Anda di halaman 1dari 24

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muh Aditya Manulusi (10542019810)


Indra Rizal Rasyid (10542021010 )
Judul Referat : Dermatitis Atopik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar, Mei 2015

Pembimbing

dr. H. A. Amal Alamsyah Makmur, M.Si, Sp. KK

KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, rahmat,
kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan
laporan kasusini dengan judul Dermatitis Atopik.Tugas ini ditulis sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin.
Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas laporan kasus ini.
Namun berkat bantuan, saran, kritikan dan motivasi dari pembimbing serta teman-
teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
mendalam kepada dr.H.A.Amal A.M, M.Si, Sp.KK selaku pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga
selesai.
Penulis menyadari bahwa laporan kasusini masih memiliki kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk menyempurnakan laporan kasus ini.Akhir kata, penulis
berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, Mei 2015

Penulis

A. PENDAHULUAN
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai pada
bayi, anak dan dewasa. Kejadian penyakit ini diamati semakin meningkat di
berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Penatalaksanaan dermatitis atopik
memerlukan pendekatan secara holistik dan terintegrasi untuk dapat mengontrol
penyakit dengan baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien.1
Dermatitis atopik ( D.A ) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita ( D.A, rhinitis alergi, dan atau asma bronkial).
Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasis dan
likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksura).3 Kata atopi diambil dari bahasa
Yunani atopia yang berarti sesuatu yangtidak lazim, different atau out of place,
dan istilah ini untuk menggambarkansuatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan
(hipersensitivitas)dan disebabkan oleh paparan benda asing yangterdapat di dalam
lingkungan kehidupan manusia. 6
Dermatitis atopik merupakan inflamasi kulit yang bersifat kronik berulang,
disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu, dan berhubungan
dengan penyakit atopi lainnya, misalnya rhinitis alergik, konjungtivitis alergik dan
asma bronkial. Kelainan ini dapat terjadi pada semua usia. 1
Dermatitis atopik memang penyakit genetik multifaktorial yang timbul
sebagai akibat dari interaksi yang rumit dari banyak gen dengan faktor
lingkungan. Telah lama disimpulkan bahwa kecenderungan genetik untuk
penghalang kulit yang rusak merupakan faktor utama yang dapat mendukung
peningkatan penetrasi alergen, sehingga memudahkan terjadinya respon inflamasi
alergi.2
Ada 3 fase klinis dermatitis atopi yaitu dermatitis atopi tipe infant (2 bulan
– 2 tahun), dermatitis atopi tipe anak (2 – 10 tahun) dan dermatitis atopi pada
remaja dan dewasa. Gejala pada bayi biasanya mulai pada wajah kemudian
menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesi biasanya basah, eksudatif,
berkrusta dan sering terjadi infeksi sekunder. Pada kurang dari setengah kasus
kelainan kulit akan menyembuh pada usia 18 bulan, dan sisanya akan berlanjut
menjadi bentuk anak. Lesi dermatitis atopi pada anak berjalan kronis akan
berlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapat pada lipat siku,
lipat lutut, leher dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering terkena dengan
lesi eksudatif dan kadang-kadang terjadi kelainan kuku.3,4,5
B. EPIDEMIOLOGI
Angka prevalensi meningkat pesat pada dekade terakhir, prevalensi pada bayi
dan anak sekitar 10-20%, sedangkan pada dewasa sekitar 1-3%.Pada tahun 2012
di Indonesia terdapat 1,1% pasien DA berusia 13-14 tahun.1
Pada tahun 2013 dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak
yaitu RS Dr.Hasan Sadikin Bandung, RS Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS
Adam Malik Medan, RS Dr.Kandou Manado, RSU Palembang, RSUD Sjaiful
Anwar Malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara 2356 pasien baru (11,8%)1
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A makin meningkat
sehingga merupakan masalah kesehatan besar, baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Di Negara industri, angka kejadian dermatitis atopi yang
tinggi. Di Amerika, insiden dermatitis atopi sebesar 0,7-2,4% dari populasi dan
paling banyak terjadi pada bayi dan anak. Di negara-negara Eropa, insiden pada
anak (sampai 7 tahun) yang lahir sebelum tahun 1960 kurang dari 3%, pada anak
yang lahir antara 1960 dan 1970 sebesar 4-8% dan pada anak-anak yang lahir
sesudah tahun 1970 sebesar 8-12%. Dari penelitian terakhir, insiden di Eropa
menjadi 15%. Survei di negara berkembang menunjukkan 10-20% bayi.7,8,9
C. ETIOPATOGENESIS
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam pathogenesis D.A, misalnya faktor
genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik dan imunologik. Konsep dasar
terjadinya D.A adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel
yang berasal dari sumsum tulang.3
Kadar Ig.E dalam serum penderita D.A dan jumlah eosinophil dalam
darah perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik
antara D.A dan alergi saluran napas.Karena 80% anak dengan D.A mengalami
asma bronkial atau rhinitis alergik. Dari percobaan pada tikus yang disentisisasi
secara epikutan dengan antigen akan terjadi dermatitis alergik, IgE dalam serum
meningkat, eosinophilia saluran napas dan respons berlebihan terhadap metakolin.
Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan allergen pada D.A akan
mempermudah timbulnya asma bronkial.3
Berikut ini 4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit atopi:3
- Kelas I : gen predisposisi untuk atopi dan respons umum IgE.
a) reseptor FceRI-B, mempunyai afinitas tinggi untuk IgE (kromosom 11q12-
13)
b) gen sitokin IL-4 (kromosom 5)
c) gen reseptor-αIL-4 (kromosom 16)
- Kelas II : gen yang berpengaruh pada respon IgE spesifik
a) TCR (kromosom 7 dan 14)
b) HLA (kromosom 6)
- Kelas III : gen yang mempengaruhi mekanisme non-inflamasi (misalnya
hiperresponsif bronkial).
- Kelas IV : gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak diperantarai IgE.
a) TNF (kromosom 6)
b) Gen kimase sel mast (kromosom 14)

Genetik
Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL-4,
IL-13 dan GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH-2.Ekspresi gen IL-4
memainkan peranan penting dalam ekspresi dermatitis atopik. Perbedaan genetik
aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi D.A. Ada hubungan
yang erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mast dan dermatitis atopik,
tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik. Varian genetik kimase sel
mas, yaitu serine protease yang disekresi oleh sel mast di kulit, mempunyai efek
spesifik pada organ dan berperan dalam timbulnya D.A.3
Respons imun pada kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam pathogenesis peradangan kulit D.A.
Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1 menurun. Pada
kulit normal (tidak ada kelainan kulitnya) penderita D.A bila dibandingkan
dengan kulit normal orang yang bukan penderita D.A, ditemukan lebih banyak
sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-3, tetapi bukan IL-5, IL-12 atau
IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit
yang tidak ada lesinya penderita D.A, menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-
sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5 dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak
banyak mengandung sel yang mengeskpresikan mRNA IFN-y atau IL-12. Lesi
kronis D.A mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA IL-4
dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekspresikan mRNA IL-5, GM-CSF, IL-12
dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan akut.Peningkatan IL-12 pada lesi
kronis D.A berperan dalam perkembangan TH1.3
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y yang
dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.3
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit dermatitis atopik yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinophil, limfosit T dan monosit masuk ke dalam
kulit.3
Pada dermatitis atopik kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinophil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi
GM-CSF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans dan
eosinophil. Produksi TNF-α dan IFN-y pada D.A memicu kronisitas dan
keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-α dan IFN-y pada keritinosit epidermal akan
meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed
dan secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-α dan sitokin
proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya
peradangan di kulit dermatitis atopik.3
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, seangkan IL-12 yang diproduksi
oleh makrofag, sel berdendrit atau eosinophil menginduksi TH1. Subunit reseptor
IL-12Rβ2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2, sedangkan ekspresi IL-12Rβ2
dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-2, IFN-α dan IFN-γ. IL-4
juga menghambat produksi IFN-γ dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan
basophil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel
T, sel mas/basophil pada dermatitis atopik akan merangsang perkembangan sel
TH2.3
Sel mononuclear penderita dermatitis atopik meningkatkan aktivitas enzim
cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) – phosphodiesterase (PDE), yang akan
meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE
dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE (PDEinhibitor).
Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga meningkat; kedua produk ini
menghambat IFN-γ yang dihasilkan oleh sel T.3
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A adalah abnormal, dapat
secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat
mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat;
sel ini mampu mempresentasikan allergen tungau debu rumah (D. pteronyssinus)
kepada sel T. SL mengandung IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan
sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat
untuk menstimulasi sel T naïve sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.3
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu
FcεRI, FcεRI (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FcεRI mempunyai
afinitas kuat untuk mengikat IgE, IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik
FcεRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas
kadar ekspresi FcεRI di permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi ekzematosa
D.A tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FcεRI dan kadar IgE dengan
afinitas tinggi (FcεRI) juga ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.3
Kadar seramid pada kulit penderita dermatitis atopik berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss = TEWL) melalui epidermis
dipermudah. Hal ini mempercepat absorbs antigen ke dalam kulit. Sebagaimana
diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap allergen menimbulkan repsons TH2
yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalur udara, maka kulit yang
terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif.3

Respons sistemik
Jumlah IFN-γ yang dihasilkan oleh sel mononuclear darah tepi penderita
D.A menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat.IFN-γ
menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel
T. Sel T spesifik untuk allergen di darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4,
IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-γ.IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang
menginduksi transkripsi pada ekson Cε sehingga terjadi pembentukan IgE.IL-4
dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah,
misalnya VCAM-1 (Vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinophil dan
menurunkan fungsi sel TH1.3
Sel monosit di darah tepi penderita dermatitis atopik diaktivasi,
mempunyai insidensi apoptosis spontan rendah, tidak responsive terhadap induksi
apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya produksi
GM-CSF oleh monosit yang beredar pada dermatitis atopik.3
Perubahan sistemik pada dermatitis atopik adalah sebagai berikut;3
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap allergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan,
aeroallergen, mikroorganisme, toksin bakteri dan autoalergen.
- Ekspansi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit
meningkat.
- Pelepasan histamine dari basophil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
- Sekresi IFN-γ oleh sel TH-1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-10
dan PGE2.
Berbagai factor pemicu
Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam patogenesia D.A., tetapi
tidak biasa terjadi pada penderita D.A yang lebih tua. Makanan yang paling sering
ialah telur, susu, gandum, kedele dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi pada
penderita D.A karena induksi allergen makanan dapat berupa dermatitis
ekzematosa, urtikaria, kontak urtikaria atau kelainan mukokutan yang lain. Hasil
pemeriksaan laboratorium dari bayi dan anak-anak kecil dengan D.A sedang atau
berat, menunjukkan reaksi positif terhadap tes kulit dadaan (immediate skin test)
dengan berbagai jenis makanan.Reaksi positif ini diikuti kenaikan mencolok
histamine dalam plasma dan aktivasi eosinophil.Sel T spesifik untuk allergen
makanan juga berhasil diklon dari lesi penderita D.A.3
Dari percobaan buta ganda dengan placebo dan tungau debu rumah
(TDR), ditemukan penderita D.A setelah menghirup TDR mengalami ekserbasi
ditempat lesi lama dan timbul pula lesi baru. Demikian pula setelah aplikasi
epikutan dengan aeroallergen (TDR, bulu binatang, kapang) melalui uji temple
pada kulit penderita atopi tanpa lesi, terjadi reaksi ekzematosa pada 30-50%
penderita D.A, sedangkan pada penderita alergi saluran napas dan relawan sehat
jarang yang menunjukkan hasil positif. Hasil pemeriksaan laboratorium
ditemukan pada sebagian besar penderita D.A. IgE spesifik untuk allergen
hirup.Juga pada 95% penderita D.A mempunyai IgE spesifik terhadap TDR,
sedangkan pada penderita asma bronkial hanya 42%.Derajat sensitisasi terhadap
aeroallergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan D.A.3
Penderita D.A. cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus dan jamur
karena imunitas selular menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih dari 90%
lesi kulit penderita D.A, ditemukan S.Auereus, sedangkan pada orang normal
hanya 5%. Jumlah koloni S.aureus pada lesi inflamasi kulit penderita D.A dapat
mencapai 107 per cm2, namun tidak ada tanda klinis superinfeksi.Akan tetapi bila
diobati dengan kombinasi antibiotika dan kortikosteroid topical, hasilnya lebih
baik dibandingkan kalau hanya dengan kortikosteroid topical saja.S.aureus
melepaskan toksin yang bertindak sebagai superantigen (misalnya: enterotoksin
A, B dan toxic shock syndrome toxine-1) yang menstimulasi aktivasi sel T dan
makrofag.Sebagian besar penderita D.A membuat antibodi IgE spesifik terhadap
superantigen stafilokokus yang ada di kulit. Apabila ada super antigen menembus
sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga
memperparah D.A.6

D. GAMBARAN KLINIS
Diagnosis D.A didasarkan pada konstelasi gambaran klinis (Tabel 14-1).
D.A tipikal mulai selama bayi.Kisaran 50% timbul pada tahun pertama kehidupan
dan 30% timbul antara 1-5 tahun. Kisaran 50 dan 80% pasien D.A bayi akan
mendapat rhinitis alergika atau asma pada masa anak. 3
Lesi kulit
Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih parah menjelang
senja dan malam.Sebagai konsekuensi keluhan gatal adalah garukan, prurigo
papules, likenifikasi, dan lesi kulit eksematosa.Lesi akut ditandai keluhan gatal
intens, papul eritem disertai ekskoriasi, vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat
serosa.Lesi subakut ditandai papul eritem, ekskoriasi, skuamasi. D.A kronik
ditandai oleh plakat kulit tebal, likenifikasi (accentuated skin markings), dan
papul fibrotik (prurigo nodularis).3
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan aktivitas
penyakit. Pada bayi, D.A umumnya lebih akut dan terutama mengenai wajah,
scalp, dan bagian ekstensor ekstremitas. Daerah diaper (popok) biasanya tidak
terkena.Pada anak yang lebih tua, dan pada yang telah menderita dalam waktu
lama, stadium penyakit menjadi kronik dengan likenifikasi dan lokalisasi
berpindah ke lipatan fleksura ekstremitas.3
Dermatitis atopik sering mereda dengan pertambahan usia, dan individu dewasa
tersebut mempunyai kulit yang peka terhadap gatal dan peradangan bila terpajan iritan
eksogen. Eksema tangan kronik mungkin merupakan manifestasi primer dari banyak
orang dewasa dengan D.A.3
Dermatitis atopik dapat dibagai menjadi 3 fase, yaitu D.A infantil (terjadi
pada usia 2 bulan sampai 2 tahun), D.A anak (2 sampai 10 tahun), dan D.A pada
remaja dan dewasa.3,10
1. Dermatitis Atopik Infantil ( Usia 2 bulan sampai 2 tahun )

Color Atlas of Pediatric Dermatology Samuel


Weinberg, Neil S. Prose, Leonard Kristal Copyright
2008, 1998, 1990, 1975, by the McGraw-Hill
Companies, Inc. All rights reserved.

Dermatitis atopik biasanya dimulai selama bayi. Sekitar 50%-60% pasien


mengembangkan penyakit ini pada tahun pertama kehidupan dan tambahan 30%
antara usia 1 dan 5 tahun.11 Antara 50% dan 80% pasien dengan D.A berkembang
menjadi rhinitis alergi atau asma pada saat anak-anak. Banyak dari pasien
mengatasi D.A mereka karena mereka berkembang menjadi alergi pernapasan.3
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,
biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi dimulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema,
papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya
berbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ketempat yang lain yaitu: skalp, leher,
pergelangan tangan, lengan, dan tungkai. Bila anak sudah mulai merangkak lesi
ditemukan dilutut. Daerah popok biasanya terhindar. Biasanya anak mulai
menggaruk setelah umur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat menganggu
sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi D.A
infantile eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta, dan dapat mengalami infeksi.
Lesi dapat meluas generalisata, bahkan walaupun jarang dapat terjadi eritroderma.
Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif.10,11
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar
penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi
berlanjut menjadi bentuk anak.3

2. Dermatitis Atopik pada Anak ( Usia 2 sampai 10 tahun )

Atopic Dermatitis in Children


Medicalpicturesinfo.com
Pola distribusi dan reaksi
kulit bervariasi sesuai dengan
usia pasien dan aktivitas penyakit. Selama masa kanak-kanak D.A umumnya lebih
akut dan terutama melibatkan wajah, kulit kepala, dan ekstensor pada
ekstremitas.11 Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri.
Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan
sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan
bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang dimuka.13 Rasa gatal menyebabkan
penderita sering menggaruk sehingga dapat terjadi erosi, likenifikasi, mungkin
juga dapat mengalami infeksi sekunder. Penderita sensitif terhadp benang wol,
bulu kucing, dan anjing. Dermatitis atopik berat yang melebihi 50% permukaan
tubuh dapat memperlambat pertumbuhan.3,10,11
3. Dermatitis Atopik pada Remaja dan Dewasa
Atopic Dermatitis in adult
Accesed :
https://www.aad.org/dermatology-a-to-
z/diseases-and-treatments/a---d/atopic-
dermatitis/signs-symptoms Dermatitis atopik sering
sembuh pada usia yang lebih
tua namun saat dewasa kulit rentan terhadap gatal-gatal dan peradangan bila
terkena iritan eksogen. Eksim tangan kronis mungkin bermanifestasi banyak pada
orang dewasa dengan D.A.11
Lesi kulit D.A pada bentuk ini dapat berupa plak popular-eritematosa dan
berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A remaja lokalisasi lesi
dilipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Pada D.A
dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir, vulva,
puting susu, atau scalp namun letaknya simetris. 10 Kadang erosi meluas dan paling
parah di daerah lipatan, mengalami likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering
terjadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi. Lesi sangat gatal terutama pada malam hari waktu istirahat. Pada
orang dewasa sering mengeluh penyakitnya kambuh ketika mengalami stress.
Pada umumnya D.A remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung
menurun dan membalik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita D.A
yang sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan
eksogen.3
E. PENILAIAN DERAJAT KEPARAHAN D.A
Three items severity score (TISS)
Penilaian intensitas eritema ,edema/papul dan ekskoriasi dengan nilai 0-3. Serupa
dengan Score Of Atopic Dermatitis (SCORAD), tiap penilaian di lakukan pada
lesi yang paling rerpresentatif. Skor TISS berkisar antara 0-9.1
Indeks SCORAD
Indeks SCORAD di kembangkan oleh European Task Force on Atopic (ETFAD)
pada tahun 1993 dan merupakan salah satu alat ukur yang paling sering di
gunakan untuk menilai derajat keparahan D.A. Saat ini, indeks SCORAD telah di
rekomendasikan untuk di gunakan pada setiap penelitian D.A terutama pada uji
klinis. 1
Penilaian SCORAD
1. Luas lesi kulit (skor =0-100 )
Luas lesi kulit yang di hitung adalah lesi inflamasi dan tidak mencakup
kulit kering , dengan menggunakan “rule of nine” dan lesi di gambarkan
pada lembar evaluasi. Luas satu telapak tangan pasien menggambarkan
1% luas permukaan tubuh. Pada pasien berusia di bawah 2 tahun terdapat
sedikit perbedaan penilalian “rule of nine” yakni pada daerah kepala dan
tungkai bawah.1
2. Intensitas morfologi lesi (skor =0-18 )
Morfologi lesi menilai eritema, edema/papul, eksudasi/krusta, ekskoriasi,
likenifikasi dan kulit kering. Setiap morfologi lesi di nilai intensitasnya
berdasarkan panduan gambar atau foto (0= tidak ada lesi, 1= ringan, 2=
sedang, 3= berat).1

3. Keluhan Subjektif (skor =0-20 )


Penilaian keluhan subjektif terhadap rasa gatal dan gangguan tidur selama
3 hari terkhir. Penilaian dilakukan dengan menggunakan visual analog
scale (VAS) yang di nyatakan dalam skor 0-10 untuk masing-masing
kriteria.1

Indeks SCORAD adalah hasil penjumlahan A/5 + 7B/2 + C yaitu A =luas lesi, B
= intensitas morfologi lesi dan C =keluhan subjektif pasien.
Objective SCORAD merupakan modifikasi indeks SCORAD tanpa
memperhitungkan gejala subjektif. Nilai maksimum indeks SCORAD dan
objective SCORAD berturut-turut adalah 103-83. Namun pada objective
SCORAD dapat di berikan tambahan 10 poin jika terdapat lesi yang berat pada
wajah atau tangan ataupun lesi yang mengganggu fungsi sehingga nlai maksimum
objective SCORAD dapat mencapai 93. Derajat keparahan DA berdasarkan indeks
SCORAD dan objective SCORAD.1
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes Laboratorium
Level IgE serum meningkat pada 70-80% pasien D.A, yang disertai
dengan sensitisasi terhadap alergen inhalan dan makanan. Pada 20-30% pasien
D.A, tidak terjadi peningkatan IgE dan pasien ini tidak menunjukkan sensitisasi
terhadap alergen makanan dan inhalan, tetapi beberapa pasien masih mempunyai
IgE sensitization terhadap antigen microbial (toksin S aureus, C albicans atau
Malassezia sympodialis) dan menunjukkan reaksi positif memakai atopy patch
test walaupun tes kulit imediatenya negatif. Sebagian besar pasien menunjukkan
peningkatan eosinofil darah tepi, meningkatnya pelepasan histamine spontan dari
sel basofil.Sel T CLA+ secara spontan melepas IL-5 dan IL-13 yang secara
fungsuional memperpanjang hidup eosinofil dan menginduksi sintesis IgE.3

G. DIAGNOSA
Diagnosis D.A didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka.3
Diagnosis D.A harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.3
Kriteria mayor3
 Pruritus
 Dermatitis dimuka atau ekstensor pada bayi dan anak kecil
 Likenifikasi di fleksura pada anak besar
 Dermatitis kronis atau residif
 Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya serta riwayat asma dan
rhinitis alergi
Kriteria minor3
 Xerosis
 Lipatan infraorbital dennie- morgan
 Infeksi kulit ( khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
 Facial pallor
 Pitriasis alba
 Iktiosis/hiperliniar palamris/ keratosis pilaris
 White dermographism dan delayed blanch response
 Konjungtivitis berulang
 Keratokonus
 Katarak subkapsular anterior
 Peningkatan serum IgE
 Immediate skin test reactivity

Untuk bayi kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:3


Tiga kriteria mayor berupa :
 Riwayat atopi pada keluarga
 Dermatitis dimuka atau ekstensor
 Pruritus
Ditambah tiga kriteria minor :
 Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris Palmaris
 Aksentuasi perifolikular
 Fisura belakang telinga
 Skuama di scalp kronis
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan
pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah
sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian
berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok
kontrol, disamping itu juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji
untuk pengulangan. Oleh karena itu kelompok kerja inggris (UK working party)
yang dikoordinasi William memperbaiki dan menyederhanakan kriteria Hanifin
dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis D.A. yang dapat
diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras,
dan sudah dapat divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membatu dokter
puskesmas membuat diagnosis.3
Pedoman diagnosis D.A yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:3
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian
depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia dibawh
10 tahun).
2. Riwayat asma bronchial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit
atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak dibawah 4 tahun).
3. Riwayat kulitkering secara umum pada tahun terakhir.
4. Adanya dermatitis yang tampak dilipatan (atau dermatitis pada pipi / dahi dan
anggota badan bagian luar anak dibawah 4 tahun).
5. Awitan dibawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak dibawah 4 tahun)3

H. DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis atopik khas pada masa bayi dan masa kanak-kanak tidak sulit
untuk mendiagnosa karena sifatnya morfologi karakteristik, seperti simetris
wajah, leher, dan antecubital dan poplitea fossae, berhubungan dengan alergi
makanan, asma, dan rhinoconjunctivitis alergi. Dermatosis yang mungkin
menyerupai DA termasuk dermatitis seboroik (terutama pada bayi), dermatitis
kontak iritan atau alergi, dermatitis nummular, skabies, psoriasis dengan
eczematous, psoriasis (terutama didaerah palmoplantar), dan iktiosis vulgaris.3
Tabel 1. Differential Diagnosis 3

Diagnosis Deskripsi
1. Dermatitis Seboroik Kelainan kulit terdiri atas eritem dan skuama yang
berminyak agak kekuningan, batasnya agak kurang
jelas. Predileksi di daerah seboroik, seperti dahi,
glabela, telinga posaurikuler, dan leher. Selain
tempat tersebut, terdapat di nasolabial, daerah
sentral, areola mammae, lipatan bawah mammae
pada wanita, interskapular, umbilicus, lipat paha
dan daerah anogenital.
DS pada bayi terjadi pada bulan pertama kelahiran,
jarang pada usia sebelum akil baligh dan mencapai
puncak pada umur 18-40 tahun. Sering terjadi pada
pria daripada wanita.
2. Dermatitis Kontak Kerusakan kumulatif pada barrier kulit seperti
Iritan sabun dan deterjen. Gejala klinis sama dengan DA
tapi lokasi DKI pada daerah yang banyak terpajan
zat iritan, misalnya jari.
3. Dermatitis Kontak Merupakan reaksi hipersensitivitas. Bercak
Alergi eritematosa yang berbatas jelas, edema,
papulovesikel, vesikel, bulla dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi. Bila kronis kulit
terlihat kering, berskuama, papul, likenifikasi.
Predileksi di scalp, telapak tangan, dan kaki.
4. Dermatitis Nummular Lesi berbentuk mata uang atau agak lonjong,
berbatas tegas dengan eflorusensi papulovesikel,
dan vesikel, mudah pecah sehingga basah. Dapat
meluas kesamping dengan karateristik eritematosa
dan sedikit edematosa. Predileksi yaitu tungkai
bawah, badan, lengan, dan punggung tangan.
5. Skabies Keluhan gatal terutama malam hari, eflorusensi
papul, vesikel, urtika, dan lain-lain. Bila digaruk
timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi
sekunder. Predileksinya yaitu sela-sela jari tangan ,
tangan bagian polar, pada pria bagian genital
eksternal. Dapat ditemukan pada anggota keluarga
yang lain.

I. TERAPI

1. Terapi topikal
A. Hidrasi kulit.
Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis yang
berkontribusi untuk terjadinya lesi mikro kulit yang dapat menjadi jalan masuk
pathogen, iritan dan alergen. Problem tersebut akan diperparah selama dalam keadaan
dingin dan lingkungan kerja tertentu. Lukewarm soaking baths minimal 20 menit
dilanjutkan dengan occlusive emollient (untuk menahan kelembaban) dapat
meringankan gejala. Terapi hidrasi bersama dengan emolien menolong mngembalikan
dan memperbaiki sawar lapisan tanduk, dan dapat mengurangi kebutuhan steroid
topical11
B. Steroid topikal.
Karena efek samping potensial, pemakaian steroid topikal hanya untuk
mengontrol DA eksaserbasi akut. Setelah control DA dicapai dengan pemakaian steroid
setiap hari, control jangka panjang dapat dipertahankan pada sebagian pasien dengan
pemakaian fluticasone 0.05% 2 x/minggu pada area yang telah sembuh tetapi mudah
mengalami eksema. Steroid poten harus dihindari pada wajah, genitalia dan
daerah lipatan. Steroid dioleskan pada lesi dan emolien diberikan pada kulit yang
tidak terkena. Steroid ultra-poten hanya boleh dipakai dalam waktu singkat dan
pada area likenifikasi (tetapi tidak pada wajah atau lipatan). Steroid mid-poten
dapat diberikan lebih lama untuk DA kronik pada badan dan ekstremitas. Efek
samping local meliputi stria, atrofi kulit, dermatitis perioral, dan akne rosasea.11
C. Inhibitor kalsineurin topikal
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan sebagai
imunomodulator nonsteroid. Salap takrolimus 0.03% telah disetujui sebagai terapi
intermiten DA sedang-berat pada anak ≥ 2 tahun dan takrolimus 0.1% untuk
dewasa. Krim pimekrolinus 1% untuk anak ≥ 2 tahun dengan DA ringan-sedang.
Kedua obat efektif dan dengan profil keamanan yang baik untuk terapi 4 tahun bagi
takrolimus dan 2 tahun untuk pimekrolimus. Kedua bahan tersebut tidak menyebabkan
atrofi kulit, sehingga aman untuk wajah dan lipatan; dan tidak menyebabkan
peningkatan kecenderungan mendapat superinfeksi virus. 11
D. Preparat ter
Preparat ter batubara mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada
kulit tetapi tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter dapat mengurangi potensi
steroid topikal yang diperlukan pada terapi pemeliharaan DA kronis. Produk ter
batubara baru telah dikembangkan sehingga lebih dapat diterima pasien berkaitan
dengan bau dan mengotori pakaian. Sampo mengandung ter dapat menolong
untuk dermatitis kepala. Preparat ter tidak boleh diberikan pada lesi kulit radang
akut, karena dapat terjadi iritasi kulit. Efek samping ter di antaranya folikulitis dan
fotosensitif. 11
2. Terapi Sistemik
A. Steroid sistemik.
Pemakaian prednison oral jarang pada DA kronik. Beberapa pasien dan
dokter lebih menyukai pemberian steroid sistemik karena terapi topical dan
hidrasi kulit memberikan hasil yang lambat. Perlu diingat, bahwa hasil yang
dramatis oleh steroid sistemik sering disertai rebound flare berat DA setelah steroid
dihentikan. Untuk DA eksaserbasi akut dapat diberikan steroid oral jangka
pendek. Bila ini diberikan, perlu dilakukan tapering dosis dan memulai skin care,
terutama dengan steroid topikal dan frequent bathing, dilanjutkan dengan
pemberian emolien untuk cegah rebound flare DA. 11
B. Siklosporin.
Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terutama
terhadap sel T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Agen mengikat sitopilin,
dan komplek ini seterusnya menekan kalsineurin (molekul yang diperlukan
memulia transkripsi gen sitokin. Pasien DA dewasa dan anak yang refrakter
terhadap terapi konvensional, dapat berhasil dengan siklosporin jangka pendek.
Dosis 5 mg/kg umumnya dipakai secara sukses dalam pemakaian jangka pendek
dan panjang (1 tahun), sedang beberapa peneliti lain memakai dosis tak
bergantung berat badan untuk dewasa, dosis rendah (150 mg) atau 300 mg (dosis
tinggi) perhari memakai siklosporin mikroemulsi. Terapi siklosporin disertai
dengan menurunnya penyakit kulit dan perbaikan kualitas hidup. Penghentian
terapi dapat menghasilkan kekambuhan (beberapa pasien tetap remisi lama).
Meningkatnya kreatinin serum atau yang lebih nyata gengguan ginjal dan
hipertensi adalah efek samping spesifik yang perlu diperhatikan pada terapi
siklosporin. 11
C. Antimetabolit.
Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin yang digunakan
sebagai imunosupresan pada transplantasi organ, telah pula digunakan dalam
terapi penyakit kulit inflamatori. Studi open label melaporkan MMF oral (2 g/h)
jangka pendek, dan monoterapi menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa
yang resisten terhadap obat lain (steroid oral dan topical, PUVA). Obat tersebut
ditoleransi baik (hanya 1 pasien mengalami retinitis herpes). Supresi sumsum
tulang (dose-related) pernah dilaporkan. Bila obat tidak berhasil dalam 4-8
minggu, obat harus dihentikan. 11
D. Allergen immutherapy.
Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti efektif dalam terapi DA.
Penelitian terbaru, imunoterapi spesifik selama 12 bulan pada dewasa dengan DA
yang disensitasi dengan allergen menunjukkan perbaikan pada pemyakit dan
pengurangan pemakaian steroid. 11
E. Probiotik.
Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG) saat perinatal,
menunjukkan penurunan insiden DA pada anak berisiko selama 2 tahun pertama
kehidupan. Ibu diberi placebo atau lactobasilus GG perhari selama 4 minggu
sebelum melahirkan dan kemudian baik ibu (menyusui) atau bayi terus diberi
terapi tiap hari selama 6 bulan. Hasil di atas menunjukkan bahwa lactobasilus GG
bersifat preventif yang berlangsung sesudah usia bayi. Hal ini terutama didapat
pada pasien dengan uji kulit positif dan IgE tinggi. 11

J. KOMPLIKASI
1. Masalah mata
Komplikasi yang terjadi pada mata terkait dengan berat D.A sehingga
dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan. 11
-
Dermatitis kelopak mata dan blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan
D.A juga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan penglihatan pada
jaringan parut kornea. 11
-
Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi yang lebih serius
dimana penyebabnya tidak diketahui. Kondisi paling sering terjadi pada
anak laki-laki, khususnya yang berumur kurang dari 10 tahun yang memiliki
eksema,asma, atau alergi musiman. 11
-
Katarak dilaporkan dalam literatur, terjadi hingga 21 persen pasien dengan
D.A yang sudah parah. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
skrining rutin untuk katarak pada pasien dengan D.A mungkin tidak produktif
kecuali ada kekhawatiran tentang potensi efek samping dari terapi steroid. 11
2. Infeksi
D.A dapat menjadi rumit pada kulit yang telah terinfeksi oleh virus
berulang sehingga mungkin mencerminkan terjadinya cacat lokal di fungsi sel-T.
Yang paling serius adalah infeksi virus herpes simpleks yang dapat berakibat pada
pasien dari segala usia. 11
Pada pasien D.A, vaksinasi cacar (atau bahkan paparan divaksinasi
individu) dapat menyebabkan letusan luas parah yang muncul sangat mirip
dengan eksim herpeticum. Dengan demikian, pada pasien dengan D.A, vaksinasi
merupakan kontraindikasi kecuali ada risiko jelas cacar. Selain itu, keputusan
mengenai vaksinasi dari anggota keluarga harus mempertimbangkan potensi
eksim vaccinatum dalam kontak rumah tangga. Infeksi jamur superfisial juga
lebih umum pada individu atopik dan dapat berkontribusi pada memburuknya
D.A. 11
Pentingnya S. aureus di D.A didukung oleh pengamatan bahwa pasien
dengan D.A yang parah, bahkan mereka tanpa infeksi yang jelas. dapat
menunjukkan respon klinis terhadap pengobatan dikombinasikan dengan
antibiotik antistaphylococcal dan glukokortikoid topikal. 11
3. Dermatitis pada daerah tangan
Pasien dengan D.A sering berkembang menjadi spesifik, dermatitis kontak
iritan. Hal ini sering diperburuk oleh pembasahan pada daerah tangan yang
berulang dan mencuci tangan dengan sabun yang keras, deterjen dan desinfektan.
Individu yang menderita atopik dengan pekerjaan melibatkan kerja basah rentan
untuk berkembang menjadi dermatitis pada daerah tangan yang lebih keras dalam
pengaturan kerja. Ini adalah penyebab umum dari ketidakmapuan dalam bekerja.11
4. Eksfoliatif dermatitis
Pasien dengan keterlibatan kulit yang luas dapat berkembang menjadi
dermatitis eksfoliatif. Dalam beberapa kasus, penarikan sistemik glukokortikoid
digunakan untuk mengontrol AD parah mungkin fattor pencetus untuk eksfoliatif
eritroderma.10 Hal ini secara umum terkait dengan kemerahan, pengerasan kulit,
sistemik toksisitas, limfadenopati, dan demam. Meskipun komplikasi tersebut ini
jarang terjadi, tetap saja berpotensi mengancam nyawa. Hal ini biasanya karena
superinfeksi, misalnya, dengan racun memproduksi S.aureus atau herpes Infeksi
simpleks berlanjut dengan iritasi kulit yang terus menerus atau terapi yang tidak
10
sesuai. Dalam beberapa kasus, penarikan sistemik glukokortikoid digunakan
untuk mengontrol AD parah mungkin fattor pencetus Untuk eksfoliatif
eritroderma. 11

K. PROGNOSIS
Sulit menentukan prognosis D.A pada seseorang. Sekitar 60% anak-anak
bebas dari gejala D.A saat dewasa muda.16,17 Prognosis lebih buruk bila kedua
orang tuanya menderita D.A. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa
anak dan sering ada kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia
diatas 30 tahun. Penyembuhan spontan D.A yang diderita sejak bayi pernah
dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau
penyakitnya ringan. Sebelumya juga ada yang melaporkan bahwa 84 % D.A anak
berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan DA pada anak yang diikuti
sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65% berkurang gejalanya. Lebih
separuh DA remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.3,15,16
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA yaitu:16
 Dermatitis atopik luas pada anak
 Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial
 Riwayat DA pada orang tua atau saudara kandung
 Awitan (onset) DA pada usia muda
 Anak tunggal
 Kadar IgE serum sangat tinggi

Diperkirakan 30 hingga 50 % D.A infantil akan berkembang menjadi asma


bronchial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai resiko menderita dermatitis
kontak iritan akibat kerja ditangan.3

L. EDUKASI
1. Menghindari faktor-faktor pencetus yang menyebabkan penyakit kambuh,
terutama pada pasien pasien yang mengalami asma bronchial dan rhinitis
alergi.
2. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, dan kebersihan anggota keluarga.
3. Segera konsultasikan ke dokter apabila terdapat kekambuhan pada penyakit
dermatitis atopik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perdoski, Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia,


Ed.I, Centra Communications, Jakarta : 2014. Hal: 1-8
2. Shiohara T, Pathogenesis and Management of Atopic Dermatitis, Curr Probl
Dermal. Basel, Karger, 2011, vol41, pp: vii
3. Sularsito, A. S, Djuanda, Dermatitis dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Eds
(Editors), Edisi 6. Jakarta 2011. Hal : 129-153
4. Tanjung, C. Dermatitis Atopik dalam : Artikel Pengembangan Pendidikan
Keprofesian Berkelanjutan, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2011. Hal : 1-8
5. Williams, H.C. Atopic Dermatitis in : New England Journaal of Medicine,
University of Nottingham. United Kingdom 2005. Page : 2314-23
6. Siregar, R.S, Dermatitis Atopik dalam : Atlas Berwarna, Saripati Penyakit Kulit,
Edisi 2. EGC. Jakarta 2002. Hal : 115-7.
7. Natalia, Menaldi, S.L, Agustin T, Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis
Atopik dalam : Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan,
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta 2011. Hal : 299-304
8. Bakhtiar, Faktor Resiko, Diagnosis, dan Tatalaksana Dermatitis Atopik pada Bayi
dan Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Syah Kuala. Aceh 2012. Hal : 188-196.
9. Watson, W. Kapur, S. Atopic Dermatitis in : Review Allergy, Asthma and Clinical
Immunology, Dalhouse University, Division Allergy, Departement of Pediatric.
Canada 2011. Page : 1-6
10. Sjamsoe Daili Emmy S, dkk. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. PT.
Medical Multimedia Indonesia : Jakarta
11. Leung, Y.M, Eichenfiled, L.F, Boguniewicz, M. Atopic Dermatitis. In : Wolff, K,
Goldsmith, L.A, Katz, S.I, Gilchrest, B.A, Pallers, A.S, Leffel, D.J Eds ( Editors).
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Ed. NewYork 2008. Page :
146-58
12. Friedmann.,P.S, Ardern-Jones, M.R, Holden.C.A. Atopic Dermatitis.In: Burns. T,
8th
Breathnach.S, Cox.N, Griffi.C ( Editors).Rook’s Textbook of Dermatology Ed.
2010.Wiley-Blackwell Publication. Page :24.1-34
13. Gunawan Sulistia Gan, dkk. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
14. Harahap Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta
15. Marie-Claire Formosa. 2007. Journal :Atopic Eczema. Malta Medical Journal.
Diakses pada 5 Mei 2015
16. Williams Hywel C. 2005. Journal : Clinical Practice-Atopic Dermatitis. The New
England Journal of Medicine. Diakses pada 5 Mei 2015.

Anda mungkin juga menyukai