Anda di halaman 1dari 21

9.

KOMUNISME
Paham komunis lahir sebagai bentuk reaksi atas perkembangan masyarakat kapitalis.
Dengan adanya paham kapitalis yang secara tidak langsung banyak menindas kaum proletar maka
lahirlah paham yang disebut dengan paham Komunis. Dalam paham ini hak milik pribadi tidak
ada karena akan menimbulkan kapitalisme, yang pada gilirannya akan melakukan penindasan pada
kaum proletar. Oleh karena itu, hak milik individual harus diganti dengan hak milik kolektif dan
individualisme diganti dengan sosialisme komunis.
Dalam hal beragama, komunisme yang dirumuskan Karl Marx menyatakan bahwa manusia
adalah suatu hakikat yang menciptakan dirinya sendiri dengan menghasilkan sarana-sarana
kehidupan sehingga sangat menentukan dalam perubahan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan,
dan agama. Dalam hal ini, komunisme berpaham atheis (tidak bertuhan) karena manusia
ditentukan oleh dirinya sendiri dan bukan oleh hal-hal lain di luar dirinya. Komunisme
berpandangan bahwa Agama merupakan Chandu, dan tidak adanya kelas dalam tatanan
masyarakat (sama rata sama rasa) dan komunis juga menginginkan kemenangan diperoleh kaum
proletar.
http://rinaasihniasari.blogspot.com/2014/05/paham-paham-besar-dunia.html
Keadaan Politik,Sosial,Ekonomi,dan Budaya sebelum meletusnya pemberontakan G 30
S/PKI
Ø Keadaan politik Indonesia sebelum peristiwa G 30 S/PKI :· PKI melakukan berbagai
strategi/kelicikan untuk mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat bahkan melakukan
penyusupan ke organisasi organisasi masyarakat.· PKI mempengaruhi Presiden
Soekarno dan mengakibatkan Presiden menjadi condong ke blok komunis· Kondisi
politik memanas karena adanya persaingan politik antara PKI dan TNI
AD· PKI memasukkan unsur unsure komunis dalam bidang politik· Doktrin
nasakom yang dikembangkan oleh Presiden soekarno member keleluasaan PKI untuk
memperluas pengaruh· Dengan adanya nasakomunikasi , PKI menjadi salah satu
kekuatan yang penting pada masa demokrasi terpimpin bersama Presiden Soekarno dan
Angkatan DaratØ Keadaan sosial , ekonomi , budaya sebelum peristiwa G 30
S/PKI· Keadaan sosial dimasyarakat banyak dipengaruhi oleh unsur unsur
komunis· Kondisi ekonomi sangat parah· Ekonomi yang memprihatinkan
membuat PKI mudah mempengaruhi dengan memasukkan unsur unsur
komunis· Budaya masyarakat menjadi condong ke blok komunis karena adanya unsur
unsur yang dimasukkan oleh PKI· PKI berhasil membentuk organisasi organisasi
seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, dan Lekra untuk menyusupkan berbagai kegiatan sosial
dan budaya yang berbau komunisJadi kesimpulannya adalah PKI melakukan beberapa
pengaruh sebelum meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI . Antara lain dengan
membentuk beberapa ormas yng tugasnya untuk menyusupkan berbagai kegiatan politik,
sosial, ekonomi, budaya yang berbau komunis atau ada unsur unsur komunis
Pada saat menjelang G30 SPKI kondisi ekonomi maupun sosial buadaya pada saat itu
masih belum stabil karena indonesia masih proses awal kemerdekaan yang lebih
mendahulukan persiapan kemerdekaan serta membebaskan daerah-daerah yang masih
menjadi jajahan para negara lain seperti jepang dan belanda .
perekonomian masyarakat buruk karena di rampas dan di kuras habis oleh negara jajahan
sementara budaya masyarakat sedah tercambur dengan budaya baru yang datang
besamaan dengan datangnya para penjajah ke tanah air indonesia
di lainsisi
PKI melakukan beberapa pengaruh sebelum meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI .
Antara lain dengan membentuk beberapa ormas yng tugasnya untuk menyusupkan
berbagai kegiatan politik, sosial, ekonomi, budaya yang berbau komunis atau ada unsur
unsur komunis
contoh:
1. PKI memasukkan unsur unsure komunis dalam bidang politik
2. Kondisi politik memanas karena adanya persaingan politik antara PKI dan TNI AD
3. Kondisi ekonomi sangat parah
4. Keadaan sosial dimasyarakat banyak dipengaruhi oleh unsur unsur komunis .
http://brainly.co.id/tugas/2190166
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila menghadapi berbagai tantangan
besar sejak tahun 1959, ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan. Pada waktu itu terjadi
ketegangan sosial politik yang menjadi-jadi. Kondisi politik menjadi panas karena antarpartai
politik saling mencurigai, antara partái politik dengan ABRI serta antara keduanya dengan
Presiden. Mereka saling bersaing untuk saling berebut pengaruh atau mendominasi.

Begitu pula pada masa Demokrasi Terpimpin kondisi ekonomi sangat memprihatinkan hingga
muncul krisis ekonomi nasional. Prinsip Nasakomyang diterapkan waktu itu memberi peluang
kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Dalam memanfaatkan
peluang tersebut PKI menyatakan sebagai partai pejuang bagi perbaikan nasib rakyat dengan janji-
janji seperti kenaikan gaji atau upah, pembagian tanah dan sebagainya. Oleh karena itu PKI banyak
mendapatkan pengaruh dan para petani, buruh kecil atau pegawai rendah sipil maupun militer,
seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.

Kondisi politik dan ekonomi yang semakin tegang berdampak pada sosial budaya masyarakat. PKI
dan para pendukungnya yang semakin mendapat pengaruh sering mengancam dan melakukan
tindak kekerasan lainnya. Hal mi seperti yang dialami oleh para pemuda yang tergabung dalam
organisasiPelajar Islam Indonesia (P11). Ketika sedang melakukan pelatihan di Kanigoro Kediri
Jawa Timur pada bulan Januari 1965, para pendukung PKI menyerbu peserta pelatihan. Tindakan
serupa juga dilakukan terhadap umat Hindu di Bali yang sedang melakukan kegiatan keagamaan.
Tindakan PKI ini akhirnya juga dibalas oleh para kelompok yang anti PKI sehingga masyarakat
menjadi semakin resah karena seringkali terjadi pertikaian fisik.
Pengaruh PKI yang sangat besar dalam bidang politik berdampak luas terhadap kebijakan
pemerintah di semua bidang. Dalam bidang sosial budaya semua organisasi yang anti PKI dituduh
sebagai anti pemerintah. Para seniman yang tergabung dalam kelompok Maniesto Kebudayaan
(Manikebu) dibubarkan oleh pemermntah pada bulan Mei 1964. Badan Pendukung Sukarno
(BPS) juga dibubarkan oleh pemerintah pada bulan Desember 1964 karena menentang PKI.
http://www.artikelsiana.com/2014/09/KeadaanPolitikEkonomiSosialBudaya-Sebelum-
Terjadinya-PeristiwaG30-SPKI.html#

Peristiwa G30SPKI

naru daruisama 10:15 AM

I. Faktor-faktor terjadinya pemberontakan G30S/PKI


Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, adalah sebuah peristiwa yang
terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan
kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. D.N. Aidit sebagai
ketua PKI yang terpilih pada tahun 1951, dengan cepat mulai membangun kembali PKI yang porak
poranda pada tahun 1948.
Usaha itu berhasil baik, sehingga pemilihan umu tahun 1955 PKI berhasil menempatkan
dirinya menjadi salah satu diantara empat partai besar di Indonesia. Pada bulan Juli 1959 parlemen
dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan
dukungan penuh dari PKI.
Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke
posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat
untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan
NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun,
foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan
bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman
Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua
pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
kemudian, di tahun yang sama 1964, PKI sudah merasa partai terkuat yang mulai melakukan
persiapakan untuk melancarkan perebutan kekuasaan. Tahun 1964 di bawah pimpinan D.N. Aidit
membentuk Biro Khusus Langsung yaitu, Sjam Kamaruzaman, Pono (Soepono Marsudidjojo),
dan Bono Walujo. Biro khusus ini yang aktif melakukan pematangan situasi bagi perebutan
kekuasaan dan melakukan Inflitrasi ke dalam tubuh ABRI.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa
petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Menjelang lahir 1965 Biro khusus PKI terus melancarkan aksinya dengan melakukan
pertemuan – pertemuan rahasia yang kesimpulannya akan dilaporkan kepada D.N.Aidit sebagai
pimpinan tertinggi gerakan. Sjam Kamaruzaman sebagai pimpinan pelaksana, Pono (Soepono
Marsudidjojo) sebagai wakil pimpinan gerakan, dan Bono sebagai pimpinan pelaksanan kegiatan
yang di instruksikan untuk mengadakan persiapan-persiapan menjelang pelaksanaan kegiatan.

Berikut beberapa faktor terjadinya G 30 S/PKI :


1. Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan
100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke
Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G 30 S PKI.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri
RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi
petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai
antara militer dan PKI. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha
memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-
pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi
dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi".
Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari
"sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman
sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka. Di akhir 1964 dan
permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani
berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan
dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab,
Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia
berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara
tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik
pemerintahan NASAKOM. Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam
angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya
memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang
sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa
yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.
Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk
menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi
bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-
alat negara.
2. Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya
Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit
ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut. Tahunya Aidit
akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk
memicu ketidakpastian di masyarakat.

3. Isu masalah tanah dan bagi hasil


Tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-
Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari
wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik
pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang
takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat
keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di
Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian
digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Kerusuhan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan
Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat,
Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat
bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September
1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).

4. Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah
salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu
penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya
menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

“ “ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para


demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul
Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. “ ”

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat
menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk
meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu.
Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris
dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan
skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju
dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk
jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang
setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di
Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya
disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia,
padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri
yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".

“Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan


suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia
mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada
bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi
kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.”

Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang
mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu
untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak
sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi
keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman,
ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya
poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini,
namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI
untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan
internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka
yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia
dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu
waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu
terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan
PKI, tetapi tidak sekarang."
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan
dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

5. Faktor Amerika Serikat


Pada waktu itu Amerika Serikat sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat
(CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik
dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan
yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa
ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak
besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus
1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia
tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden
Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang
dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan
hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa
Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar
nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

6. Faktor Ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan
dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui
kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Saat itu inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat
kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok
lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution
untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa
yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia
yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang
tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian
mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang
yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

II. Peristiwa G30 S/PKI


1. Keadaan Politik sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI
Adanya ideologi Nasakom oleh pemerintah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, membuat
paham komunis tumbuh subur. Pengaruh PKI dalam bidang politik pun semakin luas, khususnya
dalam kebijakan pemerintah, baik kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri. Pengaruh
politik PKI pada masa Demokrasi Terpimpin antara lain sebagai berikut :\
a) Penempatan golongan komunis melalui konsep Nasakom (Nasionalisasi, Agama dan Komunis)
b) Semua organisasi yang bersifat anti komunis dibubarkan dan dituduh sebagai anti pemerintah
c) Dalam politik luar negeri, pemerintah membentuk Poros Jakarta – PhnomPhenh – Hanoi –
Beijing – Pyongyang. Poros ini dibentuk pada Agustus tahunn 1965
d) Indonesia melaksanakan politik mercusuar, yaitu politik yang hanya mengejar kemegahan di
tengah-tengah pergaulan antarbangsa
e) PKI berusaha menghancurkan lawan-lawan politiknya. Dengan kelicikannya, PKI berhasil
menghasut presiden Soekarno untuk mmbubarkan partai Murba, Masyumi, dan PSI
f) Membagi kekuataan politik dunia menjadi Nefo (New Emerging Force) dan Oldefo (Old
Established Forces). Negara-negara yang sedang berkembang yang anti terhadap imperialisme
dan kolonialisme termasuk ke dalam Nefo. Sedangkan negara-negara imperialis, kolonialis, dan
kapitalis termasuk ke dalam Oldefo
g) Sejak tanggal 17 September 1963, melakukan konfrontasi dengan Malaysia, yang disebabkan
oleh adanya anggapan bahwa Malaysia adalah negara proyek neokolonialisme (Nekolim) Inggris
yang dapat membahayakan revolusi Indonesia
h) Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965, hal ini disebabkan karena dipilihnya
Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB
2. Keadaan Ekonomi sebelum terjadinya G 30 S/PKI
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia mengalami krisis konomi yang amat parah.
Untuk mengatasi krisis ini, pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah melakukan devaluasi
uang. Dengan devaluasi itu, uang kertas yang mempunyai nominal Rp 500,00 tinggal menjadi Rp
50,00 dan uang bernilai Rp 1000,00 dihapuskan. Selain melakukan devaluasi uang, pemerintah
juga melakukan pembekuan semua simpanan yang melebihi Rp 25.000,00. Tetapi, tindakan
pemerintah ini tidak dapat menghentikna kemerosotan ekonomi Indonesia. Akibat kemerosotan
ekonomi yang semakin hari semakin dalam, pada tanggal 28 Maret 1963 pemerintah
mengeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh yang disebut dengan
“Deklarasi Ekonomi” atau “Dekon”. Konsepsi “Dekon” ini justru berakibat timbulnya stagnasi
(kemandegan) ekonomi Indonesia.

3. Keadaan Sosial sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI


Keadaan sosial sebelum terjadi peristiwa G 30 S/PKI ditandai dengan munculnya aksi
sepihak yang dilancarkan oleh PKI dan pendukungnya. Aksi sepihak ini terjadi di Bali, Jawa dan
Sumatera Utara. Dalam aksi sepihak ini para petani dan buruh perkebunan yang dibantu oleh
para kader PKI dan para pendukungnya memanfaatkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik pada
masa Demokrasi Terpimpin membuat pengaruh PKI menjadi semakin luas.

4. Keadaan Budaya sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI


Pada masa Demokrasi Terpimpin, kegiatan-kegiatan seni budaya diatur oleh pemerintah.
Kebudayaan-kebudayaan yang berbau Barat dianggap kebudayaan Nekolim (Neo Kolonialisme)
dan dilarang. Dalam usaha mempropagandakan tujuannya, PKI membentuk LEKRA (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) dengan tokohnya juga mengecam penertiban buku-buku, majalah, dan film
yang dianggap berbau Barat. Alasdannya buku-buku, majalah, dan film yang berbau Barat tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk mengimbangi kegiatan PKI di bidang
budaya, sekelompok budayawan dan seniman pada tanggal 17 Agustus 1963 membentuk
Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Badan Pendukung Surkanoisme (BPS). Tokoh-tokoh
Manikebu, antara lain H.B. Jassin,. Tetapi karena hasutan PKI, Manikebu ini akhirnya dilarang
oleh pemerintah. Manikebu dan PBS ini dituduh dibiayai oleh CIA (Badan Intelegen Amerika
Serikat).

5. Peristiwa G 30 S/PKI dan Cara penanggulangannya


a. Masa prolog (Persiapan) G 30 S/PKI
Beberapa persiapan telah dilakukan oleh PKI sebelum melakukan pemberontakan. Masa
persiapan tersebut terutama mulai dilaksanakan sejak D.N. Aidit dipilih menjadi pemimpin PKI
tahun 1951. Persiapan yang dilakukan oleh PKI itu antara lain melakukan penyusupan ke partai-
partai besar, organisasi tani, dan badan-badan lain. Serta melakukan aksi fitnah terhadap TNI-
AD dengan melontarkan isi adanya Dewan Jenderal. Isu ini dilontarkan pada bulan Mei 1965
berdasarkan Dokumen Gilchrist yang diungkapkan PKI. Dewan Jenderal oleh PKI ditafsirkan
sebagai badan yang terdiri atas para perwira tinggi Angkatan Darat, yang bertugas
mempersiapkan perebutan kekuasaan. Untuk menandingi Dewan Jenderal, PKI membentuk
Dewan Revolusi yang diketahui oleh Letkol Untung Sutopo.
b. Pelaksanaan Pemberontakan G 30 S/PKI
Dalam melaksanakan pemberontakannya, PKI melakukan tindakan-tindakan :
1) Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 01.30, Letkol Inf. Untung memberikan perintah
pelaksanaan gerakan. Sasaran gerakan adalah para perwira tinggi Angkatan Darat. Kesatuan-
kesatuan bersenjata yang bertugas dibagi menjadi 3 pasukan, yaitu :
a) Pasukan Pasopati dipimpin oleh Lettu If. Dul Arief dengan tugas menculik tujuh perwira tinggi
Angkatan Darat
b) Pasukan Bimasakti dipimpin oleh Kapten Suradi yang bertugas menguasai kota Jakarta
c) Pasukan Gatotkaca dipimpin oleh Mayor Udara Gatot Sukasno berfungsi sebagai pasukan
cadangan yang berkedudukan di Lubang Buaya
2) Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 03.00 dini hari, PKI menculik dan membunuh
perwira-perwira tinggi Angkatan Darat, mereka adalah :
a) Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat)
b) Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I Men/Pangad)
c) Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputi II Men/Pangad)
d) Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Men/Pangad)
e) Brigadir Jenderal Donald Kacus Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad)
f) Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspktur Kehakiman/Oditu Jenderal TNI-AD)
g) Letnan Satu Piere Andreas Tendean (Ajudan Menjo Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata)
h) Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun (Pengawal rumah wakil PMII Dr. J Leimena
3) Menguasai dua buah sarana komunikasi yaitu studio RRI Pusat di Jalan Merdeka Barat dengan
Kantor Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan
4) Menyiarkan pengumuman lewat RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 tentang :
a) Adanya Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan
b) Dekrit tentang pembentukan Dewan Revolusi di pusat dan di daerah serta pendemisioneran
Kabinet Dwikora
c) Dua buah keputusan Dewan Revolusi, yaitu :
 Susunan Dewan Revolusi yang beranggotakan 45 orang dengan ketuanya Letnan Kolonel
Untung Sutopo
 Penghapusan pangkat jenderal. Pangkat tertinggi dalam TNI adalah Letnan Kolonel
Di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel
Katamso (komandan korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (kepala staf korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965 oleh pemberontak PKI dari
Batalion “L” di Desa Keuntungan. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak
berhubungan dengan Dewan Revolusi.

c. Penumpasan G 30 S/PKI
1) Tanggal 1 Oktober 1965
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore hari. Gedung
RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa pertumpahan darah
oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328
Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di
sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.
2) Tanggal 2 Oktober 1965
Pada tanggal 2 Oktober 1965, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di
bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pukul 12.00
siang, seluruh tempat itu berhasil dikuasai oleh TNI-AD.
3) Tanggal 3 Oktober 1965
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor
C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI-AD
dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI,
tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI-AD tersebut dibawa ke
Lubang Buaya. Karena daerah tersebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal 3
Oktober 1965 ditemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut. Mayat para
perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah 3/4 meter dengan
kedalaman kira-kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
4) Tanggal 4 Oktober 1965
Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali (karena
ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh
pasukan Para Amfibi KKO-AL dengan disaksikan pemimpin sementara TNI-AD Mayjen
Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya
kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia
betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
5) Tanggal 5 Oktober 1965
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI-AD tersebut dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.
6) Tanggal 6 Oktober 1965
Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang
Kabinet Dwikora, para perwira TNI-AD tersebut ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.

III. Berbagai Pendapat Tentang Dalang G 30S/PKI


Bung Karno pernah berpesan “Jas Merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Pesan
Bung Karno ini sangatlah penting karena melalui sejarah seseorang dalam lingkup kecil maupun
sebuah bangsa dalam lingkup yang lebih luas dapat belajar dari kesalahan dan belajar untuk tidak
mengulanginya di masa sekarang dan mendatang. Tetapi bagaimana bila sebuah sejarah yang
sangat penting dan menetukan nasib bangsa macam Gerakan 30 September (G30S) ternyata di
kemudian hari diketahui bahwa ada upaya pembelokan dan pemelintiran sejarah terhadapnya?
Bagaimana bila empat dekade setelahnya ditemukan fakta-fakta yang dapat menimbulkan berbagai
versi sebuah peristwa sejarah? Maka inilah enam versi dalang Gerakan 30 September tahun 1965
yang menyebabkan gugurnya 7 perwira ABRI dan menimbulkan genosida yang menewaskan
ribuan orang sipil dengan dalih pembersihan komunis dari Indonesia.
1. Partai Komunis Indonesia (PKI)
PKI sebagai dalang G30S merupakan versi yang paling populer, paling kuno, dan paling
melekat di ingatan dan hati sanubari seluruh rakyat Indonesia. Bahkan singkatan resmi untuk
gerakan ini adalah G30S/PKI yang diterjemahkan sebagai Gerakan 30 September oleh PKI.
Selama masa Orde Baru setiap malam tanggal 30 September seluruh rakyat Indonesia diwajibkan
menonton film kolosal tentang G30S/PKI dengan tujuan mengenang para pahlawan revolusi.
Setelah rezim Soeharto tumbang belakangan banyak pendapat yang mengatakan bahwa film
tersebut hanyalah propaganda dalam bentuk seluloid, film kolosal sebagai doktrinasi yang
melanggengkan kekuasaan Soeharto. Banyak juga ahli sejarah yang mempertanyakan doktrin
bahwa PKI sebagai dalang gerakan berdarah ini. Kalau memang PKI memberontak kenapa 3,5
juta anggotanya-yang menjadikan PKI partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet
dan RRC-tidak melawan ketika terjadi pembersihan oleh ABRI? Mengapa partai komunis dengan
jumlah anggota terbanyak diantara negara-negara non-komunis itu sangat mudah diruntuhkan
dalam waktu beberapa hari saja? Bahkan putusan Mahkamah Militer Luar Biasa saja hanya
menyebutkan individu-individu tertentu yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup dengan
alasan terbukti melakukan makar. Tidak menyebutkan PKI yang melakukan makar.
2. Sebagian Perwira Angkatan Darat dengan PKI sebagai Pemain Kedua
Penentangan terhadap versi pertama diungkapkan oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey
pada tahun 1966. Mereka berdua mengatakan bahwa G30S berawal dari persoalan intern TNI AD.
Dalam teorinya yang kemudian diterbitkan dan dikenal sebagai “Cornell Paper” (1971) beberapa
perwira TNI AD dari Kodam IV/Diponegoro kesal melihat para jenderal hidup berfoya-foya di
Jakarta. Para perwira dari Jawa Tengah itu kemudian mengajak Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI) dan PKI dalam menjalankan operasinya. Versi ini agak lemah karena faktanya
Brigjen Supardjo berasal dari Kodam Siliwangi demikian pula dengan Mayor Udara Sujono,
walaupun memang Untung dan Latief dari Kodam IV/Diponegoro. Maka kemudian versi ini
ditengahi oleh Harold Crouch dalam The Army and Politics (1978) yang menolak Cornell
Paper dengan mengatakan bahwa inisiatif awal gerakan ini timbul dari tubuh TNI AD sedangkan
PKI bertindak sebagai “Pemain Kedua” dengam mengacu pada keterlibatan Sjam Kamaruzaman
dan Pono-dari Biro Chusus PKI. Tetapi versi ini pun tidak menjelaskan lebih lanjut tentang
mengapa gerakan dirancang dengan buruk dan mengapa selang waktu pengumuman pertama dan
kedua berselang 5 jam, padahal kunci kudeta adalah pada kecepatan dan ketepatan waktu.
3. Soekarno
Pada tahun 1974 seorang penulis belanda bernama Antonie Dake meneebitkan pengakuan
ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko dalam The Devious Dalang. Dalam pengakuannya
Bambang Widjanarko mengatakan bahwa pada tanggal 4 Agustus 1965 Presiden Soekarno
memanggil Letkol.Untung dan memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal
yang tidak loyal. Sebenarnya pengakuan Bambang Widjanarko dapat dikonfrontasi dengan
keterangan Bung Karno tetapi beliau sudah terlanjur wafat. Belakangan diketahui bahwa
pengakuan Bambang Widjanarko hanyalah strategi untuk mencegah bangkitnya pendukun
Soekarno dalam pemilihan umum Juli 1971. Hal ini diketahui setelah Bambang Widjanarko
akhirnya mengakui sendiri bahwa saat itu ia dipaksa bersaksi demikian. Juga kalau benar bahwa
Presiden Soekarno yang memerintahkan penculikan 7 perwira itu, mengapa malam 1 Oktober 1965
beliau tidak langsung menuju Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma.
4. Soeharto
Versi ini pertama kali diungkapkan oleh W.F.Wertheim dalam artikelnya yang
berjudul Soeharto and the Untung Coup-The Missing Link (1970). Dikatakan bahwa pada malam
1 Oktober 1965 terjadi pertemuan antara Soeharto dengan Latief dan Letkol Untung-pimpinan tim
penculik ketujuh jenderal. Tetapi banyak pula ahli sejarah dan politik yang berpendapat bahwa
Soeharto bukan tipe orang jenius yang bisa merancang kudeta secara sistematis. Soeharto hanyalah
orang yang sudah tahu sebelum kejadian nahas itu terjadi-melalui pertemuannya dengan Untung
dan Latief-sehingga ia menjadi orang yang paling siap. Kesiapannya inilah yang menjadi senjata
mematikan untuk menumpas PKI sekaligus merebut kekuasaan dari Soekarno. (Oleh:Omar Dhani)
(Hal.330 ; dalam (Wirantaprawira, Cyntha. 2005 : Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965
Mencari Keadilan. Lembaga Persahabatan Jerman – Indonesia.) )
5. Amerika Melalui Central Intelegence Agency (CIA)
Amerika “gatal” melihat perkembangan PKI di Indonesia. Sebagai “Macan Asia”, berkuasanya
komunis di Indonesia bisa menimbulkan efek domino terhadap negara-negara lain di Asia
Tenggara. Jika hal ini terjadi maka berarti kiamat bagi Amerika. Hal ini sebenarnya telah disinyalir
oleh Bung karno yang dismpaikan dalam pidato Nawaksara (1967) yang menyebut adanya
“subversi Nekolim”. Versi ini pada intinya menyatakan bahwa Amerika membujuk TNI AD untuk
mengambil kekuasaan dari tangan Soekarno yang pro-komunis dengan membentuk Dewan
Jenderal. Isu mengenai Dewan Jenderal-yang sebenarnya belum terbentuk karena TNI AD masih
menunggu saat yang tepat-ini membuat PKI khawatir sehingga timbulah tindakan untuk mencegah
perebutan kekuasaan oleh TNI AD dengan cara menculik 7 perwira tinggi AD. Tindakan
penculikan yang kemudian dihembuskan sebagai tindakan pemberontakan inilah yang kemudian
dijadikan dasar tentara-atau Soeharto-untuk membubarkan PKI dan memburu kader-kadernya
sampai habis.
6. Sjam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus Central PKI
Versi yang keenam ini adalah versi yang paling mutakhir. Pertama kali disampaikan oleh John
Roosa dalam bukunya berjudul Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto (2008). Dalam bukunya Roosa mengungkapkan bahwa dalam tubuh PKI sebenarnya
tidak ada sistem komando yang terpusat. Dalam tubuh PKI ada 2 kubu yaitu kubu militer (Letkol
Untung, Latief, dan Sujono) dan Biro Chusus (Sjam, Pono, dengan Aidit sebagai latar belakang).
Memang keberadaan Biro Chusus seperti hantu, tidak terlalu terekspos dan tidak banyak yang tahu
karena memang tujuan pembentukannya adalah sebagai badan intelejen, organisasi bawah tanah
PKI yang bertugas menyusupi tentara. Badan ini dibentuk oleh Aidit-ketua umum PKI-dan berada
langsung di bawah komando Aidit. Sjam memegang peranan penting karena bertindak sebagai
penghubung antara pihak Untung dengan Aidit. Sayangnya Sjam tidak benar-benar menjadi
penghubung. Banyak laporan di lapangan yang kemudian tidak disampaikan kepada Aidit tetapi
justru ditindaklanjuti sendiri. Saat upaya rencana penggagalan Dewan Jenderal disampaikan
kepada Presiden Soekarno, beliau menolak tindakan tersebut. Dari sini kubu PKI terpecah menjadi
2. Kubu militer yang dipimpin oleh Letkol Untung ingin mematuhi Bung Karno tetapi kubu Biro
Chusus yang dipegang Sjam ingin melanjutkan rencana. Perpecahan yang disebabkan arogansi
Sjam ini menyebabkan :
Lamanya selang waktu antara pengumuman pertama dengan pengumuman selanjutnya. Juga
menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan kedua sangat drastis. Pagi hari
diumumkan bahwa Presiden Soekarno dinyatakan selamat dari rencana Dewan Jenderal. Tetapi
siangnya langsung diumumkan pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.
Gagalnya gerakan ini karena ada kerancuan yang nyata antara “menyelamtakan presiden”
dengan cara menculik Dewan Jenderal dengan “percobaan kudeta” dengan cara membentuk
Dewan Revolusi dan membubarkan kabinet.
http://www.idsejarah.net/2015/07/peristiwa-g30spki.html

Krisis Ekonomi dan Kondisi Sosial Masyarakat Indonesia


Tahun 1965-1966
Posted by Ivan Sujatmoko 0 comments
Tahun 1965-1966 merupakan tahun yang kelam bagi masyarakat Indonesia, karena pada tahun itu
Peristiwa Gerakan 30 September terjadi, para petinggi militer Indonesia ditangkap dan dibunuh
oleh kelompok orang yang ingin mengkudeta pemerintahan saat itu, beberapa kantor pemerintahan
(diantaranya kantor RRI) juga berhasil diduduki oleh kelompok yang mengatasnamakan PKI
(Partai Komunis Indonesia). Situasi tersebut mengakibatkan kondisi politik, militer, sosial dan
ekonomi menjadi sangat kacau. Terlebih memang pada tahun-tahun itu Indonesia mengalami krisis
ekonomi yang begitu hebat karena pemerintah dibawah pemerintahan Soekarno tidak berhasil
mengendalikan laju perekonomian saat itu, kondisi politik yang terus mengalami perubahan juga
berdampak akan hal itu sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah mulai berkurang.
Keadaan ekonomi saat itu mengalami stagflasi (stagnasi dan inflasi).

Pada bulan Agustus 1965 Soekarno menarik Indonesia dari hubungan-hubungan yang masih
tersisa dengan dunia kapitalis (Dana Moneter Internasional/IMF, Interpol, Bank Dunia). Kini
struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi, dengan
harga-harga barang naik sekitar 500 persen selama setahun itu.Diduga harga beras pada akhir
tahun 1965 sedang naik sebesar 900 persen setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap
dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965 menjadi Rp 17.500,00 pada kuartal
ketiga tahun itu dan Rp 50.000,00 pada kuartal keempat.

Rakyat kesulitan mendapat kebutuhan pokok. Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit
keuangan pemerintah sangat besar (1965 : defisit 200% APBN). Jumlah pendapatan pemerintah
rata-rata Rp 151 juta (’55-65), sedangkan pengeluaran rata-rata 359 juta atau lebih dari 100%
pendapatan. Kegiatan sektor pertanian dan sektor industri manufaktur relatif terhenti karena
keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung. Tingkat inflasi sangat tinggi,
mencapai lebih dari 300 - 500% per tahun.
Gambar : Soekarno

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno dan PKI meluntur. Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan
melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-
barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah
keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap
kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut,
banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek,
serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; merekapun menggunakan kain dari
karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal
tersebut, yang berakibat adanya gerakan anti terhadap PKI dan timbul pembantaian orang-orang
yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
Pemerintah melakukan Devaluasi pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi
di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah
untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam
berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-
pengeluarannya. Pada masa orde lama banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan
pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.
Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin
yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi,
maupun bidang-bidang lain.

Di kota-kota besar, kota-kota kecil, dan desa-desa kaum komuis maupun yang anti komunis merasa
yakin akan cerita-cerita tentang sedang dipersiapkannya regu-regu pembunuh dan sedang
disusunnya daftar calon para korbannya. Ramalan-ramalan, pertanda-pertanda, dan tindak
kekerasan merajalela. Sejak akhir bulan September dengan berkumpulnya puluhan ribu tentara di
Jakarta dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 05
Oktober, dugaan-dugaan tentang akan terjadinya kudeta menjadi semakin santer. Pada tanggal 20
September,Yakni akhirnya mengumumkan bahwa angkatan darat menetang pembentukan
“angkatan kelima”
Pada tanggal 30 September malam sampai 01 Oktober 1965 ketegangan-ketegangan meletus
karena terjadinya percobaan kudeta di Jakarta.Pada tanggal 30 September 1965 malam struktur
yang lemah tersebut hancur.Kejadian itu berlangsung berbulan-bulan sebelum akibat-akibatnya
menjadi jelas, tetapi perimbangan kekuatan-kekuatan yang bermusuhan yang mendukung
demokrasi terpimpin telah berakhir.

Memasuki tahun 1966 mengalami peralihan pemerintahan dari tangan Soekarno (Orde Lama) ke
tangan Soeharto(Orde Baru) banyak kalangan menilai ini juga peralihan paham dari sosialis ke
kapitalis. Kondisi saat itu benar-benar memperihatinkan bagi rakyat. Pemerintah melakukan
beberapa sasaran kebijakan terutama untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit
keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang
sempat mengalami stagnasi pada Orde Lama. Presiden Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia
pemerintahan Indonesia dengan mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya
adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September
1966 mengumumkan bahwa Indonesia bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB, dan menjadi anggota PBB kembali pada
tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Gambar : Soeharto

Beberapa langkah-langkah yang diambil Soeharto yang berkaitan dengan social ekonomi pada
awal pemerintahannya ialah meminjam dana moneter IMF untuk perbaikan ekonomi Indonesia,
kemudian ada sedikit langkah diskriminasi bagi orang tionghoa yang pada saat itu disingkirkan
dari dunia politik praktis dan pembatasan-pembatasan ruang gerak seperti pelarangan seni
barongsai, tidak adanya Hari raya Imlek, dan pelarangan penggunaan bahasa mandarin. Langkah-
langkah tersebut disinyalir diambil karena arah politik Soeharto lebih ke dunia barat (Amerika)
sedangkan tionghoa merupakan paham komunis sosialis. Akan tetapi kondisi ini terus
diperjuangkan oleh orang-orang Tionghoa sehingga orang tionghoa boleh tetap bergerak, dan
justru pergerakan mereka berkembang di perekonomian Indonesia.

Description: krisis ekonomi 1965-1966, kondisi sosial masyarakat indonesia 1965-1966, krisis
ekonomi indonesia
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/05/krisis-ekonomi-dan-kondisi-sosial.html

Anda mungkin juga menyukai