Anda di halaman 1dari 16

PRESENTASI KASUS

PITYRIASIS VERSICOLOR

Disusun oleh:

Sarah Tri Wahyuni

1102013264

Dipresentasikan pada tanggal 23 Agustus 2018

Moderator:

dr. Hanny Suwandhani, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 6 AGUSTUS 2018 – 8 SEPTEMBER 2018

0
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS
Nama : Tn. Y

Umur : 24 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan

Alamat : Kramat Raya, Jakarta.

Status perkawinan : Belum Menikah

1.2. Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesis dengan anak pasien, pada hari Selasa tanggal 21
Agustus 2018, pukul 10.00 WIB di Poliklinik Kulit dan Kelamin.

1.2.1. Keluhan Utama


Terdapat bercak coklat yang kadang terasa gatal

1.2.2. Keluhan Tambahan


Tidak Ada

1.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke Poliklinik kulit dan kelamin RSPAD Gatot Soebroto dengan
keluhan terdapat bercak kecoklatan kadang terasa gatal pada daerah pinggang sebelah
kanan yang muncul sejak kurang lebih 6 bulan lalu dengan ukuran diameter bercak ±4cm.
Pasien mengatakan awalnya bercak kecil berukuran kurang lebih 2cm lalu semakin meluas
dan kadang terasa gatal, gatal semakin dirasakan terutama saat pasien berkeringat setelah
beraktivitas. Pasien merupakan seorang karyawan yang banyak bekerja di luar ruangan,

1
sehingga pasien sering terpapar matahari dan berkeringat. Jika berkeringat pasien tidak
langsung membersihkan badan ataupun mengganti pakaian.
Pasien pernah mengobati keluhannya dengan obat anti jamur cair yang ia beli di
apotek, namun pasien mengaku obat hanya digunakan sebanyak 2x, karena pasien sudah
merasa tidak gatal lagi sehingga obat tidak dilanjutkan.
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Keluarga pasien juga tidak
ada yang mempunyai keluhan serupa.

1.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

1.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga.


Tidak ada

1.3. Pemeriksaan Fisik

1.3.1. Status Generalis


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis. GCS : 15

Keadaan Gizi : BB = 57 kg ; TB = 163 cm

Tekanan Darah: Tidak dilakukan

Nadi : 80 x /menit

Pernapasan : 20 x /menit

Suhu : Afebris

Kepala : Normocephali, deformitas (-)

Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

THT : Normotia, normosepta

Leher : Kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening tidak teraba membesar

2
Paru : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Datar, bising usus (+) normal, timpani, nyeri tekan (-)

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

1.4. Status Dermatologikus


Lokasi : Regio Hipokondrium Lateral Dextra
Efloresensi : Bercak coklat bentuk bulat dengan diameter berukuran ±
4cm, berbatas tegas dan berskuama halus.

Gambar 1. Bercak coklat pada regio hipokondrium lateral dextra

Lokasi : Regio Hipokondrium Lateral Dextra


Efloresensi : Bercak coklat bentuk bulat dengan diameter berukuran ±
4cm, batas tegas dan berskuama halus.

3
1.5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan KOH 10%

Ditemukan : hifa pendek dan spora berkelompok (sphagetti and meatballs)

Pemeriksaan lampu wood

Didapatkan : flouresensi berwarna kuning keemasan.

4
1.6. Resume
Seorang laki-laki berinisial Tn. Y 24 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan bercak hiperpigmentasi yang semakin membesar
dan kadang terasa gatal pada daerah hipokondrium lateral dextra sejak 6 bulan yang lalu.
Gatal dirasakan terutama saat berkeringat. Pasien sering terpapar sinar matahari dan
berkeringat, jika berkeringat pasien tidak langsung membersihkan badan ataupun mengganti
pakaian. Pasien sudah mengobati keluhannya dengan obat jamur cair yang ia beli di apotek,
namun obat hanya digunakan sebanyak 2x karena pasien merasa sudah membaik. Di
keluarga pasien tidak ada yang mempunyai keluhan serupa.

Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran composmentis, status generalis lainnya


dalam batas normal. Pada status dermatologikus didapatkan efloresensi bercak
hiperpigmentasi bentuk bulat dengan diameter berukuran ± 4 cm, batas tegas berskuama
halus pada regio hipokondrium lateral dextra. Pada pemeriksaan KOH 10% ditemukan hifa
pendek dengan spora berkelompok, pemeriksaan lampu wood didapatkan fluoresensi
berwarna kuning keemasan.

1.7. Diagnosis Kerja


Pityriasis Versicolor

1.8. Diagnosis Banding


Tidak ada

1.9. Anjuran Pemeriksaan


Tidak ada

1.10. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa

 Menjaga kebersihan terutama kulit yang sakit agar tetap kering

 Menganjurkan untuk tidak bertukar handuk dengan anggota keluarga yang lain

 Menggunakan handuk yang berbeda untuk kulit yang sakit dan kulit yang sehat

5
Medikamentosa

 Topikal

Miconazole Nitrat cream 2% 2x sehari setelah mandi

1.11 PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
TINJAUAN PUSTAKA
PITIRIASIS VERSICOLOR

DEFINISI

Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial yang sering terjadi disebabkan oleh
Malasezia furfur,yaitu jamur yang bersifat lifopilik dimorfik dan merupakan flora normal pada
kulit manusia, ditandadi dengan bercak lesi yang bervariasi mulai dari hipopigmentasi,
kemerahan sampai kecoklatan atau hiperpigmentasi. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit
yang kronik dan asimtomatik ditandai oleh bercak putih sampai coklat yang berskuama halus.
Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang- kadang terlihat di ketiak, lipat paha,
tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala.1

SINONIM

Tinea versikolor, kromofitosis, dermatomikosis, purpura, liver spots, tinea flava,


pitiriasis versikolor flava dan panu.1

EPIDEMIOLOGI
Pityriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah tropis dan mempunyai kelembaban
tinggi. Walaupun kelainan kulit lebih terlihat pada orang berkulit gelap, namun angka kejadian
pityriasis versikolor sama di semua ras. Beberapa penelitian mengemukakan angka kejadian
pada pria dan wanita dalam jumlah yang seimbang. Di Amerika Serikat, penyakit ini banyak
ditemukan pada usia 15-24 tahun, dimana kelenjar sebasea (kelenjar minyak) lebih aktif
bekerja. Angka kejadian sebelum pubertas atau setelah usia 65 tahun jarang ditemukan.2

ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Malasezia furfur. Malassezia furfur (dahulu dikenal
sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale) merupakan jamur lipofilik yang
normalnya hidup di keratin kulit dan folikel rambut manusia saat masa pubertas dan di luar
masa itu. Sebagai organisme yang lipofilik, Malassezia furfur memerlukan lemak (lipid) untuk
pertumbuhan in vitro dan in vivo. Secara in vitro, asam amino asparagin menstimulasi

7
pertumbuhan organisme, sedangkan asam amino lainnya, glisin, menginduksi (menyebabkan)
pembentukan hifa. Pada dua riset yang terpisah, tampak bahwa secara in vivo, kadar asam
amino meningkat pada kulit pasien yang tidak terkena panu. Jamur ini juga ditemukan di kulit
yang sehat, namun baru akan memberikan gejala bila tumbuh berlebihan3

Gambar. Malassezia furfur

FAKTOR PREDISPOSISI
Suhu yang tinggi, kulit berminyak, hiperhidrosis, faktor herediter, pengobatan
dengan glukokortikoid, dan defisiensi imun. Pemakaian minyak seperti minyak kelapa
merupakan predisposisi terjadinya Pityriasis versikolor pada anak-anak.4
Faktor predisposisi lain adalah:
1. Faktor endogen: malnutrisi, immunocompromised, penggunaan kontrasepsi oral,
hamil, luka bakar, terapi kortikosteroid, adrenalektomi, Cushing syndrome.
2. Faktor eksogen: kelembapan udara, oklusi oleh pakaian, penggunaan krim ataulotion,
dan rawat inap

PATOGENESIS

Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya pityriasis
versicolor yaitu Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau Pityrosporum ovale
yang berbentuk oval. Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Malassezia
berubah dari bentuk blastospore ke bentuk mycelial. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
predisposisi. Malassezia memiliki enzim oksidasi yang dapat merubah asam lemak pada

8
lipid yang terdapat pada permukaan kulit menjadi asam dikarboksilat. Asam dikarboksilik
ini menghambat tyrosinase pada melanosit epidermis dan dapat mengakibatkan
hipomelanosit. Tirosinase adalah enzim yang memiliki peranan penting dalam
pembentukan melanin. Malassezia Furfur dapat menginfeksi pada individu yang sehat
sebagaimana ia dapat menginfeksi individu dengan immunocompromised, misalnya pada
pasien kanker atau AIDS.3

Malassezia furfur dapat dikultur dari kulit yang terinfeksi maupun yang normal dan
dianggap bagian dari flora normal, terutama di daerah tubuh manusia yang kaya dengan
sebum. Hasil peningkatan kelembaban, suhu dan ketegangan CO2 tampaknya menjadi
faktor penting yang berkontribusi terhadap infeksi. Malassezia furfur adalah dimorfik,
organisme lipofilik yang tumbuh secara in vitro hanya dengan tambahan asam lemak C12-
C14 seperti minyak zaitun dan lanolin. Dalam kondisi yang tepat, ia berubah dari jamur
saprofit menjadi bentuk miselium yang didominasi parasit, yang menyebabkan penyakit
klinis. Faktor predisposisi transisi miselium termasuk, lingkungan yang lembab,
hiperhidrosis, kontrasepsi oral, penggunaan kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing,
imunosupresi, serta keadaan malnutrisi.4

Organisme yang menginfeksi biasanya hadir di lapisan atas stratum korneum, dan
dengan penggunaan mikroskop elektron bisa dilihat bahawa jamur ini menyerang tidak
hanya antara tetapi dalam sel-sel berkeratin. Jumlah korneosit jelas menunjukkan
pergantian sel meningkat pada kulit yang terinfeksi. Ada beberapa mekanisme yang
dipostulasikan untuk perubahan dalam pigmentasi, termasuk produksi asam dikarboksilat
yang dihasilkan oleh spesies Malassezia (asam azelaic misalnya) yang menyebabkan
penghambatan kompetitif tirosinase dan mungkin efek sitotoksik langsung pada melanosit
hiperaktif.

Bercak hiperpigmentasi kulit terjadi karena peningkatan berlebihan dalam ukuran


melanosom dan perubahan dalam distribusi mereka di epidermis, memberikan kawasan
yang terkena warna kulit yang lebih gelap dari normal. Lesi hipopigmentasi pula dapat
diakibatkan dari penghambatan enzim dopa-tyrosinase oleh fraksilipid, karena jamur
menghasilkan asam azelaic di lokasi cedera yang terinfeksi, yang menghambat tirosinase,
mengganggu melanogenesis.

9
GAMBARAN KLINIS

Timbul bercak putih atau kecoklatan yang kadang-kadang gatal bila berkeringat. Bisa
pula tanpa keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita mengeluh karena malu oleh adanya
bercak tersebut (berhubungan dengan kosmetik). Gambaran klinis pitiriasis versikolor sangat
khas sehingga mudah didiagnosis. Lesi berupa bercak yang berbatas tegas disertai dengan
skuama halus, lesi tersebut mempunyai ukuran, bentuk dan warna yang bermacam-macam. Hal
ini sesuai dengan namanya yaitu ”pitiriasis” yang berarti penyakit dengan skuama halus seperti
tepung dan ”versikolor” yang berarti berbagai macam warna.5

Warna lesi mulai dari hipopigmentasi, merah muda, kuning kecoklatan, coklat muda
atau hiperpigmentasi. Variasi warna tersebut tergantung dari pigmen kulit penderita, paparan
sinar matahari dan lamanya penyakit. Pada orang kulit berwarna, lesi yang terjadi tampak
sebagai bercak hipopigmentasi, tetapi pada orang yang berkulit pucat maka lesi bisa berwarna
kecoklatan ataupun kemerahan. Kadang – kadang skuama sukar dilihat, namun dapat
dibuktikan dengan dengan pemeriksaan goresan permukaan lesi dengan kuret atau kuku jari
tangan (finger nail sign). Lesi yang pertama muncul mula – mula berbentuk milier yang
berbatas tegas dan makin lama makin membesar tanpa disertai peninggian ditepinya. Tempat
predileksinya terutama daerah yang ditutupi pakaian sperti dada, punggung, perut, lengan atas,
paha, leher.5

Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran
seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Beberapa kasus didaerah berhawa dingin dapat
sembuh spontan.

Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dengan ukuran lesi dapat milier,
lentikuler, numuler sampai plakat. Ada dua bentuk yang sering dijumpai :

1. Bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan squama halus diatasnya, dan
tepi tidak meninggi.

2. Bentuk folikuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.5

10
Gambar. Pityriasis versicolor menunjukkan lesi hiperpigmentasi dalam lesi Kaukasia (kiri
atas) dan hipopigmentasi dalam Aborijin Australia (kanan atas dan bawah ).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%.

Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang
mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan skalpel steril dan
jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril pula atau ditempel pada selotip. Sebagian
dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH 10% yang diberi tinta Parker biru hitam
atau biru laktofenol, dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah
mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur, maka kelihatan garis yang memiliki indeks bias
lain dari sekitarnya dan jarak-jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat yang dikenal dengan
hifa. Pada pitiriasis versikolor hifa tampak pendek-pendek, lurus atau bengkok dengan banyak
spora bergerombol sehingga sering disebut dengan gambaran spaghetti and meatballs atau
bacon and eggs.

11
Gambaran sediaan langsung dengan KOH memperlihatkan hifa pendek-pendek dengan
spora yang bergerombol.6
2. Pemeriksaan dengan sinar wood

Dapat memberikan perubahan warna pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih
mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan memperlihatkan fluoresensi warna kuning
keemasan sampai orange. Pemeriksaan ini memungkinkan untuk melihat dengan lebih jelas
perubaha pigmentasi yang menyertai kelainan ini.

3. Pemeriksaan Biakan.

Pemeriksaan dengan biakan jamur tidak terlalu bernilai secara diagnostik karena
memerlukan waktu yang lama. Pemeriksaan ini menggunakan media biakan agar malt atau
saboraud’s agar. Koloni yang tumbuh berbentuk soliter, sedikit meninggi, bulat mengkilap dan
lama kelamaan akan kering dan dibawah mikroskop terlihat yeast cell bentuk oval dengan hifa
pendek.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis pada penyakit ini mudah ditegakkan karena sangat khas, yaitu :

• Klinis : Makula hipopigmentasi sampai kecoklatan ditutupi skuama yang halus

12
• Pemeriksaan dengan lampu woods pada kamar gelap didapatkan hasil fluoresensi kuning
keemasan
• Diagnosis diperkuat dengan pemeriksaan kerokan kulit dari daerah lesi dengan larutan
KOH 10-20%. Dibawah mikroskop terlihat hifa – hifa pendek dengan spora bergerombol
seperti buah anggur.

Diagnosis banding dari penyakit jamur ini adalah :

1. Pitiriasis alba : ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan
menghilang dan meninggalkan area yang depigmentasi. Lebih sering ditemukan pada
anak-anak dengan lokasi lesi 50-60% pada muka, terutama di sekitar mulut, dagu, pipi
serta dahi. Lesi umumnya menetap dan tidak melebar, batas tidak tegas dan tidak gatal.

2. Morbus hansen tipe T : ditandai dengan makula hipopigmentasi yang dibatasi oleh infiltrat
yang berjumlah satu atau beberapa dengan distribusio asimetris, permukaan kering
bersisik, batas tegas dan terdapat hipoanestesi sampai anestesi. Yang penting ditanyakan
adalah adanya riwayat kontak erat dengan penderita kusta sebelumnya.

PENATALAKSANAAN

Pitiriasis versikolor dapat diobati. Pakaian, kain sprei, handuk harus dicuci dengan air
panas. Kebanyakan pengobatan akan menghilangkan bukti infeksi aktif (skuama) dalam waktu
beberapa hari, tetapi untuk menjamin pengobatan yang tuntas pengobatan ketat ini harus
dilanjutkan beberapa minggu. Perubahan pigmen lebih lambat hilangnya. Daerah
hipopigmentasi belum akan tampak normal sampai daerah itu menjadi coklat kembali. Sesudah
terkena sinar matahari lebih lama daerah-daerah yang hipopigmentasi akan coklat kembali.
Meskipun terapi nampak sudah cukup, bila kambuh atau kena infeksi lagi merupakan hal biasa,
tetapi selalu ada respon terhadap pengobatan kembali.7

Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik.

• Topikal : terutama ditujukan untuk lesi yang minimal

1. Salep Whitfield yang mengandung asam salisilat(3-6% dan asam benzoat (612%)

2. Selenium sulfid 2,5% yang dioleskan pada lesi, lalu dibiarkan selama 15-30 menit
kemudian dibersihkan. Dilakukan 2-3 kali seminggu selama 2-4 minggu. Selenium

13
sulfid ini memiliki kekurangan yaitu bau yang kurang seap serta kadang bersifat iritatif,
sehingga menyebabkan pasien kurang taat berobat.
3. Obat golongan azol : klotrimazol 1%, mikonazol nitrat 2%, sulkonazol 1%,
ketokonazol 2%, ekonazol nitrat 1%, bifonazol 2,5% krim, tiokonazol 1%, oksikonazol
1% dan sertakonazol. Dioleskan 1-2 kali seahri selama 2-3 minggu.

• Sistemik : digunakan pada kondisi tertentu yaitu adanya resitensi terhadap obat topikal, lesi
yang luas dan sering kambuh.

1. Ketokonazol dengan dosis 200 mg sehari selama 7-10 hari atau 400 mg dosis tunggal.

2. Itrakonazol dengan dosis 200 mg per hari secara oral selama 5-7 hari

Itrakonazol bersifat keratinofilik dan lipofilik. Merupakan obat anti jamur derivat trazol
dengan spektrum luas dan lebih kuat dari ketokonazol dan disarankan untuk kasus yang relaps
atau tidak responsif terhadap pengobatan lain.

Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah flouresensi negatif dengan pemeriksaan


lampu wood dan sediaan langsung negatif. Pitiriasis versikolor tidak memberi respon yang
baik terhadap pengobatan dengan griseofulvin. Untuk pencegahan, dapat dilakukan dengan
selalu menjaga higienitas perseorangan, hindari kelembaban kulit dan menghindari kontak
langsung dengan penderita.7

PROGNOSIS

Prognosis penyakit ini umumnya baik, namun perjalanan penyakit yang umumnya
berlangsung kronik dan hilang timbul serta bila tidak diobati lesi akan menetap dan meluas.
Respon terhadap pengobatan umunya baik, tetapi pengobatan yang bersifat permanent sukar
dicapai, karean penyakit ini mempunyai kekambuhan yang tinggi. Hal ini banyak dipengaruhi
oleh faktor predisposisi yang pada umumnya sulit dieliminir.7

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Unandar, Budimulja. Mikosis. In; Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Editors. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin 5th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2008. Hal 100-105

2. Tan Sukmawati, Reginata G. 2015. Uji Provokasi Skuama pada Pitiriasis Versikolor.
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara. CDK-229/ vol. 42 no. 6. Jakarta, Indonesia.
3. Johnson. R.A, Suurmond. D . 2007. Color Atlas And Synopsis of Clinical Dermatology.
Dalam: Fitzpatrick TB, Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, penyunting. Dermatology
in general medicine. Edisi ke-5. New York: McGraw-Hill. h. 729
4. Kundu, R.V. and A. Garg. 2012. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea (Pityriasis)
Versicolor, and Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis, in Fitzpatrick's Dermatology In
General Medicine, M. Lowell A. Goldsmith, MPH, et al., Editors. McGraw-Hill. p. 3280-
3285.
5. Nasution, M.A. 2005. Mikologi dan Mikologi kedokteran, Beberapa Pandangan
Dermatologis, Pidato jabatan pengukuhan guru besar tetap USU. Medan. Hal 104-106
6. Wolff K, Johnson. R.A Suurmond. D. 2007. Fitzpatrick´s, The Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology, fifth edition. E-book : The McGraw-Hill Companies

7. Gupta Aditya K, Folley Kelly A. 2015. Antifungal Treatment for Pityriasis Versicolor.
Journal of Fungi. Canada. Received: 24 December 2014 / Accepted: 4 March 2015 /
Published: 12 March 2015

15

Anda mungkin juga menyukai