Anda di halaman 1dari 115

Ahmad Sarwat, Lc

Fiqih Mawaris

FIQIH
MAWARIS
Ahmad Sarwat, Lc

1
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Judul Buku
Fiqih Mawaris

Penulis
Ahmad Sarwat

Penerbit
DU CENTER

Cetakan
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat

2
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Istilah

Agar tidak terjadi selip paham dalam membicarakan hal-hal yang


terkait dengan istilah warisan yang ditranslate ke dalam bahasa
Indonesia, mari kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).
Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang sering keliru
membedakan keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah
memperoleh warisan. Misalnya kalimat berikut : Amir mewarisi
sebidang tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir memperoleh
tanah yang ditinggalkan oleh pak Ali.
Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta
warisan atau meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain.
Misalnya kalimat berikut : Pak Ali mewariskan sebidang tanah
kepada anaknya. Maksudnya, pak Ali memberikan harta warisan
kepada anaknya.
Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang
memberi harta warisan. Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah
pewaris dari anak-anaknya. Maksudnya, pak Ali memberi harta
warisan kepada anak-anaknya.
Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak
menerima warisan (harta pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir
adalah ahli waris dari ayahnya. Maksudnya, Amir menerima harta
warisan dari ayahnya.

me·wa·risi v 1 memperoleh warisan dr: krn anak


satu-satunya, dialah yg akan ~ seluruh harta
kekayaan orang tuanya; 2 ki memperoleh
sesuatu yg ditinggalkan oleh orang tuanya dsb:
ia tidak saja memperoleh harta kekayaan, tetapi
ia juga ~ utang-utang yg ditinggalkan
almarhum;
me·wa·ris·kan v 1 memberikan harta warisan
kpd; meninggalkan sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu silat
kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi waris;
wa·ris·an n sesuatu yg diwariskan, spt harta, nama baik; harta

3
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

ahli waris orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka)

4
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Daftar Isi

Urgensi dan Pensyariatan 17


1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris 17
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut 18
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW 19
1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran 19
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga 20
1.5. Ancaman Akhirat 21
2. Pensyariatan 22
2.1. Dalil Quran 22
2.2. Dalil Sunnah 26
2.3. Dalil Ijma' 27
Pengertian Waris 29
1. Definisi 29
1.1. Bahasa 29
1.2. Pengertian syariah 30
2. Waris, Hibah dan Wasiat 30
2.1. Waktu 31
2.2. Penerima 31
2.3. Nilai 32
2.4. Hukum 32
3. Istilah-istilah dalam ilmu waris 33
3.1. Tarikah 33
3.2. Fardh 33
3.3. Ashhabul Furudh. 33
3.4. Ashabah 34
3.5. Sahm 35
3.6. Nasab 35
3.7. Al-Far'u 35
3.8. Al-Ashl 36
Alokasi Harta 37
1. Menetapkan Kepemilikan Harta 37
2. Pengurusan Jenazah 40

5
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

3. Hutang 41
4. Washiyat 43
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan 45
1. Rukun Waris 45
1.1. Al-Muwarits 45
1.2. Al-Warits 45
1.3. Harta Warisan 46
2. Syarat Waris 46
2.1. Meninggalnya Muwarrits 46
2.2. Hidupnya Ahli Waris 49
2.3. Ahli Waris Diketahui 50
3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris 50
3.1. Kerabat hakiki 50
3.2. Pernikahan 51
3.3. Al-Wala 51
Gugurnya Warisan 53
1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan 53
1.1. Pembunuhan 53
1.2. Perbedaan Agama 54
1.3. Budak 56
2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub 57
Penghalang Warisan (Al-Hujub) 59
1. Definisi 59
2. Macam-macam al-Hujub 60
3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman 61
4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman 62
Ashabul Furudh & Ashabah 63
1. Ashhabul Furudh 63
2. Ashabah 64
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah 65
2.3. Macam-macam 'Ashabah 67
3.1. 'Ashabah bin nafs 67
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs 68

6
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Para Ahli Waris 71


1. Anak Laki-laki ((‫ابن‬ 74
1.1. Bagian 74
1.2. Menghijab 77
1.3. Dihijab oleh : 77
2. Anak Perempuan ((‫بنت‬ 77
2.1. Bagian 78
2.2. Menghijab 79
2.3. Dihijab Oleh : 79
3. Istri ((‫زوجة‬ 80
3.1. Bagian 80
3.2. Menghijab 81
3.3. Dihijab oleh 81
4. Suami 81
4.1. Bagian 82
4.2. Menghijab 82
4.3. Dihijab oleh 82
5. Ayah 83
5.1. Bagian 83
5.2. Menghijab 85
5.3. Dihijab oleh 86
6. Ibu 86
6.1. Bagian 86
6.2. Menghijab 88
6.3. Dihijab oleh 88
7. Kakek ((‫أب أب‬ 89
7.1. Bagian 89
7.2. Menghijab 91
7.3. Dihijab oleh 91
8. Nenek ((‫أم أب‬ 92
8.1. Bagian 92
8.2. Menghijab 92
8.3. Dihijab oleh 92
9. Saudara seayah-ibu ((‫أخ شقيق‬ 92
9.1. Bagian 92

7
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

9.2. Menghijab 93
9.3. Dihijab Oleh : 93
10. Saudari seayah-ibu 94
10.1. Bagian 94
11. Saudara seayah ((‫أخ لب‬ 95
11.1. Bagian 95
11.2. Menghijab 96
11.3. Dihijab Oleh : 96
12. Saudari seayah ((‫أخت لب‬ 97
10.1. Bagian 97
13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu 98
14. Keponakan : anak saudara seayah 98
15. Paman : saudara ayah seayah-ibu 98
16. Paman : saudara ayah seayah 98
17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu 99
18. Sepupu : anak laki paman seayah 99
19. Cucu Laki-laki ((‫ابن ابن‬ 99
19.1. Bagian 99
19.2. Menghijab 100
19.3. Dihijab oleh : 101
20. Cucu Perempuan 101
21. Nenek Dari Ibu 101
22. Saudara/i Seibu 101
Cara Membagi Warisan 103
1. Langkah Pertama 103
1.1. Hutang 103
1.2. Wasiat 103
1.3. Biaya Pengurusan Jenazah 104
2. Langkah Kedua 104
2.1. Memilah 104
2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab 105
3. Langkah Ketiga 107
Aul dan radd 117

8
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

1. Aul 117
2. Radd 117

9
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Pengantar

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung.


Shalawat serta salam tercurah kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut
dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir
zaman.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa
membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau
kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail
hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan
tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus
diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab
terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri,

10
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya


sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama
hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan
ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit.
Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam
sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum
secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu
bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah
SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan
kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama
pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan
jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah
peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah
dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di
muka bumi.
Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat
menikmati warisan itu, salah satunya karena kendala
bahasa. Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun
dari langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun
huruf keluar dari lidah nabi kita SAW, kecuali dalam
bahasa Arab.
Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa
Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk
mendekatkan umat ini dengan warisan agamanya. Tentu
saja buku ini juga diupayakan agar masih dilengkapi

11
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

dengan teks berbahasa Arab, agar masih tersisa mana


yang merupakan nash asli dari agama ini.
Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian
silsilah pembahasan fiqih. Selain buku ini juga ada buku
lain terkait dengan masalah fiqih seperti fiqih thaharah,
shalat, puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah,
waris, hudud dan bab lainnya.
Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj
yang kami gunakan adalah manhaj muqaranah dan
wasathiyah. Kami tidak memberikan satu pendapat saja,
tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila
memang ada khilaf di antara para ulama tentang hukum-
hukum tertentu, dengan usaha untuk menampilkan juga
hujjah masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami
serahkan kepada para pembaca.
Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat
karena bukan sekedar dimengerti isinya, tetapi yang lebih
penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya ikhlas
karena Allah SWT.

Al-Faqir ilallah

Ahmad Sarwat, Lc

12
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Bab Pertama
Urgensi dan Pensyariatan

1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris


Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah
sudah ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani
urusan waris? Bukankah biasanya membagi waris
menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama
(KUA)?
Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita
ketika pertama kali melihat buku ini.
Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab
biasanya urusan pembagian waris memang menjadi
urusan para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak

13
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

KUA. Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini
pakai sok belajar ilmu waris?
Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa
kita yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris.
Ada beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi
hal itu. Antara lain :
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut
Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini
mayoritas muslim, namun kita tahu bahwa agama kita
diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan
dari dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan
berbagai produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti
hukum barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum
pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan
nasional, atau dari adat istiadat turun temurun.
Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi
muslim yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-
Quran, aktif mengaji kesana-kemari, gemar
menghidupkan amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak
paham alias merasa asing dengan hukum waris Islam.
Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini
merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi
oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.
Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan
perintah untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris
itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula
Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu
termasuk yang pertama kali akan diangkat dari muka
bumi.

14
‫‪Ahmad Sarwat, Lc‬‬
‫‪Fiqih Mawaris‬‬

‫ول ول اا ‪ ‬ني نيني أن أننب نب نب‬ ‫ال نل نرنروس وس و‬


‫ال نل قنقن ن‬ ‫نع نعنن النلن رع رع نرنرجج ‪ ‬قنقن ن‬
‫ض نونو نع نع لم لموم وم رورونه نهَر َر َر َر َر ا فنفنَر َر َر َر َرإإنمنمهوهو‬ ‫ض ن‬‫وه وه نرنريرَريرَر نرنرنة نة تنَرتنَر نع نعلم لموم ومَر َر َر َر َروا ال نف نفَر َر َر َر َر نرنرائئ ن‬
‫ف العع رللر َر َر َرمم نونوإإنمنم َر َر َرهوهو يَرويَرورنرن نسَر َر َر نس ى نونووه وهَر َر َر نو نو أنأنمو موول ول نم نم َر َر َر ا‬ ‫ف و‬ ‫صو‬ ‫صَر َر َر ر‬ ‫نن ر‬
‫يَرويَرورنَررنَر نزعوعو مم رن رن أوأوم متتت‬
‫‪Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW‬‬
‫‪bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu‬‬
‫‪faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari‬‬
‫‪ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang‬‬
‫‪pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu‬‬
‫)‪Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim‬‬
‫‪1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW‬‬

‫ول ول‬
‫ال نل نرنروسَر وس و‬ ‫ال نل قنقنَر ن‬ ‫نع نع رن رن نع نع ربربدد اا بربرنن نم نم رس رس عوعوودد ‪ ‬قنقنَر ن‬
‫س نونوتنَرتنَر نع نعلم لموم ومَر وا‬ ‫مم‬ ‫َر‬
‫اس ن‬ ‫اا ‪ ‬تنَرتنَر نع نعل لوم ومَر وا ال وق وقَر رررآر نن نن نونو نع نع لم لموم ومَر وهوهو النم نمَر ن‬
‫س فنفنَر َر َر َر َر َرإإمن منمن رام رمَر َر َر َر َر َر ورورؤؤ‬ ‫اس ن‬ ‫ض نونو نع نع لم لموم ومَر َر َر َر َر َر وهوهو النم نمَر َر َر َر َر َر ن‬‫ض ن‬ ‫ال نف نفَر َر َر َر َر َر نرنرائئ ن‬
‫ض نونوتنتنظرظر نه نهَر َر َر َر َر ورور‬ ‫ض و‬ ‫نم نم رق رقبوَربوَررو روضض نونوإإمن من العع رللرَر َر َر َر َر نم نم نسَر َر َر َر َر نس يوَريوَر رق رق بنبن و‬
‫ف َر َر َرف‬ ‫ف الل ثرَرثرَرنننن َر َر َر َرانن َر‬ ‫َر َر َر َر‬
‫ف ن‬ ‫ت َر َرمت نير نير نير نير تنتنلل ن‬ ‫ت نح نحمت م َر َر‬ ‫ت نو‬
‫تَر َر َر َر نو‬
‫تنو‬ ‫الففنو‬
‫ض ضي بنبنبنبنَر ا – رواه‬ ‫ض ةة لنلن ني ني ني ن َري ند ندانن ممنن يَريَر رق رق َر‬
‫ن نَر ر ر ن ن‬ ‫ضن‬ ‫ال نف نف رريرير ن‬
‫الاكم‬
‫‪Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa‬‬
‫‪Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan‬‬
‫‪ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah‬‬
‫‪ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang.‬‬
‫‪Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal.‬‬

‫‪15‬‬
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar,


sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam
masalah warisan namun tidak menemukan orang
yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan
Al-Hakim)1
1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran
Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar
ilmu waris, khalifah Umar bin Al-Khattab
radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan
umat Islam mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau
menyebutkan kita harus mempelajari ilmu waris
sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.

‫ أنأننمنم َرهوهو نك نكَر ا نن نن ينَرينَروق وق َر و‬ ‫نع نع َر رن رن عوعو نم نمَر نرنر بربر َرنن النلنطم طم َرابب‬
:‫ول ول‬
. ‫ض نك نك نم نم ا تنَرتنَرتنَرتنَر نع نعلم لموم وم رورونن نن ال وق وق رررآر نن نن‬ ‫تنَرتنَر نع نعلم لموم وموا ال نف نف نرنرائئ ن‬
‫ض ن‬
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau
berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana
kalian mempelajari Al-Quran". 2
Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu
waris ini sangat penting bagi umat Islam. Karena
disejajarkan dengan belajar Al-Quran.
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga
Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga
adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang
terjadi, umumnya berhulu dari kurang pahamnya para

1
Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman
328
2

16
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

anggota keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum


waris Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi
Islam ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah
satunya adalah munculnya perpecahan keluarga.
Lantaran ketika orang tua wafat, anak-anak yang tidak
mengenal ilmu waris itu saling berebut harta disebabkan
karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda.
Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum
waris versi adat. Yang lainnya mau versi barat.
Sebagiannya mau pakai hukum Islam.
Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan
mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam,
niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab
selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan
pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-
ilmu agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi
waris sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang
masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama
adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum
waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga
yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah
mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda,
dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal
merea sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa
nanti.
1.5. Ancaman Akhirat

17
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah


mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai
dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara
sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan
Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api
neraka.
Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa
keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam
neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis
siksaan yang menghinakan.
Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam
Al-Quran Al-Kariem.
‫َر‬
‫الن َر نونر وس َر ولنهو نوينَرتنَر نع َر مد وح َر ود ن‬
‫ودهو يو َر ردخ رلهو ننَر ارا نخال ادا ف نيهَر ا نولن َرهو‬ ‫نونم َر ن ينَر رع َر ص م‬
‫نع نذاب همهي‬
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia
kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)
Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa
membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu
sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan
dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan
siksa api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya,
mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang
telah ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi
dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan
kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus
disiksa dengan siksaan yang menghinakan.

18
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah


tetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum
warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan.
Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang
masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman.
Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua.
Nauzu billahi min zalik.

2. Pensyariatan
Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam
syariah Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah dan
sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.
2.1. Dalil Quran
Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail
menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum
Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu
ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-
Anfal ayat terakhir, yaitu ayat 75.
a. Ayat waris untuk anak

‫س اء فنَر رو نق‬ ‫َر‬ ‫الو ف أ رنولند وكَر رم للَر مذ نكر مثرَر ول نَرح م‬
‫ظ الونثنَرينَر ري فنَرإن وكَر من ن نَر‬ ‫يووصي وك وم م‬
‫ف‬‫ص و‬
‫ت نواح ندةا فنَرلن نها النم ر‬ ‫اثرَرننَرتنَر ري فنَرلن وه من ثَرولوثنا نما تنَرنرنك نوإن نكان ر‬
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)

19
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

b. Ayat waris untuk orang tua

‫س مما تنَرنرنك إن نكا نن لنهو نولنَرد فنَرإن ملرَر ين وكَر ن‬ ‫نولنبنَر نويره ل وك مل نواحد ممرنَر وه نما ال هس ود و‬
‫س مَر ن‬ ‫َر‬
‫ث فنَرإن نَرك ا نن لنَرهو إ رَرخ نوة فنل موم ه ال هسَر ود و‬ ‫لمَرهو نولنَرد نونورثنَرهو أنبنَر نواهو فنل مومَر ه الثهَرلوَر و‬
‫َر‬ ‫َر‬
‫آبَر وؤوك رم نوأنبنَرَرا وؤوك رم لن تن َر رد ورو نن أنيَره وهَر رم أنقرَرنر و‬
‫ب‬ ‫بنَر رع َر د نوص يمة يووص ي بن َرا أ رنو ندير َرن ن‬
‫الن نكا نن نعليما نحك ايما‬ ‫ال إ من م‬ ‫يضةا مم نن م‬ ‫لن وك رم نَر رفعا فنر ن‬
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)
c. Ayat waris buat suami dan istri

‫اج وكَر رم إن ملرَر ين وكَر ن ملوَر من نولنَرد فنَرإن نَرك ا نن نلوَر من نولنَرد‬
‫ف نما تنَرنرنك أ رنزنو و‬‫ص و‬ ‫ نولن وك رم ن ر‬.
‫ي بنَرا أ رنو نديرَرن نونلوَر من الهربوَر وع ممَرا‬ ‫َر‬ ‫َر‬ ‫َر‬
‫فنَرلن وك وم الهربوَر وع ممَرا تنَرنررَرك نن م ن بنَر رعَر د نوص يمة يووص ن‬
‫تنَرنرركتو رم إن ملر ين وكن لم وك رم نولند فنإن نكا نن لن وك رم نولند فنَرلن وه من الث وهم ون ممَرَرا تنَرنرركتوَرم ممَر ن‬
‫وصو نن بنا أ رنو نديرن‬ ‫بنَر رعد نوصيمة تو و‬

20
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa' : 12)
d. Ayat waris Kalalah
Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan
ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki atau perempuan.

‫اح د‬ ‫ث نكلنلن َرةا أنو ام رأنة ولن َره أنخ أنو أوخ ت فنل وكَر ل و َر‬ ‫نوإن نكَر ا نن نر وجَر ل يو َر نور و‬
‫من‬ ‫ر َر ن ن و ر ر َر‬
‫ك فنَر وهَر رم وشَر نرنكاء َرف الثهَرلو َرث مَر ن‬ ‫َر‬
‫س فن َرإن نكَر انَرو نوار أن ركثنَرنر مَر ن ذنل ن‬ ‫ممرنَر وه نمَر ا ال هسَر ود و‬
‫الو َر نعليَرَرم‬ ‫بَرع د وصَر يمة يوص ى ب آ أنو دي ن نغيَرر مض آر وصَر يمةا مَر ن َر‬
‫ال نو م‬‫من م‬ ‫ن ر َر ن و ن َر ن َر ر ن ر َر ر ن و ن َر م ن‬
‫نحليم‬
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

21
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau


sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)
e. Ayat waris Kalalah
Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan.

‫س لنَرهو نولنَرد نولنَرهو‬ ‫الو يَرو رفتي وكَر رم َرف الر نكلنلنَرة إن رَرام ورؤ نهلنَر ن‬
‫ك لنريَر ن‬ ‫ك قول م‬ ‫ين رستنَر رفتوون ن‬
‫ف نما تنَرنرنك‬ ‫ص و‬‫وخت فنَرلن نها ن ر‬ ‫أر‬
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)
‫وأوولو َروار النرح ام بَرعض هم أنون َرل ببَرع ض َرف كت اب َر‬
‫ال إ من م‬
‫الن َر ب وكَر مل نشَر ريء‬ ‫ن َر م‬ ‫ر ن َر ن ر و َر و ر ر ن ر َر‬ ‫نر‬
‫نعليم‬
Orang-orang yang mempunyai hubungan itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)
2.2. Dalil Sunnah

22
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang


menunjukkan pensyariatan hukum waris buat umat Islam.
Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini :

‫ض ب رنهل نهَر ا فن نمَر ا‬ ‫ أ ر‬ ‫ول ا َر‬


‫نل وقَروا ال نفَر نرائ ن‬ ‫ال نر وسَر و‬ ‫ قن َر ن‬ ‫نع َرن ابر َرن نعبم َراس‬
‫ال قن َر ن‬
.‫بنق ني فنل نَ رونل نر وجل ذن نكر‬
Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah
SAW bersabdam"Bagikanlah harta peninggalan
(warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa
menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR
Bukhari)

‫ لن ير و‬ ‫ول ا‬
‫ث ال رسل وم الكانفنر نولن‬ ‫ال نر وس و‬ ‫ قن ن‬ ‫وس نامةن برن نزيرد‬
‫ال قن ن‬ ‫نع رن أ ن‬
‫ن و‬
‫ال نكافور ال رسل نم‬
‫و‬
Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim
tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang
kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim.
(HR Jamaah kecuali An-Nasai)3
‫ث أ رَرنه ل ملمتنَر ر َر‬
‫ي‬ ‫ لن ينَرتنَر نو نار و و‬ ‫ول ا‬
‫ال نر وسَر و‬ ‫ قن ن‬ ‫نع رن نعربد ا برن نع رمرو‬
‫ال قنَر ن‬
‫نش مت‬
Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang
berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad
Abu Daud dan Ibnu Majah)

3
Nailul Authar jilid 6 halaman 55

23
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

‫ض َر َر ى ل رل نجَر َر مدتنَر ري مَر َر نن‬ ‫ال أ من الن م‬


‫ قن ن‬ ‫مب َر َر‬ ‫ قن َر َر ن‬ ‫ص َر َر امت‬‫نع َر َر رن عوبن َر َر ناد نة بر َر َرن ال م‬
‫ال رميانث بل هس ودس بنَرريَرننَر وه نما‬
Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu
berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua
orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad
Abu Daud dan Ibnu Majah)

‫س‬
‫ف نولبرَرننَرة البرَرن ال هسَر ود و‬ ‫ للبرَرننَرة النم رَر‬ ‫مبَر‬
‫ص و‬ ‫ضى الن ه‬‫ قن ن‬ ‫نعن ابرن نم رسعوود‬
َ‫وخت‬ ‫تنكرملنةا للثهَرلوثنَر ري نونما بنق ني فنلل ر‬
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa
Rasulullah SAW menetapkan bagi anak tunggal
perempuan setengah bagian, dan buat anak
perempuan dari anak laki seperenam bagian sebagai
penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat
saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim
dan Nasai)4
2.3. Dalil Ijma'
Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi
nabi telah berijma' tentang pensyariatan hukum waris ini.

4
Nailul Authar jilid 6 halaman 58

24
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Bab Kedua
Pengertian Waris

1. Definisi

1.1. Bahasa
Al-miirats (‫ )الميراث‬dalam bahasa Arab adalah bentuk
mashdar (infinitif) dari kata (‫ث يا يرث يإ ررثاا او يمي ارراثاا‬
‫)و ير ا‬
‫ ا‬waritsa-
yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa
ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya
pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat

25
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula


sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:

‫ود‬
‫ث وسلنري نما ون ند واو ن‬
‫نونور ن‬
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml:
16)

‫ي‬
‫نووكنما نرن ون الر نوارث ن‬
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-
Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:

‫العولن نماءور نرونر نرثنةو الننربيناءنءن‬


'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
1.2. Pengertian syariah
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang
dikenal para ulama ialah : berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan
itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar'i.

2. Waris, Hibah dan Wasiat


Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki
kesamaan dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan
wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita
seringkali kesulitan saat membedakannya.

26
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan


tabel seperti berikut ini.
WARIS HIBAH WASIAT
Setelah
Waktu Sebelum wafat Setelah wafat
wafat
ahli waris & bukan ahli
Penerima Ahli waris bukan ahli waris
waris
Sesuai Bebas Maksimal 1/3
Nilai faraidh

Hukum wajib Sunnah Sunnah

2.1. Waktu
Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada
para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar
masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya
(muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain,
pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu
meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah
bukan yang memiliki harta itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya
dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau
hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak
menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu.
Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada
saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya
baru terjadi saat dia meninggal dunia.
2.2. Penerima

27
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang


yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena
hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan
kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang
bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris
sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka
haram baginya menerima lewat jalur washiat.
Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh
diterima oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu
boleh diserahkan kepada siapa saja.
2.3. Nilai
Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada
ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di
dalam ilmu faraidh.
Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan
besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada
juga para ahli waris dengan status menerima ashabah,
yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah
diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada juga yang
menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.
Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan
maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan.
Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari
almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan
dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli waris,
sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal
yang diharamkan.
Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3,
maka kelebihannya itu harus dibatalkan.

28
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

2.4. Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan
sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu
kewajiban atas harta.
Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya
sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah
hukumnya sunnah.

3. Istilah-istilah dalam ilmu waris


Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas,
dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah
yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah
yang akan seringkali muncul dalam mata kuliah ini.
3.1. Tarikah
Tarikah, (‫ )تركة‬kadang dibaca tirkah, adalah segala
sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta
(uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan
sebagai peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok
hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang
piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang
mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau
mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
3.2. Fardh
Fardh (‫ )فرض‬adalah bagian harta yang didapat oleh
seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh
nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu

29
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan
2/3. Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-
pecah sesuai bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya
sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta
suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau
mendapat 1/4 bagian bila suaminya tidak punya
keturunan.
3.3. Ashhabul Furudh.
Ashabul furudh (‫ )أصحاب الفروض‬sesuai dengan
namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-
orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah
ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan
yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami,
istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh
nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh,
seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah
dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4
atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri
mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak
punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati
istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan
diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan
anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami
mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya
anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.

30
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris


yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta
muwarristnya.
3.4. Ashabah
Istilah ashabaha (‫ )عصبة‬berposisi sebagai lawan fardh,
yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang
besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu
hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya
oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen.
Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli
waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak,
maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah
mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli
waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia.
Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat
1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut
mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang
sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.
3.5. Sahm
Sahm (‫ )سهم‬adalah istilah untuk menyebut bagian harta
yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari
asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
Misalnya,
3.6. Nasab
Nasab (‫ )نسب‬adalah hubungan seseorang secara darah,
baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek
kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut

31
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah


(keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau
anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini
disebut bunuwwah.
3.7. Al-Far'u
Istilah (‫ )الفرع‬bila kita temukan di dalam ilmu waris,
maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan
dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga
anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun
perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists maksudnya
adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli
waris anak-anak tersebut ke bawahnya.
3.8. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl (‫ )الصل‬adalah
ayah kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah
kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek).
Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya
ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.

32
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Bab Ketiga
Alokasi Harta

Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan


meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta
peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada
sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih
dahulu. Tentu saja bila pos-pos pengeluaran itu memang
ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum
waris.

1. Menetapkan Kepemilikan Harta


Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di
kitab-kitab fiqih klasik, namun pada kenyataannya,
terutama di negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari

33
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

semua urusan pembagian warisan. Pertama yang harus


dilakukan adalah memilah dan memilih mana yang
merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik
orang lain, tetapi tercampur di dalam harta almarhum.
Mengapa demikian?
Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta
yang dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki
oleh almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan
yang sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi
milik bersama, baik antara suami istri atau pun dengan
pihak lain.
Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana
di dalam harta seseorang masih tercampur hak milik
orang lain, diantaranya :
a. Usaha Bersama Suami Istri
Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun
usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya
mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan
usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan
harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua.
Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul
persoalan, lantran kedua suami istri.
Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia.
Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta
berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya.
Suami tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan
itu.
Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak.
Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak

34
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri
mereka.
Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang
status kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar
yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi
bagian istri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham,
maka berapa besar saham istri harus ditetapkan secara
jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya
harus ditetapkan secara jelas juga.
Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik
istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami
tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.
b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri
Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan
anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri.
Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak
mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari
peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak
tidak punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau
almarhum tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh
kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-adik
almarhum.
Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah
menjanda, kolam pancing ikan yang diributkan itu pada
dasarnya bukan asset harta milik suaminya yang sudah
almarhum. Karena semasa hidupnya, almarhum telah
menghadiahkan kolam pancing itu kepada dirinya
sebagai hadiah ulang tahun.

35
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas


nama istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena
statusnya bukan milik almarhum.
Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing
pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan
menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat
bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi
waris bisa dilakukan.
c. Pinjam atau Beli
Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada
kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya,
sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.
Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang
pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai
jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.
Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak
dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan.
Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli
waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik
mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka,
karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu
semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai
jaminan hutang.
Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan
bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka,
lantaran utang belum pernah dikembalikan.
Anak keturunan si adik akhirnya bersedia
mengembalikan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya
hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya
hanya senilai itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak

36
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

meradang, karena apa artinya uang segitu di zaman


sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai
dengan biaya pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta
setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH
sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah
masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih
dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.

2. Pengurusan Jenazah
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman
pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan
catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan
pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang
dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga
pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan,
pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya
hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang
terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah
bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

3. Hutang
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung
pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada
ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan
terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw.:

37
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya


hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang
bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang
tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum
membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau
belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan
ulama ada sedikit perbedaan pandangan.
Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa
ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli
warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan
(harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut
merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur
jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut
mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan
niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat
dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi,
meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi
orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan
sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan
kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja
merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini
tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada
ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit
berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya.
Jumhur Ulama

38
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris


wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah
beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang
kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini
merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena
bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak
yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu
wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris
mewasiatkan ataupun tidak.
Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut
wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan
dengan hak sesama hamba.
Al-Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang
berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli
warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan
utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama
hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama
hamba daripada utang kepada Allah.
Al-Hanabilah
Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang
kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah.
Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum
seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada
setiap ahli waris.

39
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

4. Washiyat
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama
tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut
diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta
tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli
warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan
setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai
keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk
membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari
jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak
wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli
warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw.
ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a.
--pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan
seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah
saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli
warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada
meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga
meminta-minta kepada orang."
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris
dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-
Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan
kepada :

 ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan


jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami,
dan lainnya),

40
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

 kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang


berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah
ashhabul furudh menerima bagian).

Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu


disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara
syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu
diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh
karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu
mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris
menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab
wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang
seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja
berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat
lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat
tersebut.

41
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Bab Keempat
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan

1. Rukun Waris
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus
terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun
ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan
al-mauruts. Lebih rincinya :
1.1. Al-Muwarits
Al-Muwarrits (‫ )الم او ي ثرث‬sering diterjemahkan sebagai
pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan.
Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang

42
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para


ahli waris.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang,
bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau
negara bukanlah termasuk pewaris.
1.2. Al-Warits
Al-Warits (‫)الو يارث‬
‫ ا‬sering diterjemahkan sebagai ahli
waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta
peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab)
atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
1.3. Harta Warisan
Harta warits (‫ )ال ام روروث‬adalah benda atau hak
kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah,
dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik
pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami
meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih
dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan
mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu
dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak
dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.

2. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus
terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu
dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak
terjadi pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
2.1. Meninggalnya Muwarrits

43
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para


ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan
meninggal secara hukum.
a. Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis
menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa,
dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
b. Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh
hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya
tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan
perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum
formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup
dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah
telah meninggal dunia.
Bagi Waris Sebelum Meninggal
Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat,
yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya
meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang
membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli
waris mendapat harta warisan, manakala seorang
muwarrits belum lagi meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari
harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya,
pada saat dia masih hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah
bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah

44
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang tidak


mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta
warisan miliknya kepada keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang
terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan
hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan
siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta
miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu
sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah
menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada
hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta
itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan
bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si
anak berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah
berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak
untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu
begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya,
berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya
tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya
kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang
tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk
memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya
kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu
namanya washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak
tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya
(pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak

45
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

ada washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu


dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu
harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya
hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan
namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan,
aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-
Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam
hal ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-
bagi sendiri harta warisan untuk para ahli warisnya.
Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah
dia meninggal dunia.
2.2. Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada
waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan
menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki
ketika pewaris meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari
ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak
itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak
mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka.
Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari
kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan.
Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek
berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan
menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan
warisan melainkan dengan cara washiat.

46
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara


para ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan
kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih
hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada
cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti
pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan
tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang
berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa
--atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di
antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang
mereka miliki ketika masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan
seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam.
Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang
yang tidak dapat saling mewarisi.
2.3. Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk
jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri,
kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui
dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada
masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris
perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan
jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus
dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara

47
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing


mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima
warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena
'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan
warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris


Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang
mendapatkan hak waris:
3.1. Kerabat hakiki
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah,
ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan
ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari
ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek
yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga
semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan
seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak
tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan
anak-anak si kakek lainnya.
3.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara
seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau
tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar
keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak
mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan
mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya

48
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan,


meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka
seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila
mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal
dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya,
meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang
batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk
mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali
dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling
mewarisi antara suami dan istri.
3.3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga
wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab
adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa
kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai
manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan
kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang
hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena
adanya tali pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah
tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban
manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.

49
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Bab Kelima
Gugurnya Warisan

Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak


mendapat warisan, ada juga hal-hal yang membuat
seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun
karena satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga
orang tersebut tidak jadi menerima warisan.

1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan


Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada
tiga:
1.1. Pembunuhan

50
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris


(misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka
gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari
ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan
akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta
orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah
ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang
sekaligus dijadikan sebagai kaidah:

‫من تعجل بشيء عوقب برمانه‬


Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu
sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan
bagiannya.
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan
jenis pembunuhan.

 Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan


yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua
jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
 Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya
pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan
yang dapat menggugurkan hak waris.
 Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan
dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi
penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan
kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam,
atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para

51
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman


mati pada umumnya.
 Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan
yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah
setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan
pelakunya diqishash, membayar diyat, atau
membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai
penggugur hak waris.

1.2. Perbedaan Agama


Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun
diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya.
Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya
ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan
sendiri bila dia tidak beragama Islam.
Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris,
tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak
mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim.
Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

" ‫ث ال رسل وم ال نكافنر نولن ال نكافور ال رسل نم‬


‫لا ير و‬
‫و‬ ‫ن و‬
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang
kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim."
(Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk
keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada
pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa
seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak
boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka

52
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul,


tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi
sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang
yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang
murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan
bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan
agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi
orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan
pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah
dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah
seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur
ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi
harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut
mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari
ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut
telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan
Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim
dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim
dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad.
Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat
mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad
diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat
ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih
rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena

53
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus


diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa
sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara
rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
1.3. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak
mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak,
secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu
sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang
telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau
mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian
pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang
disepakati kedua belah pihak).
Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak
untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan
mereka tidak mempunyai hak milik.

2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub


Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-
mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan
sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena
itu, ada baiknya juga dijelaskan perbedaan makna antara
kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab
dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya,
seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan
fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan
mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris
disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat
kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya.

54
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan


adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara
kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak
mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli
waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris,
yaitu ayah.
Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak
memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung
pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini
disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya
sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan
seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini,
anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka
pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian
seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap
tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per
empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung
sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian
disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau
saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri
seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak
mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang
mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta
yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai
'ashabah.
Contoh Kedua

55
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah,


ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak
mendapatkan warisan dikarenakan ter-mahjub oleh
adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat
dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.

56
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Bab Keenam
Penghalang Warisan (Al-Hujub)

1. Definisi
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'.
Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

‫مه رم نعن مرمب رم ينَر رونمئذ لم نم رح وجوبوو نن‬


‫نكلملم لم إنَر و‬
Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu
benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka"
(QS. Al-Muthaffifin : 15)

57
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang


benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan
mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata
hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu',
disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki
tempat tertentu tanpa izin guna menemui para penguasa
atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba
adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub.
Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan
al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan
warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama
faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk
menerima waris, baik secara keseluruhannya atau
sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak
untuk menerimanya.

2. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi
(sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena
orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub
tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara
keseluruhan, misalnya orang yang membunuh
pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi
gugur atau terhalang.

58
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya


hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang
lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-
syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuQShan.
Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan
seluruh hak waris seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek
karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena
adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah
karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris
seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu
penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya,
penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya
mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan
pewaris mempunyai keturunan (anak).
Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang
suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi
seperempat, sang istri dari seperempat menjadi
seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan
seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia
faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata
lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini
merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam
pengertian hujub nuQShan.

3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman


Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena
hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan

59
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut


adalah :

1. Anak kandung laki-laki


2. Anak kandung perempuan
3. Ayah
4. Ibu
5. Suami
6. Istri

Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau


bahkan keenamnya, maka mereka ini pasti mendapat
warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka
dengan almarhum yang wafat.

4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman


Ada 16 orang yang dapat terkena hujub hirman ada
enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari
wanita. Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi
mungkin juga terhalang sehingga tidak mendapatkan
warisan.

60
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Bab Kedelapan
Ashabul Furudh & Ashabah

1. Ashhabul Furudh
Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai
haknya telah ditetapkan secara langsung dan
mendapatkan harta waris terlebih dahulu, sebelum para
ashabah.
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada
enam macam, yaitu :
 setengah (1/2)
 seperempat (1/4)
 seperdelapan (1/8)
 dua per tiga (2/3)

61
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

 sepertiga (1/3)
 seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa
saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan
bagian yang berhak ia terima.

2. Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat
seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian,
dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan
dan melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata
'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat.
Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali
digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:

‫صبنة إ من إ اذا ملناسورو نن‬ ‫قنالووار لنئ رن أن نكلنهو ال مذئر و‬


‫ب نونرن ون عو ر‬
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan
serigala, sedang kami golongan (yang kuat),
sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-
orang yang merugi.'" (QS. Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan
'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para
fuqaha ialah : ahli waris yang tidak disebutkan
banyaknya bagiannya dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan
saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung

62
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan


berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan
ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris
karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga
menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul
furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak
mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :

‫س مما تنَرنرنك إن نكا نن لنهو نولنَرد فنَرإن ملرَر ين وكَر ن‬


‫نولنبنَر نويره ل وك مل نواحد ممرنَر وه نما ال هس ود و‬
‫لمهو نولند نونورثنهو أنبنَر نواهو فنل مومه الثهَرلو و‬
‫ث‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang
tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan
seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan.
Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh
harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila
pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat
bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak
menjelaskan berapa bagian ayah.

63
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil


bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah.
Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia
sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah :

‫ف نمَر ا تنَرنرنك نووهَر نو ينرثَرو نَره آ‬


‫ص و‬
‫وخ ت فنَرلن نَره ا ن رَر‬
‫س لنَرهو نولنَرد نولنَرهو أ رَر‬
‫ك لنريَر ن‬
‫إن رَرام ورؤ نهلنَر ن‬
‫إن ملر ين وكن ملنا نولند‬
Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak. (QS. An-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara
kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara
kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh
harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak
mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha"
memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan
menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang
disabdakan Rasulullah saw.:

‫ض ب رنهل نهَر ا فن نمَر ا‬ ‫ أ ر‬ ‫ول ا َر‬


‫نل وقَروا ال نفَر نرائ ن‬ ‫ال نر وسَر و‬ ‫ قن َر ن‬ ‫نع َرن ابر َرن نعبم َراس‬
‫ال قن َر ن‬
.‫بنق ني فنل نَ رونل نر وجل ذن نكر‬

64
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada


yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-
laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar
memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih
tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang
paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut
kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut
"dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham,
jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang
dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun
berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan
menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia
sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw.
dalam hal penggunaan kata "dzakar".
2.3. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah
(karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab).
Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan
budak. Oleh sebab itu,
seorang tuan (pemilik Catatan
budak) dapat menjadi Dalam dunia faraid, apabila
ahli waris bekas budak lafazh 'ashabah disebutkan tanpa
diikuti kata lainnya (tanpa
yang dimerdekakannya
dibarengi bil ghair atau ma'al
apabila budak tersebut ghair), maka yang dimaksud
tidak mempunyai adalah 'ashabah bin nafs.
keturunan.

65
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:


 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur
wanita),
 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang
lain)
 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama
dengan yang lain).
3.1. 'Ashabah bin nafs

'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada


pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai
empat arah, yaitu:

1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak


laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.

2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya,


yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari
bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.

3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung


laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki
keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah
ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan
yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya
yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak
termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul
furudh.

66
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah)


kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan
mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya


sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih
kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat
daripada arah saudara.
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi
mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak
warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara
tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang
meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh
warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris
mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka
sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan
kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan
kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka
para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal,
seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara
kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara
perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara
seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul
furudh telah menghabiskannya.

67
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Bab Ketujuh
Para Ahli Waris

Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan


menghafal siapa saja ahli waris adalah tidak adanya
diagram atau struktur keluarga (family chart).
Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif
antara satu ahli waris dengan yang lainnya. Seorang ahli
waris bisa saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya.
Tapi dalam waktu yang sama, dia adalah 'anak' dari
seseorang. Bahkan dia juga seorang 'kakek', atau 'paman',
'saudara', 'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan
begitulah seterusnya.

68
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami


duduk masalah. Maka dengan bantuan diagram struktur
keluarga ini, kita akan dimudahkan.
Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam
bahasa Indonesia sering tidak baku. Katakanlah sebagai
contoh, akh li ab wa li um (‫)أخ شقيق‬, sering kita
terjemahkan menjadi saudara kandung. Sebagian orang
memahami istilah saudara kandung adalah saudara yang
sama-sama satu kandungan ibu, dimana ayah mereka bisa
saja berbeda. Dan itu adalah saudara seibu (‫)أخ لم‬.
Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia, juga
dilengkapi juga dengan istilah dalam bahasa Arab
aslinya.
Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris,
yang sepenuhnya merupakan ijtihad penulis sendiri.
Sekedar untuk memastikan identitas seorang ahli waris,
agar tidak tertukar-tukar penyebutannya dengan ahli
waris yang lain. Kira-kira seperti id number kalau dalam
sistem database.
Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar
orang-orang yang terhijab oleh seorang ahli waris.
Sehingga dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja
dari mereka yang terhijab, cukup dengan sekali melihat
bagan.
Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian-
bagian yang mungkin akan bisa diterima oleh seorang
ahli waris.

69
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

70
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

1. Anak Laki-laki (‫)ابن‬


Kita urutkan pada nomor satu dalam daftar struktur
keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan
anak laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris
yang lain. Untuk seterusnya agar memudahkan, kita
tinggal menggunakan nomor urut satu sebagai id buat
anak laki-laki.
1.1. Bagian
 Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak
perempuan.
Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara
ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh
ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya
tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil.
Bahkan bisa saja sisanya sama dengan seluruh harta,
misalnya karena almarhum tidak punya ahli waris lain
selain anak laki-laki. Tetapi seorang anak laki-laki tidak
mungkin tidak kebagian harta waris.
Akan lebih tergambar kalau kita masukkan ke dalam
contoh-contoh yang nyata.
Contoh Pertama :
Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan
sebesar 10 milyar, tanpa memiliki istri atau anak
perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-
laki tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu
mewarisi seluruh harta ayahnya, sebesar 10 milyar.
Karena anak laki-laki memang mendapat semua sisa

71
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

harta, yang dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris
dari ashabul furudh yang masih hidup.
Ahli Waris Bagian Nilai
Anak laki-laki 1/1 10 milyar

Contoh Kedua :
Seorang meninggal dunia dengan harta sebesar 7
milyar, tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli
warisnya 7 orang anak laki-laki semua.
Penyelesaian sederhana saja, harta itu dibagi rata
kepada lima orang. Jadi masing-masing mendapat 1
milyar.
Ahli Waris Bagian Nilai
Anak laki-laki 1 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 2 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 3 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 4 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 5 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 6 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 7 1/7 1 milyar

Contoh Ketiga :
Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar,
meninggalkan ahli waris seorang istri dan seorang anak
laki-laki.

72
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Istri adalah ashabul furudh yang


jatahnya sudah ditetapkan, yaitu
1/8 atau 1 milyar. Sisanya adalah
7/8 bagian atau 7 milyar, menjadi
hak oleh anak laki-laki adalah 7/8.
Hak anak laki-laki adalah sisa
harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri
almarhum.
Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya
sebagai berikut :
Ahli Waris Bagian Nilai
Istri 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 7/8 7 milyar
(ashabah)

Contoh Keempat :
Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada saat wafat
beliau memiliki seorang istri dan 7 orang anak laki-laki.
Bagaimana penyelesaiannya?
Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak laki-laki
adalah ashabah, mereka berhak atas sisanya. Dan sisanya
yang 7/8 bagian itu dibagi rata kepada 7 orang anak laki-
laki. 7/8 dibagi 7 adalah 1/8.
Kita perhatikan bahwa masing-masing ahli waris
sama-sama mendapat 1/8 dari 8 milyar, jadi masing-
masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris Bagian Nilai
Istri 1/8 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 1 7/8 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 2 1/8 1 milyar

73
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Anak laki-laki 3 1/8 1 milyar


Anak laki-laki 4 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 5 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 6 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 7 1/8 1 milyar

1.2. Menghijab
Ahli Waris id
 saudara seayah-ibu 9
 saudari seayah-ibu 10
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara 13
seayah-ibu 14
 keponakan : anak saudara seayah 15
 paman : saudara ayah seayah-ibu 16
 paman : saudara ayah seayah 17
 sepupu : anak laki paman 18
seayah-ibu 19
 sepupu : anak laki paman seayah 20
 cucu : anak laki dari anak laki 22
 cucu : anak wanita dari anak laki
 saudara & saudari seibu
1.3. Dihijab oleh :
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
anak laki-laki tidak dihijab oleh siapa pun. Karena
posisinya yang langsung berhubungan dengan muwarrits.
***

74
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

2. Anak Perempuan (‫)بنت‬


Anak perempuan yang dimaksud adalah anak
perempuan dari muwarrits yang telah meninggal dunia.
Kita letakkan pada nomor urut dua, karena posisinya
yang sangat dekat dengan muwarrits, serta bersisian
dengan anak lak-laki yang berada pada nomor urut satu.
2.1. Bagian
 1/2 = menjadi satu-satunya anak almarhum
 2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak
laki
 ashabah = almarhum punya anak lak-laki dengan
ketentuan bagiannya 1/2 dari bagian anak laki-laki
Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam
menerima waris dari orang tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua
harta warisan. Syaratnya, dia menjadi anak tunggal dari
muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun
baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.

‫ف‬
‫ص و‬
‫ت نواح ند اة فنَرلن نها النم ر‬
‫نوإن نكان ر‬
Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka
ia mendapat separuh harta warisan yang ada..(QS. An-
Nisa : 11)

Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya,


dia tidak sendirian. Dia punya saudara perempuan
sehingga minimal mereka berdua. Dan mereka semua
akan mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3

75
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

bagian, selama semuanya perempuan dan tidak ada


saudara laki-laki satu pun.

‫فنإن وك من ن نساء فنَر رو نق اثرَرننَرتنَر ري فنَرلن وه من ثَرولوثنا نما تنَرنرنك‬


Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang
ditinggalkan ..." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama
anak laki-laki akan mendapat ashabah atau sisa. Harta
sisa itu dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya
dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang
diterima saudara laki-lakinya.

‫الو ف أ رنولند وك رم لل مذ نكر مثر ول نح م‬


‫ظ الونثنَرينَر ري‬ ‫يووصي وك وم م‬
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan. (QS. An-Nisa : 11)
2.2. Menghijab
 cucu : anak wanita dari anak laki 20
 saudara & saudari seibu 22
Ada 2 orang yang
dihijab oleh anak
perempuan. Pertama,
saudara atau saudari
seibu tidak seayah.
Kedua, cucu
perempu-an
almarhum, dengan
syarat jumlah anak

76
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu
laki-laki yang menjadikan cucu perempuan sebagai
ashabah bersamanya.
2.3. Dihijab Oleh :
Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh
siapa pun, karena tidak ada penghalang antara dirinya
dengan muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.
***

3. Istri (‫)زوجة‬
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya,
maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian
harta yang sebelumnya milik suaminya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami
istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan
terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak
dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi
bagian suami.
3.1. Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan dalam
menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8 sebagaimana
disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya
fara' waris5, maka hak istri adalah 1/4 bagian dari harta
peninggalan almarhum suaminya.
5
Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak
perempuan, juga anak laki-laki atau anak perempuan dari anak laki-
laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak
perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan
termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak
termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.

77
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

‫نونلو من الهربو وع مما تنَرنرركتو رم إن ملر ين وكن لم وك رم نولند‬


"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu
tinggalkan bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-
Nisa': 12)
Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia
punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka
bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan
suami.

‫وصَرو نن بنَرا أ رنو‬ ‫َر‬ ‫َر‬


‫فنإن نكا نن لن وك رم نولند فنَرلن وه من الث وهم ون مما تنَرنرركتوَرم مم ن بنَر رعَر د نوص يمة تو و‬
‫نديرن‬
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (QS.
An-Nisa': 12)
3.2. Menghijab
Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun
dari ahli waris suami. Keberadaannya hanya sekedar
mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang
menjadi kehilangan haknya.
3.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami,
maka tidak ada seorang pun yang bisa menjadi
penghalang antara mereka. Dengan demikian, istri tidak
dihijab oleh siapa pun.
***

78
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

4. Suami
Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya,
maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian
harta yang sebelumnya milik istrinya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami
istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan
terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak
dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi
bagian istri.
4.1. Bagian
Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu
1/2 atau 1/4 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11
surat A-Nisa'.
Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya
fara' waris, maka hak suami 1/2 bagian dari harta
peninggalan almarhumah istrinya.

‫اج وك رم إن ملر ين وكن ملو من نولند‬


‫ف نما تنَرنرنك أ رنزنو و‬
‫ص و‬
‫نولن وك رم ن ر‬
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh
dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila
mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS.
An-Nisa': 12)
Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya
keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian
suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.

‫فنإن نكا نن نلو من نولند فنَرلن وك وم الهربو وع مما تنَرنررك نن‬


"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya (QS. An-Nisa': 12)

79
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

4.2. Menghijab
Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun
dari ahli waris istri. Keberadaannya hanya sekedar
mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang
menjadi kehilangan haknya.
4.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami,
maka tidak ada seorang pun yang bisa menjadi
penghalang antara mereka. Dengan demikian, suami
tidak dihijab oleh siapa pun.
***

5. Ayah
Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik
anak itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang
berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya
adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia.
Kalau ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu, tidak
menjadi ahli waris.
5.1. Bagian
Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam
menerima hak warisnya.

 1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki


 1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak
punya fara' waris laki-laki
 Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya


yang meninggal. Syaratnya, almarhum anaknya itu punya

80
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu


laki-laki dari anak laki-laki.

‫س مما تنَرنرنك إن نكا نن لنهو نولند‬


‫نولنبنَر نويره ل وك مل نواحد ممرنَر وه نما ال هس ود و‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS.
An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan
sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum
yaitu anaknya yang meninggal itu punya fara' waris
perempuan6 dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam
hal ini ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama
atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum
dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah
SAW bersabda :

‫ض ب رنهل نهَر ا فن نمَر ا‬ ‫ أ ر‬ ‫ول ا َر‬


‫نل وقَروا ال نفَر نرائ ن‬ ‫ال نر وسَر و‬ ‫ قن َر ن‬ ‫نع َرن ابر َرن نعبم َراس‬
‫ال قن َر ن‬
.‫بنق ني فنل نَ رونل نر وجل ذن نكر‬
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada
yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-
laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak
perempuan dan seorang ayah. Anak perempuan mendapat
1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6
sebagaimana disebut dalam dalil berikut :
6
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

81
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

‫س مما تنَرنرنك إن نكا نن لنهو نولند‬


‫نولنبنَر نويره ل وك مل نواحد ممرنَر وه نما ال هس ود و‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS.
An-Nisa': 11)
Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan
itu tentu masih bersisa. Siapakah yang berhak atas harta
ini?
Jawabnya adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang
merupakan ashabah juga. Meski pun pada dasarnya ada
lagi ahli waris lain yang juga berhak menjadi ashabah,
namun ayah telah menghijab mereka dan mengambil hak
asabah itu untuk dirinya, dengan dasar dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara
ashabah, setelah ashabul furudh mengambil bagiannya.
Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-
laki atau pun perempuan.

‫فنإن ملر ين وكن لمهو نولند نونورثنهو أنبنَر نواهو فنل مومه الثهَرلو و‬
‫ث‬
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya
mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah
sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Di ayat ini tidak tertera kalimat yang secara langsung
menyebutkan bahwa ayah mendapat sisanya. Hanya
disebutkan bahwa ayah dan ibu itu menerima warisan
dari anak mereka bersama-sama. Dan yang menjadi
bagian buat ibu adalah 1/3. Logikanya, kalau bagian itu

82
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

ibu sudah disebutkan maka bagian ayah pasti diketahui,


yaitu sisanya.
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya
seorang istri dan seorang ayah. Maka istri adalah ahli
waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah 1/4
bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya
yang 3/4 bagian menjadi hak ayah sebagai ashabah bi
nafsihi.
5.2. Menghijab
Ayah termasuk orang yang cukup banyak menghijab
ahli waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada 12 ahli
waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan,
karena keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
 kakek : ayahnya ayah 7
 Nenek : ibunya ayah 8
 saudara seayah-ibu 9
 saudari seayah-ibu 10
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara seayah-ibu 13
 keponakan : anak saudara seayah 14
 paman : saudara ayah seayah-ibu 15
 paman : saudara ayah seayah 16
 sepupu : anak laki paman seayah-ibu 17
 sepupu : anak laki paman seayah 18
5.3. Dihijab oleh
Seorang ayah tidak terhijab oleh siapa pun dari para
ahli waris yang lain. Karena hubungan ayah dengan
anaknya yang menjadi muwarrits adalah hubungan
langsung.

83
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

***

6. Ibu
Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya
yang meninggal dunia. Bila saat meninggalnya, ibu
masih ada, sudah dipastikan ibu mendapat warisan.
6.1. Bagian
Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam
menerima hak warisnya.
 1/6 = almarhum punya fara' waris
 1/3 = almarhum tidak punya fara' waris
 1/3 dari sisa = bila almarhum punya fara' waris (hanya
dalam kasus umariyatain)

Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum


anaknya yang wafat, bila anaknya itu punya fara' waris.

‫س مما تنَرنرنك إن نكا نن لنهو نولند‬


‫نولنبنَر نويره ل وك مل نواحد ممرنَر وه نما ال هس ود و‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS.
An-Nisa': 11)
Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta
peninggalan almarhum anaknya, bila anaknya tidak
punya fara' waris.

‫فنإن ملر ين وكن لمهو نولند نونورثنهو أنبنَر نواهو فنل مومه الثهَرلو و‬
‫ث‬
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya
mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah
sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

84
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang


sudah diambil oleh para ashabul furudh, namun haknya
yang 1/3 tidak berlaku.
Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat
dengan meninggalkan hanya 3 orang ahli waris, yaitu
suami/istri, ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman
khalifah Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan istilah
kasus Umariyatain.7
6.2. Menghijab
Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris lainnya,
yaitu nenek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah.

7
Istilah kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan
oleh Umar bin al-Khattab radhiyallahuanhu. Kasus pertama
melibatkan 3 orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus
kedua melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan
firman Allah pada kata : ‫وورثه أبواه‬.
Menurut Khalifah Umar dan kebanyakan para shahabat nabi
serta didukung oleh jumhur ulama, kata itu punya makna bahwa
ayah dan ibu menerima warisan dari sisa warisan yang diambil oleh
suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima waris
secara fardh (1/3) dari asal harta.
Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, ibu
mendapat 1/3 dari asal harta sebagaimana disebutkan dalam ayat ini.
Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar, kalau
demikian, tidak ada arti kata tersebut.
Maka dalam kasus ini, suami yang ditinggal mati istrinya tanpa
fara' waris mendapat 1/2 harta. Sisanya, yaitu 1/2 menjadi hak ayah
dan ibu berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat 1/3
dari jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.
Kasus Perama
Ahli WarisBagianIstri1/41/4Ibu3/41/4Ayah2/4Kasus Kedua
Ahli WarisBagianSuami1/23/6Ibu1/21/6Ayah2/6

85
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Atau dengan kata lain, dia menghijab ibunya sendiri (21)


dan ibu dari suaminya (8).
6.3. Dihijab oleh
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh anaknya,
maka posisinya tidak akan terhijab oleh siapa pun.
Karena mereka punya hubungan langsung tanpa diselingi
oleh orang lain.

***

7. Kakek (‫)أب أب‬


Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya
ayah. Seorang kakek yang ditinggal mati oleh cucunya,
baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang
yang berhak mendapatkan warisan.
Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal
dunia saat si cucu meninggal dunia. Kalau ayah anak itu
masih hidup, maka kakek (ayahnya ayah) terhijab,
sehingga kita tidak bicara tentang warisan buat kakek.
Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu
dalam kondisi bahwa ayah almarhum sudah meninggal
terlebih dahulu.
7.1. Bagian
Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan
dalam menerima hak warisnya.

 1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki


 1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak
punya fara' waris laki-laki
 Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris

86
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya


yang meninggal. Syaratnya, almarhum cucunyanya itu
punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau
cucu laki-laki dari anak laki-laki.

‫س مما تنَرنرنك إن نكا نن لنهو نولند‬


‫نولنبنَر نويره ل وك مل نواحد ممرنَر وه نما ال هس ود و‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS.
An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan
sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum
yaitu cucunya yang meninggal itu punya fara' waris
perempuan8 dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam
hal ini kakek sebagai gantinya ayah menjadi ahli waris
laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya
kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris
lainnya. Rasulullah SAW bersabda :

‫ض ب رنهل نهَر ا فن نمَر ا‬ ‫ أ ر‬ ‫ول ا َر‬


‫نل وقَروا ال نفَر نرائ ن‬ ‫ال نر وسَر و‬ ‫ قن َر ن‬ ‫نع َرن ابر َرن نعبم َراس‬
‫ال قن َر ن‬
.‫بنق ني فنل نَ رونل نر وجل ذن نكر‬
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada
yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-
laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak
perempuan dan seorang kakek, yaitu ayahnya ayah. Anak
8
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

87
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayahnya


ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil
berikut :

‫س مما تنَرنرنك إن نكا نن لنهو نولند‬


‫نولنبنَر نويره ل وك مل نواحد ممرنَر وه نما ال هس ود و‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS.
An-Nisa': 11)
Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat
seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul
furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak
punya fara' waris, baik laki-laki atau pun perempuan.

‫فنإن ملر ين وكن لمهو نولند نونورثنهو أنبنَر نواهو فنل مومه الثهَرلو و‬
‫ث‬
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya
mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah
sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya
seorang istri dan seorang kakek (ayahnya ayah). Maka
istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud,
jatahnya adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya
fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak kakek
sebagai ganti dari ayah yang sudah meninggal terlebih
dahulu.
7.2. Menghijab
Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup
banyak menghijab ahli waris yang lain, selain anak laki-
laki. Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak

88
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

mendapatkan harta warisan, karena keberadaan ayah dari


almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
 saudara seayah-ibu 9
 saudari seayah-ibu 10
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara seayah-ibu 13
 keponakan : anak saudara seayah 14
 paman : saudara ayah seayah-ibu 15
 paman : saudara ayah seayah 16
 sepupu : anak laki paman seayah-ibu 17
 sepupu : anak laki paman seayah 18
 saudara/i yang hanya seibu (rajih) 22
7.3. Dihijab oleh
Seorang kakek tidak terhijab oleh siapa pun dari para
ahli waris yang lain, kecuali oleh ayah, yang dalam hal
ini tidak lain adalah anaknya sendiri.
***

8. Nenek (‫)أم أب‬


Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari
ayahnya almarhum.
8.1. Bagian
Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan
dalam mendapat bagian warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya,
almarhum tidak punya ibu dan ayah.
8.2. Menghijab
Nenek tidak menghijab siapa pun

89
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

8.3. Dihijab oleh


Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.
 ayah 5
 ibu 6
***

9. Saudara seayah-ibu (‫)أخ شقيق‬


Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa
saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan antara
dirinya dengan almarhum adalah bahwa mereka punya
ayah dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan
istilah saudara sekandung, karena konotasinya bisa
keliru. Lebih pastinya kita gunakan istilah saudara seayah
dan seibu.
9.1. Bagian
Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum
dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang
sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris
secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab
oleh orang-orang yang menghijabnya. Dalam hal ini
almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau
kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru mendapat
jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris
hanya : istri dan saudara laki-laki seayah seibu. Maka
pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan
saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki juga punya saudara
perempuan yang sama-sama seayah dan seibu, maka
bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.

90
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara


laki-laki dan saudara wanita. Maka pembagian
warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4
itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan
2/4 dan saudarinya mendapat 1/4.
9.2. Menghijab
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara seayah-ibu 13
 keponakan : anak saudara seayah 14
 paman : saudara ayah seayah-ibu 15
 paman : saudara ayah seayah 16
 sepupu : anak laki paman seayah-ibu 17
 sepupu : anak laki paman seayah 18
9.3. Dihijab Oleh :
 Anak laki-laki 1
 Ayah 5
 Ayahnya ayah (kakek) 7
 Cucu laki-laki 19
***

10. Saudari seayah-ibu


Saudari seayah dan seibu juga termasuk yang
mendapat warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.
10.1. Bagian
 1/2 = almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak
punya ashlul waris laki-laki (5-7) tidak
punya saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak
punya saudari seayah seibu (10)

91
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

 2/3 = almarhum tidak


punya fara' waris (1-2-19-20) tidak
punya ashlul waris laki-laki (5-7) tidak
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
punya saudari seayah seibu (10)
 Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa


mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta
milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara laki-laki. Yang dia
punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka saudarinya itu mendapat 1/2 dari semua harta
warisan almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta
milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara laki-laki. Yang dia
punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari
semua harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian
itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari
seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang
saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua
mendapat warisan secara ashabah, dengan perbandingan

92
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan


dirinya mendapat 1/3 bagian.
***

11. Saudara seayah (‫)أخ لب‬


Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa
saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan saudara
ini dengan almarhum bahwa mereka punya ayah yang
sama tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa lebih
sederhana, hubungan antara almarhum dengan dirinya
adalah saudara tiri.
11.1. Bagian
Saudara seayah mendapat waris dari almarhum
dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang
sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris
secara fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh
orang-orang yang menghijabnya. Artinya, almarhum
tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek,
termasuk almarhum tidak punya saudara/i yang seayah
dan seibu. Saat itulah saudara seayah baru kebagian jatah
warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris
hanya : istri dan saudara laki-laki seayah. Maka
pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan
saudara seayah mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki seayah itu juga punya
saudara perempuan yang juga seayah, maka bagian yang
diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar dari saudari
perempuannya itu.

93
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara


laki-laki dan saudara wanita seayah. Maka pembagian
warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4
itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-laki
mendapatkan 2/4 dan saudari perempuannya mendapat
1/4.
11.2. Menghijab
 keponakan : anak saudara seayah-ibu 13
 keponakan : anak saudara seayah 14
 paman : saudara ayah seayah-ibu 15
 paman : saudara ayah seayah 16
 sepupu : anak laki paman seayah-ibu 17
 sepupu : anak laki paman seayah 18
11.3. Dihijab Oleh :
 Anak laki-laki 1
 Ayah 5
 Ayahnya ayah (kakek) 7
 Saudara laki-laki seayah seibu 9
 Saudara perempuan seayah seibu * 10
 Cucu laki-laki 19
***

12. Saudari seayah (‫)أخت لب‬


Yang dimaksud dengan saudari perempuan seayah
bahwa dirinya punya ayah yang sama dengan almarhum,
tapi ibu mereka berbeda. Dengan mudah juga bisa kita
sebut saudari perempuan tiri. Saudari tiri juga termasuk
yang mendapat warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.
10.1. Bagian
 1/2 = almarhum tidak

94
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

punya fara' waris (1-2-19-20) tidak


punya ashlul waris laki-laki (5-7) tidak
punya saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak
punya saudari seayah seibu (10)
 2/3 = almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak
punya ashlul waris laki-laki (5-7) tidak
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
punya saudari seayah seibu (10)
 Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa


mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta
milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah atau kakek, saudara laki-laki. Yang dia
punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan
almarhum saudaranya.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta
milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya
anak, cucu, ayah atau kakek, saudara laki-laki. Yang dia
punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari
semua harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian
itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari
seluruh harta milik almarhum.

95
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya


anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang
saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua
mendapat warisan secara ashabah, dengan perbandingan
bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan
dirinya mendapat 1/3 bagian.

13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu

14. Keponakan : anak saudara seayah

15. Paman : saudara ayah seayah-ibu

16. Paman : saudara ayah seayah

17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu

18. Sepupu : anak laki paman seayah

19. Cucu Laki-laki (‫)ابن ابن‬


Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak
laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan tidak
termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti

96
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat


meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum punya anak
laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya
sebagai paman, maka cucu tidak mendapatkan hak waris,
karena terhijab olehnya.
19.1. Bagian
Bagian yang menjadi hak seorang cucu mirip yang
diterima seorang anak laki-laki. Karena kedudukannya
memang sebagai pengganti anak laki-laki.
 Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah
mengambil bagian masing-masing, dengan ketentuan
cucu laki-laki mendapat 2 kali bagian cucu
perempuan.
Seorang cucu laki-laki mendapat warisan dengan cara
ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh
ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya
tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat
meninggalkan ahli waris : cucu laki-laki dan anak
perempuan. Maka hak cucu laki-laki adalah sisa harta
yang telah diambil terlebih dahulu oleh anak perempuan.
Anak perempuan tunggal adalah ashabul furudh yang
jatahnya sudah ditetapkan.
Dalam hal ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti
sisanya adalah 1/2 bagian. Maka bagian yang didapat
oleh cucu laki-laki adalah 7/8.
Apabila almarhum juga meninggalkan cucu
perempuan, maka dia juga mendapat sisa sebagaimana
halnya cucu laki-laki, yaitu jumlah sisa itu dibagi rata di
antara para cucu, dengan ketentuan bahwa cucu
perempuan hanya mendapat setengah dari apa yang

97
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

didapat cucu laki-laki. Atau dengan kata lain, yang


diterima cucu laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari anak
perempuan.
Maka pembagiannya sebagai berikut :
Ahli Waris Bagian
Anak Perempuan 1/2 3/6
Cucu Laki-laki 2/6
Sisa = 1/2
Cucu Perempuan 1/6

19.2. Menghijab
Ahli Waris id
 saudara seayah-ibu 9
 saudari seayah-ibu 10
 saudara seayah 11
 saudari seayah 12
 keponakan : anak saudara 13
seayah-ibu 14
 keponakan : anak saudara seayah 15
 paman : saudara ayah seayah-ibu 16
 paman : saudara ayah seayah 17
 sepupu : anak laki paman 18
seayah-ibu 22
 sepupu : anak laki paman seayah
 saudara & saudari seibu
19.3. Dihijab oleh :
Satu-satunya pihak yang dapat menghijab cucu laki-
laki adalah anak laki-laki (1). Dalam kenyataannya, bisa
saja cucu laki-laki merupakan anak dari anak laki-laki,
tapi bisa juga bukan anak tetapi keponakan. Tapi intinya,

98
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

selama almarhum masih punya anak laki-laki, cucu laki-


laki akan terhijab.
***

20. Cucu Perempuan

21. Nenek Dari Ibu

22. Saudara/i Seibu

99
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Bab Kesebelas
Cara Membagi Warisan

1. Langkah Pertama
Langkah paling awal adalah mengeluarkan terlebih
dahulu segala hal yang tekait dari harta almarhum yang
meninggal. Diantaranya :
1.1. Hutang
Semua hutang almarhum/almarhumah harus
dikeluarkan terlebih dahulu dari harta yang dimilikinya.
Kecuali bila orang yang memberi hutang itu menyatakan
kerelaannya atas hutang-hutang itu.
1.2. Wasiat

100
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Bila almarhum/almarhumah pernah berwasiat atas


harta yang dimilikinya, maka sebelum warisan dibagikan,
wasiat itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan
syarat jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 dari total
hartanya. Bila telah melebihi, maka hukumnya tidak
boleh karena yang 2/3 itu adalah milik ahli waris.
1.3. Biaya Pengurusan Jenazah
Semua biaya untuk pengurusan jenazah, bahkan mulai
dari biaya rumah sakit bila ada, hingga biaya
memandikan, mengkafani, menguburkan dan lainnya,
bisa diambilkan dari harta almarhum/almarhumah.
Dari langkah ini akan segera bisa didapat nilai
nominal harta almarhum/almarhumah. Tentu harta itu
bukan hanya uang, tetapi bisa berbentuk rumah, tanah,
kendaraan atau apapun.
Namun untuk memudahkan penghitungan, biasanya
dilakukan penaksiran atas semua asset beliau dalam
besaran nominal. Meski benda-benda itu tidak harus
langsung dijual kepada pihak lain.

2. Langkah Kedua
Langkah kedua adalah mengumpulkan semua daftar
ahli waris dan memilahnya. Pengumpulan daftar ahli
waris ini untuk memisahkan siapa saja yang berhak atas
warisan dan siapa saja yang tidak mendapat hak. Paling
tidak ada dua pemilahan.
2.1. Memilah
Pada langkah ini tugas kita berikutnya adalah memilah
antara ahli waris yang sesungguhnya dengan yang bukan
ahli waris. Boleh jadi dalam persangkaan orang, ada

101
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

individu yang dianggap sebagai keluarga dan seolah dia


mendapat warisan, tetapi ternyata secara daftar awal pun
sudah bukan termasuk ahli waris.
Misalnya, anak tiri, ayah diri, mantan istri, mantan
suami, anak angkat, ayah atau ibu angkat dan lainnya,
mereka semua sesungguhnya tidak pernah terdaftar
sebagai ahli waris.
Anak tiri meski sudah diperlakukan sebagai anak
sendiri, tapi secara hukum syariah tidak pernah
mendapatkan harta lewat warisan. Namun bila lewat
jalan lain masih dimungkginkan. Misalnya lewat hibah
dari almarhum sebelum wafat, atau lewat wasiat.
Demikian juga istri yang sudah dicerai suami dan telah
habis masa iddahnya, bila sang suami wafat, maka
mantan istri itu sudah bukan lagi ahli waris.
Contoh :
Seseorang wafat meninggalkan seorang mantan istri
yang telah diceraikan sebulan yang lalu, seorang istri
yang masih sah dan seorang istri yang telah
diceraikannya secara 2 tahun lalu. Siapakah diantara
mereka yang dapat warisan ?
Jawaban :
Yang mendapat warisan adalah istri yang telah
diceraikan sebulan yang lalu dan istri yang masih sah.
Sedangkan istri yang telah diceraikan 2 tahun
sebelumnya, tidak mendapat warisan. Karena
hubungannya dengan mantan istri itu sudah bukan istri
lagi. Sedangkan yang baru diceraikan 1 bulan yang lalu
mendapatkan warisan, lantaran masa iddahnya belum
berakhir. Sebagaimana diketahui bahwa masa iddah

102
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

seorang wanita yang diceraikan suaminya adalah 3 kali


masa suci dari haidh.
2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab
Meski seseorang termasuk daftar ahli waris, namun
belum tentu dalam sebuah pembagian warisan dia pasti
mendapat warisan. Sebab bisa jadi hubungannya dengan
almarhum/almarhumah terhijab. Sehingga dia tidak boleh
menerima warisan akibat adanya hijab.
Prinsipnya, bila hubungan seorang ahli waris dengan
almarhum masih melewati ahli waris lainnya, maka bila
ahli waris yang yang ada diantara keduanya masih ada,
maka ahli waris yang berada pada lapis keduanya tidak
akan mendapat warisan.
Kenyataannya, hanya ada 6 orang yang tidak mungkin
terhalangi, bahkan untuk memudahkan mengingatnya,
kita susun saja menjadi anak, orang tua dan pasangan.
Dengan rincian yaitu :
anak baik laki atau perempuan
orang tua yaitu ayah dan ibu
pasangan yaitu suami atau istri
Selain keenam orang di atas, mungkin terhalang dan
mungkin tidak.
Contoh 1 : Seorang wafat dengan meninggalkan ayah
kandung dan paman yang merupakan saudara ayah.
Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi dengan
adanya ayah, maka paman tidak mendapat warisan bila
ayah masih ada. Namun bila ayah tidak ada,
paman mendapatkan warisan. Posisi paman dalam hal ini
sama dengan posisi kakek, seandainya ayah tidak ada

103
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

sedangkan kakek masih ada, maka kakek mendapatkan


warisan dari cucunya.
Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki akan terhalang
oleh adanya ayah dan keturunan laki-laki (anak, cucu,
cicit, dan seterusnya).
Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan terhalang
dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang
oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah
ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta
keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 4 : Saudara laki-laki dan perempuan yang
seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan
seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Hasil atas langkah kedua ini adalah daftar orang-orang
yang pasti mendapat warisan, baik sebagai ashabul
furudh ataupun sebagai ashahabah.
Contoh
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, paman,
kakek, bibi, saudara laki-laki, saudara perempuan dan
anak laki-laki. Siapa diantara mereka yang mendapat
warisan dan siapakah yang terhijab?
Jawab :
Pada awalnya semua memang termasuk ahli waris,
namun ada beberapa mereka yang termahjub karena
keberadaan ahli waris lainnya. Yang memahjub anak
laki-laki yang menghijab paman, keponakan, saudara
laki-laki dan saudara perempuan. Kakek terhijab oleh

104
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

adanya ayah. Sehingga yang menerima warisan hanyalah


anak laki-laki, ayah, ibu saja.

3. Langkah Ketiga
Langkah ketiga adalah menentukan pokok masalah.
Persoalan pokok masalah ini di kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk
mengetahui pokok masalah.
Untuk apa kita mengetahui pokok masalah? Apa
gunanya? Apa tujuannya?
Sebenarnya urusan ini hanya sekedar untuk
menemukan nilai yang didapat oleh para ahli waris. Hal
itu disebabkan Al-Quran dan As-sunnah menyebutkan
bilangan pecahan untuk menetapkan bagian yang didapat
oleh para ahli waris. Bilangan pecahan itu adalah
setengah (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4),
seperenam (1/6), seperdelapan (1/8) dan duapertiga (2/3).
Seandainya dalil-dalil itu menggunakan besaran
prosentase, mungkin kita tidak perlu bicara tentang
ashlul-masalah ini. Misalnya dalam kasus seorang laki-
laki wafaat meninggalkan seorang seorang istri dan ayah.
Isstri mendapat bagian 1/8 dan ayah 1/6, maka agak sulit
buat kita untuk menghitung langsung 1/8 + 1/6.
Tapi kalau angka 1/8 dan 1/6 itu disebutkan dengan
besaran prosentase, maka lebih mudah untuk
menjumlahkannya. 1/8 sebenarnya sama dengan 12,5 %
dan 1/6 sama dengan 16,66 %. Jadi jumlah keduanya
adalah 12,5% + 16,66 % = 29,16 %.
Sedangkan menjumlahkan 1/8 dengan 1/6, perlu
sedikit teknik untuk mendapatkan hasilnya. Dengan

105
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

metode hitungan sederana sebenarnya mudah saja bagi


kita untuk menjumlahkan beberapa bilangan pecahan,
dimana "penyebutnya " tidak sama. Dalam bilangan
pecahan kita mengenal dua istilah, yaitu pembilang dan
penyebut. Dimana kedua bilangan itu ditulis dengan
dipisahkan menggunakan garis miring. Pembilang adalah
angka sebelum garis miring dan penyebut dalam bilangan
setelah garis miring.
Contoh, bilangan setengah itu ditulis [1/2], maka
bilangan 1 adalah pembilang dan bilangan 2 adalah
penyebut. Demikian juga dengan [2/3], maka bilangan 2
adalah pembilang dan bilangan 3 adalah penyebut.
Secara sederhana, kita bisa menjumlahkan bilangan
pecahan dengan cara menjumlahkan pembilangnya saja
tanpa menjumlahkan penyebutnya, asalkan penyebutnya
sama. Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2. Atau 2/4 + 1/4 + 1/4 =
4/4.
Namun akan sedikit bermasalah ketika kita harus
menjumlahkan beberapa bilangan pecahan yang berbeda
penyebutnya. Misalnya, 1/8 + 1/6. Berapakah
jumlahnya ?.
Untuk menjumlahkannya, kita terpaksa harus
menyamakan dulu penyebutnya. Caranya dengan
mengganti masing-masing penyebut dengan sebuah
bilangan terkecil yang habis dibagi oleh masing-masing
penyebut. Kalau kita pilih bilangan 16, memang 16 itu
bisa habis dibagi 8, tapi tidak bisa dibagi 6, jadi angka 16
tidak cocok.
Demikian juga bila kita pilih bilangan 12, memang 12
itu bisa habis dibagi 6, tapi tidak bisa dibagi 8.
Pilihannya adalah 24, sebab 24 itu bisa habis dibagi 8 dan

106
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

6. Jadi kita sama dulu penyebut masing-masing menjadi


angka 12. Lalu pembilangnya kita sesuaikan agar
nilainya tetap sama.
Caranya dengan mengalikan pembilang dengan hasil
bagi penyebut yang telah disamakan dengan penyebut
asalnya. Lalu masing-masing pembilang yang telah
disesuaikan dijumlahkan, sedangkan penyebutnya tidak
perlu dijumlahkan.
 Maka bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya menjadi
24. Lalu kita membagi 24 dengan 8, hasilnya adalah 3.
Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya yaitu 1.
Hasilnya adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.
 Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24
juga. Lalu kita membagi 24 dengan 6, hasilnya adalah
4. Lalu kita kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu 1.
Hasilnya adalah 4. Maka 1/6 sama dengan 4/24.
Jadi hasil akhir penjumlahan itu adalah 3/24 + 4/24 =
7/24. Kalau kita perhatikan, sebenarnya 7/24 ini sama
besarnya dengan 29,16 %.

Metode Yang Digunakan Dalam Kitab Klasik

Tapi yang berkembang di masa lalu bukan dengan


prosentase, juga bukan dengan penyamaan pembilang
dan penyebut, melainkan dengan metode pencarian
ashlul-masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui
adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian
hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang
rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau
menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar
(maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan).

107
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu


perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita
harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya
hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari
ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan
ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari
'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala
--jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang
wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka
pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat
meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka
pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-
laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung
dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal
ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki
dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga
dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan
lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka
pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila
mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak
laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian
seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya
dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok
masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang suami dan saudara kandung
perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab,
bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung

108
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat


dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama
--misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam
(1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila
semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok
masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4)
atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari
empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan
pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu
jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam,
dan sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur
antara beberapa kedudukan, yakni antara :
 angka-angka yang mutamatsilah (sama)
 angka-angka yang mutadaakhilah (saling berpadu)
 angka-angka yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak
kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid.
Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita
untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri
dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian
berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi
dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4),
dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian
yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok

109
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila


dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh
setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok
masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya
terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat
(1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat
dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari
delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli
warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan
seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan
seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6).
Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam.
Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut
yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya
bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2,
1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)
diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok
masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di
bawah ini:

1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah


(1/2) --yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua,
atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam
(6).
2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat
(1/4) yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau
salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas
(12).

110
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh


seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok
pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok
kedua, atau salah satunya, maka pokok masalahnya
dari dua puluh empat (24).

Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, mari kita


buat beberapa contoh.

Contoh : Kasus Pertama

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami,


saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka
pembagiannya sebagai berikut:
 suami mendapat setengah (1/2)
 saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
 ibu sepertiga (1/3)
sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat
sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian
masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak
menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara
kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan
seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada
contoh tersebut adalah enam (6).

Lihat diagram:

Pokok masalah dari enam (6)


Suami setengah (1/2) 3/6 3
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) 1/6 1
Ibu sepertiga (1/3) 2/6 2

111
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Paman kandung, sebagai 'ashabah 0

Dalam contoh ini, kebetulan harta habis dibagi untuk


semua ashhabul furudh tanpa sisa, dengan demikian
maka paman tidak mendapat apa-apa alias nol, lantaran
statusnya hanya sebagai ahli waris ashabah. Namun
dalam seandainya salah satu dari ashhabul furudh di atas
tidak ada, misalnya tidak ada saudara laki-laki yang
jatahnya (1/6), maka sisa itu menjadi milik paman
sebagai ashabah.

Contoh : Kasus Kedua

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua


orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-
laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:
 bagian istri seperempat (1/4)
 ibu seperenam (1/6)
 dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
 dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian
seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama--
dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas
(12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara
empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga
(sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya
tampak berikut ini:
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4)) 3/12 3
Ibu seperenam (1/6) 2/12 2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) 4/12 4

112
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah 3/12 3


(sisanya)

Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki


sebagai ashabah beruntung, karena masih ada sisa dari
para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya
yang masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta
atau 1/4 bagian atau 25% dari seluruh harta yang dibagi
waris.

Contoh : Kasus Ketiga

Seseorang kakek wafat dan meninggalkan istri, anak


perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya
sebagai berikut:
 istri mendapat seperdelapan (1/8)
 anak perempuan setengah (1/2)
 cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga
(2/3)
 bagian ibu seperenam (1/6)
 Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah,
karenanya ia mendapat sisa harta waris bila ternyata
masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara
seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan
seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka
berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada
contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini
tabelnya:
Pokok masalah dari 24

113
Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat,Lc

Bagian istri seperdelapan (1/8) 3/24 3


Bagian anak perempuan setengah (1/2) 12/24 12
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam 4/24 4
(1/6)
Bagian ibu seperenam (1/6) 4/24 4
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa) 1/24 1

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai


pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara
setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 =
24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam
(6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah
dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada
selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu
angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang
lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.

114
Ahmad Sarwat, Lc
Fiqih Mawaris

Penutup

115

Anda mungkin juga menyukai