Jurnal Print Creaping Erupsion
Jurnal Print Creaping Erupsion
CREEPING ERUPTION
Oleh :
AHMAD WARDIMAN
10542 0354 12
Pembimbing :
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama :LS
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
B. Anamnesis
Kesehatan Kulit, Kelamin, dan Kosmetika (BK4) kota mkassar Provinsi Sulawesi
Anamnesis terpimpin :
berkelok-kelok, awalnya lesi timbul seperti gigitan nyamuk terasa panas dan
gatal lalu sempat redah dengan pemberian minyak gosok, kemudian timbul
garis merah berkelok-kelok dan terasa sangat gatal. Keluhan telah dirasakan
3
sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat pasien berkebun setelah dari kantor,
dermatitis ( - ).
Riwayat keluarga ( - )
C. Pemeriksaan Fisis
Status generalis
c) Gizi : ( lebih )
Tanda-tanda vital :
a) TD : 120/60 mmHg
b) Nadi : 82 x/menit
c) Pernapasan : 22 x/menit
d) Suhu : 36,0 0C
Kepala :
b) Bibir : Sianosis ( - )
4
Thorax :
D. Status Dermatologi
- Ukuran : Miliar
- Bentuk : polisiklik
5
E. Resume
nyamuk terasa panas dan gatal lalu sempat redah dengan pemberian minyak
gosok, kemudian timbul garis merah berkelok-kelok dan terasa sangat gatal.
Keluhan telah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat pasien bekerrja di
Riwayat keluarga (-), Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status generalis dan
tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada status dermatologis ditemukan lesi
didaerah 1/3 atas tibialis superior sinistra, dengan effloresensi papula eritema
F. Diagnosis
G. Diagnosis Banding
a) Skabies.
b) Dermatofitosis.
6
H. Terapi
Sistemik
- Albendazole 1x 400 mg
Topikal
-kloretil
I. Prognosis
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Istilah ini digunakan pada kelaian kulit yang merupakan peradangan berbentuk
linier atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva
cacing tambang yang berasal dari feses anjing dan kucing.1
Cutaneous larva migrans (CML) merupakan erupsi di kulit berbentuk penjalaran
serpiginosa, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap invasi larva cacing
tambang atau nematodes (roundworms) atau produknya. Larva cacing tersebut
berasal dari cacing yang hidup di usus kucing atau anjing. Umumnya mampi
menginvasi kulit di kaki, tangan, bokong atau abdomen.1
Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas
kaki atau sering berhubungan dengan tanah atau pasir yang mengandung larva
tersebut. demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama.
Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropics yang hangat dan
lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, di Indonesia pun banyak
dijumpai. Walaupun demikian dengan berkembangnya pariwisata, infeksi CLM dapat
terjadi pada para wisatawan.1
B. EPIDEMIOLOGI
Insidens yang sebenarnya sulit diketahui, di Amerika Serikat (pantai Florida,
Texas, dan New Jersey) tercatat 6,7% dari 13.300 wisatawan mengalami CLM
setelah berkunjung ke daerah tropis. Hamper di semua Negara beriklim tropis dan
subtropis, misalnya Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia
dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, banyak ditemukan CLM. Pada invasi ini
tidak terdapat perbedaan ras, usia, maupun jenis kelamin.1
8
Belum pernah dilaporkan kematian akibat CLM. Invasi CLM yang bertahan lama
dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan. Walaupun
jarang, namun dapat menyebabkan selulitis.1
C. ETIOPATOGENESIS
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing
dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Di Asia Timur
umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus
ditemukan Enchinococcus, Strongyloides sterconalis, Dermatobia maxiales, dan
Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat,
misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly. Biasanya larva ini merupakan
stadium ketiga siklus hidup. Nematoda hidup pada hospes (anjing, kucing atau babi),
ovum terdapat pada kotoran binatang dan karena kelembaban berubah menjadi larva
yang mempu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan
sepanjang dermo-epidermal, setelah beberapa jam atau hari, akan timbul gejala di
kulit.1,2
Siklus hidup ancylostoma braziliense terjadi pada binatang dan serupa dengan
ancylostoma duodenale pada manusia. Siklus hidup parasit dimulai saat telur keluar
bersama kotoran binatang ke tanah berpasir yang hangat dan lembab. Pada kondisi
kelembaban dan temperatur yang menguntungkan, telur bisa menetas dan tumbuh
cepat menjadi larva rhabditiform. Awalnya larva makan bakteri yang ada di tanah dan
berganti buluh dua kali sebelum menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Pada
hospes alami binatang, larva mampu penetrasi sampai ke dermis dan ditranspor
melalui sistem limfatik dan vena sampai ke paru-paru. Kemudian menembus samai
ke alveoli dan trakea dimana kemudian tertelan. Di usus terjadi pematangan secara
seksual, dan siklus baru dimulai saat telur diekskresikan. Larva yang infektif dapat
tetap hidup pada tanah selama beberapa minggu.3
Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva
dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura
9
atau kulit intak. Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya.
Biasanya migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari. Larva stadium tiga menembus
kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari, biasanya antara stratum
germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa
tujuan sepanjang dermoepidermal.hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik
setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva bemigrasi
pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis.
Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase
yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit
ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva menyababkan
inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa
mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-
paru sehingga terjadi infiltrat paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat
larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih
dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.3
10
D. Manifestasi Klinis
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada
di kulit selama beberapa jam atau hari.1,3
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-
kelok, polisiklik, sepriginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow),
mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari.
Terjadi rasa gatal pada ujung lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva.
Lebar lesi berkisar antara 3 mm dan panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi bisa
tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa juga nyeri.1,3,5
Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di
bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larve berada. Sering
terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri. Larva terbatas hanya pada lapisan
epidermis. Penyakit ini self limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau
dua bulan. Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi akibat garukan pada lesi.3
Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan
pada pasien dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan
peningkatang kadar IgE. Pada kasus creeping eruption bisaterjadi sindrom loeffler
11
dan mtositis namun jarang dijumpai. Larva bisa bermigrasi ke usus halus dan
menyebabkan enteritis eosinofilik.3,5
E. Diagnosis
Diagnosis creeping eruption ditegakkan berdasarkan riwayat pajanan
epidemiologi dan penemuan lesi karakteristik. Bentuk khas, yakni terdapatnya
kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat
papul atau vesikel di atasnya. Biopsi spesimen diambil pada ujung jalur yang
mungkin mengandung larva.1,3,5
Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer,
sindrom loeffler (infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan IgE. Hanya
sedikit pasien yang menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.3,5
Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit yang diambil
tepat di atas lesi menunjukkan larva (tes periodik asam schiff positif) di terowongan
suprabsalar, terowongan pada membran basalis, spongiosis dengan vesikel
intraepidermal, nekrosis keratinosit dan infiltrat kronis oleh eosinofil pada lapisan
epidermis dan dermis bagian atas.3,5
F. Diagnosis banding
Dengan melihat adanya terwongan harus dibedakan dengan scabies, pada scabies
terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti penyakit ini. Bila melihat
bentuk yang polisiklik sering dikacaukan dengan dermatofitosis. Pada permulaan lesi
berupa papul, karena itu sering diduga insects bite. Bila invasi larva yang multiple
timbul serentak, papul-papul lesi dini sering menyerupai herpes zoster stadium
permulaan.1
G. Tatalaksana
Sebelum tahun 1960, terapi CLM adalah dengan ethyl chloride spray
(disemprotkan sepanjang lesi), liquid nitrogen, phenol, carbondioxide snow (CO2
12
snow dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-turut),
piperazine citrate, eletro-kauterisasi dan radiasi. Pengobatan tersebut sering tidak
berhasil karena kita tidak mengetahui secara pasti di mana larva tersebut berada, dan
bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya. Kemoterapi dengan
chloroquine, antimony, dan diethyilcarbamazine juga tidak memuaskan.1
Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelmintes berspektrum luas,
misalnya tiabendazol (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 25-50 mg/kg BB/hari,
sehari 2x, diberikan berturut-turut selama 2-5 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari,
jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek
sampingnya mual, pusing, dan muntah. Eyster mencobakan pengobatan topical
solution tiabendazol dalam DMSO dan ternyata efektif. Demikian pula Davis dan
Israel menggunakan suspense obat tersebut (500mg/5ml) secara oklusi selama 24-48
jam.1
Obat lain ialah abendazol, dosis sehari 400 mg sebagai dosis tunggal, diberikan 3
hari berturut-turut. Sumber lain menyebutkan dalam 5-7 hari.2,5
Dapat juga diberikan single dose Ivermectin (200µ/kg BB) dapat membunuh
migrasi larva secara efektif dan mengurangi gatal secara cepat. Topikal thiabendazole
10% cream, meskipun kurang efektif, namun dapat menjadi terapi alternative pada
anak-anak untuk mencegah adanya efek potensial dari terapi sistemik. Nesama et all
menyebetukan juga bahawa kombinasi dari obat topical dan sistemik terkadang
dibutuhkan juga dalam pengobatan cutaneous larva migrans.1,2,5
Neseema et all menyebutkan dalam penelitian nya bahwa pengobatan cutaneous
larva migrans yang menggunakan kombinasi terapi anatara albendazole (400 mg
selama 7 hari) dan liquid nitrogen (1 sesi) lebih berkhasiat dalam pengobatan.2
H. Preventif
Dapat dicegah dengan menghidari kontak kulit langsung dengan tanah yang
terkontaminasi kotoran hewan.
13
Ketika mengunjungi negara tropis, terutama wilayah pantai dan area berpasir,
area lembab, disarankan menggunakan sepatu yang menutup seluruh bagian kaki.
Serta menghindari duduk dan tidur di area berpasir meskipun menggunakan handuk
sebagai alas.2
I. Prognosis
J. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh
bakteri akibat garukan. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptokokkus pyogenes.
Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi.1,3
14
DISKUSI
Kelamin, dan Kosmetika (BK4) kota mkassar Provinsi Sulawesi Selatan dengan
polisiklik, hal ini sesuai dengan teori bahwa Cutaneous larva migrans memerikan
gambaran klinis berupa garis-garis atau terowongan yang panjang dan erkelok-
kelok, awalnya lesi timbul seperti gigitan nyamuk terasa panas dan gatal lalu
sempat redah dengan pemberian minyak gosok, kemudian timbul garis merah
berkelok-kelok dan terasa sangat gatal. Sesuai dengan teori bahwa infeksi dari
larva cacing menyebabkan rasa panas, gatal, dan juga menimbulkan garisgaris
yang berkelo-kelok Keluhan telah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat
pasien bekerrja di kebun setelah dari kantor, sesuai dengan teori bahwa terdapat
riwayat penderita sering bekerja di kebun sehingga larva cacing mudah untuk
generalis dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada status dermatologis
ditemukan lesi didaerah 1/3 atas tibialis superior sinistra, dengan effloresensi
15
Diagnosis ditegakkan sebagai Cutaneous larva migrans berdasarkan
anamnesis yaitu waktu munculnya lesi yang diawali gejala gatal dan sering bekerja di
kebun dan adanya temuan klinis yang didapatkan dari pemeriksaan dermatologi yaitu
ditemukan efloresensi papul eritema polisiklik di daerah 1/3 tibialis superior sinistra.
Pada kasus diatas karena klinisnya jelas maka tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang.
Pengobatan pada kasus ini yaitu Albendazole 1x400mg, Hal ini untuk membunuh
larva cacing, dan untuk topical di berikan kloretil spray hal ini sesuai dengan teori
bahwa cml di terapi dengan cryotherapy (terapi beku) bertujuan untuk lebih cepat
membunuh larva cacing dari luar.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah S. Creeping eruption (cutaneous larva migrans). Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokeran Univesitas Indonesia; 2015. h. 141-2.
2. Supplee SJ, Gupta S, Alweis R. Creeping eruption: cutaneous larva migrans. J Comm Hospital
Int Med Prespectives. 2013; 3 (10). 3402.
3. Gutte R, Khopkar U. Cutaneous larva migrans (creeping eruption). Indian Dermatol Online J.
2011; 2 (1): 48.
4. Quashie NB, Tsegah E. Anusual recurrence of pruritic creeping eruption after treatment of
cutaneous larva migrans in an adult Ghanaian male. Pan African Med J. 2015; 21 (286): 5612-6.
5. Suh KN, Keystone JS. Helminthic infections. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New
York: Mc Graw Hill; 2012. p. 3619-51.
6. Venkata NCR, Murali A. Creeping eruption. J new zealand med assoc. 2012; 125 (1360): 79-81.
17