Anda di halaman 1dari 11

ASSESMEN DALAM BK

Asesmen merupakan salah satu kegiatan pengukuran. Dalam


konteks bimbingan konseling, asesmen yaitu mengukur suatu
proses konseling yang harus dilakukan konselor sebelum, selama,
dan setelah konseling tersebut dilaksanakan/ berlangsung (Ratna
Widiastuti, 2010). Asesmen merupakan salah satu bagian
terpenting dalam seluruh kegiatan yang ada dalam konseling (baik
konseling kelompok maupun konseling individual). Karena itulah
asesmen dalam bimbingan dan konseling merupakan bagian yang
terintegral dengan proses terapi maupun semua kegiatan
bimbingan dan konseling itu sendiri. Asesmen dilakukan untuk
menggali dinamika dan faktor penentu yang mendasari
munculnya masalah. Hal ini sesuai dengan tujuan asesmen dalam
bimbingan dan konseling, yaitu mengumpulkan informasi yang
memungkinkan bagi konselor untuk menentukan masalah dan
memahami latar belakang serta situasi yang ada pada masalah
klien. Asesmen yang dilakukan sebelum, selama dan setelah
konseling berlangsung dapat memberi informasi yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien.
Dalam prakteknya, asesmen dapat digunakan sebagai alat untuk
menilai keberhasilan sebuah konseling, namun juga dapat
digunakan sebagai sebuah terapi untuk menyelesaikan masalah
klien.

Asesmen merupakan kegiatan untuk mengukur seberapa jauh


kemampuan/ kompetensi yang dimiliki oleh klien dalam
memecahkan masalah. Asesmen yang dikembangkan adalah
asesmen yang baku dan meliputi beberapa aspek yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor dalam kompetensi dengan menggunakan
indikator-indikator yang ditetapkan dan
dikembangkan oleh Guru BK/ Konselor sekolah. Asesmen yang
diberikan kepada klien merupakan pengembangan dari area
kompetensi dasar pada diri klien yang akan dinilai, yang
kemudian akan dijabarkan dalam bentuk indikator-indikator. Pada
umumnya asesmen bimbingan konseling dapat dilakukan dalam
bentuk laporan diri, performance test, tes psikologis, observasi,
wawancara, dan sebagainya.
Dalam pelaksanaannya, asesmen merupakan hal yang penting dan
harus dilakukan dengan berhati-hati sesuai dengan kaidahnya.
Kesalahan dalam mengidentifikasi masalah karena asesmen yang
tidak memadai akan menyebabkan tritmen gagal; atau bahkan
dapat memicu munculnya konsekuensi dari tritmen yang
merugikan diri klien. Meskipun menjadi dasar dalam melakukan
tritmen pada klien, tidak berarti konselor harus menilai (to assess)
semua latar belakang dan situasi yang dihadapi klien pada saat itu
jika tidak perlu. Kadangkala konselor menemukan bahwa
ternyata “hidup” klien sangat menarik. Namun demikian tidaklah
efisien dan tidak etis untuk menggali semuanya selama hal
tersebut tidak relevan dengan tritmen yang diberikan untuk
mengatasi masalah klien. Karena itu, setiap guru pembimbing/
konselor perlu berpegang pada pedoman pertanyaan sebelum
melakukan asesmen; yaitu “Apa saja yang perlu kuketahui
mengenai klien?”. Hal itu berkaitan dengan apa saja yang relevan
untuk mengembangkan intervensi atau tritmen yang efektif,
efisien, dan berlangsung lama bagi klien.
Hood & Johnson (1993) menjelaskan ada beberapa fungsi
asesmen, diantaranya adalah untuk:

1. Menstimulasi klien maupun konselor mengenai berbagai isu


permasalahan
2. Menjelaskan masalah yang senyatanya

3. Memberi alternatif solusi untuk masalah

4. Menyediakan metode untuk memperbandingkan alternatif


sehingga dapat diambil keputusan

5. Memungkinkan evaluasi efektivitas konseling

Selain itu, asesmen juga diperlukan untuk memperoleh informasi


yang membedakan antara apa ini (what is) dengan apa
yang diinginkan (what is desired) sesuai dengan kebutuhan dan
hasil konseling.
Asesmen memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan
perencanaan dan pelaksanaan model-model pendekatan konseling.
Jika kedua komponen tersebut didesain dengan pendekatan “client
centered” atau “bottom up”, asesmen akan mengarah pada
inovasi. Hal ini memiliki makna bahwa asesmen tidak hanya
berorientasi pada hasil/ produk akhir, tetapi justru akan lebih
terfokus pada proses konseling, yaitu mulai dari membuka
konseling sampai dengan mengakhiri konseling; atau setidak-
tidaknya akan ada keseimbangan antara proses konseling
dengan hasil konseling. Dengan demikian asesmen akan benar-
benar bisa memenuhi kriteria objektivitas dan keadilan, sehingga
keputusan yang akan diambil oleh klien dapat benar-benar sesuai
dengan kemampuan diri klien itu sendiri.
Asesmen yang tidak dilakukan secara objektif, akan berpengaruh
pada pelayanan konseling oleh konselor sekolah/ Guru BK. Hal
ini akan berakibat tidak baik pada diri klien, bahkan terhadap
konselor itu sendiri untuk jangka panjang maupun jangka pendek.
Asesmen dalam bimbingan dan konseling adalah asesmen yang
berbasis individu dan berkelanjutan. Semua indikator bukan
diukur dengan soal seperti dalam pembelajaran, tetapi diukur
secara kualitatif, kemudian hasilnya dianalisis untuk mengetahui
kemampuan klien dalam mengambil keputusan pada akhir
konseling, dalam melaksanakan keputusan setelah konseling,
serta melihat kendala/ masalah yang dihadapi klien dalam proses
konseling maupun kendala dalam melaksanakan keputusan yang
telah ditetapkannya.

Hood & Johnson (1993) menjelaskan ruang lingkup dalam


asesmen (assesment need areas) dalam bimbingan dan konseling
ada lima, yaitu:
1. Systems assessment, yaitu asesmen yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi mengenai status dari suatu sistem, yang
membedakan antara apa ini (what is it) dengan apa
yang diinginkan (what is desired) sesuai dengan kebutuhan dan
hasil konseling; serta tujuan yang sudah dituliskan/ ditetapkan
atauoutcome yang diharapkan dalam konseling.
2. Program planning, yaitu perencanaan program untuk
memperoleh informasi-informasi yang dapat digunakan untuk
membuat keputusan dan untuk menyeleksi bagian–bagian
program yang efektif dalam pertemuan-pertemuan antara konselor
dengan klien; untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
khusus pada tahap pertama. Di sinilah muncul fungsi evaluator
dalam asesmen, yang memberikan informasi-
informasi nyata yang potensial. Hal inilah yang kemudian
membuat asesmen menjadi efektif, yang dapat membuat klien
mampu membedakan latihan yang dilakukan pada saat konseling
dan penerapannya di kehidupan
nyata dimana klien harus membuat suatu keputusan, atau memilih
alternatif-altenatif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalahnya.
3. Program Implementation, yaitu bagaimana asesmen dilakukan
untuk menilai pelaksanaan program dengan memberikan
informasi-informasi nyata; yang menjadikan program-program
tersebut dapat dinilai apakah sesuai dengan pedoman.
4. Program Improvement, dimana asesmen dapat digunakan
dalam dalam perbaikan program, yaitu yang berkenaan dengan:
(a) evaluasi terhadap informasi-informasi yang nyata, (b) tujuan
yang akan dicapai dalam program, (c) program-progam yang
berhasil, dan (d) informasi-informasi yang mempengaruhi proses
pelaksanaan program-program yang lain.
5. Program certification, yang merupakan akhir kegiatan.
Menurut Center for the Study of Evaluation (CSE), program
sertifikasi adalah suatu evaluasi sumatif, hal ini memberikan
makna bahwa pada akhir kegiatan akan dilakukan evaluasi
akhir sebagai dasar untuk memberikan sertifikasi kepada klien.
Dalam hal ini evaluator berfungsi pemberi informasi mengenai
hasil evaluasi yang akan digunakan sebagai dasar untuk
mengambil keputusan.
Apapun bentuk dan jenis asesmen yang dilakukan, hal ini tetap
menuntut suatu perencanaan, termasuk pada saat melakukan
analisis. Dengan demikian maka akan diperoleh alat ukur atau
instrumen yang benar-benar dapat diandalkan (valid) dan dapat
dipercaya (reliabel) dalam mengukur apa yang seharusnya diukur.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
melakukan asesmen:

1. Perencanaan
Aspek yang harus ada dalam perencanaan asesmen adalah:
a. Memilih fokus asesmen pada aspek tertentu dari diri klien

Salah satu penentu keberhasilan konseling adalah kemauan dan


kemampuan klien itu sendiri. Dalam konseling, keputusan akhir
untuk pemecahan masalah yang dihadapi ada pada diri klien.
Konselor/ guru BK bukan pemberi nasihat, bukan pengambil
keputusan mengenai apa yang harus dilakukan klien dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya.

Karena itu, untuk keberhasilan konseling, klien dapat bekerjasama


dengan guru BK/konselor, dan dengan bantuan guru BK maka
klien diharapkan mampu memunculkan ide-ide pemecahan
masalah, dan klien memiliki keberanian serta kemampuan untuk
mengambil keputusan, mampu memahami diri sendiri, dan
mampu menerima dirinya sendiri. Berdasarkan hal tersebut di
atas, maka konselor menentukan akan melakukan
asesmen dengan memfokuskan pada salah satu aspek dalam diri
klien saja.

b. Memilih instrumen yang akan digunakan.

Setelah ditentukan fokus area asesmen, Anda dapat merencanakan


instrumen yang akan digunakan dalam asesmen. Banyak
instrumen yang dapat digunakan dalam asesmen seperti tes
psikologis, observasi, inventori, dan sebagainya. Tetapi untuk
menentukan instrumen sangat tergantung pada aspek apa yang
akan diasesmen. Misalnya Anda akan melihat kerjasama klien
dalam konseling, maka instrumen dapat menggunakan checklist,
tetapi apabila Anda memfokuskan asesmen tentang kemampuan
klien dalam memecahkan masalah, maka Anda
dapat mempergunakan tes psikologis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih instrumen dalam
asesmen diantaranya yaitu: (1) kemampuan guru BK sendiri, (2)
kewenangan guru BK (baik dalam mengadministrasikan maupun
dalam interpretasi hasilnya), (3) ketersediaan instrumen, (4) waktu
yang tersedia, dan (5) dana yang tersedia.

c. Penetapan waktu

Perencanaan waktu yang dimaksud adalah kapan asesmen akan


dilakukan. Penetapan waktu ini sangat erat berhubungan dengan
persiapan pelaksanaan asesmen. Persiapan akan banyak
menentukan keberhasilan suatu asesmen, misalnya
mempersiapkan instrumen, tempat, dan peralatan lain yang
diperlukan dalam pelaksanaan asesmen. Apalagi jika pelaksana
asesmen tersebut bukan guru BK itu sendiri, misalnya karena
instrumen yang digunakan untuk asesmen adalah tes psikologis
(tes intelegensi, inventori kepribadian, tes minat jabatan, dan
sebagainya). Dalam hal ini apabila guru BK tidak memiliki
kewenangan, maka guru BK dapat minta bantuan orang yang
memiliki kewenangan, misalnya psikolog atau orang yang telah
memiliki sertifikasi yang memberikan kewenangan untuk
mengadministrasikan tes dimaksud.

d. Validitas dan reliabilitas

Apabila instrumen yang kita gunakan adalah buatan sendiri atau


dikembangkan sendiri, maka instrumen itu perlu diuji validitas
dan reliabilitasnya. Karena validitas dan reliabilitas merupakan
suatu syarat mutlak suatu instrumen asesmen. Namun apabila
kita menggunakan instrumen yang sudah terstandar, Anda tidak
perlu mencari validitas dan reliabilitas karena instrumen tersebut
sudah jelas memenuhi persyaratan sebagai suatu instrumen.

2. Pelaksanaan
Setelah perencanaan asesmen selesai, selanjutnya adalah
bagaimana melaksanakan rencana yang telah dibuat tersebut. Hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan asesmen adalah
pelaksanaannya harus sesuai dengan manual masing-masing
instrumen. Manual suatu instrumen biasanya memuat:

1. cara mengerjakan
2. waktu yang digunakan untuk mengerjakan asesmen
3. kunci jawaban
4. cara analisis
5. interpretasi.

3. Analisis data
Langkah selanjutnya adalah analisis data, yaitu melakukan analisis
terhadap data yang diperoleh melalui instrumen yang digunakan
untuk mengambil data. Analisis dilakukan dengan mengikuti
petunjuk yang ada dalam manual masing-
masing instrumen. Metode analisis data dalam asesmen
konseling sangat tergantung data yang diperoleh. Misal data yang
diperoleh berbentuk kualitatif atau data kuantitatif.

Apabila data bersifat kualitatif, maka kita melakukan analisis data


kualitatif. Metode analisis data kualitatif misalnya deskriptif
naratif. Wilcox (dalam Ratna Widiastuti, 2010) misalnya
menggunakan pendekatan ”key incident” dalam analisis deskripsi
kualitatif tentang kegiatan pendidikan. Pendekatan key
incident memungkinkan bagi kita untuk memasukkan sejumlah
besar kesimpulan dari bermacam-macam data yang berasal dari
berbagai sumber, misalnya dari catatan lapangan, dokumen
informasi demografi, atau wawancara. Apabila banyak data
kualitatif yang dianalisis sementara asesmen masih berlangsung
maka beberapa analisis dapat ditunda pelaksanaannya sampai
evaluator selesai melakukan asesmen. Saat melakukan analisis
data kualitatif, perlu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut:
a) yakinkan semua data telah tersedia, b) buatlah salinan data
untuk berjaga-jaga kalau ada yang hilang, c) aturlah data dalam
judul dan masukkan dalam file, d) gunakan sistem kartu-kartu
dalam map, e) periksa kebenaran hasil asesmen.
Apabila data bersifat kuantitatif maka analisis data dilakukan
dengan menggunakan statistik. Dalam bimbingan konseling,
statistik biasa digunakan untuk analisis data hasil tes psikologis,
misalnya tes inteligensi, tes bakat, dan sebagainya. Dewasa ini,
program statistik dapat dengan mudah dilakukan dengan bantuan
komputer, seperti program excel, LISREL, SPSS, dan sebagainya.

4. Interpretasi data
Interpretasi diartikan sebagai upaya mengatur dan menilai fakta,
menafsirkan pandangan, dan merumuskan kesimpulan yang
mendukung. Penafsiran harus dirumuskan dengan hati-hati, jujur,
dan terbuka. Berikut ini adalah hal-hal yang harus ada dalam
interpretasi, yaitu:

1. Komponen untuk menafsirkan / interpretasi hasil analisis data


Interpretasi berarti menilai objek asesmen dan menentukan
dampak
asesmen tersebut. Pandangan evaluator juga mempengaruhi
penafsiran/ interpretasi data. Untuk asesmen yang akan
digunakan untuk membantu fungsi pendidikan, maka hasil
asesmen harus diinterpretasikan sebagai sarana untuk mengetahui
kebaikan klien, dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
tindakan berikutnya bagi orang-orang lain yang berkepentingan/
berwenang (Cronbach dalam Ratna Widiastuti, 2010)).

2. Petunjuk untuk menafsirkan analisis data

Worthen dkk. dalam Ratna Widiastuti, 2010) menyatakan bahwa


para evaluator telah mengembangkan metode yang sistematik
untuk melakukan interpretasi. Diantara metode-metode tersebut
yang sering dipakai akhir-akhir ini adalah: (1)
menentukan apakah tujuan telah dicapai, (2) menentukna apakah
hukum, norma-norma, demokrasi aturan, dan prinsip-prinsip etik
tidak dilupakan, (3) menentukan apakah analisis kebutuhan telah
dikurangi, (4) menentukan nilai pencapaian, (5) bertanya kepada
kelompok penilai, melihat kembali data, menilai keberhasilan dan
kegagalan, menilai kelebihan dan kelemahan penafsiran, (6)
membandingkan variabel-variabel penting dengan hasil yang
diharapkan, (7) membandingkan analisis yang dilaporkan oleh
program yang usahanya sama, dan (8) menafsirkan hasil
analisis dengan prosedur yang menghasilkannya. Namun
demikian, menginterpretasikan data bukan hanya pekerjaan
evaluator saja, akan tetapi evaluator hanya memberikan
pandangan saja dari sekian banyak pandangan.

5. Tindak lanjut
Tindak lanjut adalah menindak lanjuti hasil asesmen atau
penggunaan hasil asesmen dalam konseling. Beberapa kegiatan
tindak lanjut diantaranya adalah apakah konselee perlu
melakukan konseling yang memfokuskan pada aspek yang
berbeda lainnya, apakah klien perlu mendapatkan tritmen tertentu,
atau bahkan bisa jadi konselee perlu mendapatkan rujukan
(refferal) kepada pihak ketiga. Rujukan diperlukan jika guru
pembimbing/ konselor tidak mempunyai kewenangan atau tidak
mempunyai kemampuan untuk menangani masalah yang dihadapi
klien. Misalnya jika klien sudah mengalami gangguan psikotik,
maka klien perlu dirujuk ke psikiater; jika klien mengalami
gangguan dislesia maka perlu dirujuk ke terapis khusus yang
menangani gangguan tersebut.
Untuk konseling yang berbasis individu, maka langkah-langkah
khusus peerlu dilakukan, yaitu dengan cara:

1. menentukan fokus yang akan dinilai (misal cara klien dalam


merespon, ide-ide pemecahan masalah, pengambilan keputusan,
dan sebagainya)
2. menentukan teknik untuk penilaian (misal dengan observasi,
konferensi kasus, atau wawancara)
3. menggunakan teknik penilaian yang telah ditentukan
4. melakukan analisis data yang diperoleh dan membicarakan
hasilnya dengan klien
5. menanggapi data dengan cermat, dan
6. melaporkan data yang telah diolah (laporan hasil konseling)
Sumber:
Hood, A.B., & Johnson, R.W., 1993. Assessment in Counseling: a
Guide to the Use Psychological Assessment
Procedures. American Counseling Assocition
Ratna Widiastuti. 2010. “Asessmen Intrumen Untuk Melakukan
Asesmen dalam Bimbingan dan Konseling”. (online),

Anda mungkin juga menyukai