Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KULIT

Nama: Cynthia Octaviani

Nim: 112017173

1. Anatomi kulit

Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti perlindungan terhadap
kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun pengaruh kimia, serta mencegah
kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur
dan elastis yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat
badan orang dewasa. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari kehilangan cairan
elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi mikroorganisme
patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas karena terdapat banyak ujung
saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan apabila terjadi penurunan
volume darah dan tempat terjadinya metabolisme vitamin D. Kulit terdiri dari dua lapisan
yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam
yaitu dermis yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
a. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis bertanduk,
mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada
berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Epidermis terdiri atas lima lapisan
(dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) yaitu stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum).

b. Dermis

Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis terutama terdiri dari
serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen akan
berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus meningkat dan
menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai
dewasa. Pada usia lanjut kolagen akannsaling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut
elastin akan berkurang mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak
berkeriput. Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat,
saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung
saraf dan sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit.

c. Lapisan Subkutan

Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan
ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di
bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda. menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi
individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.

2. Elektrokauter
Elektrokauter adalah suatu teknik untuk memanaskan suatu jaringan dengan menggunakan
energi listrik. Elektrokauter menggunakan ujung filamen yang berfungsi memanaskan
dihubungkan arus listrik langsung (direct current/DC) tegangan tinggi, dan voltase rendah,
biasanya menggunakan baterai. Panas dialirkan dari filamen menuju jaringan target,
menyebabkan denaturasi protein dan koagulasi jaringan. Tidak ada aliran listrik yang
dipindahkan ke jaringan target, dan penderita tidak berada pada lingkaran sirkuit. Tujuan-nya
adalah mengambil atau melenyapkan jaringan yang tidak diinginkan misalnya tumor jinak
(bervariasi dapat berasal dari proses infeksi, kista epidermis, pembesaran dan pembuatan
kelenjar minyak serta penumpukan kolesterol).
Pada penderita dengan pacemakers implantable cardiac defibrillators (ICDs) yang
memiliki risiko yang tinggi pada tindakan bedah listrik, paling sering digunakan
elektrokauter. Selanjutnya, karena penderita bukan merupakan bagian dari lingkaran sirkuit,
maka elektrokauter bermanfaat untuk area jaringan yang nonkonduktif pada tubuh, seperti
tulang rawan, tulang dan kuku.

3. Anestesi lokal yang ideal mempunyai awitan yang cepat dan masa anestesi yang lama.
Zat anestesi lokal yang biasa digunakan terdiri atas 2 kelompok, yaitu ikatan ester dan
amida. Kelompok ester cepat diinaktivasi sehingga efek anestesi singkat, sedangkan
kelompok amida sulit dihidrolisis dalam jaringan sehingga efek anestesi bertahan lebih
lama. Kelompok ester terdiri atas prokain, tetrakain, benzokain, dan kokain.kelompok
amida terdiri atas lidokain, mevipakain, dibukain, bupivakain dan etidokain.

Tabel 1. Klasifikasi dan farmakologi obat-obat anestesi lokal

Obat Anestesi Golongan Awitan kerja Dosis maksimal Durasi kerja


dewasa (anak)
Prokain Ester Lambat 500 mg (2 mg/kg) 15’-30’
Mepivakain Amida 3’-5’ 300 mg (4 mg/kg) 30’-120’
Lidokain Amida 3’-5’ 300 mg (7 mg/kg) 45’-120’
Prilokain Amida <3’ 400 mg (5,7 30’-120’ 120’-
Etidokain Amida 3’-5’ mg/kg) 180’
Bupivakain Amida 3’-5’ 300 mg (4,2 120’-180’
mg/kg)
175 mg (2 mg/kg)
Keterangan: dosis dewasa dengan berat badan 70 kg.

Serabut saraf memiliki membran lipoprotein yang memisahkan matriks intraseluler dari
ekstraseluler. Cairan intraseluler terutama mengandung kalium, sedangkan cairan
ekstraseluler mengandung natrium. Pada fase istirahat, membran relatif permeabel terhadap
kalium tetapi kurang permeabel terhadap natrium, sehingga mempunyai potensi membran -70
mV di mana bagian luar relatif positif dibandingkan bagian dalam dan membran dalam
keadaan polarisasi.3 Bila saraf dirangsang maka terjadi peningkatan permeabilitas terhadap
natrium, sehingga terjadi depolarisasi dan peningkatan potensi membran +20 mV di mana
bagian luar menjadi relatif negatif dibandingkan bagian dalam. Kejadian berurutan di mana
impuls menyebar sepanjang saraf. Pada fase selanjutnya terjadi repolarisasi membran yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap kalium. Pada akhir potensi aksi, natrium
dikeluarkan melalui proses aktif, dan saraf kembali ke fase istirahat. Sebagian besar obat
anestesi lokal terikat pada reseptor ‘sodium channel’ dan bekerja mencegah terbukanya
‘sodium channel’ pada membran akson sehingga tidak terjadi depolarisasi dan potensi aksi
tidak meningkat. Dengan demikian, anestesi lokal menyebabkan peningkatan nilai ambang
rangsang saraf, menghambat penyebaran impuls, mengurangi kecepatan peningkatan potensi
aksi, dan akhirnya menghambat konduksi.

Teknik pemberian anestesi terdiri atas infiltrasi zat anestesi, blok saraf dan pemberian
anestesi topikal. Zat anestesi untuk infiltrasi adalah lidokain 0,5% - 2% dengan atau tanpa
epinefrin. Epinefrin dapat mengurangi perdarahan dan memperpanjang efek anestesi karena
vasokonstriksi yang memperlambat absorbs. Penggunaan jarum kecil ukuran 30G
mengurangi rasa nyeri karena tusukan jarum dan masuknya obat. Efek anestesi biasanya
terjadi setelah 1-2 menit. Obat anestesi lokal yang ideal yaitu yang memiliki awitan kerja
cepat, durasi kerja cukup panjang, serta derajat toksisitas dan alergenisitas minimal. Sebagian
besar kriteria ini dipenuhi oleh anestesi lokal dengan golongan amida (Tabel 1.). Jika
diperlukan anestesi tambahan, injeksi ulang sebanyak 25% dari dosis maksimal dapat
diberikan 30 menit setelah injeksi awal. Tambahan obat-obat vasokonstriktor seperti
epinefrin akan menyebabkan vasokonstriksi sementara dan mengurangi perdarahan
intraoperatif, mempercepat awitan kerja dan memperpanjang durasi kerja, serta
meningkatkan kadar obat anestesi dalam jaringan karena obat anestesi yang masuk dalam
sirkulasi darah berkurang. Kerugiannya yaitu bahwa vasodilatasi yang terjadi setelah efek
vasokonstriksi habis akan meningkatkan perdarahan

Blok saraf dilakukan dengan menghambat nyeri melalui saraf sensorik, sehingga efek
anestesi bertahan lama dan kelainan kulit tidak terganggu. Jarum yang digunakan berukuran
25-27G, dengan tujuan menghindari tusukan intravascular yang dapat menyebabkan reaksi
toksik sistemik pada saat melakukan blockade saraf. Efek anestesi muncul 5-10 menit.
Pengetahuan yang harus dikuasai pada anestesi cara tersebut adalah letak anatomis saraf
sensorik dan area kulit saraf tersebut.
Anestesi topikal digunakan sebelum tindakan ringan, pada selaput lender dan kulit.
Vehikulum dapat berupa krim, salap, gel, cairan dan aerosol. Zat dingin juga dapat digunakan
sebagai anestesi topikal yang bersifat sementara dan singkat, misalnya etilklorida dan
kloroform.

Penggunaan anestesi topikal yang paling sering seperti penggunaan EMLA cream (Eutetic
Mixture of Lokal Anesthetics) dan LMX4 (4% lidokain liposomal). EMLA merupakan
campuran lidokain 2,5% dengan prilokain 2,5% dalam vehikulum khusus dapat menghasilkan
anestesi yang cukup baik jika diaplikasikan dengan oklusi selama 45- 60 menit. EMLA telah
diteliti dengan sangat luas dan efektif untuk beragam jenis tindakan termasuk di dalamnya
kanulasi vena, punksi vena, imunisasi, akses suntikan subkutan, dan punksi lumbal.
Walaupun EMLA dikaitkan dengan methemoglobinemia, namun diperlihatkan bahwa
penggunaannya aman bila diberikan secara tepat bahkan pada bayi yang prematur. EMLA
membutuhkan waktu setidaknya 60 menit setelah dioleskan untuk dapat memberikan efek
anestesi topikal yang adekuat. EMLA tidak mempengaruhi imunogenisitas bila diberikan
sebelum tindakan imunisasi dilakukan.

LMX4 merupakan bentuk dengan dasar krim dan bila dioleskan 30 menit sebelum tindakan
dilakukan, akan memberikan tingkat kemanjuran yang sama pada tindakan akses vena dan
punksi vena dibandingkan dengan pengolesan EMLA selama 60 menit. Walaupun tidak
mengandung prilokain yang mungkin menjadikan LMX4 lebih aman digunakan, terdapat
beberapa data efek samping sistemik yang dapat ditimbulkan khusus dalam penggunaan
produk ini, yakni pada bayi dan bayi prematur. LMX4 belum diteliti lebih lanjut terhadap
penggunaannya selain pada tindakan akses vena. Semprot Vapocoolant seperti etil-klorida
dan florimetan bekerja dalam waktu 30 detik dan tidak mahal harganya. Terdapat kontradiksi
bukti-bukti yang ada terkait kemanjurannya dalam menanggni nyeri akibat tindakan injeksi
dan belum pernah ditunjukkan kemanjuran pada prosedur tindakan akese vena. Beberapa
anak-anak merasakan pemberian zat ini tidak begitu menyenangkan.

Penggunaan anestesi topikal dalam aturan perawatan utama dibatasi oleh onset yang cepat
dan dari segi biaya. Saat biaya tetap menjadi hal yang dipermasalahkan, beberapa zat anestesi
topikal memberikan reaksi anestesi yang lebih cepat dibandingkan dengan krim anestetik
yang tersedia. Zat ini menggunakan mekanisme yang berbeda dengan melakukan penetrasi ke
lapisan stratum korneum dan mempercepat onset anestesi topikal.
Semprotan krio menghasilkan anestesi sementara untuk prosedur superfisial. Penyemprotan
selama 5-10 detik menghasilkan anestesi parsial selama 1 menit; waktu ini cukup untuk
melakukan biopsi shave atau biopsi plong. Anestesi semprot yang pertama kali digunakan
yaitu etil klorida, dengan efek samping mudah meledak jika bercampur dengan udara, dapat
menyebabkan hepatotoksisitas, dan jika uapnya terhirup dalam jumlah besar dapat
menyebabkan anestesi sistemik. Anestesi semprot lain yang mengandung
diklorotetrafluoroetan kurang toksik dan lebih efektif daripada etil klorida, namun di Amerika
Serikat telah ditarik dari pasaran karena merusak lapisan ozon. Beberapa ahli menyebutkan
bahwa etil klorida tidak bermanfaat untuk biopsi plong karena menyebabkan trauma jaringan
dan menurunkan kualitas spesimen untuk pemeriksaan mikroskopis.

Efek samping anestesi lokal yang mungkin terjadi: kerusakan saraf, reaksi alergi, kerusakan
vaskuler, pneumotoraks (pada blok pleksus), infeksi pada area injeksi, injeksi intravaskuler,
nekrosis jaringan (jika menggunakan vasokonstriktor), reaksi toksik sistemik, reaksi sistem
saraf pusat, hiperventilasi, agitasi, depresi napas, hipotensi, atau aritmia.

4. EPS (erito papulo skumosa)

Ditandai dengan bercak pada kulit berwarna kemerahan. Penonjolan di atas permukaan kulit ,
sirkumskrip, berukuran <1 cm dan berisikan zat padat. Skuama merupakan lapisan dari
stratium korneum yang terlepas.

Klasifikasi

EPS sejati:

- Psoriasis
- D. Seboroik
- Pitiriasis rosea
- Eritematosa
- Parapsoriasis

Menyerupai EPS:

- Dermatofitosis
- Tinea vesikolor
- Drug eruption
- Sifilis II
- Lupus eritematosus
- Morbus hansen
- Mikosis fungoides

Psoriasis

Autoimun, kronik residif, bercak eritem, batas tegas, seperti kertas mika.

Etiologi: faktor emosi, infeksi lokal, penyakit metabolik, alkohol, merokok.

Gejala: bercak eritem yang meninggi, skuama tebal.

PF: fenomena tetesan lilin, auspitz sign, fenomena kobner.

Psoriasis Gutata

Psoriasis gutata biasanya muncul tiba-tiba atau 2-3 minggu setelah ISPA yang disebabkan
oleh Streptococcus beta-hemolyticus group A. Predileksi psoriasis gutata yang predominan
adalah badan dan ekstremitas proksimal. Jenis ini terjadi pada kurang dari 2% pasien
psoriasis dengan gambaran khas seperti tetesan embun dengan ukuran bervariasi antara 1-10
mm. Lesi kulit berupa papul berwarna salmon-pink biasanya disertai skuama, paling sering
menimbulkan gatal yang bisa sangat parah.

Psoriasis Inverse

Psoriasis inverse bisanya muncul pada permukaan fleksural, ketiak, lipat paha, di bawah
lipatan payudara, dan pada lipatan kulit. Lesi ini seringkali salah terdiagnosa sebagai infeksi
jamur, karena area predileksi dari psoriasis inverse merupakan daerah yang lembab sehingga
lesi yang muncul cenderung memberikan gambaran plak eritem dengan skuama yang sedikit

Psoriasis Pustular
Psoriasis pustular adalah gambaran psoriasis yang muncul karena kumpulan neutrofil yang
sudah cukup besar untuk terlihat secara klinis. Setiap bentuk psoriasis mengandung netrofil
pada stratum korneum, ketika kumpulan netrofil sudah cukup besar untuk terlihat secara
klinis, maka dinamakan sebagai psoriasis pustular. Lesi pada psoriasis pustular dapat terjadi
secara lokal atau generalisata. Psoriasis pustular generalisata (von Zumbusch) merupakan
keadaan yang jarang dan sangat berat, disetai demam dan toksisitas. Lesi berupa pustul dan
eritem menyebar di seluruh tubuh. Pada lesi yang lokal, biasanya melibatkan telapak tangan
dan kaki.

Psoriasis Eritrodermik

Psoriasis eritrodermik terjadi pada hampir seluruh permukaan tubuh dengan gambaran kulit
kemerahan dan skuama yang tipis, mengelupas, dan difus. Lesi dapat muncul secara bertahap
sebagai perkembangan dari psoriasis plak kronis. Pada jenis ini dapat terjadi gangguan
regulasi suhuyang bisa menyebabkan kedinginan, hipotermi, dan kehilangan cairan yang akan
mengarah kepada dehidrasi. Terkadang bisa disertai demam dan malaise.

Psoriasis Kuku

Psoriasis kuku dapat terjadi di semua subtipe psoriasis. Sekitar 50% pasien psoriasis dapat
terkena psoriasis pada kuku jarinya, dan sekitar 35% pada kuku ibu jarinya. Gambaran yang
biasa timbul berupa pitting, onikolisis, hiperkeratosis subungual, distrofi lempeng kuku dan
tanda “oil-drop” (warna jingga-kekuningan pada bagian bawah lempeng kuku).

Artritis Psoriatik

Artritis psoriatik merupakan oligoartritis seronegatif yang paling umum ditemukan pada
pasien psoriasis (setidaknya 5% dari pasien psoriasis akan berkembang menjadi kondisi ini).
Terdapat tanda keterlibatan sendi distal dan artritis mutilan

Parapsoriasis
Idiopatik, gambaran eritem dan skuama (tidak setebal psoriasis), tidak ada penebalan, gejala
menahun.

Gejala:

1. Parapsoriasis Gutata: bentuk ini terdapat pada dewasa muda terutama pada pria. Ruam
terdiri atas papul miliar serta lentikular, eritema dan skuama, dapat hemoragik, kadang
berkonfluensi dan umumnya simetrik. Penyakit ini sembuh spontan tanpa meninggalkan
sikatriks. Tempat predileksi pada badan, lengan atas dan paha, tidak terdapat pada kulit
kepala, muka dan tangan. Bentuk ini biasanya kronik, tetapi dapat akut dan disebut
parapsoriasis gutata akuta (Penyakit Mucha-abermann). Klinisnya mirip varisela, kecuali
ruam yang telah disebutkan dapat ditemukan vesikel, papulo-nekrotik dan krusta. Jika
sembuh meninggalkan sikatrik seperti variola, karena itu dinamakan pula parapsoriasis
varioliformis akuta/pitiriasis likenoides et varioliformis akuta/pitiriasis likenoides et
varioliformis. Terdapat sedikit infiltrat limfohistiositik disertai pembuluh darah superfisial,
hiperplasia epidermal yang ringan dan sedikit spongiosis setempat.

2. Parapsoriasis Variegata: Kelainan terdapat pada badan, bahu dan tungkai, bentuknya
seperti kulit zebra, terdiri atas skuama dan eritema yang bergaris-garis. Epidermis tampak
menipis disertai parakeratosis setempat. pada dermis terdapat infiltrat menyerupai pita
terutama terdiri atas limfosit.

3. Parapsoriasis en Plaques: Insiden penyakit ini pada orang kulit bwarna rendah. Umumnya
mulai pada usia pertengahan, dapat terus-menerus/mengalami remisi, lebih sering pada pria
dari pada wanita. Tempat predileksi pada badan dan ekstremitas. Kelainan kulit brupa bercak
eritematosa, permukaannya datar, bulat/lonjong, bdiameter 2.5 cm dengan sedikit skuama,
berwarna merah jambu, coklat/agak kuning. Bentuk ini sering berkembang menjadi mikosis
fungoides.

Pitiriasis rosea
Pitiriasis Rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya yang dimulai
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-
lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit
dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu. Penyebab dari penyakit ini belum
diketahui, demikian pula cara penyebaran infeksinya. Ada yang mengemukanan hipotesis
bahwa penyebabnya adalah virus karena merupakan penyakit swasima (self limiting disease)
yang umumnya sembuh sendiri dalam waktu 3-8 minggu.

Lesi yang pertama muncul ini disebut dengan Herald patch/Mother plaque/Medalion.
Insidens munculnya Herald patch dilaporkan sebanyak 12-94%, dan pada banyak penelitian
kira-kira 80% kasus pitiriasis rosea ditemukan adanya Herald patch. Jika lesi ini digores pada
sumbu panjangnya, maka skuama cenderung untuk melipat sesuai dengan goresan yang
dibuat, hal ini disebut dengan “Hanging curtain sign”. Herald patch ini akan bertahan selama
satu minggu atau lebih, dan saat lesi ini akan mulai hilang, efloresensi lain yang baru akan
bermunculuan dan menyebar dengan cepat. Namun kemunculan dan penyebaran efloresensi
yang lain dapat bervariasi dari hanya dalam beberapa jam hingga sampai 3 bulan. Bentuknya
bervariasi dari makula berbentuk oval hingga plak berukuran 0,5-2 cm dengan tepi yang
sedikit meninggi. Warnanya pink salmon (atau berupa hiperpigmentasi pada orang-orang
yang berkulit gelap) dan khasnya terdapat koleret dari skuama di bagian tepinya. Umum
ditemukan beberapa lesi berbentuk anular dengan bagian tengahnya yang tampak lebih
tenang. Pada pitiriasis rosea gejalanya akan berkembang setelah 2 minggu, dimana ia
mencapai puncaknya. Karenanya akan ditemukan lesi-lesi kecil kulit dalam stadium yang
berbeda. Fase penyebaran ini secara perlahan-lahan akan menghilang secara spontan setelah
3-8 minggu. Lesi-lesi ini muncul terutama pada batang tubuh dengan sumbu panjang sejajar
pelipatan kulit. Susunannya sejajar dengan kosta, sehingga tampilannya tampak seperti pohon
natal yang terbalik (inverted christmas tree appearance) yang merupakan lesi patognomonik
dari pitiriasis rosea.

Lokasinya juga sering ditemukan di lengan atas dan paha atas. Lesi-lesi yang muncul
berikutnya jarang menyebar ke lengan bawah, tungkai bawah, dan wajah. Namun sesekali
bisa didapatkan pada daerah tertentu seperti leher, sela paha, atau aksila. Pada daerah ini lesi
berupa bercak dengan bentuk sirsinata yang bergabung dengan tepi yang tidak rata sehingga
sangat mirip dengan Tinea corporis. Gatal ringan-sedang dapat dirasakan penderita, biasanya
saat timbul gejala. Gatal merupakan hal yang biasa dikeluhkan dan gatalnya bisa menjadi
parah pada 25% pasien. Gatal akan lebih dirasakan saat kulit dalam keadaan basah,
berkeringat, atau akibat dari pakaian yang ketat. Akan tetapi, 25% penderitanya tidak
merasakan gatal. Relaps dan rekurensi jarang sekali ditemukan. Ekskoriasi jarang ditemukan.
Efek dari terapi yang berlebih atau adanya dermatitis kontak, umum ditemukan.

Ertroderma

Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa / dermatitis eksfoliata ) adalah kelainan kulit yang


ditandai dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh , biasanya disertai skuama.
Eritroderma merupakan inflamasi kulit yang berupa eritema yang terdapat hampir atau di
seluruh tubuh.

Etiologi Eritroderma / Penyebab Eritroderma

Berdasarkan penyebabnya , penyakit ini dapat dibagikan dalam 2 kelompok :

1. Eritrodarma eksfoliativa primer

Penyebabnya tidak diketahui. Termasuk dalam golongan ini eritroderma iksioformis


konginetalis dan eritroderma eksfoliativa neonatorum(5–0 % ).

2. Eritroderma eksfoliativa sekunder

- Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya , sulfonamide ,
analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.

- Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus , psoriasis ,
pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.

- Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.

Patofisiologi Eritroderma / Patogenesis Eritroderma

Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum ( lapisan kulit yang paling luar
) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler , hipoproteinemia dan keseimbangan
nitrogen yang negatif . Karena dilatasi pembuluh darah kulit yang luas , sejumlah besar panas
akan hilang jadi dermatitis eksfoliatifa memberikan efek yang nyata pada keseluruh tubuh.

Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama ( pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kult
sel – sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan sel – sel yang baru terbentuk
bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai sisik / plak jaringan
epidermis yang profus.

Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non imunologik dan imunologik
(alergik) , tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanismee imunologik,
alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat
tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang
tidak lengkap ( hapten ). Obat / metaboliknya yang berupa hapten ini harus berkojugasi
dahulu dengan protein misalnya jaringan , serum / protein dari membran sel untuk
membentuk antigen obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai
antigen lengkap.

Dermatitis seboroik

Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous kronis umum yang mudah


dikenali.Penyakit ini dapat timbul pada bayi dan dewasa dan seringkali dihubungkan dengan
peningkatan produksi sebum (sebaseus atau seborrhea) kulit kepala dan daerah folikel kaya
sebaseus pada wajah dan leher.Kulit yang terkena berwarna merah muda, bengkak, dan
ditutupi dengan sisik berwarna kuning-coklat dan krusta

Gambaran khas dermatitis seboroik adalah eritema dengan warnakemerahan dan ditutupi
dengan sisik berminyak besar yang dapat dilepaskan dengan mudah.Pada kulit kepala, lesi
dapat bervariasi dari sisik kering (ketombe) sampai sisik berminyak dengan eritema. Pada
wajah, penyakit ini sering mengenai bagian medial alis, yaitu glabella, lipatan nasolabial,
concha dari daun telinga, dan daerah retroauricular. Lesi dapat bervariasi dalam tingkat
keparahan eritema sampai sisik halus. Pria dengan jenggot, kumis, atau jambang, lesi
mungkin melibatkan daerah yang ditumbuhi rambut, dan lesi hilang jika daerah tersebut
dicukur.Daerah dada medial pada pria terlihat petaloid yang bervariasi dan ditandai dengan
bercak merah terang di pusat dan merah gelap di tepi.Pasien yang terinfeksi HIV, lesi terlihat
menyebar dengan pertanda inflamasi.

Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi, antiproliferatif,


immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh
darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk
menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan
biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik
dari suatu agen.

Kombinasi ini digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan


besar, diantaranya Golongan I yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super
poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).

Berikut tabel penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis.

Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik

Golongan 1: (super Diprolene ointment 0,05% betamethason dipropionate


poten)
Diprolene AF cream

Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate

Temovate ointment 0,05% clobetasol propionate

Temovate cream

Olux foam

Ultravate ointment 0,05% halobetasol propionate

Ultravate cream

Cyclocort ointment 0,1% amcinonide


Golongan II: (potensi
Diprosone ointment 0,05% betamethasone dipropionate
tinggi)
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate

Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate

Halog ointment 0,01% halcinonide

Halog cream

Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide

Lidex cream

Lidex gel

Lidex solution

Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate

Maxivate ointment 0,05% betamethasone dipropionate

Maxivate cream

Topicort ointment 0,25% desoximetasone

Topicort cream

Topicort gel 0,05% desoximetasone

Golongan III: (potensi Aristocort A 0,1% triamcinolone acetonide


tinggi) ointment
0,005% fluticasone propionate
Cultivate ointment
0,1 amcinonide
Cyclocort cream

Cyclocort lotion
0,05% betamethasone dipropionate

Diprosone cream
0,05% diflorosone diacetate

Flurone cream
0,05% fluocinonide

Lidex E cream
0,05% diflorosone diacetate

Maxiflor cream
0,05% betamethasone dipropionate

Maxivate lotion
0,05% desoximetasone

Topicort LP cream
0,01% betamethasone valerate
Valisone ointment
Golongan IV: (potensi
medium)
Aristocort ointment 0,1% triamcinolone acetonide

Cordran ointment 0,05% flurandrenolide

Elocon cream 0,1% mometasone furoate

Elocon lotion

Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide

Kenalog cream

Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide

Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate


Golongan V: (potensi
medium)
Cordran cream 0,05% flurandrenolide

Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate

Dermatop cream 0,1% prednicarbate

Diprosone lotion 0,05% betamethasone dipropionate

Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide

Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate

Locoid cream

Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide

Tridesilon ointment 0,05% desonide

Valisone cream 0,1% betamethasone valerate

Golongan VI: (potensi Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate

medium)
Aclovate ointment 0,05% aclometasone

Aclovate cream

Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide

Desowen cream 0,05% desonide

Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide

Kenalog lotion

Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate

Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide

Synalar solution

Tridesilon cream 0,05% desonide

Golongan VII: Valisone lotion 0,1% betamethasone valerate


(potensi lemah)

Obat topical dengan


hidrokortison,
dekametason,
glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan
supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada
kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan
usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada
dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan
kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai
dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar
kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus
eritematousus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika
diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema
fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit
kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan
secara sistemik.

Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah prednison
karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan
prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Kortikosteroid
yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada pemberian long term (lebih
daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal
nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi
biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti
dengan tablet prednison.6

Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping
terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu
yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit
bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum,
kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat
sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi
secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka
penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi
steroid topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering,
waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.

Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu
atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering
digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (standar pelayanan).
Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan
menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan
dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi
di absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam
jumlah yang besar, jangka waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja
dilakukan memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama
trisemester pertama dengan bimbing sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip
atau cleft palate saat penggunaan steroid selama kehamilan.

Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular, intravena.
Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada suatu
penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata,
kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang.
Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang dugunakan
untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika
digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis
yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk
meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan
terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari
kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis
rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan
untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun hirsustisme.

Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah


mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak
mengalami eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus
obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress.
Supresi terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari dan kalau lebih dari sebulan.
Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang
jaranng melebihi 39ºC.

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis
tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam
darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat
penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian
obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg
prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid
lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis
fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.

Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya:

Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg

Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg

Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Reaksi lepra Prednison 3x10 mg

DLE Prednison 3x10 mg

Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg

Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg

Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg

Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg

Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg

Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman, tidak
bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan
dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis
ditingkatkan sampai ada perbaikan.

Anda mungkin juga menyukai