Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER, 2017


UNIVERSITASMUHAMMADIYAH MAKASSAR

CREEPING ERUPTION

Oleh :

AHMAD WARDIMAN
10542 0354 12

Pembimbing :

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTASKEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Cutaneous larva migrans (CML) merupakan erupsi di kulit berbentuk penjalaran
serpiginosa, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap invasi larva cacing
tambang atau nematodes (roundworms) atau produknya. Larva cacing tersebut
berasal dari cacing yang hidup di usus kucing atau anjing. Umumnya mampi
menginvasi kulit di kaki, tangan, bokong atau abdomen.1
Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas
kaki atau sering berhubungan dengan tanah atau pasir yang mengandung larva
tersebut. demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama.
Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropics yang hangat dan
lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, di Indonesia pun banyak
dijumpai. Walaupun demikian dengan berkembangnya pariwisata, infeksi CLM dapat
terjadi pada para wisatawan.1
Insidens yang sebenarnya sulit diketahui, di Amerika Serikat (pantai Florida,
Texas, dan New Jersey) tercatat 6,7% dari 13.300 wisatawan mengalami CLM
setelah berkunjung ke daerah tropis. Hamper di semua Negara beriklim tropis dan
subtropis, misalnya Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia
dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, banyak ditemukan CLM.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama :LS

Umur : 33 tahun

Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

Tanggal Pemeriksaan : 23/09/2017

B. Anamnesis

Dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin di Balai

Kesehatan Kulit, Kelamin, dan Kosmetika (BK4) kota mkassar Provinsi Sulawesi

Selatan pada tanggal : 23/09/2017

 Keluhan utama : Gatal & Papul eritem bentuk linear.

 Anamnesis terpimpin :

Seorang pasien datang ke di Poliklinik Kulit dan Kelamin Balai

Kesehatan Kulit, Kelamin, dan Kosmetika (BK4) kota mkassar Provinsi

Sulawesi Selatan dengan keluhan muncul bintik kemerahan berbenuk garis

berkelok-kelok, awalnya lesi timbul seperti gigitan nyamuk terasa panas dan

gatal lalu sempat redah dengan pemberian minyak gosok, kemudian timbul

garis merah berkelok-kelok dan terasa sangat gatal. Keluhan telah dirasakan

3
sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat pasien berkebun setelah dari kantor,

Riwayat alergi cuaca (+).

Riwayat pekerjaan : PNS dan berkebun

 Riwayat penyakit sebelumnya : Operasi ( - ), alergi ( - ) ,riwayat

mengkomsumsi obat-obatan ( - ), riwayat atopi : asma bronkial ( - ),

dermatitis ( - ).

 Riwayat keluarga ( - )

C. Pemeriksaan Fisis

 Status generalis

a) Keadaan umum : ( Sakit ringan )

b) Kesadaran : ( compos mentis )

c) Gizi : ( lebih )

d) Hygiene : (cukup baik)

 Tanda-tanda vital :

a) TD : 120/60 mmHg

b) Nadi : 82 x/menit

c) Pernapasan : 22 x/menit

d) Suhu : 36,0 0C

 Kepala :

a) Mata : Konjungtiva anemis ( - ), Sklera ikterik ( - )

b) Bibir : Sianosis ( - )

c) Pembesaran kelenjar getah bening : ( - )

4
 Thorax :

a) Paru : Suara Vesikuler, Wheezing (-), Ronhi (-)

b) Jantung : Bunyi Jantung I dan II murni reguler, bising (-)

c) Abdomen : Ikut gerak napas, peristaltik (+) kesan normal

d) Ekstremitas : Dalam batas normal

D. Status Dermatologi

- Lokasi : Tungkai kiri

- Ukuran : Miliar

- Efloresensi : Papul eriematosa

- Bentuk : polisiklik

Gambar 1 Gambar 2 & 3

Gambar 1. Papul eritem polisiklik

Gambar 2&3. Prosedur pemberian kloretil (Ethyl Chloride Spray).

5
E. Resume

Seorang pasien datang ke di Poliklinik Kulit dan Kelamin Balai

Kesehatan Kulit, Kelamin, dan Kosmetika (BK4) kota mkassar Provinsi

Sulawesi Selatan dengan keluhan muncul bintik kemerahan berbenuk garis

berkelok-kelok, berbentuk polisiklik, awalnya lesi timbul seperti gigitan

nyamuk terasa panas dan gatal lalu sempat redah dengan pemberian minyak

gosok, kemudian timbul garis merah berkelok-kelok dan terasa sangat gatal.

Keluhan telah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat pasien bekerrja di

kebun setelah dari kantor, Riwayat alergi cuaca (+).

Riwayat penyakit sebelumnya : Operasi ( - ), alergi ( - ) ,riwayat

mengkomsumsi obat-obatan (-), riwayat atopi : asma bronkial ( - ), dermatitis (- ).

Riwayat keluarga (-), Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status generalis dan

tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada status dermatologis ditemukan lesi

didaerah 1/3 atas tibialis superior sinistra, dengan effloresensi papula eritema

berkelompok membentuk polisiklik.

F. Diagnosis

Creeping eruption (Cutaneous larva migrans)

G. Diagnosis Banding

a) Skabies.

b) Dermatofitosis.

c) Herpes zoster stadium awal

6
H. Terapi

Sistemik

- Albendazole 1x 400 mg

Topikal

-kloretil

I. Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad Sanam : dubia ad bonam

Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam

Quo ad Cosmeticum : dubia ad bonam

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Istilah ini digunakan pada kelaian kulit yang merupakan peradangan berbentuk
linier atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva
cacing tambang yang berasal dari feses anjing dan kucing.1
Cutaneous larva migrans (CML) merupakan erupsi di kulit berbentuk penjalaran
serpiginosa, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap invasi larva cacing
tambang atau nematodes (roundworms) atau produknya. Larva cacing tersebut
berasal dari cacing yang hidup di usus kucing atau anjing. Umumnya mampi
menginvasi kulit di kaki, tangan, bokong atau abdomen.1
Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas
kaki atau sering berhubungan dengan tanah atau pasir yang mengandung larva
tersebut. demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama.
Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropics yang hangat dan
lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, di Indonesia pun banyak
dijumpai. Walaupun demikian dengan berkembangnya pariwisata, infeksi CLM dapat
terjadi pada para wisatawan.1

B. EPIDEMIOLOGI
Insidens yang sebenarnya sulit diketahui, di Amerika Serikat (pantai Florida,
Texas, dan New Jersey) tercatat 6,7% dari 13.300 wisatawan mengalami CLM
setelah berkunjung ke daerah tropis. Hamper di semua Negara beriklim tropis dan
subtropis, misalnya Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia
dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, banyak ditemukan CLM. Pada invasi ini
tidak terdapat perbedaan ras, usia, maupun jenis kelamin.1

8
Belum pernah dilaporkan kematian akibat CLM. Invasi CLM yang bertahan lama
dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan. Walaupun
jarang, namun dapat menyebabkan selulitis.1

C. ETIOPATOGENESIS
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing
dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Di Asia Timur
umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus
ditemukan Enchinococcus, Strongyloides sterconalis, Dermatobia maxiales, dan
Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat,
misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly. Biasanya larva ini merupakan
stadium ketiga siklus hidup. Nematoda hidup pada hospes (anjing, kucing atau babi),
ovum terdapat pada kotoran binatang dan karena kelembaban berubah menjadi larva
yang mempu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan
sepanjang dermo-epidermal, setelah beberapa jam atau hari, akan timbul gejala di
kulit.1,2
Siklus hidup ancylostoma braziliense terjadi pada binatang dan serupa dengan
ancylostoma duodenale pada manusia. Siklus hidup parasit dimulai saat telur keluar
bersama kotoran binatang ke tanah berpasir yang hangat dan lembab. Pada kondisi
kelembaban dan temperatur yang menguntungkan, telur bisa menetas dan tumbuh
cepat menjadi larva rhabditiform. Awalnya larva makan bakteri yang ada di tanah dan
berganti buluh dua kali sebelum menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Pada
hospes alami binatang, larva mampu penetrasi sampai ke dermis dan ditranspor
melalui sistem limfatik dan vena sampai ke paru-paru. Kemudian menembus samai
ke alveoli dan trakea dimana kemudian tertelan. Di usus terjadi pematangan secara
seksual, dan siklus baru dimulai saat telur diekskresikan. Larva yang infektif dapat
tetap hidup pada tanah selama beberapa minggu.3
Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva
dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura

9
atau kulit intak. Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya.
Biasanya migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari. Larva stadium tiga menembus
kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari, biasanya antara stratum
germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa
tujuan sepanjang dermoepidermal.hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik
setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva bemigrasi
pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis.
Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase
yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit
ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva menyababkan
inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa
mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-
paru sehingga terjadi infiltrat paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat
larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih
dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.3

Gambar 1. Siklus hidup cacing tambang4

10
D. Manifestasi Klinis
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada
di kulit selama beberapa jam atau hari.1,3
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-
kelok, polisiklik, sepriginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow),
mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari.
Terjadi rasa gatal pada ujung lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva.
Lebar lesi berkisar antara 3 mm dan panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi bisa
tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa juga nyeri.1,3,5

Gambar 2. Papul seperti benang berkelok-kelok (terowongan)5,6

Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di
bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larve berada. Sering
terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri. Larva terbatas hanya pada lapisan
epidermis. Penyakit ini self limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau
dua bulan. Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi akibat garukan pada lesi.3
Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan
pada pasien dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan
peningkatang kadar IgE. Pada kasus creeping eruption bisaterjadi sindrom loeffler

11
dan mtositis namun jarang dijumpai. Larva bisa bermigrasi ke usus halus dan
menyebabkan enteritis eosinofilik.3,5

E. Diagnosis
Diagnosis creeping eruption ditegakkan berdasarkan riwayat pajanan
epidemiologi dan penemuan lesi karakteristik. Bentuk khas, yakni terdapatnya
kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat
papul atau vesikel di atasnya. Biopsi spesimen diambil pada ujung jalur yang
mungkin mengandung larva.1,3,5
Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer,
sindrom loeffler (infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan IgE. Hanya
sedikit pasien yang menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.3,5
Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit yang diambil
tepat di atas lesi menunjukkan larva (tes periodik asam schiff positif) di terowongan
suprabsalar, terowongan pada membran basalis, spongiosis dengan vesikel
intraepidermal, nekrosis keratinosit dan infiltrat kronis oleh eosinofil pada lapisan
epidermis dan dermis bagian atas.3,5

F. Diagnosis banding
Dengan melihat adanya terwongan harus dibedakan dengan scabies, pada scabies
terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti penyakit ini. Bila melihat
bentuk yang polisiklik sering dikacaukan dengan dermatofitosis. Pada permulaan lesi
berupa papul, karena itu sering diduga insects bite. Bila invasi larva yang multiple
timbul serentak, papul-papul lesi dini sering menyerupai herpes zoster stadium
permulaan.1

G. Tatalaksana
Sebelum tahun 1960, terapi CLM adalah dengan ethyl chloride spray
(disemprotkan sepanjang lesi), liquid nitrogen, phenol, carbondioxide snow (CO2

12
snow dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-turut),
piperazine citrate, eletro-kauterisasi dan radiasi. Pengobatan tersebut sering tidak
berhasil karena kita tidak mengetahui secara pasti di mana larva tersebut berada, dan
bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya. Kemoterapi dengan
chloroquine, antimony, dan diethyilcarbamazine juga tidak memuaskan.1
Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelmintes berspektrum luas,
misalnya tiabendazol (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 25-50 mg/kg BB/hari,
sehari 2x, diberikan berturut-turut selama 2-5 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari,
jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek
sampingnya mual, pusing, dan muntah. Eyster mencobakan pengobatan topical
solution tiabendazol dalam DMSO dan ternyata efektif. Demikian pula Davis dan
Israel menggunakan suspense obat tersebut (500mg/5ml) secara oklusi selama 24-48
jam.1
Obat lain ialah abendazol, dosis sehari 400 mg sebagai dosis tunggal, diberikan 3
hari berturut-turut. Sumber lain menyebutkan dalam 5-7 hari.2,5
Dapat juga diberikan single dose Ivermectin (200µ/kg BB) dapat membunuh
migrasi larva secara efektif dan mengurangi gatal secara cepat. Topikal thiabendazole
10% cream, meskipun kurang efektif, namun dapat menjadi terapi alternative pada
anak-anak untuk mencegah adanya efek potensial dari terapi sistemik. Nesama et all
menyebetukan juga bahawa kombinasi dari obat topical dan sistemik terkadang
dibutuhkan juga dalam pengobatan cutaneous larva migrans.1,2,5
Neseema et all menyebutkan dalam penelitian nya bahwa pengobatan cutaneous
larva migrans yang menggunakan kombinasi terapi anatara albendazole (400 mg
selama 7 hari) dan liquid nitrogen (1 sesi) lebih berkhasiat dalam pengobatan.2

H. Preventif

Dapat dicegah dengan menghidari kontak kulit langsung dengan tanah yang
terkontaminasi kotoran hewan.

13
Ketika mengunjungi negara tropis, terutama wilayah pantai dan area berpasir,
area lembab, disarankan menggunakan sepatu yang menutup seluruh bagian kaki.
Serta menghindari duduk dan tidur di area berpasir meskipun menggunakan handuk
sebagai alas.2

I. Prognosis

CLM tidak mengancam kehidupan, umumnya sembuh dengan terapi


antihelmintes albendazole atau tiabendazol. Pada dasarnya merupakan suatu penyakit
self limiting. Manusia merupakan tempat end-host bagi parasit ini dan lesi akan
bertahap hilang dalam 4-8 minggu namun dalam beberapa kasus juga dapat selama 1
tahun.1,2

J. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi adalah ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh
bakteri akibat garukan. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptokokkus pyogenes.
Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi.1,3

14
DISKUSI

Pasien datang ke di Poliklinik Kulit dan Kelamin Balai Kesehatan Kulit,

Kelamin, dan Kosmetika (BK4) kota mkassar Provinsi Sulawesi Selatan dengan

keluhan muncul papul kemerahan berbenuk garis berkelok-kelok, berbentuk

polisiklik, hal ini sesuai dengan teori bahwa Cutaneous larva migrans memerikan

gambaran klinis berupa garis-garis atau terowongan yang panjang dan erkelok-

kelok, awalnya lesi timbul seperti gigitan nyamuk terasa panas dan gatal lalu

sempat redah dengan pemberian minyak gosok, kemudian timbul garis merah

berkelok-kelok dan terasa sangat gatal. Sesuai dengan teori bahwa infeksi dari

larva cacing menyebabkan rasa panas, gatal, dan juga menimbulkan garisgaris

yang berkelo-kelok Keluhan telah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat

pasien bekerrja di kebun setelah dari kantor, sesuai dengan teori bahwa terdapat

riwayat penderita sering bekerja di kebun sehingga larva cacing mudah untuk

menginvesi kulit pasien.

Riwayat alergi cuaca (+) Riwayat penyakit sebelumnya : Operasi ( - ), alergi

(-) ,riwayat mengkomsumsi obat-obatan (-), riwayat atopi : asma bronkial ( - ),

dermatitis (- ). Riwayat keluarga (-), Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status

generalis dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada status dermatologis

ditemukan lesi didaerah 1/3 atas tibialis superior sinistra, dengan effloresensi

papula eritema berkelompok membentuk polisiklik.

15
Diagnosis ditegakkan sebagai Cutaneous larva migrans berdasarkan

anamnesis yaitu waktu munculnya lesi yang diawali gejala gatal dan sering bekerja di

kebun dan adanya temuan klinis yang didapatkan dari pemeriksaan dermatologi yaitu

ditemukan efloresensi papul eritema polisiklik di daerah 1/3 tibialis superior sinistra.

Pada kasus diatas karena klinisnya jelas maka tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang.

Pengobatan pada kasus ini yaitu Albendazole 1x400mg, Hal ini untuk membunuh
larva cacing, dan untuk topical di berikan kloretil spray hal ini sesuai dengan teori
bahwa cml di terapi dengan cryotherapy (terapi beku) bertujuan untuk lebih cepat
membunuh larva cacing dari luar.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah S. Creeping eruption (cutaneous larva migrans). Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokeran Univesitas Indonesia; 2015. h. 141-2.
2. Supplee SJ, Gupta S, Alweis R. Creeping eruption: cutaneous larva migrans. J Comm Hospital
Int Med Prespectives. 2013; 3 (10). 3402.
3. Gutte R, Khopkar U. Cutaneous larva migrans (creeping eruption). Indian Dermatol Online J.
2011; 2 (1): 48.
4. Quashie NB, Tsegah E. Anusual recurrence of pruritic creeping eruption after treatment of
cutaneous larva migrans in an adult Ghanaian male. Pan African Med J. 2015; 21 (286): 5612-6.
5. Suh KN, Keystone JS. Helminthic infections. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New
York: Mc Graw Hill; 2012. p. 3619-51.
6. Venkata NCR, Murali A. Creeping eruption. J new zealand med assoc. 2012; 125 (1360): 79-81.

17

Anda mungkin juga menyukai