Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan penduduk yang cepat menyebabkan jumlah bahan pangan


yang diperlukan manusia juga akan semakin bertambah, namun dalam
kenyataannya peningkatan produksi pangan dunia tidak mampu untuk mengejar
kecepatan pertambahan penduduk. Pada tahun 1984 jumlah penduduk dunia
mencapai 4,8 milyar dan diperkirakan akan meningkat menjadi 6,2 milyar pada
tahun 2000 bahkan pada tahun 2050 akan menjadi 10 milyar jiwa. Tahun 2012
penduduk dunia diperkirakan berjumlah 6,7 milyar. Akibat lain dari pertambahan
penduduk adalah diperlukannya lahan yang lebih banyak untuk memenuhi
kebutuhan manusia akan tempat tinggal, sehingga lahan pertanian semakin jauh
berkurang. Apalagi saat ini sangat banyak lahan subur pertanian dialihfungsikan
sebagai tempat aktivitas selain pertanian. Mengingat masalah tersebut, salah satu
alternatif yang dapat dilakukan adalah peningkatan potensi lahan marjinal. Lahan
marjinal merupakan lahan yang bermasalah dan mempunyai faktor pembatas
tinggi untuk tanaman. Salah satu lahan marjinal yang memiliki potensi tinggi
untuk dimanfaatkan di Indonesia adalah lahan pantai, sebab Indonesia merupakan
negara kepulauan yang memiliki beribu-ribu pulau sehingga memiliki pantai yang
sangat luas. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km
dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal.
Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya
baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan
baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan
inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya.
Lahan pantai memiliki berberapa kendala apabila akan digunakan sebagai
lahan pertanian antara lain lahannya yang berupa pasir, kesuburan tanahnya yang
rendah, intensitas cahaya matahari yang tinggi dan kecepatan angin yang tinggi.
Untuk itu dibutuhkan suatu teknologi (manipulasi) lahan agar lahan pantai dapat
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Dalam jangka panjang, pengembangan
lahan pertanian di lahan marjinal untuk lahan pertanian diharapkan dapat
memecahkan masalah ketahanan pangan.
Penerapan teknologi budidaya yang intensif telah membuahkan hasil. Saat
ini lahan pasir pantai selatan telah mampu berproduksi. Beberapa jenis tanaman
dapatditanam di lahan pasir pantai, khususnya hortikultura. Hortikultura yang
telah berhasil dibudidayakan di lahan pasir pantai selatan diantaranya selada,
bayam, cabai merah, dan bawang merah. Usahatani hortikultura di lahan pasir
pantai telah berhasil meningkatan kesejahteraan petani.

B. Tujuan

1. Meningkatkan pemahaman dalam pengelolaan usaha tani hortikultura di lahan


pasir pantai
2. Mengetahui penerapan teknologi tepat guna yang spesifikasi lahan untuk
mengintensifkan pengelolaan usaha tani hortikultura di lahan pasir pantai
II. INTENSIFIKASI USAHA TANI HORTIKULTURA DI LAHAN PASIR
PANTAI

A. Kondisi LahanPasir Pantai

Lahan pasir pantai adalah tanah yang berada di antara pertemuan daratan
dan lautan baik dalam kondisi kering maupun dalam keadaan terendam air yang
dipengaruhi oleh salah satu sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembasan air asin. Selain itu juga dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di
darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar.
Analisis tanah pasir pantai menunjukkan bahwa tanah ini didominasi oleh
fraksi pasir (> 95 %), sedang fraksi debu dan lempung masing-masing di bawah 3
%. Bahan organik tanah pasir sangat rendah (< 1 %) dan sebagai konsekuensinya
tanah ini mempunyai sifat menyangga ion (unsur hara) dan kemampuan
menyekap air jugarendah (KPK 4,0-5,0 cmol/kg). Kandungan N-total 0,05-0,08
%, Ptotal 100-150 ppm, Ca-tersedia 0,2-0,6 cmol/kg, K-tersedia 0,09-0,2 cmol/kg,
Mg-tersedia 0,2-0,6 cmol/kg, dan DHL sangat rendah yakni 0,07-0,22. Di
samping itu, tanah pasir memiliki sifat fisik sebagai berikut: tekstur pasir, struktur
butiran sampai kersai, drainasi baik, konsistensi lepas-lepas, permeabilitas sangat
cepat (150 cm/jam), berat volume 1,58 mg/m3, kapasitas lapangan 2,3-4,10 %,
titik layu permanen 0,75-1,05 %, lengas tersedia 1,55-3,05 %, pori makro 20,32 %
dan pori mikro 2,04 % (Yudono et al., 2002 cit. Kastono 2007).
Tanah pasir pantai merupakan tanah muda (baru) yang dalam klasifikasi
USDAtermasuk ordo Entisol pantai, tepatnya subordo Psamment dan grup
Udipsamment (SoilSurvey, 1998). Udipsamment pada umumnya belum
mengalami perkembangan horizon,bertekstur kasar, struktur kersai atau berbutir
tunggal, konsistensi lepas-lepas sampaigembur dan kandungan bahan organik
rendah. Di Indonesia tanah ini dijumpai diCiherang dan sekitar Yogyakarta dan
daerah-daerah sekitar pantai (Darmawijaya, 1992)
Struktur lepas pada tanah ini menyebabkan rentan terhadap erosi angin
maupunair. Permukaan lahan pasir pantai sering berubah mengikuti arah angin
kencang (13-15m/detik). Kondisi tersebut di atas menunjukkan masih banyaknya
faktor pembataspertumbuhan sehingga sangat kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan tanaman. Gunamengubah kondisi lahan mendekati optimal bagi
pertumbuhan tanaman, khususnyakomoditas hortikultura (Mulyanto et al., 2001).

B. Kendala Pertanian Lahan Pasir Pantai

Kendala utama dalam pemanfaatan tanah pasir yaitu miskin mineral,


lempung, bahan organik dan tekstur yang kasar. Tekstur yang kasar dan struktur
berbutir tunggal menyebabkan tanah ini bersifat porus, aerasinya besar, dan
kecepatan infiltrasinya tinggi. Keadaan tersebut menyebabkan pupuk yang
diberikan mudah terlindi. Pada umumnya udipsamment mempunyai bahan induk
dari gunung berapi cukup kaya unsur hara tetapi kekurangan unsur N. Akan tetapi
unsur hara tersebut masih dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman karena
belum mengalami pelapukan lebih lanjut. Untuk mempercepat proses pelapukan
tersebut diperlukan pemupukan dengan bahan organi yaitu pupuk kandang atau
pupuk hijau (Munir, 1996)
Rendahnya luas permukaan tanah menyebabkan kemampuan
mengabsorbsi dan menyimpan air, batas plastis dan cairnya makin rendah.
Kapasitas pertukaran kation (KPK) dipengaruhi oleh jumlah muatan negati pada
permukaan jerapan. Jumlah muatannegatif ditentukan oleh luas permukaan,
sehingga kapasitas pertukaran kation tergantung pada tekstur tanah, kandungan
bahan organik dan mineral lempung. Makin kasar tekstur tanahnya, makin rendah
luas permukaannya dan makin rendah kapisatas pertukaran kationnya. Muatan
negatif dapat berasal dari bahan organik, maka peranan bahan organik sangat
menentukan besarnya nilai kapasitas pertukaran kation. Rendahnya kandungan
bahan organik dalam tanah pasiran menyebabkan suasana lingkungan yang
kurang sesuai bagi perkembangbiakan mikroorganisme.
Selain permasalahan mengenai sifat-sifat tanah pasiran, faktor iklim
didaerah pantai juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan pengelolaan
tanaman. Keberhasilan produksi tanaman mensyaratkan sumber daya iklim seperti
penyinaran, matahari, CO2 dan air secara efesien. Pentingnya pengelolaan air bagi
terhadap ketersediaan N dalam tanah, pada kondisi kelebihan atau kekurangan air.
Kelebihan air dapat membatasi hasil tanaman, demikian juga rsponnya terhadap N
akan terbatasi.nTingginya intensitas sinar matahari yang sampai ke permukaan
tanah menyebabkan tingginya suhu udara atau tanah, sehingga memacu laju
evapontranspirasi semakin besar. Adanya angin dengan kecepatan tinggi dan
membawa kadar garam tinggi secara terus menerus dan meruak maupun
mematikan tanaman baik langsung maupun tidak langsung.
Terbukanya lahan menyebabkan suhu 0 permukaan tanah mencapai 55-60
0C selama kurang lebih 4-6 bulan dalam setahun. Struktur lepas pada tanah ini
menyebabkan rentan terhadap erosi angin maupun air. Permukaan lahan pasir
pantaisering berubah mengikuti arah angin kencang (13-15 m/detik). Kondisi
tersebut di atas menunjukkan masih banyaknya faktor pembatas pertumbuhan
sehingga sangat kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena
perlu dilakukan upaya modifikasi lahan dan lingkungan mikroklimat pertanaman
guna mengubah kondisi lahan mendekati optimal bagi pertumbuhan tanaman,
khususnya komoditas hortikultura

C. Teknologi dalam Praktek Budidaya di Lahan Pasir Pantai

Status awal lahan pasir pantai adalah lahan tidur atau lahan yang
dimanfaatkan secara tadah hujan (satu musim tanam setiap tahun) dengan
menambahkan pupuk organik terutama pupuk kandang. Komoditas pertanaman
biasanya adalah kacang tanah, dan sedikit padi gogo atau ubi kayu. Hanya sedikit
lahan yang dimanfaatkan petani, utamanya yang berdekatan dengan tempat
tinggal petani, dan lahan selebihnya tidak termanfaatkan.
Upaya-upaya perbaikan (manipulasi) lahan antara lain berupa
penggunaanlapisan kedap, pencampuran tanah permukaan dengan lempung dan
pupuk organik,penggunaan mulsa penutup permukaan tanah, penggunaan sistem
lorong, hidrologi dan irigasi.

1. Penggunaan Lapisan Kedap

Beberapa bahan sebagai penyekat lapis olah, antara lain: aspal, lempung
padas, semen, dan plastik lembaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemakaian plastik lembaran lebih efektif dan efisien (Djadmo et al., 2001 cit.
Yudono et al., 2002). Penggunaan lapisan kedap yang terbuat dari lembaran
plastik berwarna perak-hitam yang ditanam pada jeluk 30 cm dari permukaan
tanah tersebut dimaksudkan untuk menciptakan suatu lapisan kedap guna
mencegah/menghambat agar air irigasi yang diberikan dapat ditahan oleh lapisan
tersebut sehingga ketersediaan air meningkat dan efisiensi pemanfaatan air oleh
tanaman dapat ditingkatkan (Kastono, 2007).
Dengan cara ini pula berarti pelindian (leaching) terhadap unsur hara yang
berasal dari pupuk yang diberikan baik anorganik maupun organik oleh air irigasi
dapat dikurangi, sehingga diharapkan penyerapan unsur-unsur hara oleh akar
tanaman juga dapat ditingkatkan. Dengan penggunaan lapisan kedap diharapkan
dapat mengurangi pemborosan dalam penggunaan air irigasi, hal ini sesuai dengan
kondisi bahwa ketersediaan air untuk irigasi di kawasan ini terbatas.
Pemberian lapisan kedap tergantung dari kebutuhan air tiap jenis tanaman.
Pada tanaman yang kurang membutuhkan lengas dalam jumlah besar seperti
tanaman terong, ternyata menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang kurang baik
apabila diberi perlakuan rekayasa lahan dengan plastik dasar bedengan (Kastono,
2007).

2. Pencampuran Tanah Permukaan Dengan Lempung dan Pupuk Organik

Tanah lempung adalah tanah berukuran lebih kecil dari 2 micron


yangmempunyai mineral tertentu yang menghasilkan sifat plastis bila dicampur
dengan air.Tanah lempung (vertisol atau grumusol) di Indonesia terbentuk pada
tempat-tempatyang tingginya tidak lebih dari 300 meter di atas permukaan laut
dengan topografisedikit bergelombang sampai berbukit, temperatur tahunan rata-
rata 25 0C dengan curahhujan kurang dari 2.500 mm dan pergantian musim hujan
dengan musim kemarau nyata.Bahan induknya terbatas pada tanah bertekstur
halus atau terdiri atas bahan-bahan yangsudah mengalami pelapukan seperti batu
kapur, batu napal, tuff, endapan aluvial danabu vulkanik (Maas, 1997).
Pencampuran tanah permukaan setebal kira-kira 10 cm dengan lempung
danpupuk kandang sapi dimaksudkan untuk terjadinya perubahan sifat tanah,
terutamaadanya peningkatan kesuburan fisika, kimia, dan biologi tanah lapisan
atas yang padadasarnya merupakan mintakat (zone) utama bagi pertumbuhan dan
perkembangan akar tanaman. Di dalam mintakat inilah hampir segala kebutuhan
akar akan air dan unsur hara, serta tempat berpegangnya akar secara mekanis pada
tanah dapat berlangsung baik.
Dengan penambahan lempung dan bahan organik secara bersama-sama
kedalam tanah pasir diharapkan dapat memberikan keuntungan terhadap
perbaikan kualitas struktur tanah. Dengan struktur tanah yang baik serta dengan
perimbangan dan penyebaran pori yang baik, maka agregat tanah dapat pula
memberikan imbangan padat dan ruang pori yang lebih menguntungkan terutama
bagi tanaman.
Kebutuhan bahan organik pada lahan pasiran lebih banyak dari lahan
konvensional yaitu sekitar 15–20 ton per ha sedangkan kebutuhan tanah lempung
berkisar 60 ton/ha. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang
sebanyak 20 ton dapat menekan penggunaan NPK menjadi 200 kg/ ha.
Jumlah pupuk kandang tergantung pada jumlah peternakan yang ada saat
ini.Kebutuhan pupuk kandang semakin meningkat dengan pertambahan luasan
arealpertanian di lahan pasir pantai. Untuk mengantisipasi kekurangan kebutuhan
pupukkandang, maka dapat digunakan bahan pembenah tanah lainnya berupa
kompos danblotong.
Penggunaan kompos dapat untuk meningkatkan porositas, aerasi,
komposisimikroorganisme tanah, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air,
mencegah lapisankering pada tanah, dan menghemat pemakaian pupuk kimia
(Murbandono, 2002 cit.Siahaan 2012).
Blotong adalah limbah industri yang dihasilkan oleh pabrik gula dari
prosesklarifikasi nira tebu. Blotong mempunyai potensi yang besar sebagai pupuk
organikkarena disamping berfungsi sebagai sumber hara yang cukup lengkap,
juga dapatmembantu memperbaiki sifat-sifat tanah. Blotong juga dapat membantu
meningkatkan aktivitas mikrobia tanah, terutama pada tanah-tanah yang
mengandung bahan organik rendah. Penambahan blotong ke dalam tanah akan
meningkatkan jumlah C organik dalam tanah (Triwahyuningsih, 1997).
Blotong atau dikenal dengan sebutan “filter press mud” secara umum
mempunyai bentuk berupa serpihan serat-serat tebu yang mempunyai komposisi
humus, N-total, C/N, PIO3, KIO, CaO, dan MgO3 cukup baik untuk dijadikan
bahan pupuk organik. Blotong dapat memperbaiki fisik tanah, khususnya
meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara dan
memperbaiki drainase tanah (Santoso et al.,2003 cit. Kurniawan 2009).
Tabel 2. Panjang akar, jumlah akar, berat segar akar, berat kering akar, dan nisbah
tajuk/akar jagung pada perlakuan pemberian blotong umur 7 minggu setelah
tanam.
parameter Dosis blotong
0 ton/ha 40 ton/ha 80 ton/ha
Panjang akar 19,050 b 28,250 a 26,083 a
Jumlah akar 23,500 c 48,167 a 42,167 b
Berat segar akar 13,710 b 39,420 a 38,440 a
Berat kering akar 1,703 b 4,762 a 4,345 a
Nisbah tajuk 7,262 b 12,370 a 9,623 ab
Sumber: Triwahyuningsih, 1997.
Keterangan: angka pada tiap parameter yang diikuti huruf sama, menunjukkan
tidak ada beda nyata pada taraf 5

Penambahan tanah lempung 30 % dan pupuk blotong 30 ton/ha


memberikantinggi tanaman tebu dengan pertumbuhan tanaman yang paling cepat
dan tinggi, sertaberat segar dan berat kering paling tinggi dibandingkan pemberian
blotong 0 ton dan 15 ton/ha. Hal ini berkaitan dengan kandungan nutrisi dan
kandungan air yang ada dalam media tanah pasir yang sudah diberi perlakuan
(Kurniawan, 2009).

3. Penggunaan mulsa organik.

Penggunaan mulsa ini sangat penting di lahan pantai karena dapat


menghemat lengas tanah sehingga kebutuhan lengas untuk tanaman terutama pada
musim kemarau diharapkan dapat tercukupi. Mulsa organik pada lahan pasiran
berfungsi untuk mempertahankan dan mengembalikan produktivitas lahan dengan
cara menjaga tanahdari sinar matahari yang berlebihan pada siang hari, menjaga
suhu tanah, menekankehilangan air/evaporasi, menjaga kelembaban tanah dan
mulsa yang melapuk dapatmeningkatkan kadar bahan organik tanah. Mulsa
organik dapat berupa sisa-sisatumbuhan seperti jerami, sekam, daun jagung,
alang-alang dan sebagainya (Syarief,1985 cit. Setiawan 1996).
Dari hasil penelitian pemberian mulsa gliricide dan jerami padi sebanyak
20-30 ton dapat meningkatkan hasil pada tanaman jagung di lahan pantai. Dengan
pemanfaatan bahan organik dari campuran kotoran sapi-jerami padi tersebut,
dapat menyediakan hara nitrogen sepanjang daur hidup tanaman jagung. Dengan
upaya tersebut, maka bahan organik tersebut mampu meningkatkan hasil tanaman
jagung dan mencapai produksi sebesar 95,9% dari produksi lokal dibandingkan
dengan pupuk anorganik (urea) (Anonim, 2010).

4. Pemasangan Pematah Angin (wind breaker).

Fungsi utama wind breaker adalah untuk mereduksi kecepatan angin.


Selain itu juga berfungsi untuk mengurangi kerusakan mekanis karena patah atau
hilangnyaorgan-organ tanaman, kegagalan pembungaan dan penyerbukan, bentuk
habitus danpertumbuhan yang mengalami kelainan serta untuk mengurangi laju
evapotranspirasiyang tinggi. Pematah angin dapat berupa tanaman dan juga
bangunan sementara. Bangunan sementara dapat dibuat dari anyaman bambu,
daun tebu, atau daun kelapa.

5. Penggunaan sistem lorong

Alternatif lain dalam teknologi budidaya yang dapat diterapkan untuk


lahanpantai adalah sistem penanaman lorong (alley cropping). Sistem penanaman
lorongmerupakan sistem penanaman dengan menanam pohon-pohon kecil dan
semak dalamjalur-jalur yang agak lebar dan penanaman tanaman semusim di
antara jalur-jalurtersebut sehingga membentuk lorong-lorong. Tanaman lorong
biasanya merupakantanaman pupuk hijau atau legume tree. Di lahan pantai,
budidaya lorong diterapkanuntuk mengatasi berbagai permasalahan seperti:
intensitas matahari, erosi permukaanoleh angin, dan laju evapotranspirasi. Selain
itu, dapat juga berfungsi sebagai pematah angin sehingga mereduksi kecepatannya
(Setiawan, 1996).
Sementara itu, pematah angin yang bersifat tetap berasal dari tumbuhan
tahunan yang umurnya panjang dan dapat diatur pertumbuhannya. Jenis tumbuhan
yang dapat digunakan, misalnya: kelapa, Accasia, Gliricide, sengon, lamtoro,
bunga turi dan lainlain.

D. Hasil Budidaya di Lahan Pasir Pantai

Menanam tanaman hortikultura di lahan pasir pantai banyak dipraktekkan di


pantai selatan Yogyakarta, sekitar pantai glagah dan pantai samas. Komoditas
pertanian yang telah dikembangkan di kawasan pasir pantai selatan antara lain
bawang merah, cabai, sawi, bayam, kol, buah naga, semangka, melon, dan
pepaya. Hasil penelitian menunjukkan adanya pendapatan yang menguntungkan
dari beberapa komoditas lokal misalnya padi, kacang tanah, jagung, ubikayu, juga
sawi hijau.

Gambar 6. Bawang merah di lahan pasir pantai


III. KESIMPULAN

a) Lahan pasir pantai dapat dimanfaatkan untuk pertanian komoditas pangan


danhortikultura dengan memanipulasi lahan dan rekayasa mikroklimat lahan
pertanian
b) Teknologi yang diterapkan untuk optimalisasi pertanian lahan pasir pantai
berupapenggunaan lapisan kedap, pencampuran tanah permukaan dengan
lempung danpupuk organik, penggunaan mulsa organik, penggunaan sistem
lorong.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Pertanian Lahan Pasir Pantai.


http://www2.bbpplembang.info/index.php?option=com_content&view=article
&id=669&Itemid=.Diakses pada tanggal 8 September 2016.

Anonim. 2006. Sistem Pengairan Sumur Renteng, BPTP, Yogyakarta.


Anonim, 2010. Tingkatkan produktivitas Lahan Pasir Pantai Selatan Kulonprogo.
http://www.umy.ac.id/en/bahan-organik-segar-solusi-rendahnya-jumlah-
lahansubur-pertanian-diy.html. 2011\ Diakses pada tanggal 8 September 2016.

Darmawijaya., I. M. 1992. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press,


Yogyakarta.

Kastono, D. 2007. Aplikasi model rekayasa lahan terpadu guna meningkatkan


peningkatan produksi hortikultura secara berkelanjutan di lahan pasir pantai.
Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Vol 3 (2): 112-120.

Kurniawan, A. 2009. Pengaruh Tanah Lempung dan Blotong yang Diperkaya dan
Digranulasikan terhadap Sifat Fisika dan Kimia Tanah serta Pertumbuhan
Tebu pada Psamment Kabupaten Purworejo. Fakultas Pertanian. Universitas
Gadjah Mada. Skripsi.

Maas, A. 1997. Metode dan Teknik Analisis Data Aspek Geofisika-Kimia. Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) dan Pusat Penelitian lingkungan
Hidup UGM, Yogyakarta.

Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama di Indonesia. Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Setiawan, A. N. 1996. Teknologi budidaya pertanian lahan pantai dan


permasalahannya. Agr UMY 4 (2): 42-45.

Shiddieq, D, B. D. Kertonegoro, W. Sudana. Dan Dariah. 2007. Optimalisasi


Lahan Pasir Pantai Kulon Progo Untuk Pengembangan Tanaman Hortikultura
Dengan Teknologi Inovatif Berwawasan Agribisnis. Kerjasama Lembaga
Penelitian UGM dengan BBPP Yogyakarta.

Siahaan, R.M.H. 2012. Pengaruh Takaran Kompos Sampah Pasar terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Hitam (Glycine max (L) Merill). Fakultas
Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Skripsi.

Sriyadi. 1999. Studi komparatif usahatani lahan pantai irigasi sumur pompa dan
irigasi sumur tanpa pompa di kecamatan Panjatan kabupaten Kulon Progo. Agr
UMY (1): 31-35.
Triwahyuningsih, N. 1997. Pengaruh pemberian pupuk organik blotong terhadap
pertumbuhan akar dan hasil jagung (Zea mays, L) pada tanah pasir pantai. Agr
UMY 5 (3): 1-5.

Yuwono, N.W. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. Jurnal


Ilmu Tanah dan Lingkungan 9 (2): 137-141.

Anda mungkin juga menyukai