Anda di halaman 1dari 117

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

1




FIQIH
MAWARIS

Ahmad Sarwat, Lc
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

3















Judul Buku
Fiqih Mawaris

Penulis
Ahmad Sarwat


Penerbit
DU CENTER


Cetakan
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

5
Istilah

Agar tidak terjadi selip paham dalam membicarakan hal-hal yang
terkait dengan istilah warisan yang ditranslate ke dalam bahasa
Indonesia, mari kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).
Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang sering keliru
membedakan keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah
memperoleh warisan. Misalnya kalimat berikut : Amir mewarisi sebidang
tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir memperoleh tanah yang
ditinggalkan oleh pak Ali.
Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta
warisan atau meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya
kalimat berikut : Pak Ali mewariskan sebidang tanah kepada anaknya.
Maksudnya, pak Ali memberikan harta warisan kepada anaknya.
Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang
memberi harta warisan. Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris
dari anak-anaknya. Maksudnya, pak Ali memberi harta warisan kepada
anak-anaknya.
Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak
menerima warisan (harta pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir adalah
ahli waris dari ayahnya. Maksudnya, Amir menerima harta warisan dari
ayahnya.

mewarisi v 1 memperoleh warisan dr: krn anak satu-
satunya, dialah yg akan ~ seluruh harta kekayaan orang
tuanya; 2 ki memperoleh sesuatu yg ditinggalkan
oleh orang tuanya dsb: ia tidak saja memperoleh harta
kekayaan, tetapi ia juga ~ utang-utang yg ditinggalkan
almarhum;
mewariskan v 1 memberikan harta warisan kpd;
meninggalkan sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu silat
kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi waris;
warisan n sesuatu yg diwariskan, spt harta, nama baik; harta
ahli waris orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka)

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

7
Daftar Isi

Urgensi dan Pensyariatan 17
1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris 17
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut 18
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW 19
1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran 19
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga 20
1.5. Ancaman Akhirat 21
2. Pensyariatan 22
2.1. Dalil Quran 22
2.2. Dalil Sunnah 26
2.3. Dalil Ijma' 27
Pengertian Waris 29
1. Definisi 29
1.1. Bahasa 29
1.2. Pengertian syariah 30
2. Waris, Hibah dan Wasiat 30
2.1. Waktu 31
2.2. Penerima 31
2.3. Nilai 32
2.4. Hukum 32
3. Istilah-istilah dalam ilmu waris 33
3.1. Tarikah 33
3.2. Fardh 33
3.3. Ashhabul Furudh. 33
3.4. Ashabah 34
3.5. Sahm 35
3.6. Nasab 35
3.7. Al-Far'u 35
3.8. Al-Ashl 36
Alokasi Harta 37
1. Menetapkan Kepemilikan Harta 37
2. Pengurusan Jenazah 40
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


8
3. Hutang 41
4. Washiyat 43
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan 45
1. Rukun Waris 45
1.1. Al-Muwarits 45
1.2. Al-Warits 45
1.3. Harta Warisan 46
2. Syarat Waris 46
2.1. Meninggalnya Muwarrits 46
2.2. Hidupnya Ahli Waris 49
2.3. Ahli Waris Diketahui 50
3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris 50
3.1. Kerabat hakiki 50
3.2. Pernikahan 51
3.3. Al-Wala 51
Gugurnya Warisan 53
1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan 53
1.1. Pembunuhan 53
1.2. Perbedaan Agama 54
1.3. Budak 56
2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub 57
Penghalang Warisan (Al-Hujub) 59
1. Definisi 59
2. Macam-macam al-Hujub 60
3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman 61
4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman 62
Ashabul Furudh & Ashabah 63
1. Ashhabul Furudh 63
2. Ashabah 64
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah 65
2.3. Macam-macam 'Ashabah 67
3.1. 'Ashabah bin nafs 67
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs 68
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

9
Para Ahli Waris 71
1. Anak Laki-laki ( ) 74
1.1. Bagian 74
1.2. Menghijab 77
1.3. Dihijab oleh : 77
2. Anak Perempuan ( ) 77
2.1. Bagian 78
2.2. Menghijab 79
2.3. Dihijab Oleh : 79
3. Istri ( ) 80
3.1. Bagian 80
3.2. Menghijab 81
3.3. Dihijab oleh 81
4. Suami 81
4.1. Bagian 81
4.2. Menghijab 82
4.3. Dihijab oleh 82
5. Ayah 83
5.1. Bagian 83
5.2. Menghijab 85
5.3. Dihijab oleh 86
6. Ibu 86
6.1. Bagian 86
6.2. Menghijab 88
6.3. Dihijab oleh 88
7. Kakek ( ) 89
7.1. Bagian 89
7.2. Menghijab 91
7.3. Dihijab oleh 91
8. Nenek ( ) 92
8.1. Bagian 92
8.2. Menghijab 92
8.3. Dihijab oleh 92
9. Saudara seayah-ibu ( ) 92
9.1. Bagian 92
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


10
9.2. Menghijab 93
9.3. Dihijab Oleh : 93
10. Saudari seayah-ibu 94
10.1. Bagian 94
11. Saudara seayah ( ) 95
11.1. Bagian 95
11.2. Menghijab 96
11.3. Dihijab Oleh : 96
12. Saudari seayah ( ) 97
10.1. Bagian 97
13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu 98
14. Keponakan : anak saudara seayah 98
15. Paman : saudara ayah seayah-ibu 98
16. Paman : saudara ayah seayah 98
17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu 99
18. Sepupu : anak laki paman seayah 99
19. Cucu Laki-laki ( ) 99
19.1. Bagian 99
19.2. Menghijab 100
19.3. Dihijab oleh : 101
20. Cucu Perempuan 101
21. Nenek Dari Ibu 101
22. Saudara/i Seibu 101
Cara Membagi Warisan 103
1. Langkah Pertama 103
1.1. Hutang 103
1.2. Wasiat 103
1.3. Biaya Pengurusan Jenazah 104
2. Langkah Kedua 104
2.1. Memilah 104
2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab 105
3. Langkah Ketiga 107
Aul dan radd Error! Bookmark not defined.
1. Aul Error! Bookmark not defined.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

11
2. Radd Error! Bookmark not defined.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

13
Pengantar



5



Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung.
Shalawat serta salam tercurah kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan
orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam
juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang
sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh
kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki
dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-
hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa
mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek,
ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah
atau seibu.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


14
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama
hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan
ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit
sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara
detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian
disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak
kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan
kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama
pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid
kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban
Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh
agama manapun yang pernah muncul di muka bumi.
Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat
menikmati warisan itu, salah satunya karena kendala bahasa.
Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun dari langit
kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun huruf keluar dari
lidah nabi kita SAW, kecuali dalam bahasa Arab.
Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa
Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan
umat ini dengan warisan agamanya. Tentu saja buku ini juga
diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks berbahasa
Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli
dari agama ini.
Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian
silsilah pembahasan fiqih. Selain buku ini juga ada buku lain
terkait dengan masalah fiqih seperti fiqih thaharah, shalat,
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

15
puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah, waris,
hudud dan bab lainnya.
Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj
yang kami gunakan adalah manhaj muqaranah dan
wasathiyah. Kami tidak memberikan satu pendapat saja,
tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila memang
ada khilaf di antara para ulama tentang hukum-hukum
tertentu, dengan usaha untuk menampilkan juga hujjah
masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan kepada
para pembaca.
Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat
karena bukan sekedar dimengerti isinya, tetapi yang lebih
penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya ikhlas
karena Allah SWT.
Al-Faqir ilallah
Ahmad Sarwat, Lc


Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

17
Bab Pertama
Urgensi dan Pensyariatan
1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris
Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah
sudah ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani urusan
waris? Bukankah biasanya membagi waris menjadi tugas
dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)?
Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita
ketika pertama kali melihat buku ini.
Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab
biasanya urusan pembagian waris memang menjadi urusan
para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak KUA.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


18
Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini pakai sok
belajar ilmu waris?
Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita
yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada
beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi hal itu.
Antara lain :
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut
Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini
mayoritas muslim, namun kita tahu bahwa agama kita
diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan dari
dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai
produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti hukum
barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum
pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional,
atau dari adat istiadat turun temurun.
Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim
yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-Quran, aktif
mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan amaliyah
sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa asing
dengan hukum waris Islam.
Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini
merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi
oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.
Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan
perintah untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris itu
setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah
SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang
pertama kali akan diangkat dari muka bumi.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

19

Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang.
Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku".
(HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW


Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-
orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-
orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan
ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai
ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun
tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-
Daruquthuny dan Al-Hakim)
1

1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran
Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu
waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga

1
Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman
328
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


20
secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu
waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari
ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.

Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata,
"Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-
Quran".
2

Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris
ini sangat penting bagi umat Islam. Karena disejajarkan
dengan belajar Al-Quran.
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga
Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga
adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi,
umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota
keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris
Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam
ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya
adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika
orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris
itu saling berebut harta disebabkan karena parameter yang
mereka gunakan saling berbeda.
Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris
versi adat. Yang lainnya mau versi barat. Sebagiannya mau
pakai hukum Islam.
Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan
mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam,

2

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

21
niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab
selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan
pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu
agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris
sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang
masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama
adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum
waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga
yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah
mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda,
dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea
sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti.
1.5. Ancaman Akhirat
Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah
mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai
dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara
sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah
ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka.
Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa
keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam
neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis
siksaan yang menghinakan.
Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam
Al-Quran Al-Kariem.


Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


22
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa'
: 13-14)
Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa
membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah
ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar.
Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api
neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang
tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan
Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya,
karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di
dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan
yang menghinakan.
Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan
buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan
sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini
menjadi peringatan buat mereka yang masih saja
mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan
sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi
min zalik.
2. Pensyariatan
Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah
Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah dan sunnah
Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.
2.1. Dalil Quran
Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail
menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum
Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

23
11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal
ayat terakhir, yaitu ayat 75.
a. Ayat waris untuk anak



Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.
(QS. An-Nisa' : 11)
b. Ayat waris untuk orang tua





Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


24
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)
c. Ayat waris buat suami dan istri
.




Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-
Nisa' : 12)
d. Ayat waris Kalalah
Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah
dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau
perempuan.




Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

25
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (QS. An-Nisa'
: 12)
e. Ayat waris Kalalah
Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan saudara perempuan.


Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)


Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam
kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


26
2.2. Dalil Sunnah
Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan
pensyariatan hukum waris buat umat Islam. Di antaranya
adalah hadits-hadits berikut ini :

Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabdam"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada
yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang
paling utama. " (HR Bukhari)

Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat
warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat
warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-
Nasai)
3


Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang berbeda agama
tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu
Majah)


3
Nailul Authar jilid 6 halaman 55
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

27
Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata
bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua orang nenek
yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan
Ibnu Majah)

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah
SAW menetapkan bagi anak tunggal perempuan setengah
bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam
bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat
saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)
4

2.3. Dalil Ijma'
Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi
telah berijma' tentang pensyariatan hukum waris ini.


4
Nailul Authar jilid 6 halaman 58
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

29
Bab Kedua
Pengertian Waris
1. Definisi
1.1. Bahasa
Al-miirats ( ) dalam bahasa Arab adalah bentuk
mashdar (infinitif) dari kata ( ) waritsa-
yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah
'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',
atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya
pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup
harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


30
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah
saw.. Di antaranya Allah berfirman:

"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)

"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:

'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
1.2. Pengertian syariah
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal
para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syar'i.

2. Waris, Hibah dan Wasiat
Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan
dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat.
Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali
kesulitan saat membedakannya.
Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel
seperti berikut ini.
WARIS HIBAH WASIAT
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

31
Waktu
Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat
Penerima Ahli waris
ahli waris &
bukan ahli waris
bukan ahli waris
Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3
Hukum wajib Sunnah Sunnah

2.1. Waktu
Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada
para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar
masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya
(muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian
waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia.
Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki
harta itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya
dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau
hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak
menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan
washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih
hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat
dia meninggal dunia.
2.2. Penerima
Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang
terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab
hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan
kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang
bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris
sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka
haram baginya menerima lewat jalur washiat.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


32
Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima
oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh
diserahkan kepada siapa saja.
2.3. Nilai
Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada
ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di
dalam ilmu faraidh.
Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya,
seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada juga para
ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima
warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para
ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat jalur
furudh dan ashabah sekaligus.
Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan
maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan.
Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum
sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT
untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat
lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan.
Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3,
maka kelebihannya itu harus dibatalkan.
2.4. Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan
sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu
kewajiban atas harta.
Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya
sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya
sunnah.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

33
3. Istilah-istilah dalam ilmu waris
Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas,
dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang
umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang akan
seringkali muncul dalam mata kuliah ini.
3.1. Tarikah
Tarikah, ( ) kadang dibaca tirkah, adalah segala
sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang)
atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai
peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok
hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang
piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang
mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar
yang belum diberikan kepada istrinya).
3.2. Fardh
Fardh ( ) adalah bagian harta yang didapat oleh
seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash
Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah
bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3.
Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah
sesuai bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya
sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya,
apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4
bagian bila suaminya tidak punya keturunan.
3.3. Ashhabul Furudh.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


34
Ashabul furudh ( ) sesuai dengan namanya,
berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang
mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang
punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya.
Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan
lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh
nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang
istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar
harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya
suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta
suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat
1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya,
sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu
1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri.
Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari
harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami
mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang
sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta
muwarristnya.
3.4. Ashabah
Istilah ashabaha ( ) berposisi sebagai lawan fardh,
yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang
besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu
hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh
ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen.
Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli
waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

35
bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka
sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris
ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah
ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta
suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai
ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu
1 1/8 = 7/8.
3.5. Sahm
Sahm ( ) adalah istilah untuk menyebut bagian harta
yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari
asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
Misalnya,
3.6. Nasab
Nasab ( ) adalah hubungan seseorang secara darah,
baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek
kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut
abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah
(keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak
dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut
bunuwwah.
3.7. Al-Far'u
Istilah ( ) bila kita temukan di dalam ilmu waris,
maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari
almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak
dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila
disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan
anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke
bawahnya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


36
3.8. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl ( ) adalah ayah
kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung
atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek
atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini
disebut juga al-jaddu ash-shahih.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

37
Bab Ketiga
Alokasi Harta
Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan
meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta
peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada
sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih
dahulu. Tentu saja bila pos-pos pengeluaran itu memang
ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum
waris.
1. Menetapkan Kepemilikan Harta
Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab-
kitab fiqih klasik, namun pada kenyataannya, terutama di
negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua urusan
pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah
memilah dan memilih mana yang merupakan harta
almarhum dan mana yang harta milik orang lain, tetapi
tercampur di dalam harta almarhum.
Mengapa demikian?
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


38
Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang
dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki oleh
almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang
sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi milik
bersama, baik antara suami istri atau pun dengan pihak lain.
Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana
di dalam harta seseorang masih tercampur hak milik orang
lain, diantaranya :
a. Usaha Bersama Suami Istri
Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun
usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya
mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan
usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan
harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua. Ketika
keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan,
lantran kedua suami istri.
Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia.
Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa
usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami tentu
tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.
Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak.
Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas
harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.
Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status
kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar yang
menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri,
seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka
berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas. Dan
kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus
ditetapkan secara jelas juga.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

39
Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik
istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami
tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.
b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri
Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan
anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri.
Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak
mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari
peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak
punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak
punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang
tidak lain adalah adik-adik almarhum.
Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda,
kolam pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya
bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum.
Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan
kolam pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang
tahun.
Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama
istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya
bukan milik almarhum.
Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing
pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan
menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti
kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa
dilakukan.
c. Pinjam atau Beli
Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada
kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak
sawah digadaikan kepada sang kakak.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


40
Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang
pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai
jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.
Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak
dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan.
Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli
waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik
mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka,
karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu
semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai
jaminan hutang.
Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan
bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka,
lantaran utang belum pernah dikembalikan.
Anak keturunan si adik akhirnya bersedia
mengembalikan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya
hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya
senilai itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang,
karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini.
Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi
haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu
dikembalikan seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar
30-an juta.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah
masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih
dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.
2. Pengurusan Jenazah
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris
hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan
tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

41
tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit,
sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya
memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan
sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya
yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah
bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
3. Hutang
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung
pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli
warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih
dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga
ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang
bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang
tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum
membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau
belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama
ada sedikit perbedaan pandangan.
Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli
warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli
warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan
(harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


42
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut
merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika
seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka,
pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan
keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh
orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun
kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang
sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada
hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika
masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah
SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit
tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya.
Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli
waris untuk menunaikannya.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib
untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan
bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama
manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan
yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah
mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta
peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut
wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan
dengan hak sesama hamba.
Al-Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang
berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli
warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

43
utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama
hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba
daripada utang kepada Allah.
Al-Hanabilah
Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang
kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah.
Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum
seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap
ahli waris.
4. Washiyat
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak
melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut
diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak
ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya.
Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah
sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan
pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar
utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari
jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak
wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli
warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika
menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada
waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta
yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "...
Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila
engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


44
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris
dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-
Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada :
ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah
bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang
berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah
ashhabul furudh menerima bagian).
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan
daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan
utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru
kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu,
didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung
hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-
benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang
menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan
menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang
piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan
penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

45
Bab Keempat
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan
1. Rukun Waris
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus
terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini
tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-
mauruts. Lebih rincinya :
1.1. Al-Muwarits
Al-Muwarrits ( ) sering diterjemahkan sebagai
pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan.
Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang
meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli
waris.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan
milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara
bukanlah termasuk pewaris.
1.2. Al-Warits
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


46
Al-Warits ( ) sering diterjemahkan sebagai ahli
waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta
peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab)
atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
1.3. Harta Warisan
Harta warits ( ) adalah benda atau hak
kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah,
dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris,
tentu saja tidak boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami
meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu
untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang
milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris.
Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena
bukan termasuk harta warisan.
2. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi
untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat-
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi
pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
2.1. Meninggalnya Muwarrits
Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama
ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal
secara hukum.
a. Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis
menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa,
dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

47
b. Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh
hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya
tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang,
atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal
dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan
kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah
meninggal dunia.
Bagi Waris Sebelum Meninggal
Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat,
yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya
meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang
membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli
waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits
belum lagi meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta
yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia
masih hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa
pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia
terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang
membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada
keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang
terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah
itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun
pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya
kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


48
Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu
sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah
menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada
hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu
sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila
kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak
berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah
berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk
mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu begitu
dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si
anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah
itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain.
Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang
tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk
memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya
kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya
washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak
tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya
(pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada
washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga,
hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu
harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya
hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya
warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan
pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-Quran dan
As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai
pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

49
warisan untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan
kepada hukum warisan, setelah dia meninggal dunia.
2.2. Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada
waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan
menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki
ketika pewaris meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari
ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu
telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak
mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka.
Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari
kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan.
Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek
berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan
menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan
warisan melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para
ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan kepada
saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih
hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada
cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada
saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak
mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang
berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --
atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


50
mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka
tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika
masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti
orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan
kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha
menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak
dapat saling mewarisi.
2.3. Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk
jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri,
kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui
dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada
masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris
perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan
jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus
dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara
seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing
mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima
warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena
'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan
warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan
hak waris:
3.1. Kerabat hakiki
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

51
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu,
anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya
seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila
sang ayah meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang
telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua,
lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang
wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak
mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek
lainnya.
3.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara
seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau
tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak
mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan
mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya
pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan,
meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang
menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya
meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal
dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski
mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil
atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan
hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka
pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara
suami dan istri.
3.3. Al-Wala
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


52
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga
wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab
adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa
kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai
manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan
kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan,
bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik
adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali
pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah
tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban
manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

53
Bab Kelima
Gugurnya Warisan
Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak
mendapat warisan, ada juga hal-hal yang membuat
seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun
karena satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga
orang tersebut tidak jadi menerima warisan.
1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan
Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada
tiga:
1.1. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya
seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya
untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi
berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang
dibunuhnya. "
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


54
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan
yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus
dijadikan sebagai kaidah:

Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya.
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan
jenis pembunuhan.
Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang
dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis
pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan
yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat
menggugurkan hak waris.
Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan
dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi
penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan
kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam,
atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi
lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati
pada umumnya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan
yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah
setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya
diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat.
Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
1.2. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi
oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

55
anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari
ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak
beragama Islam.
Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris,
tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak
mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal
ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan
tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan
Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat
imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada
pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa
seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak
boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka
adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak
ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi
sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang
telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad.
Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad
termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya
orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan
pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah
dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


56
seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur
ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka,
orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam
sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir.
Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam
haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat
saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim
dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan
kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan:
"Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan
kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan
dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih
(kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta
warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan
kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita
temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf
nasional ataupun internasional.
1.3. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak
mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya.
Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung
menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun
(budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan
merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak
yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

57
tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah
pihak).
Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak
untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka
tidak mempunyai hak milik.
2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-
mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan
sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu,
ada baiknya juga dijelaskan perbedaan makna antara kedua
istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari
ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti
membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal
dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah
hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat
kedudukannya.
Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya
ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung.
Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan
bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih
dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah.
Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak
memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung
pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini
disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya
sertakan contoh kasus dari keduanya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


58
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan
seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini,
anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya
sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta
yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak.
Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada,
menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian
disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja
anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri
seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak
mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang
mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang
ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu,
serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak
mendapatkan warisan dikarenakan ter-mahjub oleh adanya
ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka,
yaitu ayah pewaris.

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

59
Bab Keenam
Penghalang Warisan (Al-Hujub)
1. Definisi
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'.
Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-
benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (QS. Al-
Muthaffifin : 15)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang
benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan
mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib
yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu', disebabkan ia
menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa
izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah
hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


60
makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan
al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan
warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama
faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima
waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja
disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk
menerimanya.
2. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi
(sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang
lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub
tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara
keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya
atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau
terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya
hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang
lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi
terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub
hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak
waris seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena
adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya
anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya
saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek
karena adanya ibu, dan seterusnya.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

61
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu
penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya,
penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya
mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan
pewaris mempunyai keturunan (anak).
Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang
suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi
seperempat, sang istri dari seperempat menjadi
seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan
seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid
apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya,
maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan
hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub
nuQShan.
3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena
hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan
tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut
adalah :
1. Anak kandung laki-laki
2. Anak kandung perempuan
3. Ayah
4. Ibu
5. Suami
6. Istri
Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau
bahkan keenamnya, maka mereka ini pasti mendapat
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


62
warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan
almarhum yang wafat.
4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Ada 16 orang yang dapat terkena hujub hirman ada enam
belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita.
Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi mungkin juga
terhalang sehingga tidak mendapatkan warisan.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

63
Bab Kedelapan
Ashabul Furudh & Ashabah
1. Ashhabul Furudh
Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai haknya
telah ditetapkan secara langsung dan mendapatkan harta
waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah.
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada
enam macam, yaitu :
setengah (1/2)
seperempat (1/4)
seperdelapan (1/8)
dua per tiga (2/3)
sepertiga (1/3)
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


64
seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa
saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan
bagian yang berhak ia terima.
2. Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat
seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan
mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan
melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata
'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat.
Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali
digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:

"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang
kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian
adalah orang-orang yang merugi.'" (QS. Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan
'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para
fuqaha ialah : ahli waris yang tidak disebutkan
banyaknya bagiannya dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan
anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-
laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).
Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari
pihak ayah.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

65
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan
ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena
ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima
seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh
menerima dan mengambil bagian masing-masing.
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak
mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-
Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :


Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua
(ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam
(1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila
pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta
peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris
tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian
sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah.
Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil
bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan
demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah :
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


66


Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-
Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung.
Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan
menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan
yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi
isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya.
Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang
disabdakan Rasulullah saw.:

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak,
dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar
memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih
tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang
paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata
yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar"
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

67
setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham,
jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang
dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai
seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah
rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan
kata "dzakar".
2.3. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena
nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis
'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak.
Oleh sebab itu, seorang
tuan (pemilik budak)
dapat menjadi ahli waris
bekas budak yang
dimerdekakannya
apabila budak tersebut
tidak mempunyai
keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur
wanita),
'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)
'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama
dengan yang lain).
3.1. 'Ashabah bin nafs
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila lafazh
'ashabah disebutkan tanpa diikuti
kata lainnya (tanpa dibarengi bil
ghair atau ma'al ghair), maka yang
dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


68
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada
pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat
arah, yaitu:
1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak
laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang
pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak,
ayah dari kakak, dan seterusnya.
3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-
laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan
saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas
pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk
keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun
saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah
disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah)
kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka,
dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya
sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih
kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada
arah saudara.
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi
mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya
sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal
(sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

69
dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada.
Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari
ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa
harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila
setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak
ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat
bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan
suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki
seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara
perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara
seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh
telah menghabiskannya.

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

71
Bab Ketujuh
Para Ahli Waris
Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan
menghafal siapa saja ahli waris adalah tidak adanya diagram
atau struktur keluarga (family chart).
Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif antara
satu ahli waris dengan yang lainnya. Seorang ahli waris bisa
saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya. Tapi dalam
waktu yang sama, dia adalah 'anak' dari seseorang. Bahkan
dia juga seorang 'kakek', atau 'paman', 'saudara',
'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah
seterusnya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


72
Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami
duduk masalah. Maka dengan bantuan diagram struktur
keluarga ini, kita akan dimudahkan.
Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam bahasa
Indonesia sering tidak baku. Katakanlah sebagai contoh,
akh li ab wa li um ( ), sering kita terjemahkan menjadi
saudara kandung. Sebagian orang memahami istilah saudara
kandung adalah saudara yang sama-sama satu kandungan
ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda. Dan itu adalah
saudara seibu ( ).
Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia, juga
dilengkapi juga dengan istilah dalam bahasa Arab aslinya.
Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris,
yang sepenuhnya merupakan ijtihad penulis sendiri. Sekedar
untuk memastikan identitas seorang ahli waris, agar tidak
tertukar-tukar penyebutannya dengan ahli waris yang lain.
Kira-kira seperti id number kalau dalam sistem database.
Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar
orang-orang yang terhijab oleh seorang ahli waris. Sehingga
dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja dari mereka
yang terhijab, cukup dengan sekali melihat bagan.
Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian-
bagian yang mungkin akan bisa diterima oleh seorang ahli
waris.

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

73

Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


74
1. Anak Laki-laki ( )
Kita urutkan pada nomor satu dalam daftar struktur
keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan anak
laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang
lain. Untuk seterusnya agar memudahkan, kita tinggal
menggunakan nomor urut satu sebagai id buat anak laki-
laki.
1.1. Bagian
Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak
perempuan.
Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara
ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli
waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak
pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil. Bahkan
bisa saja sisanya sama dengan seluruh harta, misalnya
karena almarhum tidak punya ahli waris lain selain anak
laki-laki. Tetapi seorang anak laki-laki tidak mungkin tidak
kebagian harta waris.
Akan lebih tergambar kalau kita masukkan ke dalam
contoh-contoh yang nyata.
Contoh Pertama :
Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan
sebesar 10 milyar, tanpa memiliki istri atau anak
perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-laki
tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu
mewarisi seluruh harta ayahnya, sebesar 10 milyar. Karena
anak laki-laki memang mendapat semua sisa harta, yang
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

75
dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris dari ashabul
furudh yang masih hidup.
Ahli Waris Bagian Nilai
Anak laki-laki 1/1 10 milyar

Contoh Kedua :
Seorang meninggal dunia dengan harta sebesar 7 milyar,
tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya 7
orang anak laki-laki semua.
Penyelesaian sederhana saja, harta itu dibagi rata kepada
lima orang. Jadi masing-masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris Bagian Nilai
Anak laki-laki 1 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 2 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 3 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 4 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 5 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 6 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 7 1/7 1 milyar

Contoh Ketiga :
Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar,
meninggalkan ahli waris seorang istri dan seorang anak laki-
laki.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


76
Istri adalah ashabul furudh yang
jatahnya sudah ditetapkan, yaitu 1/8
atau 1 milyar. Sisanya adalah 7/8
bagian atau 7 milyar, menjadi hak
oleh anak laki-laki adalah 7/8. Hak
anak laki-laki adalah sisa harta yang
telah diambil terlebih dahulu oleh
istri almarhum.
Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya sebagai
berikut :
Ahli Waris Bagian Nilai
Istri 1/8 1 milyar
Anak laki-laki (ashabah) 7/8 7 milyar

Contoh Keempat :
Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada saat wafat beliau
memiliki seorang istri dan 7 orang anak laki-laki. Bagaimana
penyelesaiannya?
Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak laki-laki adalah
ashabah, mereka berhak atas sisanya. Dan sisanya yang 7/8
bagian itu dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki. 7/8
dibagi 7 adalah 1/8.
Kita perhatikan bahwa masing-masing ahli waris sama-
sama mendapat 1/8 dari 8 milyar, jadi masing-masing
mendapat 1 milyar.
Ahli Waris Bagian Nilai
Istri 1/8 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 1
7/8
1/8 1 milyar
Anak laki-laki 2 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 3 1/8 1 milyar
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

77
Anak laki-laki 4 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 5 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 6 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 7 1/8 1 milyar

1.2. Menghijab
Ahli Waris id
saudara seayah-ibu
saudari seayah-ibu
saudara seayah
saudari seayah
keponakan : anak saudara seayah-ibu
keponakan : anak saudara seayah
paman : saudara ayah seayah-ibu
paman : saudara ayah seayah
sepupu : anak laki paman seayah-ibu
sepupu : anak laki paman seayah
cucu : anak laki dari anak laki
cucu : anak wanita dari anak laki
saudara & saudari seibu
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
22
1.3. Dihijab oleh :
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak
laki-laki tidak dihijab oleh siapa pun. Karena posisinya yang
langsung berhubungan dengan muwarrits.
* * *
2. Anak Perempuan ( )
Anak perempuan yang dimaksud adalah anak
perempuan dari muwarrits yang telah meninggal dunia. Kita
letakkan pada nomor urut dua, karena posisinya yang
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


78
sangat dekat dengan muwarrits, serta bersisian dengan anak
lak-laki yang berada pada nomor urut satu.
2.1. Bagian
1/2 = menjadi satu-satunya anak almarhum
2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak
laki
ashabah = almarhum punya anak lak-laki dengan
ketentuan bagiannya 1/2 dari bagian anak laki-laki
Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam
menerima waris dari orang tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta
warisan. Syaratnya, dia menjadi anak tunggal dari
muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun
baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.

Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia
mendapat separuh harta warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)
Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia
tidak sendirian. Dia punya saudara perempuan sehingga
minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan mendapat
jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama
semuanya perempuan dan tidak ada saudara laki-laki satu
pun.

Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS.
An-Nisa': 11)
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

79
Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak
laki-laki akan mendapat ashabah atau sisa. Harta sisa itu
dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya dengan
ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima
saudara laki-lakinya.

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-
Nisa : 11)
2.2. Menghijab
cucu : anak wanita dari anak laki
saudara & saudari seibu
20
22
Ada 2 orang yang
dihijab oleh anak
perempuan. Pertama,
saudara atau saudari
seibu tidak seayah.
Kedua, cucu perempu-
an almarhum, dengan
syarat jumlah anak
perempuan itu dua
orang atau lebih dan
tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu perempuan
sebagai ashabah bersamanya.
2.3. Dihijab Oleh :
Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa
pun, karena tidak ada penghalang antara dirinya dengan
muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.
* * *
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


80
3. Istri ( )
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka
dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta
yang sebelumnya milik suaminya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami
istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan
terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak
dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian
suami.
3.1. Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima
bagian, yaitu 1/4 atau 1/8 sebagaimana disebutkan di dalam
ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara'
waris
5
, maka hak istri adalah 1/4 bagian dari harta
peninggalan almarhum suaminya.

"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan
bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya
keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian istri
adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan suami.

5
Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak
perempuan, juga anak laki-laki atau anak perempuan dari anak laki-
laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak
perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan
termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak
termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

81


"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-
utangmu ..." (QS. An-Nisa': 12)
3.2. Menghijab
Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari
ahli waris suami. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi
harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi
kehilangan haknya.
3.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka
tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara
mereka. Dengan demikian, istri tidak dihijab oleh siapa pun.
* * *
4. Suami
Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka
dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta
yang sebelumnya milik istrinya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami
istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan
terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak
dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian
istri.
4.1. Bagian
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


82
Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu
1/2 atau 1/4 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11
surat A-Nisa'.
Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara'
waris, maka hak suami 1/2 bagian dari harta peninggalan
almarhumah istrinya.

"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari harta
yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri)
tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya
keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian suami
adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya (QS. An-
Nisa': 12)
4.2. Menghijab
Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun
dari ahli waris istri. Keberadaannya hanya sekedar
mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang
menjadi kehilangan haknya.
4.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka
tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara
mereka. Dengan demikian, suami tidak dihijab oleh siapa
pun.
* * *
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

83
5. Ayah
Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik
anak itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang
berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya adalah
ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau
ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu, tidak menjadi
ahli waris.
5.1. Bagian
Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam
menerima hak warisnya.

1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak
punya fara' waris laki-laki
Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya
yang meninggal. Syaratnya, almarhum anaknya itu punya
fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki
dari anak laki-laki.

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan
sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


84
anaknya yang meninggal itu punya fara' waris perempuan
6

dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal
ini ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau
lebih dekat kedudukannya kepada almarhum dibandingkan
dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak,
dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak
perempuan dan seorang ayah. Anak perempuan mendapat
1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana
disebut dalam dalil berikut :

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu
tentu masih bersisa. Siapakah yang berhak atas harta ini?
Jawabnya adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang
merupakan ashabah juga. Meski pun pada dasarnya ada lagi
ahli waris lain yang juga berhak menjadi ashabah, namun

6
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

85
ayah telah menghijab mereka dan mengambil hak asabah itu
untuk dirinya, dengan dasar dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara
ashabah, setelah ashabul furudh mengambil bagiannya.
Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki
atau pun perempuan.

Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi
hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa':
11)
Di ayat ini tidak tertera kalimat yang secara langsung
menyebutkan bahwa ayah mendapat sisanya. Hanya
disebutkan bahwa ayah dan ibu itu menerima warisan dari
anak mereka bersama-sama. Dan yang menjadi bagian buat
ibu adalah 1/3. Logikanya, kalau bagian itu ibu sudah
disebutkan maka bagian ayah pasti diketahui, yaitu sisanya.
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya
seorang istri dan seorang ayah. Maka istri adalah ahli waris
dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah 1/4 bagian,
karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4
bagian menjadi hak ayah sebagai ashabah bi nafsihi.
5.2. Menghijab
Ayah termasuk orang yang cukup banyak menghijab
ahli waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada 12 ahli waris
yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan, karena
keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


86
kakek : ayahnya ayah
Nenek : ibunya ayah
saudara seayah-ibu
saudari seayah-ibu
saudara seayah
saudari seayah
keponakan : anak saudara seayah-ibu
keponakan : anak saudara seayah
paman : saudara ayah seayah-ibu
paman : saudara ayah seayah
sepupu : anak laki paman seayah-ibu
sepupu : anak laki paman seayah
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
5.3. Dihijab oleh
Seorang ayah tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli
waris yang lain. Karena hubungan ayah dengan anaknya
yang menjadi muwarrits adalah hubungan langsung.
* * *
6. Ibu
Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya yang
meninggal dunia. Bila saat meninggalnya, ibu masih ada,
sudah dipastikan ibu mendapat warisan.
6.1. Bagian
Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam
menerima hak warisnya.
1/6 = almarhum punya fara' waris
1/3 = almarhum tidak punya fara' waris
1/3 dari sisa = bila almarhum punya fara' waris (hanya
dalam kasus umariyatain)

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

87
Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum
anaknya yang wafat, bila anaknya itu punya fara' waris.

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta
peninggalan almarhum anaknya, bila anaknya tidak punya
fara' waris.

Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi
hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa':
11)
Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah
diambil oleh para ashabul furudh, namun haknya yang 1/3
tidak berlaku.
Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat dengan
meninggalkan hanya 3 orang ahli waris, yaitu suami/istri,
ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman khalifah Umar bin
al-Khattab dan dikenal dengan istilah kasus Umariyatain.
7


7
Istilah kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan oleh
Umar bin al-Khattab radhiyallahuanhu. Kasus pertama melibatkan 3
orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus kedua melibatkan 3
orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman
Allah pada kata : .
Menurut Khalifah Umar dan kebanyakan para shahabat nabi serta
didukung oleh jumhur ulama, kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu
menerima warisan dari sisa warisan yang diambil oleh suami atau istri
secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima waris secara fardh (1/3) dari
asal harta.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


88
6.2. Menghijab
Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris lainnya, yaitu
nenek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah. Atau
dengan kata lain, dia menghijab ibunya sendiri (21) dan ibu
dari suaminya (8).
6.3. Dihijab oleh
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh anaknya, maka
posisinya tidak akan terhijab oleh siapa pun. Karena mereka
punya hubungan langsung tanpa diselingi oleh orang lain.

* * *

Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, ibu mendapat
1/3 dari asal harta sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Sisanya,
menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar, kalau demikian,
tidak ada arti kata tersebut.
Maka dalam kasus ini, suami yang ditinggal mati istrinya tanpa fara'
waris mendapat 1/2 harta. Sisanya, yaitu 1/2 menjadi hak ayah dan ibu
berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat 1/3 dari jatah
mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.
Kasus Perama
Ahli Waris Bagian
Istri 1/4 1/4
Ibu
3/4
1/4
Ayah 2/4
Kasus Kedua
Ahli Waris Bagian
Suami 1/2 3/6
Ibu
1/2
1/6
Ayah 2/6


Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

89
7. Kakek ( )
Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya
ayah. Seorang kakek yang ditinggal mati oleh cucunya, baik
cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang
berhak mendapatkan warisan.
Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia
saat si cucu meninggal dunia. Kalau ayah anak itu masih
hidup, maka kakek (ayahnya ayah) terhijab, sehingga kita
tidak bicara tentang warisan buat kakek.
Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam
kondisi bahwa ayah almarhum sudah meninggal terlebih
dahulu.
7.1. Bagian
Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam
menerima hak warisnya.

1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak
punya fara' waris laki-laki
Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya
yang meninggal. Syaratnya, almarhum cucunyanya itu punya
fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki
dari anak laki-laki.

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


90
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan
sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu
cucunya yang meninggal itu punya fara' waris perempuan
8

dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal
ini kakek sebagai gantinya ayah menjadi ahli waris laki-laki
yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada
almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya.
Rasulullah SAW bersabda :

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak,
dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak
perempuan dan seorang kakek, yaitu ayahnya ayah. Anak
perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayahnya ayah
mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut :

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat seluruh
harta dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh
mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya
fara' waris, baik laki-laki atau pun perempuan.

8
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

91

Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi
hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa':
11)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya
seorang istri dan seorang kakek (ayahnya ayah). Maka istri
adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya
adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara'
waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak kakek sebagai
ganti dari ayah yang sudah meninggal terlebih dahulu.
7.2. Menghijab
Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup
banyak menghijab ahli waris yang lain, selain anak laki-laki.
Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta
warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
saudara seayah-ibu
saudari seayah-ibu
saudara seayah
saudari seayah
keponakan : anak saudara seayah-ibu
keponakan : anak saudara seayah
paman : saudara ayah seayah-ibu
paman : saudara ayah seayah
sepupu : anak laki paman seayah-ibu
sepupu : anak laki paman seayah
saudara/i yang hanya seibu (rajih)
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
22
7.3. Dihijab oleh
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


92
Seorang kakek tidak terhijab oleh siapa pun dari para
ahli waris yang lain, kecuali oleh ayah, yang dalam hal ini
tidak lain adalah anaknya sendiri.
* * *
8. Nenek ( )
Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari
ayahnya almarhum.
8.1. Bagian
Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan
dalam mendapat bagian warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya,
almarhum tidak punya ibu dan ayah.
8.2. Menghijab
Nenek tidak menghijab siapa pun
8.3. Dihijab oleh
Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.
ayah
ibu
5
6
* * *
9. Saudara seayah-ibu ( )
Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja
lebih muda (adik). Yang penting, hubungan antara dirinya
dengan almarhum adalah bahwa mereka punya ayah dan
ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah
saudara sekandung, karena konotasinya bisa keliru. Lebih
pastinya kita gunakan istilah saudara seayah dan seibu.
9.1. Bagian
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

93
Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum
dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya
dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-
orang yang menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak
meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek. Saat itulah
saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya
: istri dan saudara laki-laki seayah seibu. Maka
pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan
saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan
yang sama-sama seayah dan seibu, maka bagian yang
diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara
laki-laki dan saudara wanita. Maka pembagian warisannya
adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua
dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan
saudarinya mendapat 1/4.
9.2. Menghijab
saudara seayah
saudari seayah
keponakan : anak saudara seayah-ibu
keponakan : anak saudara seayah
paman : saudara ayah seayah-ibu
paman : saudara ayah seayah
sepupu : anak laki paman seayah-ibu
sepupu : anak laki paman seayah
11
12
13
14
15
16
17
18
9.3. Dihijab Oleh :
Anak laki-laki
Ayah
1
5
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


94
Ayahnya ayah (kakek)
Cucu laki-laki
7
19
* * *
10. Saudari seayah-ibu
Saudari seayah dan seibu juga termasuk yang mendapat
warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.
10.1. Bagian
1/2 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
tidak punya saudari seayah seibu (10)
2/3 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
punya saudari seayah seibu (10)
Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa
mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta
milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara laki-laki. Yang dia
punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka saudarinya itu mendapat 1/2 dari semua harta
warisan almarhum.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

95
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta
milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara laki-laki. Yang dia
punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua
harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian itu
kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh
harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang
saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua
mendapat warisan secara ashabah, dengan perbandingan
bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan
dirinya mendapat 1/3 bagian.
* * *
11. Saudara seayah ( )
Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja
lebih muda (adik). Yang penting, hubungan saudara ini
dengan almarhum bahwa mereka punya ayah yang sama
tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa lebih
sederhana, hubungan antara almarhum dengan dirinya
adalah saudara tiri.
11.1. Bagian
Saudara seayah mendapat waris dari almarhum dengan
cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya
dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-
orang yang menghijabnya. Artinya, almarhum tidak
meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek, termasuk
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


96
almarhum tidak punya saudara/i yang seayah dan seibu.
Saat itulah saudara seayah baru kebagian jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya
: istri dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya
warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara seayah
mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki seayah itu juga punya saudara
perempuan yang juga seayah, maka bagian yang diterimanya
harus 2 kali lipat lebih besar dari saudari perempuannya itu.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara
laki-laki dan saudara wanita seayah. Maka pembagian
warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu
dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-laki
mendapatkan 2/4 dan saudari perempuannya mendapat
1/4.
11.2. Menghijab
keponakan : anak saudara seayah-ibu
keponakan : anak saudara seayah
paman : saudara ayah seayah-ibu
paman : saudara ayah seayah
sepupu : anak laki paman seayah-ibu
sepupu : anak laki paman seayah
13
14
15
16
17
18
11.3. Dihijab Oleh :
Anak laki-laki
Ayah
Ayahnya ayah (kakek)
Saudara laki-laki seayah seibu
Saudara perempuan seayah seibu *
Cucu laki-laki
1
5
7
9
10
19
* * *
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

97
12. Saudari seayah ( )
Yang dimaksud dengan saudari perempuan seayah
bahwa dirinya punya ayah yang sama dengan almarhum,
tapi ibu mereka berbeda. Dengan mudah juga bisa kita
sebut saudari perempuan tiri. Saudari tiri juga termasuk
yang mendapat warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.
10.1. Bagian
1/2 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
tidak punya saudari seayah seibu (10)
2/3 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
punya saudari seayah seibu (10)
Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa
mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta
milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah atau kakek, saudara laki-laki. Yang dia
punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan
almarhum saudaranya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


98
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta
milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah atau kakek, saudara laki-laki. Yang dia
punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua
harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian itu
kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh
harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang
saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua
mendapat warisan secara ashabah, dengan perbandingan
bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan
dirinya mendapat 1/3 bagian.

13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu

14. Keponakan : anak saudara seayah

15. Paman : saudara ayah seayah-ibu

16. Paman : saudara ayah seayah

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

99
17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu

18. Sepupu : anak laki paman seayah
19. Cucu Laki-laki ( )
Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak
laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan tidak
termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti
manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat
meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum punya anak
laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya
sebagai paman, maka cucu tidak mendapatkan hak waris,
karena terhijab olehnya.
19.1. Bagian
Bagian yang menjadi hak seorang cucu mirip yang
diterima seorang anak laki-laki. Karena kedudukannya
memang sebagai pengganti anak laki-laki.
Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah
mengambil bagian masing-masing, dengan ketentuan
cucu laki-laki mendapat 2 kali bagian cucu perempuan.
Seorang cucu laki-laki mendapat warisan dengan cara
ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli
waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak
pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat
meninggalkan ahli waris : cucu laki-laki dan anak
perempuan. Maka hak cucu laki-laki adalah sisa harta yang
telah diambil terlebih dahulu oleh anak perempuan. Anak
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


100
perempuan tunggal adalah ashabul furudh yang jatahnya
sudah ditetapkan.
Dalam hal ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti
sisanya adalah 1/2 bagian. Maka bagian yang didapat oleh
cucu laki-laki adalah 7/8.
Apabila almarhum juga meninggalkan cucu perempuan,
maka dia juga mendapat sisa sebagaimana halnya cucu laki-
laki, yaitu jumlah sisa itu dibagi rata di antara para cucu,
dengan ketentuan bahwa cucu perempuan hanya mendapat
setengah dari apa yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan
kata lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali lipat lebih besar
dari anak perempuan.
Maka pembagiannya sebagai berikut :
Ahli Waris Bagian
Anak Perempuan 1/2 3/6
Cucu Laki-laki
Sisa = 1/2
2/6
Cucu Perempuan 1/6

19.2. Menghijab
Ahli Waris id
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

101
saudara seayah-ibu
saudari seayah-ibu
saudara seayah
saudari seayah
keponakan : anak saudara seayah-ibu
keponakan : anak saudara seayah
paman : saudara ayah seayah-ibu
paman : saudara ayah seayah
sepupu : anak laki paman seayah-ibu
sepupu : anak laki paman seayah
saudara & saudari seibu
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
22
19.3. Dihijab oleh :
Satu-satunya pihak yang dapat menghijab cucu laki-laki
adalah anak laki-laki (1). Dalam kenyataannya, bisa saja
cucu laki-laki merupakan anak dari anak laki-laki, tapi bisa
juga bukan anak tetapi keponakan. Tapi intinya, selama
almarhum masih punya anak laki-laki, cucu laki-laki akan
terhijab.
* * *
20. Cucu Perempuan
21. Nenek Dari Ibu
22. Saudara/i Seibu




Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


102


Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

103
Bab Kesebelas
Cara Membagi Warisan
1. Langkah Pertama
Langkah paling awal adalah mengeluarkan terlebih
dahulu segala hal yang tekait dari harta almarhum yang
meninggal. Diantaranya :
1.1. Hutang
Semua hutang almarhum/almarhumah harus
dikeluarkan terlebih dahulu dari harta yang dimilikinya.
Kecuali bila orang yang memberi hutang itu menyatakan
kerelaannya atas hutang-hutang itu.
1.2. Wasiat
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


104
Bila almarhum/almarhumah pernah berwasiat atas harta
yang dimilikinya, maka sebelum warisan dibagikan, wasiat
itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan syarat
jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 dari total hartanya.
Bila telah melebihi, maka hukumnya tidak boleh karena
yang 2/3 itu adalah milik ahli waris.
1.3. Biaya Pengurusan Jenazah
Semua biaya untuk pengurusan jenazah, bahkan mulai
dari biaya rumah sakit bila ada, hingga biaya memandikan,
mengkafani, menguburkan dan lainnya, bisa diambilkan dari
harta almarhum/almarhumah.
Dari langkah ini akan segera bisa didapat nilai nominal
harta almarhum/almarhumah. Tentu harta itu bukan hanya
uang, tetapi bisa berbentuk rumah, tanah, kendaraan atau
apapun.
Namun untuk memudahkan penghitungan, biasanya
dilakukan penaksiran atas semua asset beliau dalam besaran
nominal. Meski benda-benda itu tidak harus langsung dijual
kepada pihak lain.
2. Langkah Kedua
Langkah kedua adalah mengumpulkan semua daftar ahli
waris dan memilahnya. Pengumpulan daftar ahli waris ini
untuk memisahkan siapa saja yang berhak atas warisan dan
siapa saja yang tidak mendapat hak. Paling tidak ada dua
pemilahan.
2.1. Memilah
Pada langkah ini tugas kita berikutnya adalah memilah
antara ahli waris yang sesungguhnya dengan yang bukan
ahli waris. Boleh jadi dalam persangkaan orang, ada
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

105
individu yang dianggap sebagai keluarga dan seolah dia
mendapat warisan, tetapi ternyata secara daftar awal pun
sudah bukan termasuk ahli waris.
Misalnya, anak tiri, ayah diri, mantan istri, mantan suami,
anak angkat, ayah atau ibu angkat dan lainnya, mereka
semua sesungguhnya tidak pernah terdaftar sebagai ahli
waris.
Anak tiri meski sudah diperlakukan sebagai anak sendiri,
tapi secara hukum syariah tidak pernah mendapatkan harta
lewat warisan. Namun bila lewat jalan lain masih
dimungkginkan. Misalnya lewat hibah dari almarhum
sebelum wafat, atau lewat wasiat. Demikian juga istri yang
sudah dicerai suami dan telah habis masa iddahnya, bila
sang suami wafat, maka mantan istri itu sudah bukan lagi
ahli waris.
Contoh :
Seseorang wafat meninggalkan seorang mantan istri yang
telah diceraikan sebulan yang lalu, seorang istri yang masih
sah dan seorang istri yang telah diceraikannya secara 2
tahun lalu. Siapakah diantara mereka yang dapat warisan ?
Jawaban :
Yang mendapat warisan adalah istri yang telah diceraikan
sebulan yang lalu dan istri yang masih sah. Sedangkan istri
yang telah diceraikan 2 tahun sebelumnya, tidak mendapat
warisan. Karena hubungannya dengan mantan istri itu
sudah bukan istri lagi. Sedangkan yang baru diceraikan 1
bulan yang lalu mendapatkan warisan, lantaran masa
iddahnya belum berakhir. Sebagaimana diketahui bahwa
masa iddah seorang wanita yang diceraikan suaminya adalah
3 kali masa suci dari haidh.
2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


106
Meski seseorang termasuk daftar ahli waris, namun
belum tentu dalam sebuah pembagian warisan dia pasti
mendapat warisan. Sebab bisa jadi hubungannya dengan
almarhum/almarhumah terhijab. Sehingga dia tidak boleh
menerima warisan akibat adanya hijab.
Prinsipnya, bila hubungan seorang ahli waris dengan
almarhum masih melewati ahli waris lainnya, maka bila ahli
waris yang yang ada diantara keduanya masih ada, maka ahli
waris yang berada pada lapis keduanya tidak akan mendapat
warisan.
Kenyataannya, hanya ada 6 orang yang tidak mungkin
terhalangi, bahkan untuk memudahkan mengingatnya, kita
susun saja menjadi anak, orang tua dan pasangan. Dengan
rincian yaitu :
anak baik laki atau perempuan
orang tua yaitu ayah dan ibu
pasangan yaitu suami atau istri
Selain keenam orang di atas, mungkin terhalang dan
mungkin tidak.
Contoh 1 : Seorang wafat dengan meninggalkan ayah
kandung dan paman yang merupakan saudara ayah.
Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi dengan
adanya ayah, maka paman tidak mendapat warisan bila ayah
masih ada. Namun bila ayah tidak ada, paman mendapatkan
warisan. Posisi paman dalam hal ini sama dengan posisi
kakek, seandainya ayah tidak ada sedangkan kakek masih
ada, maka kakek mendapatkan warisan dari cucunya.
Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki akan terhalang
oleh adanya ayah dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit,
dan seterusnya).
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

107
Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan terhalang
dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang
oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah
ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta
keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 4 : Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu
akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya)
dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik
anak laki-laki maupun anak perempuan.
Hasil atas langkah kedua ini adalah daftar orang-orang
yang pasti mendapat warisan, baik sebagai ashabul furudh
ataupun sebagai ashahabah.
Contoh
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, paman,
kakek, bibi, saudara laki-laki, saudara perempuan dan anak
laki-laki. Siapa diantara mereka yang mendapat warisan dan
siapakah yang terhijab?
Jawab :
Pada awalnya semua memang termasuk ahli waris,
namun ada beberapa mereka yang termahjub karena
keberadaan ahli waris lainnya. Yang memahjub anak laki-
laki yang menghijab paman, keponakan, saudara laki-laki
dan saudara perempuan. Kakek terhijab oleh adanya ayah.
Sehingga yang menerima warisan hanyalah anak laki-laki,
ayah, ibu saja.
3. Langkah Ketiga
Langkah ketiga adalah menentukan pokok masalah.
Persoalan pokok masalah ini di kalangan ulama faraid
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


108
dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk
mengetahui pokok masalah.
Untuk apa kita mengetahui pokok masalah? Apa
gunanya? Apa tujuannya?
Sebenarnya urusan ini hanya sekedar untuk menemukan
nilai yang didapat oleh para ahli waris. Hal itu disebabkan
Al-Quran dan As-sunnah menyebutkan bilangan pecahan
untuk menetapkan bagian yang didapat oleh para ahli waris.
Bilangan pecahan itu adalah setengah (1/2), sepertiga (1/3),
seperempat (1/4), seperenam (1/6), seperdelapan (1/8) dan
duapertiga (2/3).
Seandainya dalil-dalil itu menggunakan besaran
prosentase, mungkin kita tidak perlu bicara tentang ashlul-
masalah ini. Misalnya dalam kasus seorang laki-laki wafaat
meninggalkan seorang seorang istri dan ayah. Isstri
mendapat bagian 1/8 dan ayah 1/6, maka agak sulit buat
kita untuk menghitung langsung 1/8 + 1/6.
Tapi kalau angka 1/8 dan 1/6 itu disebutkan dengan
besaran prosentase, maka lebih mudah untuk
menjumlahkannya. 1/8 sebenarnya sama dengan 12,5 %
dan 1/6 sama dengan 16,66 %. Jadi jumlah keduanya
adalah 12,5% + 16,66 % = 29,16 %.
Sedangkan menjumlahkan 1/8 dengan 1/6, perlu sedikit
teknik untuk mendapatkan hasilnya. Dengan metode
hitungan sederana sebenarnya mudah saja bagi kita untuk
menjumlahkan beberapa bilangan pecahan, dimana
"penyebutnya " tidak sama. Dalam bilangan pecahan kita
mengenal dua istilah, yaitu pembilang dan penyebut.
Dimana kedua bilangan itu ditulis dengan dipisahkan
menggunakan garis miring. Pembilang adalah angka
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

109
sebelum garis miring dan penyebut dalam bilangan setelah
garis miring.
Contoh, bilangan setengah itu ditulis [1/2], maka
bilangan 1 adalah pembilang dan bilangan 2 adalah
penyebut. Demikian juga dengan [2/3], maka bilangan 2
adalah pembilang dan bilangan 3 adalah penyebut.
Secara sederhana, kita bisa menjumlahkan bilangan
pecahan dengan cara menjumlahkan pembilangnya saja
tanpa menjumlahkan penyebutnya, asalkan penyebutnya
sama. Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2. Atau 2/4 + 1/4 + 1/4 =
4/4.
Namun akan sedikit bermasalah ketika kita harus
menjumlahkan beberapa bilangan pecahan yang berbeda
penyebutnya. Misalnya, 1/8 + 1/6. Berapakah jumlahnya ?.
Untuk menjumlahkannya, kita terpaksa harus
menyamakan dulu penyebutnya. Caranya dengan mengganti
masing-masing penyebut dengan sebuah bilangan terkecil
yang habis dibagi oleh masing-masing penyebut. Kalau kita
pilih bilangan 16, memang 16 itu bisa habis dibagi 8, tapi
tidak bisa dibagi 6, jadi angka 16 tidak cocok.
Demikian juga bila kita pilih bilangan 12, memang 12 itu
bisa habis dibagi 6, tapi tidak bisa dibagi 8. Pilihannya
adalah 24, sebab 24 itu bisa habis dibagi 8 dan 6. Jadi kita
sama dulu penyebut masing-masing menjadi angka 12. Lalu
pembilangnya kita sesuaikan agar nilainya tetap sama.
Caranya dengan mengalikan pembilang dengan hasil bagi
penyebut yang telah disamakan dengan penyebut asalnya.
Lalu masing-masing pembilang yang telah disesuaikan
dijumlahkan, sedangkan penyebutnya tidak perlu
dijumlahkan.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


110
Maka bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya menjadi
24. Lalu kita membagi 24 dengan 8, hasilnya adalah 3.
Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya yaitu 1. Hasilnya
adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.
Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24 juga.
Lalu kita membagi 24 dengan 6, hasilnya adalah 4. Lalu
kita kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu 1. Hasilnya
adalah 4. Maka 1/6 sama dengan 4/24.
Jadi hasil akhir penjumlahan itu adalah 3/24 + 4/24 =
7/24. Kalau kita perhatikan, sebenarnya 7/24 ini sama
besarnya dengan 29,16 %.
Metode Yang Digunakan Dalam Kitab Klasik
Tapi yang berkembang di masa lalu bukan dengan
prosentase, juga bukan dengan penyamaan pembilang dan
penyebut, melainkan dengan metode pencarian ashlul-
masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah
bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap
ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu,
para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-
angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan
angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu
kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus
mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya
termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul
furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul
furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari
'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika
semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat
dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

111
masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan
sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya
dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki
dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua
kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini
diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali
bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung
dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima
orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok
masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit
meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki,
maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya
dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok
masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka
pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami
setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan
juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa
bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing
berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok
masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga
(1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya
seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok
masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris
terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis,
misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara
beberapa kedudukan, yakni antara :
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


112
angka-angka yang mutamatsilah (sama)
angka-angka yang mutadaakhilah (saling berpadu)
angka-angka yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak
kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid.
Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita
untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri
dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-
beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua
bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan
seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian
yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok
masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila
dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh
setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok
masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri
dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan
seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan
seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8).
Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri
dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6)
atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka
pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga
merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini
hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

113
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya
bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4,
dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)
diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok
masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di
bawah ini:
1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah
(1/2) --yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau
semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat
(1/4) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur
dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya,
maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan
(1/8) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur
dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya,
maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, mari kita buat
beberapa contoh.
Contoh : Kasus Pertama
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami,
saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka
pembagiannya sebagai berikut:
suami mendapat setengah (1/2)
saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
ibu sepertiga (1/3)
sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa
yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


114
masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima
harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara
kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan
seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh
tersebut adalah enam (6).
Lihat diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2) 3/6 3
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) 1/6 1
Ibu sepertiga (1/3) 2/6 2
Paman kandung, sebagai 'ashabah 0

Dalam contoh ini, kebetulan harta habis dibagi untuk
semua ashhabul furudh tanpa sisa, dengan demikian maka
paman tidak mendapat apa-apa alias nol, lantaran statusnya
hanya sebagai ahli waris ashabah. Namun dalam seandainya
salah satu dari ashhabul furudh di atas tidak ada, misalnya
tidak ada saudara laki-laki yang jatahnya (1/6), maka sisa itu
menjadi milik paman sebagai ashabah.
Contoh : Kasus Kedua
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang
saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki
kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:
bagian istri seperempat (1/4)
ibu seperenam (1/6)
dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

115
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian
seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama--
dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12).
Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat
(yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian
kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4)) 3/12 3
Ibu seperenam (1/6) 2/12 2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) 4/12 4
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya) 3/12 3

Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki
sebagai ashabah beruntung, karena masih ada sisa dari para
ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya yang
masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4
bagian atau 25% dari seluruh harta yang dibagi waris.
Contoh : Kasus Ketiga
Seseorang kakek wafat dan meninggalkan istri, anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu,
dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai
berikut:
istri mendapat seperdelapan (1/8)
anak perempuan setengah (1/2)
cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)
bagian ibu seperenam (1/6)
Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah,
karenanya ia mendapat sisa harta waris bila ternyata
masih tersisa.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc


116
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara
seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan
seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka
berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh
ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8) 3/24 3
Bagian anak perempuan setengah (1/2) 12/24 12
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6) 4/24 4
Bagian ibu seperenam (1/6) 4/24 4
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa) 1/24 1

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok
masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari
enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau
setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6
= 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka
tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya
kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian
kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna.
Begitulah seterusnya.

Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris

117

Penutup

Anda mungkin juga menyukai