkan keadaan yang zahir itu (akta nikah) misalnya pihak suami yang

mengingkari terhadap isterinya sehingga dia kawin dengan wanita lain/ lari dari

tanggung jawab, maka isteri dapat mengajukan bukti-bukti seperti halnya akta nikah.

Begitu juga kalau mengacu pada disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974, dinyatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”17 yang dalam pelaksanaanya diatur dengan PP No 9 Tahun

1975, di dalamnya termaktub pernyataan “pencatatan perkawinan dari mereka yang

melangsungkan perkawinan menurut agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat

sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak

dan rujuk.18 Sedangkan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut

agamanya dan kepercayaanya itu selain agama islam, dilakukan oleh pegawai

pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksudkan dalam

berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.19 Hal ini sebagai

sebuah landasan hukum, bahwasanya pencatatan perkawinan suatu hal yang niscaya

adanya.

Mengingat dalam melangsungkan akad pernikahan diharuskan mengikuti

aturan hukum dari masing-masing agamanya dan kepercayaanya20, maka akad akan

dilaksanakan, harus dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah yang disertai

16 Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-Qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal.326.


17 Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2.
18 Bab II Pasal 2 ayat (1) PP No 9 Tahun 1975.
19 Bab II Pasal 2 ayat (2) PP No 9 Tahun 1975.
20 Bab II Pasal 10 ayat (2) PP No 9 Tahun 1975
Latar Belakang Filosofis
10
Pencatatan…

hadirnya dua orang saksi, sebagaimana dijelaskan pada Bab III Pasal 10 ayat 3 yang

kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan akta perkawinan oleh kedua

mempelai suami dan isteri, kedua orang saksi dan pegawai pencatat secara berurutan.

Ketiga dari komponen tersebut (suami isteri, dua orang saksi dan pencatat nikah)

diharuskan hadir pada waktu acara perkawinan.21 Dengan penandatanganan akta

perkawinan tersebut, maka perkawinan telah dinyatakan tercatat secara resmi.22

Dengan demikian, maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil

sahnya suatu perkawinan. Persyaratan formil ini bersifat prosedual dan administratif,

akan tetapi tidak mengabaikan persyaratan materil. Karena menurut mukti arto, suatu

perkawinan bisa dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat yaitu:

1. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan dengan

memenuhi syarat dan rukun menurut hukum islam.

2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada pegawai

pencatat nikah yang berwenang.23

Fungsi Dan Tujuan Pencatatan

Salah satu tujuan dianjurkanya pencatatan nikah adalah, agar terwujudnya

ketertiban hukum di bidang perkawinan dalam masyarakat, dan menjadikan

peristiwaperkawinan menjadi jelas memperoleh kepastian hukum dan kekuatan

hukum,24 baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain.

21 Bab III Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) PP No 9 Tahun 1975.
22 Bab III Pasal 11 ayat (3) PP No 9 Tahun 1975.
23 Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahaya Perkawinan, Jurnal “Lembar Hukum”
Vol VII No 26, Mei 1996.
24 Semua ini adalah landasan filosofis lembaga pencatatan pada pasal 2 ayat (2) UU No Tahun 1974 jo
KHI Pasal 5 ayat (1), dan (2), Pasal 6 ayat (1) dan (2) serta pasal 7 ayat (1).
Latar Belakang Filosofis
11
Pencatatan…

Hal ini, merupakan suatu upaya yang diatur oleh undang-undang untuk

melindungi martabat dan kesucian sebuah perkawinan, khususnya bagi perempuan

dalam kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini negaralah yang berhak, serta lebih

berkompetensi untuk menetapkan adanya undang-undang pencatatan perkawinan

tersebut. Pemberlakuan pencatatan perkawinan tersebut sebagai usaha pemerintah

untuk kemaslahatan umatnya, yang disebut dengan as-Siyasah asy syar’iyah.

Kebijakan yang diambil pemerintah ini adalah suatu langkah yang tepat,

mengingat kondisi masyarakat indonesia yang semakin kompleks ternyata beragam

pula problem kehidupanya. Tentu saja hal itu membutuhkan aturan-aturan yang

sifatnya formil. Peraturan-peraturan tersebut dibutuhkan demi menjaga ketertiban

kehidupan dan demi adanya kepastian hukum bagi masyarakatnya. Disamping itu,

dengan pencatatan perkawinan dapat meminimalisir tiga hal yang sangat berbahaya

bagi keutuhan ikatan perkawinan. Pertama, berisiko tinggi terhadap terjadinya

“poligami liar” dengan bias keinginan subyektif dari pihak suami untuk sekedar

memanfatkan peluang dalam mencari keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan

sisi kebahagiaan dan nilai keadilan yang merupakan misi utama dalam sebuah

perkawinan. Kedua, akan sangat mudah bagi banyak masyarakat untuk menghidupkan

praktek “kawin sirri” yang sangat beresiko tinggi terhadap kemungkinan terjadinya

resiko yang pertama (poligami liar) yang dalam realitas masyarakat sering kali

dijumpai praktek “kawin bawah tangan” tanpa melibatkan petugas pegawai pencatat

nikah dan tanpa sepengetahuan pihak isteri pertama. 25 Karena ketika kehendak

perkawinan dilaporkan atau didaftarkan kepada petugas pencatat nikah, maka petugas

yang salah satunya mempunyai tugas mengawasi perkawinan, sehingga kalau terjadi

25 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Cet. Ke-3 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
hal.109.
Latar Belakang Filosofis
12
Pencatatan…

suatu pelanggaran, petugas bisa membatalkan perkawinan. Ketiga apabila terjadi

perselisihan atau percekcokan antara pihak suami dan isteri cenderung akan

mengalami jalan buntu, karena tidak ada bukti yang sah secara tertulis dan otentik dari

kedua belah pihak yang bersangkutan.

Kalau dari salah satu pihak tersebut di atas terdapat alat bukti (akta nikah)

yang sah maka, tentu saja bisa melakukan upaya hukum. Karena tujuan diadakanya

alat bukti itu memang untuk:

1. Sebagai dalil bahwa seseorang mempunyai suatu hak

2. Untuk meneguhkan dan menguatkan bahwa seseorang

mempunyai suatu hak

3. Untuk membantah atau menyatakan ketidakbenaran bahwa

orang lain mempunyai hak

4. Untuk menunjukan dan menyatakan bahwa telah terdapat suatu

keadaan atau telah terjadi suatu peristiwa.26

Hal ini sebagai bukti bahwa alat bukti yang sah mempunyai kekuatan untuk

melakukan upaya hukum. Karena sebagai alat bukti tersebut, masing-masing dari

salah satu pihak atau mempunyai kekuatan dalam sebuah pengadilan sebagai upaya

mempertahankan hak dari masing-masing yang berselisih tersebut. Sehingga menurut

subekti kekuatan pembuktian akta otentik dapat dibedakan menjadi tiga kekuatan

secara fungsional yaitu.

Pertama, kekuatan pembuktian lahir yaitu bahwa surat yang secara lahiriah

tampil sebagai akta yang sah, sepanjang tidak terbukti sebaliknya. Kedua, kekuatan

pembuktian formil yaitu membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah

26 Kamal Muhtar, Nikah Sirri Di Indonesia, hal.17.


Latar Belakang Filosofis
13
Pencatatan…

menerangkan apa yang ditulis dalam akta tadi. Hal yang dimaksud adalah tentang

adanya suatu perbuatan/keadaan menurut hukum, atau adanya suatu pernyataan.

Ketiga kekuatan pembuktian materil yaitu membuktikan antara para pihak yang

bersangkutan, bahwa sunguh-sungguh peristiwa yang disebutkan benar terjadi, hal ini

dimaksudkan yaitu tentang kebenaran isi dari suatu perbuatan/keadaan atau

pernyataan yang dimuat di dalam akta itu.27

Mengambil pendapat Mahmud Syaltut bahwa perkawinan adalah untuk

memelihara hak-hak dan kewajiban para pihak yang bersangkutan anak-anak dan

keturunan. Pencatatan perkawinan tandasnya mempunyai tujuan sebagai usaha

mengantisipasi semakin menipisnya iman kaum muslim. Sebab, salah satu akibat

menipisnya iman kaum muslimin ialah, semakin banyaknya terjadi pengingkaran-

pengingkaran janji yang berakibat pada tindakan kesewenangan-kesewenangan

dengan dalih yang dibuat-buat untuk lari dari kewajiban. Karena tolak ukur iman itu

adalah sesuatu yang tersembunyi, maka salah satu jalan keluar yang harus ditempuh

adalah membuat bukti secara tertulis melalui pencatatan nikah.28

Sementara menurut Ahmad Rofiq, ada dua fungsi pencatatan perkawinan yang

perlu diperhatikan. Pertama, fungsi preventif yaitu untuk menanggulangi adanya

kekurangan rukun dan syarat perkawinan menurut hukum agama (fiqh) di satu pihak,

dan perundangan-undangan hukum dipihak lain. Kedua, fungsi represif yaitu, suami

istri bila karena suatu hal tidak dibuktikan dengan akta nikah, dibuka kesempatan

kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah kepada pengadilan

agama.29

27 Subekti, Hukum Pembuktian, hal. 29-30.


28 Mahmud Syaltut, Al-Fatawa Dirasatu Lil Musykilat al-Muslim al-Mua shirah Fi Hayatihi al-
Yaumiyah Wa al-Amanah, cet. Ke-3 (Dar al-Qalam), hal. 270-271.
29 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, hal. 111-117.
Latar Belakang Filosofis
14
Pencatatan…

Lebih lanjut menurut Ahmad Rofiq, pencatatan perkawinan bagi sebagian

masyarakat tampaknya masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat

pemahaman yang fiqih sentris, yang dalam kitab- kitab fiqih hampir tidak pernah

dibicarakan, sejalan dengan situasi dan kondisi waktu fiqih itu ditulis. Namun apabila

kita coba perhatikan ayat al-Mudayanah dalam QS Al-Baqarah: 282, mengisyaratkan

bahwa dalam ayat tersebut redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa

pencatatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi salah

satu rukunnya. Akan tetapi sangat disayangkan tidak ada sumber-sumber fiqih yang

menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan membuktikannya

dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat tersebut. Menurutnya, praktik

pemerintah mengatur tentang pencatatan ini adalah sesuai dengan epistemologi

hukum Islam dengan metode istislah atau maslahah. Meskipun secara formal tidak

ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan, kandungan

maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan

bagi manusia.30

Berbeda halnya dengan Mukti Arto bahwa akta nikah mempunyai dua fungsi

yaitu fungsi formil dan fungsi materiil. Fungsi formil artinya, untuk lengkapnya atau

sempurnanya suatu perkawinan, haruslah dibuat akta otentik, yaitu akta nikah yang

dibuat oleh pegawi pencatat nikah. Disini akta nikah merupakan syarat formil untuk

adanya perkawinan yang sah. Sedangkan fungsi materiil artinya, akta nikah

mempunyai fungsi sebagai alat bukti karena memang sejak semula akta nikah dibuat

sebagai alat bukti.31

30 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 51


31 Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan, hal.48.
Latar Belakang Filosofis
15
Pencatatan…

Dengan demikian, benar atau salahnya suatu permasalahan perlu dibuktikan,

yaitu untuk menghindari dari kemungkinan-kemungkinan salah dalam memberikan

suatu penilaian. Serta dalam upaya memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta yang

dikemukakan agar masuk akal yaitu apa yang dikemukakan sebagai fakta-fakta itu

harus selaras dengan kebenaran.

Sehubungan dengan hal ini, Kompilasi Hukum Islam (Pasal 5 dan 6)

mempertegas kembali tentang pencatatan nikah bagi seluruh warga negara Indonesia,

khususnya bagi warga negara yang beragama Islam. Pentingnya pencatatan nikah

tersebut adalah sebagai bukti telah melaksanakan perkawinan yang sah sesuai dengan

peraturan yang berlaku, misalnya untuk memperoleh akta kelahiran, asuransi,

kewarisan, dan berbagai kepentingan lainnya. Agar hal ini dapat terlaksana dengan

baik, maka setiap perkawinan yang dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia harus

dicatat sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dan

Undang-Undang No 32 Tahun 1954. Perkawinan yang dilaksanakan oleh pejabat

yang tidak berwenang dapat dikategorikan sebagai nikah fasid karena kurang

persyaratan yang telah ditentukan dan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan

akibat perkawinan tersebut dapat mengajukan pembatalan perkawinan kepada

Pengadilan Agama.32

Penutup

Praktik pemerintah mengatur tentang pencatatan ini adalah sesuai dengan

epistemologi hukum Islam dengan metode istislah atau maslahah. Meskipun secara

formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan,

32 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal.57.


Latar Belakang Filosofis
16
Pencatatan…

kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan

kemaslahatan bagi manusia. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pencatatan

perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua

pihak. Karena ia memiliki landasan yang cukup kokoh yang menurut Asy-Syatibi

maslahat mursalah ini merupakan dalil qath’i yang dibangun atas dasar kejadian

induktif.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Asjmuni. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.

Arto, Mukti. 2003. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet, Ke-4.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

. 1996. Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahaya Perkawinan, Jurnal


“Lembar Hukum”. Vol VII No 26, Mei.

Bukhari. 1937. Sahih Bukhari Kitab Arrohmi Wa al-Hadiri. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibnu al-Qayyim. 1973. I’Ianul Muwaqiin. Beirut: Dar al-Fikr.

Madzkur, Salam. 1993. al-Qada Fi al-Islam, Imron AM. (terj.). Surabaya: PT.Bina
Ilmu.

Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media.

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. Ke-2.


Yogyakarta: Liberty.

Ngani, Nico. 1984. Seri Hukum Perdata Barat Cara Untuk Memperoleh Akta-Akta
Catatan Sipil. Yogyakarta: Liberty.

Pramudya, Yan Puspa. tt. Kamus Hukum Bahasa Belanda Indonesia Inggris.
Semarang: Cv Anika.
Latar Belakang Filosofis
17
Pencatatan…

Salim, Peter. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, cet. Ke-1. Jakarta:
Modern English Press.

Subekti. 1975. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradya Paramita.

Syaltut, Mahmud. tt. Al-Fatawa Dirasatu Lil Musykilat al-Muslim al-Mua shirah Fi
Hayatihi al-Yaumiyah Wa al-Amanah, cet. Ke-3. Dar al-Qalam. Rofiq
Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia, Cet. Ke-3. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai