Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian
mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya ia
banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk mengujipenerapan teorinya
(Depdiknas, 2005:13).
Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakan kegiatan yang kompleks.
Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian
belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulus lingkungan, melewati
pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru.
Menurut Hudojo (1990:13) teori merupakan prinsip umum yang didukung oleh data
dengan maksud untuk menjelaskan suatu fenomena. Sedangkan belajar merupakan suatu usaha
yang berupa kegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif/ tetap. Dari pengertian
teori dan belajar tersebut, secara ringkas dapatlah dikatakan, teori belajar menyatakan hukum-
hukum/ prinsip-prinsip umum yang melukiskan yang melukiskan kondisi terjadinya belajar.
Dalam teorinya, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar (Dahar,
1991:141-143). Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distruktur oleh
siswa.
1. Fase Motivasi
Siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar
akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi
akan memenuhi keingintahuan merekatentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi
mereka atau dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang lebih baik.
2. Fase Pengenalan
Siswa harus memberi perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kajian
instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya, siswa memperhatikan aspek-aspek yang
relevan tentang apa yang dikatakan guru, atau tentang gagasan-gagasan utama dalam buku
teks.
3. Fase Perolehan
Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima
pelajaran. Informasi tidak langsung terserap dalam memori ketika disajikan, informasi itu di
ubah kedalam bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan materi yang telah ada
dalam memori siswa.
4. Fase Retensi
Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori
jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal), praktek
(practice), elaborasi atau lain-lainnya.
5. Fase Pemanggilan
Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam memori jangka-
panjang. Jadi bagian penting dalam belajar adalah belajar memperoleh hubungan dengan
apa yang telah dipelajari, untuk memangil informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
6. Fase Generalisasi
Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar konteks dimana
informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasiatau transfer informasi pada situasi-situasi baru
merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat ditolong dengan memintapara siswa
untuk menggunakan informasi dalam keadaan baru.
7. Fase Penampilan
Siswa harus memperhatikan bahwa mereka telah belajar sesuatu melalui penampilan yang
tampak.
1. Mengaktifkan Motivasi
Langkah pertama dalam pembelajaran adalah memotivasi para siswa untuk belajar. Kerap
kali ini dilakukan dengan membangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran, dan
mengemukakan kegunaannya.
3. Mengarahkan Perhatian
Gagne mengemukakan dua bentuk perhatian. Bentuk perhatian pertama berfungsi untuk
membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Bentuk kedua dari perhatian disebut
persepsi selektif. Dengan cara ini siswa memperoleh informasi yang mana yang akan
diteruskan ke memori jangka pendek, cara ini dapat ditolong dengan cara mengeraskan
suara pada suatu kata atau menggaris bawah suatu kata atau beberapa kata dalam satu
kalimat.
4. Merangsang Ingatan
Menurut Gagne bagian yang paling kritis dalam proses belajar adalah pemberian kode
pada informasi yang berasal darimemori jangka pendek yang disimpan dalam memori
jangka panjang. Guru dapat berusaha untuk menolong siswa-siswa dalam mengingat atau
mengeluarkan pengetahuan yang disimpan dalam memori jangka panjang itu. Cara
menolong ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaanpada siswa, yang
merupakan suatu cara pengulangan.
6. Meningkatkan Retensi
Retensi atau bertahannya materi yang di pelajari (jadi tidak terlupakan) dapat diusahakan
oleh guru dan siswa itu sendiri dengan cara sering mengulangi pelajaran itu. Cara lain
adalah dengan memberi banyak contoh, menggunakan tabel-tabel, menggunakan diagram-
diagram dan gambar-gambar.
A. Biografi J. S. Bruner
Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari
Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang
memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan
berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia,
bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan.
Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta
informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan
manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya.
Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata pelajaran
dapat diajarakan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak
dalam setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkan sebagian besar atas
penelitian Jean Piaget tentang perkembangan intelektual anak. Berhubungan dengan hal itu,
antara lain:
Menurut penelitian J. Piaget, perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf.
1. Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan
dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas
antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum
dapat memahami dasar matematikan dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah
tidak berunah bila bentuknya berubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikan
konsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas.
2. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya dalam
menghadapi suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan
perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf
operai kongkrit ini ia hanya dapat memecahkan masalah yang langsung dihadapinya
secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata
atau kongkrit atau yang belum pernah dialami sebelumnya.
3. Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan
kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya
sebelumnya.
2. Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar
Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu:
3. Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah
ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang
dihadapi.
3. Kurikulum spiral
B. Alat-Alat Mengajar
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal : untuk
contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah
berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan
pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin yang sering
digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat
memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya. (Anita W,1995
dalam Paulina panen, 2003 3.16)
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika di
sekolah dasar.
Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan
contohnya berikan bentuk-bentuk bangun datar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang,
trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a. Tahap Enaktif.
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat
dalam memanipulasi (mengotak atik)objek.
b. Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana
pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak,
berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
c. Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu.
Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi
panjang. Jika simbolis ukuran panjang p, ukuran lebarnya l , dan luas daerah persegi panjang L
maka jawaban yang diharapkan L = p x l satuan
Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar.
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan
intuisinya.Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan
yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.
5. Tidak semua materi yang ada dalam matematika sekoah dasar dapat dilakukan dengan
metode penemuan.
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum
belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan
(2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang
sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai
bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui
bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi
verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan
prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya
proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri
semuanya.
Pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal
tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini
guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu
dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan
gurunya. Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh
Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi
barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Dua syarat untuk materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.
a. Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan
tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
b. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan
penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut
apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya.
Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses
belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang
sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang
bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar
yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang
diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan
belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan
(reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta
didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.
Secara umum, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencipatakan ikatan yang kuat
antar siswa, membangun kecerdasan sosial dan emosional, sehingga pada akhirnya siswa bisa
berinteraksi terhadap lingkungannya dengan segala kemampuan dan potensi diri yang
berkembang dengan baik. Secara garis besar, tujuan tersebut bisa dicapai apabila memenuhi
indikator sebagai berikut:
c. Pertanggungjawaban individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar masing-masing anggota
menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa belajar bersama sehingga setelah itu mereka dapat
melakukan yang lebih baik sebagai individu. Untuk memastikan bahwa masing-masing anggota
lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban secara individu terhadap tugas yang
menjadi bagiannya dalam bekerja. Pertanggungjawaban individu akan terlaksana jika perbuatan
masing-masing individu dinilai dan hasilnya diberitahukan pada individu dan kelompok.
Dalam proses belajar mengajar, para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan
rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan
secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika dikerjakan sendirian oleh
masing-masing siswa. Latihan kerja sama sangatlah penting dalam proses pembentukan
kepribadian anak. Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama
dan kolaborasi. Keterampilan ini amatlah penting untuk dimiliki siswa dalam rangka memahami
konsep-konsep yang sulit, berpikir kritis dan kemampuan membantu teman.
Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa siswa-siswa mudah memahami konsep-
konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan dikerjakan secara
bersama-sama. Dalam ranah pengembangan kepribadian dan konsep diri siswa, konselor di
sekolah dapat menerapkan pembelajaran kooperatif dalam konseling melalui teknik sebagai
berikut:
1. Bimbingan kelompok
Dalam bimbingan kelompok sebaiknya dibentuk kelompok-kelompok kecil yang lebih
kurang terdiri dari 4-5 orang. Murid-murid yang telah tergabung dalam kelompok-kelompok
kecil itu mendiskusikan bersama sebagai permasalahan termasuk didalamnya permasalahan
belajar.
2. Peer Konseling
Melalui peer konseling, hubungan sosial dan kecerdasan emosional siswa meningkat dan
menjadi lebih baik. Dalam hal ini siswa bisa saling bekerjasama untuk menyelesaikan
permasalahan.
4. Sosiodrama
Sosiodrama adalah suatu cara dalam bimbingan yang memberikan kesempatan pada
murid-murid untuk mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang. Maka
dari itu sosiadrama dipergunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah.
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif disebut dengan skemata atau struktur, yaitu
kumpulan dari skema-skema. Artinya seorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata. Skemata ini
berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih
lengkap dibandingkan ketika masih kecil.
Perkembangan skemata berlangsung secara terus menerus melalui adaptasi dengan
lingkunganya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak.
Semakin baik kualitas skema ini, maka semakin baik pula pola penalaran dan tingkat intelegensi
anak tersebut, kondisi ini disebut dengan equilibrium, namun ketika anak menghadapi situasi
baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pola penaralan maka akan mengalami disequilibrium.
Menurut Piaget, intelegensi terdiri dari tiga aspek yaitu:
1. Struktur (structure)
Terbentuk dari hubungan fungsional anak antara tindakan fisik, tindakan mental dan
perkembangan berpikir logis anak dalam berinteraksi dengan lingkungan, kemudian tindakan
tersebut menuju pada perkembangan operasi-operasi dan selanjutnya menuju perkembangan
struktur atau skemata. Diperolehnya skemata berarti telah terjadi perubahan dalam
perkembangan intelektual anak.
2. Isi (content)
Isi disebut juga dengan content, yaitu pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada
respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi.
3. Fungsi (function)
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme dalam mencapai kemajuan intelektual.
Menurut piaget perkembangan intelektual anak terdiri dari dua fungsi yaitu
a. Organisasi, yaitu kemampuan untuk mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses
psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan.
b. Adaptasi, yaitu penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan
dengan dua cara yaitu:Pertama asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus
baru ke dalam skemata yang telah terbentuk atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah
dalam lingkungannya dengan menggunakan struktur kognitifnya. Kedua Akomodasi adalah
proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak
langsung/proses perubahan respons individu terhadap stimulus lingkungan.
Menurut Piaget, tahap-tahap berpikir itu adalah pasti dan spontan namun umur kronologis
yang diberikan itu adalah fleksibel, terutama selama masa transisi dari periode yang satu ke
periode berikutnya. Umur kronologis itu dapat saling tindih tergantung individunya. Piaget
berpendapat, tidak ada gunanya bila kita memaksa anak untuk cepat berpindah ke periode
berikutnya.
c. Fase Hipotesis-Deduktif
Yaitu dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab. Para siswa diminta untuk
merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu.
Selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari
hipotetsis-hipotesis ini, dan merencanakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk
menguji hipotesis-hipotesis (eksplorasi).
Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di salah satu kota
Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan berkuturunan Yahudi. Ia
tertarik pada psikologi saat berusia 28 tahun.
Seseorang yang belajar dipahami sebagai seseorang yang membentuk
pengertian/pengetahuan secara aktif dan terus-menerus. Inti teori Vygotsky adalah
menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi
kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas
yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development”
mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri
dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu.
Vygotsky banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi
mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan
memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih
tinggi seperti ingatan, berpikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang
lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu
berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota
kebudayaan yang lebih tua selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman
dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk
gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang
sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Aliran psikologi yang dipegang oleh Vygotsky lebih mengacu pada kontruktivisme
karena ia lebih menekankan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Dalam analisisnya,
perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif,
juga ditentukan oleh lingkungan sosial secara aktif. Oleh karenanya, konsep teori
perkembangan kognitif Vygotsky berkutat pada tiga hal: