A. DEFINISI
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus
filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001;
1448)
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius)
dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009)
B. ETIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring.Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak.Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus.Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa.Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%.Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.( Barbara C Long, , 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan
ke dalam urin) tertimbun dalam darah.Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak
gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 1448).
Klasifikasi
Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal
dan penderita asimptomatik.
Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood
Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan LFG :
Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG
yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat
digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = (( 140-umur ) x berat badan ( kg )) / ( 72 x creatini
serum )
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85. (Corwin, 1994)
PATHWAYS : Terlampir
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Kardiovaskuler
2. Dermatologi
3. Pulmoner
4. Gastrointestinal
5. Neurologi
6. Muskuloskeletal
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
o Laboratorium darah : BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat),
Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan
protein dan immunoglobulin)
o Pemeriksaan Urin : Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein,
sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
2. Pemeriksaan EKG : Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda
perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
3. Pemeriksaan USG : Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostate
4. Pemeriksaan Radiologi : Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde
Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi,
pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen
F. PENATALAKSANAAN
C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan bendungan atrium
kiri.
Tujuan :
– Dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan, tidak terjadi
gangguan pertukaran gas.
Kriteria hasil :
- Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan nilai
ABGs normal :
PH = 7,35 -7,45
PO2 = 80-100 mmHg
Saturasi O2 = > 95 %
PCO2 = 35-45 mmHg
HCO3 = 22-26mEq/L
BE (kelebihan basa) = -2 sampai +2
- Bebas dari gejala distress pernafasan
Intervensi Rasional
1. Kaji status pernafasan, catat 1. Takipneu adalah mekanisme
peningkatan respirasi atau perubahan kompensasi untuk hipoksemia dan
pola nafas. peningkatan usaha nafas.
2. Catat ada tidaknya suara nafas dan 2. Suara nafas mungkin tidak sama
adanya bunyi nafas tambahan seperti atau tidak ada ditemukan. Crakles
crakles, dan wheezing. terjadi karena peningkatan cairan
3. Kaji adanya cyanosis. di permukaan jaringan yang
4. Observasi adanya somnolen, disebabkan oleh peningkatan
confusion, apatis, dan permeabilitas membran alveoli –
ketidakmampuan beristirahat kapiler. Wheezing terjadi karena
5. Berikan istirahat yang cukup dan bronchokontriksi atau adanya
nyaman mukus pada jalan nafas
6. Berikan humidifier oksigen dengan 3. Selalu berarti bila diberikan
masker CPAP jika ada indikasi. oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb)
7. Berikan pencegahan IPPB sebelum cyanosis muncul. Tanda
8. Review X-ray dada. cyanosis dapat dinilai pada mulut,
9. Berikan obat-obat jika ada indikasi bibir yang indikasi adanya
seperti steroids, antibiotik, hipoksemia sistemik, cyanosis
bronchodilator dan ekspektorant. perifer seperti pada kuku dan
ekstremitas adalah vasokontriksi.
4. Hipoksemia dapat menyebabkan
iritabilitas dari miokardium
5. Menyimpan tenaga pasien,
mengurangi penggunaan oksigen.
6. Memaksimalkan pertukaran
oksigen secara terus menerus
dengan tekanan yang sesuai
7. Peningkatan ekspansi paru
meningkatkan oksigenasi
8. Memperlihatkan kongesti paru
yang progresif
9. Untuk mencegah gngguan pola
napas
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan
menurun
Tujuan : setelah diberikan intervensi selama 3 x 24 jam mempertahankan sirkulasi
perifer tetap normal.
Kriteria Hasil :
- Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis
- Kulit sekitar luka teraba hangat.
- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
Intervensi Rasional
1. Ajarkan pasien untuk melakukan 1. dengan mobilisasi meningkatkan
mobilisasi sirkulasi darah.
2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang 2. meningkatkan melancarkan aliran
dapat meningkatkan aliran darah : darah balik sehingga tidak terjadi
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah oedema.
dari jantung ( posisi elevasi pada 3. kolestrol tinggi dapat mempercepat
waktu istirahat ), hindari penyilangkan terjadinya arterosklerosis, merokok
kaki, hindari balutan ketat, hindari dapat menyebabkan terjadinya
penggunaan bantal, di belakang lutut vasokontriksi pembuluh darah,
dan sebagainya. relaksasi untuk mengurangi efek dari
3. Ajarkan tentang modifikasi faktor- stres.
faktor resiko berupa : Hindari diet 4. pemberian vasodilator akan
tinggi kolestrol, teknik relaksasi, meningkatkan dilatasi pembuluh
menghentikan kebiasaan merokok, dan darah sehingga perfusi jaringan dapat
penggunaan obat vasokontriksi. diperbaiki, sedangkan pemeriksaan
4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain gula darah secara rutin dapat
dalam pemberian vasodilator, mengetahui perkembangan dan
pemeriksaan gula darah secara rutin keadaan pasien, HBO untuk
dan terapi oksigen ( HBO ). memperbaiki oksigenasi daerah
ulkus/gangren.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawaan selama 3 x 24 jam klien dapat mempertahankan
berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria Hasil :
a. Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil lab mendekati normal.
b. BB stabil.
c. TTV dalam batas normal (RR: 16-24 x/menit; N: 60-100 x/menit; TD: 120/80; T:
36,5-37,5 0C)
d. Tidak ada edema
e. Turgor kulit baik
f. Membran mukosa lembab
Intervensi Rasional
a. Identifikasi faktor penyebab a. Untuk menentukan tindakan
b. Batasi masukan cairan keperawatan
c. Anjurkan klien untuk melakukan b. Pembatasan cairan akan
aktifitas pergerakan seperti berdiri, menentukan berat tubuh ideal,
meninggikan kaki haluaran urin, dan respon terhadap
d. Kurangi asupan garam, terapi.
pertimbangkan penggunaan garam c. Agar tidak terjadi imobilitasi
pengganti d. Agar tidak terjadi peningkatan
e. Jelaskan pada pasien dan keluarga natrium
tentang pembatasan cairan. e. Pemahaman meningkatkan
f. Bantu pasien dalam menghadapi kerjasama pasien dan keluarga
ketidaknyamanan akibat dalam pembatasan cairan
pembatasan cairan. f. Kenyamanan pasien meningkatkan
g. Berikan diuretic, furosemide, kepatuhan terhadap pembatasan
spironolakton, hidronolakton, diet.
Adenokortikosteroid, golongan g. Diuretic bertujuan untuk
prednisone menurunkan volume plasma dan
h. Kaji status cairan dengan menurunkan retensi cairan di
menimbang berat badan perhari, jaringan sehingga menurunkan
keseimbangan masukan dan resiko terjadinya edema paru.
pengeluaran, turgor kulit dan Adenokortikosteroid, golongan
adanya edema, distensi vena leher. predison digunakan untuk
i. Kaji tanda tanda vital menurunkan proteinuri.
h. Pengkajian merupakan dasar dan
data dasar berkelanjutan untuk
memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi.
i. Untuk mengetahui kondisi pasien
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa
mulut.
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat mempertahankan
masukan nutrisi yang adekuat
Kriteria Hasil :
intervensi selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta
: EGC
2. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta:
EGC; 2011 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
3. Doenges E, Marilynn, dkk. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
UntukPerancanaandan PendokumentasianPerawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
4. Long, B C. (2011). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
5. Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2012). Patofisiologi Konsep Kllinis
Proses-prosesPenyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
6. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa :
Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2012 (Buku asli diterbitkan tahun 20)
7. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal
BedahBrunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
8. Suyono, Slamet. (2011). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.
Jakarta.: Balai Penerbit FKUI