Anda di halaman 1dari 12

ZONASI LAUT

Berdasarkan faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya yakni daerah pelagik
yang meliputi kolom air dan daerah bentik yang meliputi dasar laut dimana biota laut hidup. Pada
gambar 1 dapat dilihat pembagian zonasi lingkungan perairan laut.

A. Lingkungan Pelagik
Lingkungan pelagik merupakan lingkungan yang meliputi seluruh kolom air mulai dari
permukaan dasar laut sampai permukaan laut. Lingkungan pelagik mempunyai batas wilayah
yang meluas mulai dari garis pantai sampai wilayah laut terdalam (Romimohtarto, 2007).
Dalam pembagian zona pelagik menjadi berbagai sub-zona digunakan berbagai dasar
misalnya tingkat kedalaman dan sudut pandang. Pembagian zona pelagik dapat dipandang
dari dimensi horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat dibagi menjadi dua yaitu zona
neritik yang meliputi daerah paparan benua dan lautan zona oseanik. Kedua zona ini tidak
ada batasan yang jelas karena adanya perbedaan secara geografik. Namun demikian, batasan
anatara kedua zona itu adalah 150-200 m (Ardi, 2011).
1. Zona Neritik
Ernawati (2011), mendefinisikan zona neritik merupakan daerah laut dangkal yang
masih dapat ditembus cahaya sampai ke dasar, kedalaman daerah ini dapat mencapai
200 m. Biota yang hidup di daerah ini adalah plankton, nekton (ikan) dan bentos dapat
hidup dengan baik. Organisme yang ada dari Alga, Porifera, Coelenterata, berbagai jenis
ikan dan udang. Kelimpahan organisme pada daerah ini tinggi karena kandungan zat
hara cukup tinggi, zat-zat terlarut juga masih cukup bervariasi yang dikarenakan adanya
tumpahan berbagai zat terlarut dari daratan. Hal yang paling krusial adalah penetrasi
cahaya pada zona ini masih optimum sehingga asupan energi untuk produsen masih
maksimal (Romimohtarto, 2007).
2. Zona Oseanik
Zona oseanik merupakan wilayah ekosistem laut lepas yang kedalamannya mulai
dari yang tertembus cahaya sampai tidak dapat ditembus cahaya matahari sampai ke
dasar, sehingga bagian dasarnya paling gelap. Akibatnya bagian air dipermukaan tidak
dapat bercampur dengan air dibawahnya, karena ada perbedaan suhu. Batas dari kedua
lapisan air itu disebut daerah termoklin, Daerah ini banyak ikannya (Ernawati, 2011).
Menurut Romimohtarto (2007), daerah oseanik ini dibagi menjadi 4 bagian yaitu
epipelagik, mesopelagik, batipelagik, dan abisopelagik. Effendy (2009) menyatakan
bahwa pada zona oseanik kecuali epipelagis memiliki parameter fisik dan kimia serta
biologis sebagai berikut:
a. Cahaya : Umumnya redup – gelap gulita, sehingga tidak ada proses fotosintesis
b. Tekanan hidrostatis: Meningkat secara konstan sebanya 1 ATM (1 kg/cm2), setiap
pertambahan kedalaman 10 meter. Sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan
hidrostatisk yang bekerja di laut dalam sangat ekstrim
c. Suhu: Umumnya seragam, dengan kisaran 1 – 3oC (kecuali wilayah hydrothermal
vents (>80oC) dan cold hydrocarbon seeps (<1 oC)
d. Salinitas: Umumnya seragam (35 permil), Pada daerah cold hydrocarbon seeps
(hipersain = 40 permil)
e. Sirkulasi air:Sangat lamban (< 5 cm/detik), tergantung pada bentuk dan topografi
dasar laut. Sikulasi air dan ventilasi dalam palung sangat menentukan kadar oksigen
di laut dalam
f. Kadar Oksigen: Cukup untuk menghidupi seluruh organisme di laut dalam (DO=
4% s/d 6%; di perairan eufotik, DO= 3.5% s/d 7%), Sumber oksigen utama: air
permukaan laut di Antartika dan Arktik yang kaya Oksigen, Air bersifat anoksik:
Teluk Kau (Halmahera), Palung Carioca (Venezuela), Palung Santa Barbara (USA)
g. Tipe substrat: Terdiri atas substrat yang halus, Substrat berbatu di daerah mid-
ocean ridge
h. Suplai makanan: Langka. Bergantung pada pakan yang diproduksi di tempat lain
dan terangkut oleh proses hidrodinamis ke wilayah laut dalam
i. Jenis pakan : Hujan plankton atau partikel organik lain, Jatuhan bangkai hewan
besar atau tumbuhan, Bakteri berlemak yang mudah dicerna (rata-rata populasi
bakteri 2mgC/m2), Bahan organik terlarut
a. Epipelagik
Zona epipelagik atau oseanik atas meluas dari permukaan sampai kedalaman 200 m.
Epipelagik ini masih di tembus oleh cahaya matahari sehingga proses fotosintesis oleh
organisme autotrof masih mungkin terjadi. Area ini juga meluas ke perairan neritik sehingga
ia bisa juga dikatakan bagian dari perairan neritik.
Epipelagik dibagi menjadi tiga bagian yaitu zona dekat permukaan dimana penyinaran
siang hari diatas optimal atau bahkan letal bagi fitoplankton. Penyinaran ini juga masih
terlalu tinggi bagi zooplankton. Di bawah zona tersebut dinamakan zona bawah-permukaan
yang merupakan tempat terjadinya pertumbuhan yang aktif sampai perairan yang agak
dalam, di mana fitoplankton yang tidak berbiak aktif masih terdapat berlimpah. Zona ketiga
atau area paling bawah merupakan tempat zooplankton yang biasa bermigrasi ke permukaan
pada malam hari dan kembali pada siang hari. Jadi pada zona epipelagik ini organisme
penghuninya cukup banyak hampir sama halnya pada daerah neritik (Romimohtarto, 2007)
b. Mesopelagik
Mesopelagik merupakan perairan yang berada di bawah epipelagik yang meluas dari
200-1000 m. Lapisan ini bertepatan dengan lapisan terjadinya perubahan suhu dan tempat
terjadinya termoklin. Karena area ini penyinaran sudah hampir bahkan tidak ada, maka tidak
ada kegiatan produksi primer oleh produsen. Area ini kebanyakan dihuni oleh konsumen
primer yang memanfaatkan bangkai-bangkai organisme dari lapisan di atasnya. Pada area ini
tekanan lebih kecil dan persediaan makanan lebih banyak daripada lapisan yang ada di
bawahnya (Romimohtarto, 2007).
Ciri dari biota yang hidup di zona ini yakni warna hewan umunya abu-abu keperakan
atau hitam (ikan), ungu kelam (ubur-ubur) dan merah (crustacea), mata besar dan
penglihatan senja (tingginya pigmen rodopsin dan kepadatan sel batang pada retina akan
memberi kemampuan maksimum dalam melihat dan mendeteksi cahaya) dan bioluminusens
yaitu kemampuan memproduksi cahaya pada makhluk hidup, biasanya dilengkapi oleh organ
penghasil cahaya (fotofor) serta memiliki mulut besar, morfologi mulut, rahang, gigi yang
mendukung efektifitas penangkapan mangsa (Efenndy, 2009).
c. Batipelagik
Batipelagik meluas dari kedalaman 1000-4000 m. Kondisi fisiknya seragam dan tidak
ada aktifitas produsen sehingga hanya ada konsumen skunder sperti ikan. Suhu pada area ini
sudah lebih rendah jika di bandingkan dengan lapisan diatasnya. Tumbuh-tumbuhan masih
ada sedikit atau juga tidak ada sama sekali (Romimohtarto, 2007).
Menurut Effendy (2009), penghuni zona ini secara umum terdiri dari iIkan yang
umumnya berwarna hitam kelam, sedangkan invertebratanya seakan tidak berpigmen (putih
cerah), ukuran mata sangat kecil, bahkan tidak bermata, bahkan ada yang memiliki mata
berbentuk pipa (ikan Argyropelecus) dan sebelah matanya lebih besar (cumi-cumi
Histioteuthis). Ikan yang ditemukan umumnya berukuran sangat kecil, namun invertebrata
yang hidup umumnya berukuran sangat besar
d. Abisopelagik
Abisopelagik merupakan area terdalam jika dibanding ketiga area lainnya. Biota laut
yang hidup di area ini cenderung bertahan terhadap kegelapan, suhu semakin rendah dan
tekananpun semakin tinggi. Organisme yang hidup di area ini tentu telah beradaptasi bahkan
berevolusi seperti halnya ikan yang memiliki antena penghasil cahaya yang berasal dari
senyawa kimia yang dihasilkan oleh sel-sel penyusun antenanya yang biasa di kenal sebagai
biopendar cahaya (biolumiscence). Selain itu ikan memiliki gelembung renang yang lebih
besar sehingga bisa melawan beratnya tekanan air. Gelembung renang akan terperas oleh
tekanan sehingga sedikit ruang untuk gas, akibatnya ikan sedikit lebih ringan daripada berat
air disekitarnya. Suhu yang rendah pada area ini juga mebuat reaksi metabolisme menjadi
lebih lambat. Pada area ini tidak ada lagi proses fotosintesis dan tumbuh-tumbuhan yang
hidup sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Perubahan suhu, salinitas dan kondisi serupa
jarang terjadi bahkan kalupun ada sangat kecil.
Kandungan CO2 terlarut pada area ini sangat tinggi sehinnga kapur mudah terlarut dalam
air. Hal ini ditunjukkan oleh pembentukan cangkang yang lembek dari organisme yang
hidup di area ini apa lagi kondisi air cenderung lebih tenang. Hal yang paling menjadi
karakteristik dari area ini adalah kurangnya ketersediaan makanan. Makanan hanya berasal
dari bangkai yang tenggelam sampai ke dasar. Sehingga tingkat kompetisi semakin tinggi
dan makanan ini bisa jadi faktor pembatas yang sangat kritikal di zona ini. Begitu juga
dengan kandungan oksigen terlarut sangat rendah sehingga bisa juga menjadi faktor
pembatas bagi organisme yang ada pada zona ini (Romimohtarto, 2007)
Pembagian wilayah laut secara vertikal dilakukan berdasarkan intensitas cahaya
matahari yang memasuki kolom perairan, yaitu zona fotik dan zona afotik. Zona fotik adalah
bagian kolom perairan laut yang masih mendapatkan cahaya matahari. Pada zona inilah
proses fotosintesa serta berbagai macam proses fisik, kimia dan biologi berlangsung yang
antara lain dapat mempengaruhi distribusi unsur hara dalam perairan laut, penyerapan gas-
gas dari atmosfer dan pertukaran gas yang dapat menyediakan oksigen bagi organisme nabati
laut. Zona ini disebut juga sebagai zona epipelagis. Pada umumnya batas zona fotik adalah
hingga kedalaman perairan 50-150 meter. Sementara itu, zona afotik adalah secara terus
menerus dalam keadaan gelap tidak mendapatkan cahaya matahari. Secara vertikal, zona
afotik pada kawasan pelagis juga dapat dibagi lagi kedalam beberapa zona, yaitu zona
mesopelagis, zona batipelagis dan zona abisopelagis (Dahuri et al, 2001).
B. Lingkungan Bentik
Zona bentik meliputi semua lingkungan dasar laut di mana biota laut hidup melata,
memendamkan diri atau meliang, mulai dari pantai sampai ke dasar laut terdalam. Romimohtarto
(2007), membagi zona bentik menjadi zona litoral, dan abisal sedangkan Aliv (2011),
menambahkan zona batia antara litoral dan abisal.
1. Zona Lithoral/Intertidal
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap
saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut.
Menurut Nybakken (1992) zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit diantara zona
laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona
ini hanya terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin
landai pantainya maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal pantainya maka
zona intertidalnya akan semakin sempit.
Akibat seringnya hempasan gelombang dan pasang surut maka daerah intertidal sangat
kaya akan oksigen. Pengadukan yang sering terjadi menyebabkan interaksi antar atmosfir dan
perairan sangat tinggi sehingga difusi gas dari permukaan keperairan juga tinggi. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Webber dan Thurman (1991) bahwa pantai berbatu di zona
intertidal merupakan salah satu lingkungan yang subur dan kaya akan oksigen. Selain oksigen
daerah ini juga mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga sangat cocok untuk beberapa
jenis organisme untuk berkembang biak. Pada daerah berbatu ini banyak terdapat lingkungan
mikro seperti celah-celah cadas dan kubangan pasut. Jenis yang hidup pada lingkungan ini
umumnya organisme yang melekat seperti beberapa jenis keong.
Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara satu daerah
dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah intertidal ada yang berpasir, berlumpur, berbatu,
dan adapula yang berupa timbunan. Daerah berlumpur terjadi karena adanya aliran air yang
mengandung lumpur dari darat. Area ini biasanya terjadi di daerah teluk yang tenang atau estuari.
Lingkungan seperti ini dapat menimbulkan masalah bagi organisme yang ada pada lingkungan
tersebut, karena lumpur bisa masuk ke saluran pernafasan sehinnga dapat menyumbat saluran
pernafasannya. Kandungan oksigen terlarut relatif rendah karena padatnya partikel lumpur
sehingga pertukaran oksigen dan karbondioksida terhambat. Organisme yang hidup di lingkungan
ini kebanyakan berupa bakteri (Romimohtarto, 2007).
Pada daerah ini memiliki substrat yang sangat halus dengan diameter kurang dari 0.002
mm. Menurut Nybakken (1992) daerah berlumpur berada pada daerah yang terlindung dari
hempasan gelombang secara langsung. Akibat tidak adanya hempasan gelombang maka daerah
ini sulit untuk mengalami perkembangan yang signifikan.

Pembagian zonasi pada daerah pantai berlumpur masih sangat kurang yang telah dikaji.
Secara umum dapat dibagi menjadi:
 Bagian atas atau supralitoral dihuni oleh berbagai jenis kepiting yang menggali
substrat. Zona ini juga dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan paling sering
mengalami kekeringan.
 Bagian bawah atau litoral. Bagian ini merupakan bagian yang terluas diantara
bagian ekosistem pantai berlumpur. Pada zona ini dihuni oleh tiram dan
policaeta.
Pada dasarnya pembagian tersebut belum terlalu jelas batasannya. Hal ini dikarenakan
organisme pada kedua tempat tersebut tidak menetap hanya pada zona tersebut tetapi juga dapat
berpindah ke zona yang lain.
Lingkungan berpasir pada zona lithoral mempunyai ukuran partikel yang lebih besar di
banding partikel lumpur sehingga memungkinkan air mengalir di antara partikel-partikel pasir,
akibatnya pertukaran oksigen sampai pada dasar pasir. Pada saat siang hari air surut membuat
area ini menjadi kering. Gelombang juga mempengaruhi area ini oleh sebab itu organisme yang
hidup di area ini cenderung dilengkapi dengan cangkang yang kuat, mampu bergerak bersama
butiran pasir atau memendam dalam di bawah permukaan untuk menghindari penggerusan yang
disebabkan oleh gelombang (Romimohtarto, 2007).
Pada umumnya daerah berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia dibanding dengan jenis
pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat yang sangat banyak
dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pada jenis pantai ini juga dapat ditemukan berbagai
ekosistem lain seperti ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.
Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir
termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu pada
pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi (Dahl, 1952 and Salvat, 1964 in Raffaelli and
Hawkins, 1996) yaitu:
 Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama.
Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan
daerah yang kering dan sering terekspose.
 Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang
paling banyak mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan
berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun.
 Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut
purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang
surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut.
Daerah ini juga bias ditemukan ekosistem terumbu karang.
Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada daerah berpasir sangat
dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari hempasan gelombang dimana jika
kecil maka ukuran partikelnya juga kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar maka
partikelnya juga akan besar. Pada daerah berpasir hempasan gelombangnya kecil menyebabkan
butiran partikelnya kecil.
Romimohtarto (2007), menjelaskan bahwasanya lingkungan timbunan pada zona
intertidal adalah lingkungan yang terbentuk dari tumpukan-tumpukan kayu dermaga, galangan
kapal dan bangunan-bangunan lain buatan manusia. Organisme yang hidup di lingkungan ini
biasanya berupa tiram pengebor.
Selain ketiga lingkungan tersebut pada daerah litoral juga terdapat jenis lingkungan
berbatu. Daerah berbatu ini juga dikelompokkan menjadi beberapa zona. Pada dasarnya
pembagian zonasi untuk lingkungan berbatu dilihat dari pasang surut yang terjadi. Pantai ini
didominasi oleh substrat dari batu.
Zonasi litoral berbatu pada beberapa belahan dunia yang berbeda pada berbagai belahan
dunia terdapat perbedaan pola zonasi litoral berbatu yang terjadi antara satu tempat dengan
tempat yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya kemiringan
permukaan batu yang menyusunnya (Nybakken, 1992).
Ekosistem intertidal merupakan salah satu ekosistem pada daerah pesisir yang sangat
kompleks dan kaya. Banyak pola interaksi antar organisme laut yang dapat ditemukan pada
ekosistem ini. Hewan yang hidup pada daerah ini harus dapat beradaptasi dengan keadaan yang
ekstrim tersebut. Bentuk adaptasi organisme sangat berkembang utamanya bentuk morfologi
yang dibentuk sedemikian rupa. Pada tiap zona intertidal organisme yang hidup sudah mampu
untuk bertahan dengan karakteristik lingkungan tersebut (Aliv, 2011).
Faktor Penyebab Distribusi Zonasi Pada Daerah Intertidal
Ada berbagai faktor yang menyebabkan adanya berbagai macam distribusi pada daerah intertidal.
Pada dasarnya faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yang saling terkait yaitu:

1. Faktor fisika dan kimia


Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada ekosistem intertidal.
Akibat adanya pasang surut maka menyebabkan faktor pembatas pada daerah ini menjadi
lebih ekstrim. Faktor pembatas tersebut yaitu kekeringan, suhu, dan sinar matahari ketiga
faktor tersbeut saling terkait. Jika laut surut maka daerah intertidal terekspose oleh sinar
matahari, akibatnya suhu meningkat. Suhu yang meningkat menyebabkan penguapan dan
dampaknya daerah menjadi kering. Oksigen masih cukup namun salinitas cukup tinggi.
2. Faktor biologis.
Faktor ini sangat tergantung dari faktor fisik perairan. Organisme berusaha untuk
menyesuaikan diri pada keadaan yang sangat ekstrim tersebut. Ada berbagai macam cara
organisme menyesuaikan diri salah satunya dengan mengubur diri atau memodifikasi bentuk
cangkang agar dapat hidup pada derah yang kering.
Daerah pasang surut adalah sistem model penting untuk studi ekologi, khususnya di
pantai berbatu gelombang-menyapu. Wilayah ini berisi keanekaragaman spesies yang tinggi,
dan zonasi diciptakan oleh pasang surut menyebabkan spesies berkisar untuk dimampatkan
menjadi band yang sangat sempit. Hal ini membuat relatif sederhana untuk mempelajari
spesies di seluruh rentang lintas-pantai mereka, sesuatu yang bisa sangat sulit, misalnya,
habitat darat yang dapat meregang ribuan kilometer.
Karena zona ini bergantian tertutup oleh laut dan terkena udara, organisme hidup di
lingkungan ini harus memiliki adaptions baik untuk kondisi basah dan kering. Bahaya
termasuk menjadi hancur atau terbawa oleh gelombang kasar, paparan suhu sangat tinggi, dan
pengeringan. Khas penduduk pantai berbatu pasang surut termasuk bulu babi, anemon laut,
teritip, chitons, kepiting, isopoda, kerang, bintang laut, dan moluska banyak gastropoda laut
seperti limpets, whelks, dan bahkan gurita.

2. Zona Bathyal
Zona batial adalah wilayah laut yang merupakan lereng benua yang tenggelam di dasar
samudera. Kedalaman zona ini berkisar di atas 200 meter – 2000 meter. Dengan kedalaman
dan struktur yang berupa lereng atau curam maka organisme yang hidup pada area ini
kebanyakan bersifat konsumen. Pertukaran oksigen cukup kurang sehingga bisa menjadi salah
satu faktor pembatas bagi organisme yang hidup pada lingkungan ini. Bebatuan masih relatif
ada sehinnga organisme yang hidupnya melekat masih bisa ditemukan (Aliv, 2011).
Menurut Dias (2011), keadaan bentik zona bathyal umumnya merupakan lereng-lereng
curam yang merupakan dinding laut dalam dan sebagai bagian pinggiran kontinen. Zona
bathyal juga diistilahkan sebagai Continental Slope. Pada Continental slope sering ditemui
canyon/ ngarai / submarine canyon, yang umumnya merupakan kelanjutan dari muara sungai –
sungai besar di pesisir.
Tipe sedimen utama sedimen pada zona bathyal merupakan lempung biru, lempung gelap
dengan butiran halus dan memiliki kandungan karbonat kurang dari 30%. Sedimen-
sedimennya memiliki jenis sedimen terrestrial, pelagis, atau autigenik (terbentuk ditempat).
Sedimen Terrestrial (terbentuk dari daratan) lebih banyak merupakan lempung dan lanau,
berwarna biru disebabkan karena akumulasi sisa-sisa bahan organik dan senyawa ferro besi
sulfida yang diproduksi oleh bakteri, Sedimen terrestrial juga merupakan tipe sedimen yang
paling mendominasi. Sedimen terrigenous terbawa hingga ke zona bathyal melalui arus
sporadik turbiditi yang berasal dari wilayah yang lebih dangkal. Saat material terrigenous
langka, cangkang mikroskopis dari fitoplankton dan zooplankton akan terakumulasi di dasar
membentuk sedimen authigenik.
Biota yang hidup pada bagian bentik zona bathyal antara lain spon, brachiopod, bintang
laut, echinoid, dan populasi pemakan sedimen lainnya yang terdapat pada bagian sedimen
terrigenous. Biasanya biota yang hidup di zona ini memiliki metabolisme yang lamban karena
kebutuhan konservasi energi pada lingkungan yang minim nutrisi. Kecuali pada laut yang
sangat dalam, zona bathyal memanjang hingga ke zona bentik pada dasar laut yang merupakan
bagian dari continental slope yang berada di kedalaman 1000 hingga 4000 meter.
3. Zona Abisal
Zona abisal memiliki kemiripan dengan lingkungan lumpur yang ada pada zona litoral.
Bebatuan yang digunakan sebagai substrat oleh organisme sangat jarang diitemukan. Hewan
bercangkang yang hidup di zona ini cangkangnya cenderung tipis dan jik mati cangkang akan
mudah sekali terlarut atau tereduksi. Endapan plankton tidak ada karena sebelum sampai di
dasar sudah dii makan terlebih dahulu oleh organisme yang ada pada lingkungan yang ada di
atasnya (Romimohtarto, 2007).
Endapan yang ada berupa mineral bola-bola mangan dan tulang-tulang telinga ikan paus
dan gigi ikan hiu yang susah terlarut. Kondisinya sangat berlumpur sehingga oksigen terlarut
sangat sedikit sehingga hewan-hewan pada daerah ini terpaksa menggunakan glikogen atau
pigmen-pigmen pernapasan sebagai sumber oksigen sementara. Namun demikian, kondisi
dasar laut abisal tidak semuanya memiliki kondisi yang sama. Dasar lingkungan ini pada
perairan dalam berupa endapan kapur yang berasal dari kerangka Foraminifera, endapan
silika, terutama dari kerangka diatom, dan lempung merah di dasar yang lebih dalam dengan
tekana air yang cukup tinggi sehingga membuat zat-zat lain mudah terlarut (Romimohtarto,
2007).
Kehidupan hewan-hewan pada lingkungan seperti ini sangat bergantung atau
menyesuaikan pada jenis endapannya. Seperti tipe organisme pemakan penyaring lebih suka
dasar yang keras dengan partikel halus lumpur yang tidak akan menyumbat penyaringnya. Jika
partikel-partike sangat halus maka tipe hewan yang hidup pada area ini adalah pemakan
endapan yang mengambil dan mencerna zat organik yang terdapat dalam lumpur. Di samping
hewan-hewan tersebut terdapat pula hewan-hewan pemangsa bangkai yang menangkap hewan
apa saja baik yang hidup maupun mati. Suhu pada daerah ini relatif stabil yaitu antara 1,2o C -
4 oC. Beberapa hewan yang hidup di lingkungan ini berupa bintang laut, bintang mengular,
tripang dan banyak jenis ikan. Makin dalam dasar laut maka makin sedikit pula jenis hewan
yang dapat ditemukan (Romimohtarto, 2007).
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.


1. Berdasarkan faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya perairan laut di
bedakan menjadi daerah pelagik yang meliputi kolom air dan daerah bentik yang
meliputi dasar laut dimana biota laut hidup.
2. Karakteristik tiap zona pada umumnya memiliki ciri yang berbeda-beda baik kondisi
fisik maupun kimianya bahkan sampai biotanya memiliki perbedaan yang tentunya
sesuai dengan kondisi lingkungan dari masing-masing zona.
3. Biota yang hidup pada daerah yang masih mendapat suplai cahaya cenderung
didominasi oleh produsen primer dan zona yang lebih dalam di huni oleh berbagai
tingkatan konsumen. Untuk daerah paling dalam dihuni oleh organisme yang memiliki
kemampuan melawan berbagai macam faktor pembatas yang sangat kritikal
DAFTAR PUSTAKA

Aliv. 2011. Pembagian zona laut. Diakses pada tanggal 15 maret 2018 melalui
http://ml.scribd.com/doc/79823180

Ardi. 2011. Oseanografi is Oceanography. Diakses pada tanggal 15 maret 2018 melalui
http//ardi.wordpress.com

Dias. 2011. Klasifikasi Lingkungan Laut. Diakses pada tanggal 15 maret 2018 melalui
http://adios19.wordpress.com/2011/05/15/klasifikasi-lingkungan-laut.com

Effendy. 2009. Ekologi Laut Dalam. Diakses pada tanggal 15 maret 2018 melalui
http://perikananunila.wordpress.com/2009/07/31/ekologi-laut-dalam.com

Ernawati, wanda. 2011. Pembagian Daerah Ekosistemm Laut. Diakses pada tanggal 15 maret
2018 melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Zona_laut.jpg

Romimohtarto, K., dan Juwana, S., 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai