Anda di halaman 1dari 29

TUGAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

FIBRIANA PUPUT CAHYANI


21080116120007

DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur
utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia
sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia
memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat
tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi
belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian
tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap
kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun
hilir demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi
biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap
ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh
pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya
dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Tidak optimalnya kondisi DAS
antara lain disebabkan tidak adanya ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing
berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi
dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan
pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada
DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas provinsi. Oleh karena itu, dalam rangka
memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara
terpadu. Pengelolaan DAS terpadu dilakukan secara menyeluruh mulai keterpaduan kebijakan,
penentuan sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah
direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara terpadu. Pengelolaan DAS
terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu sampai hilir juga perlu
mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan, dan hukum. Dengan kata lain,
pengelolaan DAS terpadu diharapkan dapat melakukan kajian integratif dan menyeluruh
terhadap permasalahan yang ada, upaya pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam skala
DAS secara efektif dan efisien.
Daerah Aliran Sungai dinamakan sebagai suatu megasistem kompleks yang dibangun atas
sistem fisik (physical systems), sistem biologis (biological systems) dan sistem manusia
(human systems) dimana setiap sistem dan sub-sub sistem di dalamnya saling berinteraksi.
DAS sebagai suatu sistem akan memelihara keberadaannya dan berfungsi sebagai sebuah
kesatuan melalui interaksi antar komponennya. Kualitas output dari suatu ekosistem sangat
ditentukan oleh kualitas interaksi antar komponennya, sehingga dalam proses ini peranan tiap-
tiap komponen dan hubungan antar komponen sangat menentukan kualitas ekosistem DAS
(Senge, 1994 dan Kartodihardjo et al., 2004).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa konsep pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu?
1.2.2 Apa tujuan dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai terpadu
1.3.2 Mengetahui tujuan dari pengelolaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan batas perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan. DAS juga diartikan sebagai daerah yang dibatasi oleh punggung-
punggung gunung dan air akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak,
2004; Kementerian Kehutanan, 2009; dan Santoso, 2012). DAS berdasarkan ekosistemnya dibagi
menjadi bagian hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu merupakan daerah konservasi yang
mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi dan memiliki kemiringan lereng lahan yang besar.
DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua bagian DAS hulu dan hilir. DAS bagian
hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan aliran kecil dan memiliki kemiringan lahan yang
kecil sampai sangat kecil. Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian penting, karena
mempunyai perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, perlindungan tersebut dari segi fungsi tata
air (Asdak, 2004; BPDAS, 2009).

Konsep pengelolaan DAS dalam implementasinya merupakan tanggung jawab semua daerah
di kawasan DAS dan yang penting sekarang implementasinya seperti apa dan kapan dilaksanakan
perlu koordinasi antar instansi terkait dan sebaiknya juga melibatkan masyarakat setempat).
Paimin et al., (2010) dan Gunawan (2012), menyatakan bahwa karakteristik DAS merupakan
faktor utama dalam pengelolaan DAS. Penyusunan rencana pengelolaan DAS adalah berdasarkan
karakteristik DAS. Karakteristik DAS dibagi dalam dua bagian, yaitu: (1) karakteristik statis
(variabel: bentuk, morfologi, dan morfometri DAS), dan (2) karakteristik dinamis (variabel:
hidrologi, klimatologi, penutupan lahan, penggunaan lahan, kondisi sosial, ekonomi dan budaya
masyarakatnya dan kelembagaan. DAS merupakan ekosistem dimana unsur organisme dan
lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat
keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Pengelolaan DAS dapat juga
disebutkan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit
pengelolaan sumberdaya alam yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi
pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan dengan upaya menekan kerusakan
seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata
sepanjang tahun. Keterpaduan biofisik tersebut menyebabkan daerah aliran sungai harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh menyeluruh yang terdiri dari sumber-sumber air, badan
air, danau, dan waduk yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

2.2 Konsep Dasar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)


Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara Terpadu merupakan sebuah pendekatan
holistik dalam mengelola sumberdaya alam yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam secara berkesinambungan. Di daerah dataran
tinggi curah hujan yang jatuh akan mengalir dan berkumpul pada beberapa parit, anak sungai, dan
kemudian menuju ke sebuah sungai. Keseluruhan daerah yang menyediakan air bagi anak sungai
dan sungai-sungai tersebut merupakan daerah tangkapan air (Catchment area), dikenal sebagai
Daerah Aliran Sungai (DAS).
DAS merupakan unit hydro-geologis yang meliputi daerah dalam sebuah tempat penyaluran
air. Air hujan yang jatuh di daerah ini mengalir melalui suatu pola aliran permukaan menuju suatu
titik yang disebut outlet aliran air. Untuk tujuan pengelolaan dan perlindungan, DAS dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir. Daerah
hulu merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan tempat tertinggi
dalam suatu DAS, sedangkan daerah hilir adalah daerah yang dekat dengan jalan ke luar air bagi
setiap DAS dan daerah tengah adalah daerah yang terletak di antara daerah hulu dan daerah hilir.
DAS memiliki aspek sosial yang kompleks. Sebagian penduduk yang memiliki tanah di DAS
atau yang bergantung pada sumber DAS tidak tinggal di dalam DAS tersebut. Dengan kata lain
ada petani yang tinggal di luar DAS, yang merupakan pemilik lahan pertanian yang terletak dalam
suatu DAS atau penduduk yang memanfaatkan sumber daya alam ini. Ada petani yang tidak
memiliki lahan garapan, dan ada petani yang memiliki lahan di beberapa DAS. Aspek sosial ini
sangat berperan dalam pembentukan sebuah lembaga yang mengelola program DAS. Oleh karena
itu, kompleksitas ini sangat penting untuk dipahami sebelum sebuah lembaga terbentuk.
2.2.1 Tujuan Pengelolaan DAS
Tujuan pengelolaan DAS terpadu adalah membantu masyarakat mengembangkan visinya
tentang apa yang mereka inginkan terhadap DAS yang berada di daerah mereka, misalnya dalam
10 tahun ke depan, dan mencari strategi untuk mencapai visi tersebut. Program ini hanya
menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan strategi yang secara kritis dipicu
oleh faktor pemicu dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang dibutuhkan untuk
memenuhi visi tersebut.
Maksud pengelolaan DAS terpadu adalah suatu pendekatan yang melibatkan teknologi tepat
guna dan strategi sosial untuk memaksimalkan pengembangan lahan, hutan, air dan sumebrdaya
manusia dalam suatu daerah aliran sungai, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia
secara berkesinambungan. Dengan kata lain pengelolaan DAS ini bertujuan agar generasi masa
depan dapat menikmati sumberdaya alam yang lebih sehat dan lebih produktif dari generasi
sekarang. Di masa mendatang penduduk jangan lagi dianggap hanya penerima manfaat, tetapi
mereka harus ikut berpartisipasi aktif mulai dari perencanaan, pembuatan anggaran dan
pelaksanaan kegiatan di lapangan.
2.2.2 Komponen Pengelolaan DAS
Program pengelolaan DAS terpadu adalah sebuah paket yang menyatukan semua
komponen DAS berdasarkan prioritas masyarakatnya. Program ini memiliki komponen-
komponen sebagai berikut:
1. Pengembangan Sumberdaya Alam: Lahan, Hutan dan Air
Penduduk yang tinggal dalam DAS dan menggunakan sumberdaya alam tersebut merupakan
bagian penting dari program pengelolaan DAS. Mereka merupakan sumber utama dan perlu
menginvestasikan dananya demi kemajuan pengelolaan DAS. Program ini harus bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran dan komitmen penduduk akan perlunya perlindungan sumberdaya alam
agar saling menguntungkan. (Peternak harus memberi makan dan memelihara sapi yang dimiliki
agar dapat diperas susunya; hal ini sama dengan kebutuhan untuk memelihara dan melindungi
sumberdaya alam agar dapat menghasilkan jasa-jasanya, termasuk jasa-jasa lingkungan).
Disamping itu, pengembangan keahlian, kearifan dan rasa percaya diri penduduk dalam
mengelola dan meningkatkan sumberdaya alam sangat dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan dengan
memberi dukungan bagi kelompok dalam membina kelembagaan yang mengembangkan visi/misi
mereka, sebuah strategi untuk memenuhi visi mereka.
2. Tindakan pengendalian untuk meminimumkan laju degradasi dan memperbaiki
sumberdaya alam
Tindakan ini termasuk pengendalian lahan yang dapat ditanami (baik milik pribadi yang
ditanami ataupun lahan tidur milik pribadi), lahan tidur, aliran air dan kelembagaan sosial.
Tindakan ini juga meliputi perbaikan sumberdaya alam seperti pohon, tanaman semusim, hutan,
air permukaan, dll.
3. Pengelolaan Sumberdaya Alam: Lahan, Hutan dan Air
Pengelolaan sumberdaya alam sama pentingnya dengan menumbuhkannya. Jika tidak
dilakukan maka akan menyebabkan degradasi. Misalnya:
 Pengelolaan tanah yang efektif memerlukan pengelolaan kesuburannya secara terpadu untuk
mempertahankan tingkat produktivitas tanaman pangan.
 Pengelolaan air yang meliputi kegiatan untuk meningkatkan penggunaan air tanah (green
water) dan air permukaan (blue water) secara efisien seperti pengontrolan irigasi yang
berlebihan, penggunaan sistem irigasi drip (menetes) atau pot (lubang didalam tanah),
penanaman bersistem tadah hujan, penanaman yang tidak membutuhkan banyak air dll.
 Pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan lestari, penampungan limbah organik,
penampungan air hujan dll, meliputi penyusunan strategi yang melibatkan penduduk yang
mengelola sumberdaya alam tersebut (perlindungan hutan dengan menggunakan dana dan
proyek tidaklah cukup).
4. Diversifikasi Mata Pencaharian
Dalam sebuah pendekatan pengelolaan DAS terpadu, peningiatan pendapatan rumahtangga
melalui non-pertanian sangat penting untuk dlakukan, karena hal ini dapat mengurangi tekanan
pada sumberdaya alam dan memberi kesempatan pada penduduk yang tidak mempunyai lahan
pertanian atau penduduk sekitar yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dari kegiatan
yang berhubungan dengan pertanian saja. Dalam situasi pertanian yang tidak menguntungkan,
seperti pada daerah rawan kekeringan, hal ini perlu dilaksanakan oleh penduduk miskin di
pedesaan. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan penyuluhan seperti peternakan dan pertanian.
Kegiatan ini seperti perdagangan dan usaha berskala kecil juga cukup membantu. Akan tetapi,
beberapa penduduk pada awalnya kurang terterik untuk melaksanakan kegiatan ini karena
kurangnya keahlian, pengetahuan, rasa percaya diri ataupun modal usaha.
Oleh karena itu, pengenalan potensi untuk mendukung penduduk yang berkeinginan
melaksanakan kegiatan tersebut sangat penting untuk dilakukan. Disamping itu, perlu diketahui
juga strategi rumahtangga pedesaan dalam memenuhi kebutuhan dan kecukupan pangannya.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya
terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku
pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat
berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan
sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS
semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi,
banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system
kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu, khususnya kondisi
biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman
gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku,
keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan
kelembagaan (institutional arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya ketidakterpaduan
antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut.
Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak
belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah
dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS
yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja
pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan
DAS terpadu dilakukan secara menyeluruh mulai keterpaduan kebijakan, penentuan sasaran dan
tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah direncanakan serta monitoring dan
evaluasi hasil kegiatan secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor
biofisik dari hulu sampai hilir juga perlu mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan,
dan hukum. Dengan kata lain, pengelolaan DAS terpadu diharapkan dapat melakukan kajian
integratif dan menyeluruh terhadap permasalahan yang ada, upaya pemanfaatan dan konservasi
sumberdaya alam skala DAS secara efektif dan efisien.
2.2.3 Lingkup Pengelolaan DAS
Sasaran wilayah pengelolaan DAS adalah wilayah DAS yang utuh sebagai satu kesatuan
ekosistem yang membentang dari hulu hingga hilir. Penentuan sasaran wilayah DAS secara utuh
ini dimaksudkan agar upaya pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan secara menyeluruh
dan terpadu berdasarkan satu kesatuan perencanaan yang telah mempertimbangkan keterkaitan
antar komponen-komponen penyusun ekosistem DAS (biogeofisik dan sosekbud) termasuk
pengaturan kelembagaan dan kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan yang disebutkan terakhir
berfungsi sebagai instrumen pengelolaan yang akan menentukan apakah kegiatan yang dilakukan
telah/tidak mencapai sasaran.
Ruang lingkup pengelolaan DAS secara umum meliputi perencanaan, pengorganisasian,
implementasi/pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap upaya - upaya pokok berikut:
a) Pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan (landuse) dan konservasi tanah
dalam arti yang luas.
b) Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan, penggunaan dan
pengendalian daya rusak air.
c) Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis vegetasi darat lainnya yang
memiliki fungsi produksi dan perlindungan terhadap tanah dan air.
d) Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk pengembangan kapasitas
kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan
dalam upaya pengelolaan DAS.
2.2.4 Konsep Keterpaduan Pengelolaan DAS
Beberapa istilah yang perlu dipahami dan disepakati bersama dalam pengelolaan DAS adalah
sebagai berikut:
a) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi oleh pemisah topografis yang berfungsi
menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya melalui ke
danau atau ke laut secara alami.
b) Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak
sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS – Sub DAS.
c) Satuan Wilayah Sungai (SWS) adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam
satu atau lebih DAS dan atau satu atau lebih pulau-pulau kecil , termasuk cekungan air bawah
tanah yang berada di bawahnya.
d) Cekungan air bawah tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologis,
temapat sema kejadian hidrologis seperti proses pengibuhann, pengaliran, pelepasan air bawah
tanah berlangsung.
e) Pengelolaan DAS adalah upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal balik
antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan
membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan manfaat sumberdaya alam
bagi manusia secara berkelanjutan.
f) Pengelolaan DAS Secara Terpadu adalah suatu proses formulasi dan implementasi kebijakan
dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan
manusia dalam suatu DAS secara utuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek fisik, sosial,
ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
g) Rencana Pengelolaan DAS merupakan konsep pembangunan yang mengakomodasikan
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dijabarkan secara menyeluruh dan
terpadu dalam suatu rencana berjangka pendek, menengah maupun panjang yang memuat
perumusan masalah spesifik di dalam DAS, sasaran dan tujuan pengelolaan, arahan kegiatan
dalam pemanfaatan, peningkatan dan pelestarian sumberdaya alam air, tanah dan vegetasi,
pengembangan sumberdaya manusia, arahan model pengelolaan DAS, serta sistem monitoring
dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS.
h) Tata air DAS adalah hubungan kesatuan individual unsur-unsur hidrologis yang meliputi
hujan, aliran permukaan dan aliran sungai, peresapan, aliran air tanah, evapotranspirasi dan
unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air suatu DAS.
i) Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut
tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi
maupun sebagai media tata air.
j) Konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan meningkatkan daya guna
lahan sesuai dengan peruntukannya.
k) Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) adalah upaya manusia untuk memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan daya dukung lahan agar berfungsi optimal sesuai dengan
peruntukannya.
2.2.5 Pentingnya Pengelolaan DAS Terpadu
Pentingnya asas keterpaduan dalam pengelolaan DAS erat kaitannya dengan pendekatan
yang digunakan dalam pengelolaan DAS, yaitu pendekatan ekosistem. Ekosistem DAS merupakan
sistem yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen biogeofisik dan sosial ekonomi dan
budaya yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Kompleksitas ekosistem DAS
mempersyaratkan suatu pendekatan pengelolaan yang bersifat multi-sektor, lintas daerah,
termasuk kelembagaan dengan kepentingan masing-masing serta mempertim- bangkan prinsip-
prinsip saling ketergantungan. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS :
a) Terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
pembinaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
b) Melibatkan berbagai disiplin ilmu dan mencakup berbagai kegiatan yang tidak selalu saling
mendukung.
c) Meliputi daerah hulu, tengah, dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik dalam bentuk
daur hidrologi.
2.2.6 Kerangka Pikir Pengelolaan DAS Terpadu
Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat
partisipatif dari berbagai pihak - pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan dan konservasi
sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini mempersyaratkan adanya rasa
saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung jawab, dan mempunyai rasa ketergantungan
(interdependency) di antara sesama stakeholder. Demikian pula masing-masing stakeholder harus
jelas kedudukan dan tanggung jawab yang harus diperankan. Hal lain yang cukup penting dalam
pengelolaan DAS terpadu adalah adanya distribusi pembiayaan dan keuntungan yang proporsional
di antara pihak - pihak yang berkepentingan. Dalam melaksanakan pengelolaan DAS, tujuan dan
sasaran yang diinginkan harus dinyatakan dengan jelas.
Tujuan umum pengelolaan DAS terpadu adalah :
1. Terselenggaranya koordinasi, keterpaduan, keserasian dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, monitoring dan evaluasi DAS.
2. Terkendalinya hubungan timbal balik sumberdaya alam dan lingkungan DAS dengan kegiatan
manusia guna kelestarian fungsi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai pada dasarnya adalah:
1. Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal.
2. Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat.
3. Tertata dan berkembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat dalam
penyelenggaraan pengelolaan DAS dan konservasi tanah.
4. Meningkatnya kesadaran dan partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS
secara berkelanjutan.
5. Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.
Oleh karena itu, perumusan program dan kegiatan pengelolaan DAS selain harus mengarah
pada pencapaian tujuan dan sasaran perlu pula disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi
dengan mempertimbangkan adanya pergeseran paradigma dalam pengelolaan DAS, karakteristik
biogeofisik dan sosekbud DAS, peraturan dan perundangan yang berlaku serta prinsip-prinsip
dasar pengelolaan DAS.
2.2.7 Implementasi Pengelolaan DAS Terpadu
Pengelolaan Terpadu DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan partisipasi berbagai
sektor/sub sektor yang berkepentigan dalam pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS,
sehingga di antara mereka saling mempercayai, ada keterbukaan, mempunyai rasa tanggung jawab
dan saling mempunyai ketergantungan (inter-dependency). Demikian pula dengan biaya kegiatan
pengelolaan DAS, selayaknya tidak lagi seluruhnya dibebankan kepada pemerintah tetapi harus
ditanggung oleh semua pihak yang memanfaatkan dan semua yang berkepentingan dengan
kelestariannya.
Untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan pengelolaan DAS harus mengikuti
prinsipprinsip dasar hidrologi. Dalam sistem ekologi DAS, komponen masukan utama terdiri atas
curah hujan sedang komponen keluaran terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk
unsur hara dan bahan pencemar di dalamnya. DAS yang terdiri atas komponen-komponen
vegetasi, tanah, topografi, air/sungai, dan manusia berfungsi sebagai prosesor.
2.2.8 Pengelolaan Sumber Daya Air
a. Pembangunan Sumberdaya Air
Menyiapkan rencana induk pengembangan sumberdaya air termasuk di dalamnya neraca air,
yang melibatkan berbagai instansi terkait serta melaksanakan pembangunan prasarana pengairan
(sesuai dengan penugasan yang diberikan) dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya air.
b. Prediksi Kekeringan
Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuat prediksi kemungkinan
terjadinya kekeringan (mungkin menggunakan fasilitas telemetri dan bantuan simulasi komputer
yang dihubungkan dengan basis data nasional dan internasional).
c. Penanggulangan Kekeringan
Secara aktif bersama Dinas/Instansi terkait dalam Satkorlak-PBA melakukan upaya
penanggulangan pada saat terjadi kekeringan yang tidak dapat terelakkan.
d. Perijinan Penggunaan Air
Memberikan rekomendasi teknis atas penerbitan ijin penggunaan air dengan memperhatikan
optimasi manfaat sumber daya yang tersedia.
e. Alokasi Air
Menyusun konsep pola operasi waduk/alokasi air untuk mendapatkan optimasi pengalokasian
air
f. Distribusi Air
Melakukan pengendalian distribusi air bersama Dinas/Instansi terkait dengan bantuan
telemetri untuk melaksanakan ketetapan alokasi air.
2.2.9 Manajemen Kualitas Air
a. Perencanaan Pengendalian Kualitas Air
Bersama Dinas/Instansi terkait menyiapkan rencana induk dan program kerja jangka
menengah dan tahunan pengendalian pencemaran air dan peningkatan kualitas air.
b. Pemantauan dan Pengendalian Kualitas Air
Berdasarkan rencana induk, melakukan pemantauan dan pengendalian kualitas air yang
melibatkan berbagai instansi terkait. Pemantauan dilakukan secara periodik (baik kualitas air
sungai maupun buangan limbah cair yang dominan) dan melaksanakan pengujian laboratorium
serta evaluasi terhadap hasil uji tersebut. Rekomendasi diberikan kepada Pemerintah Daerah
(Gubernur maupun Bapedalda) dalam upaya pengendalian pencemaran air, penegakan aturan dan
peningkatan kualitas air sungai.
c. Penyediaan Debit Pemeliharaan Sungai
Berdasarkan pola operasi waduk dan/atau kondisi lapangan, dapat disediakan sejumlah debit
pemeliharaan sungai setelah mendapatkan pengesahan alokasi dari Dewan DAS Propinsi.
d. Peningkatan Daya Dukung Sungai
Pelaksanaan peningkatan daya dukung sungai dengan melaksanakan upaya pengendalian di
instream (penggelontoran, penyediaan debit pemeliharaan, peningkatan kemampuan asimilasi
sungai) dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengendalian di off-stream (pada sumber
pencemar) melalui instrumen hukum maupun instrumen ekonomi di samping melaksanakan
kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan kontrol sosial dari masyarakat.
e. Bersama dengan instansi/dinas terkait menyelenggarakan koordinasi penyiapan program dan
implementasi pengendalian pencemaran dan limbah domestik, industri dan pertanian.
2.3 Permasalahan DAS
Menurut Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012, tentang pengelolaan DAS, bahwa DAS
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang terpengaruh aktivitas daratan. Sebagaimana
sudah diketahui, fungsi DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas yang baik,
terutama bagi orang di daerah hilir. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau
bukan pertanian akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas tata air pada DAS, yang akan lebih
dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir.

Persepsi umum yang berkembang sekarang, konversi hutan menjadi lahan pertanian
mengakibatkan penurunan fungsi hutan dalam mengatur tata air, mencegah banjir, longsor dan
erosi pada DAS tersebut. Hutan selalu dikaitkan dengan fungsi positif terhadap tata air dalam
ekosistem DAS (Noordwijk dan Farida, 2004). Kerusakan pada DAS akibat dari intervensi dan
kebutuhan manusia yang terus meningkat serta alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan kaidah-
kaidah kesesuaian dan kemampuan lahan menyebabkan munculnya berbagai bencana alam,
keadaan ini menyebabkan semakin meningkatnya DAS kritis dan rusak.

Dewasa ini kondisi DAS semakin memprihatinkan dan kualitas daerah aliran sungai semakin
terdegradasi. Penurunan kualitas daerah aliran sungai ini disebabkan oleh rusaknya wilayah hulu
DAS sebagai daerah tangkapan air yang sudah mengalami penebangan vegetasi dan beralih fungsi,
sehingga terjadi erosi. Kerusakan DAS juga dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya
alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, kebijakan yang
belum berpihak kepada pelestarian sumberdaya alam, serta masih kurangnya kesadaran dan
partisipasi masyarakat dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam. Permasalahan DAS tumbuh
seiring dengan pertambahan penduduk dan waktu, tugas pengelolaannya hampir tanpa akhir,
dengan demikian pengelolaan DAS bersifat sinambung (continuous) dan lentur (flexible),
sehingga tidak dapat diselesaikan dengan sekali kegiatan dapat tuntas. Hal ini disebabkan oleh
masalah baru akan selalu timbul, sebagai akibat aktivitas manusia maupun oleh proses alam
(Paimin et al., 2010). Kondisi DAS di Indonesia semakin memburuk, menunjukkan masih
lemahnya sistem pengelolaan yang diterapkan, hal ini disebabkan oleh dinamika kondisi DAS
yang masih kurang terdeteksi secara dini dan periodik, sehingga penanganannya kurang bertumpu
pada masalah utamanya. Dalam kaitan ini, maka sistem karakterisasi DAS dapat digunakan
sebagai alat diagnosis atau penyidikan secara cepat dan tepat terhadap degradasi DAS, yang
mencakup letak, penyebab, ataupun tingkat degradasinya. Setiap DAS di Indonesia memiliki sifat
atau karakteristik sendiri-sendiri, yang dapat berupa sifat alami maupun sifat yang terbangun
sebagai hasil intervensi manusia.

Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS
sebagai suatu unit pengelolaan. Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan usaha-usaha
penggunaan sumberdaya alam suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi
pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas, berkelanjutan dan lestari. Usaha disertai
dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin, sehingga aliran air merata
sepanjang tahun (Asdak, 2004). Meningkatnya jumlah penduduk disertai tuntutan akan
peningkatan penyediaan kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya sehingga menyebabkan
terjadinya kompetisi antara berbagai kemungkinan penggunaan lahan, sehingga daya dukung
lahan dan daya dukung DAS pada DAS tersebut menurun (Sitorus, 2004). Daya dukung DAS
adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem, serta
meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara
berkelanjutan.
Perubahan kondisi daya dukung DAS sebagai dampak pemanfaatan lahan yang tidak terkendali
dan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dapat mengakibatkan
peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan penutupan vegetasi, dan percepatan degradasi
lahan. Hasil akhir dari perubahan ini tidak hanya berdampak nyata secara biofisik berupa
peningkatan luas lahan kritis, penurunan kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran, namun juga
secara sosial ekonomi menyebabkan masyarakat menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk
berusaha di lahannya dan penurunan pendapatan dan kesejahtraan masyarakatnya. Penurunan daya
dukung DAS yang dicirikan dengan terjadinya banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan
kekeringan, hal ini menyebabkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat
khususnya di wilayah DAS bersangkutan. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam
mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan
segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya
kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara lestari dan berkelanjutan. Tujuan pengelolaan
DAS adalah agar tata air DAS optimal, daya dukung dan daya tampung meningkat, sehingga
masyarakat lebih sejahtera (PP No. 37 Tahun 2012).

2.4 Perubahan Penggunaan Lahan


Pola penggunaan lahan adalah bentuk atau cara-cara pengunaan lahan untuk mencapai tujuan
tertentu, seperti produksi tanaman semusim, produksi tanaman industri, produksi ternak, dan lain-
lain. Pola penggunaan dipengaruhi oleh motivasi pemiliknya dan kondisi lapangan, sehingga pola
penggunaan dapat berbeda antar tempat dan waktu sesuai dengan keadaan setempat. Lahan adalah
lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya
perakaran, penopang tegak tumbuhnya tanaman dan memasok kebutuhan air dan udara. Lahan
secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan
anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: C, H, O, P, K, N, S, Ca, Fe, Mg, B, Mn, Cl,
Cu, Zn,dan Mo). Secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasi
aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman,
yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan
biomassa dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri perkebunan, maupun
kehutanan.
Lahan memiliki berbagai fungsi seperti pertumbuhan tanaman pangan dan pohon-pohonan,
perumahan, transportasi, lapangan bermain, industri, dan penggunaan lainnya yang menunjukkan
kompleksitas kehidupan modern. Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang
mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk
vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan
(Sitorus, 2004). Hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan tipe penggunaan lahan yang akan
dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, dilihat dari kualitas dan karakteristik lahan.
Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia baik permanen
maupun berupa sebuah siklus dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun
spiritual dari alam yang kompleks maupun sumberdaya buatan yang secara bersama-sama disebut
lahan. Pada awalnya, pemenuhan kebutuhan manusia dapat dilakukan melalui perluasan areal yang
belum diusahakan. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah penduduk terus meningkat
sedangkan lahan tidak meningkat jumlahnya, oleh karena itu terjadilah keterbatasan lahan dalam
memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Meningkatnya jumlah penduduk disertai oleh tuntutan akan peningkatan penyediaan


kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi antara
berbagai kemungkinan penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Untuk mengatasi hal tersebut, maka
diperlukan evaluasi sumberdaya lahan yang dapat menyajikan seperangkat data objektif yang
dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang perencanaan, sehingga lahan
dapat digunakan secara efisien, dengan demikian, kemungkinan perubahan penggunaan lahan
pertanian ke lahan non-pertanian dapat diusahakan agar masih sesuai dengan konsep penggunaan
lahan yaitu sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta mengikuti kaidah-kaidah konservasi
tanah. Perubahan penggunaan lahan merupakan perubahan penggunaan dari satu sisi penggunaan
ke penggunaan yang lain. Perubahan penggunaan lahan tidak mungkin dihindari karena
pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat menyebabkan perbandingan antara jumlah penduduk
dengan lahan pertanian tidak seimbang, dengan demikian menyebabkan pemilikan lahan pertanian
menjadi semakin sempit sehingga para petani mulai merambah hutan dan lahan tidak produktif
lainnya sebagai lahan pertanian (Asdak, 2004). Perubahan penggunaan lahan, dilihat dari aspek
hidrologi, berpengaruh langsung terhadap karakteristik penutupan lahan sehingga akan
mempengaruhi sistem tata air DAS. Fenomena ini ditunjukkan oleh karakteristik hidrologi DAS
yang dapat dikenali melalui produksi air, erosi dan sedimen (Seyhan, 1990).
Perubahan penggunaan lahan, dari lahan kawasan hutan yang memiliki penutup tanah dan
mulsa, menjadi lahan pertanian maupun permukiman menyebabkan hilangnya vegetasi penutup
permukaan dan berkurangnya daerah yang dapat meresapkan air, peresapan air ke dalam tanah
(infiltrasi) menjadi rendah sehingga simpanan air bawah tanah berkurang yang dapat menyebabkan
terjadinya kekeringan pada musim kemarau. Harto (2000) juga menyatakan, bahwa pengaruh
perubahan penggunaan lahan paling besar terjadi pada distribusi hujan menjadi aliran permukaan,
yang selanjutnya akan mengubah sifat aliran sungai. Menurut Asdak (2004), perubahan sifat aliran
sungai yang terjadi adalah peningkatan koefisien aliran permukaan yaitu terjadinya peningkatan
jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan sehingga meningkatkan debit sungai.
Peningkatan debit puncak akan merubah pula bentuk hidrografi secara drastis dalam waktu yang
relatif singkat. Perubahan respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan juga dapat dilihat
dari rasio antara debit maksimum dan debit minimum suatu sungai (Prastowo, 2003). Rasio ini
digunakan sebagai indikator apakah pengelolaan suatu DAS berhasil atau tidak sehingga dapat
diketahui apakah suatu DAS telah mengalami kerusakan atau tidak. Apabila fluktuasi debit
maksimum dan minimum tinggi, berarti pada musim hujan akan terjadi hujan dengan intensitas
yang tinggi sehingga menyebabkan meningkatnya aliran permukaan. Pada musim kemarau hujan
turun dengan intensitas yang rendah, dapat diartikan bahwa DAS mengalami kerusakan fungsi
hidrologi, sehingga fungsi DAS telah terganggu serta terjadinya degradasi kualitas DAS.
Tingginya aliran permukaan juga akan meningkatkan jumlah erosi dan sedimen yang terangkut
bersama aliran permukaan (Asdak, 2004).

2.5 Erosi dan Konservasi Tanah


Sumberdaya alam utama yaitu tanah dan air mudah mengalami kerusakan atau degradasi.
Kerusakan dan erosi tanah dapat terjadi karena pengaruh alam seperti iklim, topografi, kesetabilan
tanah maupun karena pengaruh kegiatan manusia yang menggunakan dan memanfaatkan tanah
secara berlebihan melampui daya dukungnya tanpa memperdulikan usaha pemulihannya. Dampak
degradasi lahan dan hutan berupa kerugian dari segi fisik, lingkungan, sosial ekonomi maupun dari
segi politis. Kurnia et al., (2005), degradasi lahan adalah suatu proses kemunduran atau kerusakan
lahan yang disebabkan kegiatan manusia atau penyebab lain, yang mengakibatkan penurunan
produktivitas tanah pada saat ini dan/atau dimasa yang akan datang dalam mendukung kehidupan
mahkluk hidup. Barrow (1991) mendefinisikan degradasi lahan sebagai hilangnya atau
berkurangnya kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Degradasi lahan adalah penurunan
kualitas lahan dan produktivitas potensial dan atau pengurangan kemampuannya secara alami
maupun oleh manusia.

Bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi antara lain kehilangan unsur hara dan bahan
organik dari daerah perakaran, terkumpulnya garam di daerah perakaran, terkumpulnya unsur atau
senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh air, dan erosi. Erosi tanah
merupakan kejadian alam yang pasti terjadi di permukaan daratan bumi, dan besarnya tergantung
dari faktor-faktor alam di tempat terjadinya erosi tersebut, tetapi saat ini manusia juga berperanan
penting atas terjadinya erosi. Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian
tanah yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain oleh media alami yaitu air dan angin. Erosi
menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman, serta
berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Di daerah beriklim basah, erosi
oleh air yang dominan, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti. Tanah yang terangkut tersebut
akan diendapkan di tempat lain seperti di sungai, waduk, danau, saluran irigasi, di atas lahan
pertanian dan sebagainya.

Kerusakan tanah yang ditimbulkan oleh Erosi yang terjadi pada suatu wilayah adalah akibat
fungsi interaksi kerja antara faktor-faktor penyebab erosi. Erosi yang terjadi dapat dituliskan dalam
bentuk fungsi persamaan E = f (i, r, v, m, t). Faktor-faktor tersebut adalah: iklim (i), topografi (r),
vegetasi (v), manusia (m) dan tanah (t). Faktor iklim yang berpengaruh adalah curah hujan yang
meliputi distribusi dan intensitas hujan. Curah hujan yang tinggi serta intensitas yang lama akan
sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi dan sedimentasi yang terjadi pada suatu DAS,
sedangkan dari faktor topografi adalah panjang dan kemiringan lereng (slope). Makin curam lereng
suatu lahan, maka peluang untuk terjadinya erosi semakin besar. Faktor tanah juga berperanan
dalam menentukan besar kecilnya erosi yang akan terjadi, yaitu berat volume, permeabilitas,
struktur, tekstur dan kedalaman tanah (Arsyad, 2010 ; Suripin, 2002).

Menurut Asdak (2004), dua penyebab utama terjadinya erosi adalah erosi alamiah dan aktivitas
manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah dan proses erosi yang
terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami, dan erosi ini tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan. Erosi karena aktivitas manusia yang mengelola tanah dengan tidak
mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah atau merusak keadaan fisik, dapat mengakibatkan
terkikisnya lapisan tanah bagian atas, sehingga erosi yang terjadi jauh lebih besar dibandingkan
dengan proses pembentukan tanah, erosi ini disebut erosi yang dipercepat.

Pencegahan terjadinya erosi dilakukan apabila erosi aktual melebihi erosi diperbolehkan,
dilakukan terhadap interaksi faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tersebut, karena ada sebagian
faktor yang dapat diubah oleh tindakan manusia dan sebagian lagi tidak dapat diperbaiki. Faktor
penyebab erosi yang dapat diubah adalah keadaan vegetasi dan sebagian topografi yaitu panjang
lereng, serta faktor sifat tanah yaitu tingkat kesuburan tanah. Keberadaan vegetasi pada suatu
wilayah sangat penting artinya karena akan dapat mengurangi laju aliran permukaan dan akan
mengintersepsi hujan yang jatuh, sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada tanah. Selanjutnya
pengendalian panjang lereng bertujuan untuk mematahkan aliran permukaan dan meningkatkan
kapasitas infiltrasi, sehingga air hujan yang berupa run-off mengalir dengan kekuatan yang tidak
menimbulkan kerusakan pada tanah.

Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) merupakan metode yang umum digunakan
untuk memperediksi laju erosi (Wischmeier dan Smith, 1978). Metode ini sederhana juga sangat
baik diterapkan di daerah-daerah yang faktor utama penyebab terjadinya erosi adalah hujan dan
aliran permukaan. Metode USLE dirancang untuk digunakan memprediksi kehilangan tanah yang
dihasilkan oleh erosi dan diendapkan pada segmen lereng bukan pada hulu DAS, selain itu juga
didesain untuk memprediksi rata-rata jumlah erosi dalam waktu yang panjang. Kelemahan model
ini adalah tidak dipertimbangkannya keragaman spasial dalam suatu DAS dimana nilai input
parameter yang diperlukan merupakan nilai rata-rata yang dianggap homogen dalam suatu unit
lahan, khususnya untuk faktor erosivitas (R).

Arsyad (2010) menyatakan, tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu
tempat yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai (DAS) dan masuk ke dalam badan
air secara umum disebut sedimen. Sedimen yang terbawa masuk ke dalam sungai hanya sebagian
saja dari tanah yang tererosi dari tempatnya, karena sebagian lagi dari tanah yang tererosi akan
mengendap pada suatu tempat di lahan. Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa
oleh aliran air akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti.
Peristiwa pengendapan membentuk dataran-dataran aluvial yang luas, yang merupakan suatu
keuntungan oleh karena dapat memberikan lahan untuk perluasan lahan pertanian, akan tetapi lebih
banyak menimbulkan petaka, karena terjadi akibat salah pengelolaan. Sedimen yang terendapkan
di dalam saluran, sungai, waduk dan muara sungai akan menyebabkan pendangkalan badan air
tersebut, yang dapat menimbulkan kerugian karena mengurangi fungsi badan air.

Faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi adalah jumlah dan intensitas hujan, jenis tanah,
tata guna lahan, topografi, erosi di bagian hulu dan limpasan. Dalam mekanisme pergerakan,
sedimen dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Suspensi load adalah partikel sedimen bergerak
tersuspensi dalam aliran air, dan (2) Bed load adalah partikel sedimen bergerak secara
menggelinding dan melompat. Sedimen adalah jumlah material tanah berupa kadar lumpur dalam
air oleh aliran sungai yang berasal dari hasil proses erosi di hulu, yang diendapkan pada suatu
tempat di hilir, dimana kecepatan pengendapan butir-butir material suspensi lebih kecil dari
kecepatan angkutnya. Pada proses sedimentasi, hanya sebagian material aliran sedimen di sungai
yang diangkut keluar DAS, sedangkan yang lain mengendap di lokasi tertentu di sungai selama
menempuh perjalanannya (PP No.37, Tahun 2012). Pada proses degradasi, kejadian erosi dan
sedimentasi adalah merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Sedimentasi adalah
merupakan proses lebih lanjut dari kejadian erosi, yaitu ketika hasil erosi terangkut oleh aliran air
menuju ke alur sungai hingga terendapkan di tempat lain, artinya semakin tinggi laju erosi, maka
semakin tinggi pula laju sedimentasi.

Abdurachman (2008) mengemukakan, bahwa salah satu bagian penting dari budidaya
pertanian yang sering terabaikan oleh para praktisi adalah melaksanakan konservasi tanah dan air.
Hal ini terjadi karena dampak degradasi lahan tidak selalu segera terlihat di lapangan atau tidak
secara drastis menurunkan hasil panen, seperti dampak longsor atau banjir. Padahal tanpa tindakan
konservasi tanah yang baik, produktivitas lahan yang tinggi dari usaha pertanian sulit terjamin
berkelanjutan. Konservasi adalah usaha penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan
yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang
diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. Konservasi didefinisikan sebagai penerapan berbagai
tindakan atau perlakuan yang diperlukan pada suatu usaha tani, agar terjadi peningkatan produk
dan membangun produktivitas tanah yang dilakukan pada saat bersamaan. Dalam praktek
konservasi digunakan metode konservasi tanah yang merupakan tindakan atau perlakuan fasilitas
yang dapat digunakan untuk mencegah kerusakan tanah atau untuk memperbaiki tanah-tanah yang
telah rusak atau kritis dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi.
Konservasi tanah harus mempertimbangkan, teknik dan tanaman yang sesuai pada lokasi di
mana kerusakan terjadi, spesifik lokasi dan berbasis kearifan lokal. Program konservasi lahan
dapat berhasil dengan baik, maka perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan konservasi seperti faktor fisik (tanah, iklim,
tanaman dan pola tanam), faktor sosial ekonomi seperti karakteristik petani, status kepemilikan
lahan, bentuk usahatani dan aktivitas di luar usahatani.
2. Ditekankan suatu pengertian bahwa konservasi tanah dan air merupakan bagian integral dari
usaha peningkatan kesejahteraan petani.
3. Ditegaskan bahwa konservasi tanah dan air adalah salah satu paket peningkatan hasil pertanian
di mana program disusun atas partisipasi aktif petani.

Program konservasi tanah dan air hendaknya disesuaikan dengan kondisi lahan setempat atau
kearifan lokal. Menurut Arsyad (2010), ada beberapa metode pendekatan dalam konservasi lahan,
yaitu:

1. Pendekatan vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa-sisanya untuk
mengurangi aliran permukaan dan erosi. Beberapa metode yang dapat diterapkan adalah
penanaman tumbuhan atau tanaman yang menutupi tanah secara terus-menerus, penanaman
dalam strip, pergiliran tanaman, sistem pertanian hutan (agroforestry), pemanfaatan sisa-sisa
tanaman atau tumbuhan dan penanaman rumput di tanggul saluran-saluran.
2. Pendekatan mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan terhadap tanah dan
pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan
kemampuan penggunaan tanah. Metode ini berfungsi memperlambat aliran permukaan,
menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak,
memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah
serta penyediaan air bagi tanaman. Model yang dapat diterapkan pada metode tersebut adalah
pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur, guludan dan guludan bersaluran menurut
kontur, pembuatan teras, water ways, rorak dan tanggul. Berbagai bentuk teras seperti teras
bangku, teras bersaluran, rorak dan sebagainya, sedangkan lebar teras disesuaikan dengan
kemiringan lereng dan arah kontur tanah.
3. Pendekatan kimiawi adalah setiap penggunaan bahan-bahan kimia organik maupun anorganik,
yang bertujuan untuk memperbaiki sifat tanah dan menekan laju erosi. Teknik ini jarang
digunakan, dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa preparat kimia, khususnya dari
senyawa PVA (poly venil alkohol). Tujuan penggunaan senyawa ini adalah untuk
memantapkan agregat tanah, sehingga lebih tahan terhadap pengaruh pukulan air hujan (tanah
tidak mudah terdispersi), tetapi metode ini tidak populer di tingkat petani karena senyawa
kimia tersebut sulit diperoleh dan harganya mahal.

Sasaran utama yang hendak dicapai dari masing-masing metode yaitu, meminimalkan
pengaruh daya rusak butir hujan terhadap tanah, mengendalikan aliran permukaan supaya tidak
merusak tanah, dan memantapkan agregat tanah supaya tidak mudah terdispersi.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 PERMASALAHAN DAS DI INDONESIA

Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun
1970 tentang Perencanaan Hutan. Dalam peraturan pemerintah ini DAS dibatasi sebagai suatu
daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu
kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk
menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta
pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan
daerah tersebut. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan,
industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan
penurunan kondisi hidrologis suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).

Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia,
seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya
Pelita I yaitu pada tahun 1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan
DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim kemarau dan kemudian dipergunakan
melepas air sebagai (base flow) pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada
musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang
menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran (base flow) sangat kecil bahkan
pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak
mendapat suplai air tawar. Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran
kondisi suatu daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan
perundang-undangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter
iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang
paling relevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya
apabila dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS.

Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai
akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan
kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang menyebabkan
terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Menurut Pasaribu (1999),
Dari hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat ± 14,4 juta hektar di luar kawasan
hutan dan ± 8,3 juta hektar di dalam kawasan hutan. Pemikiran dasar penduduk daerah bantaran
sungai yang selalu menyalahkan limbah industri sebagai penyebab kerusakan sungai membuat
penduduk bantaran sungai tidak mau direlokasi ketempat tinggal yang lebih layak. Disamping itu
tidak tahunya penduduk bantaran sungai mengenai peraturan daerah tentang jalur hijau terutama
di bagian DAS.

Akibat dari penduduk bantaran sungai sendiri banyak orang yang terkena dampaknya,
masalah banjir menjadi masalah yang terbesar ketika musim hujan tiba, sampah permukiman
penduduk yang berada di daerah hulu terbawa arus dan menghambat aliran air yang berada di
bagian hilir, ini menyebabkan air yang meluber dan menyebabkan banjir saat debit sungai
bertambah. Tidak bisanya air hujan meresap kedalam tanah karena terhambat oleh permukiman
penduduk yang mengakibatkan genangan air dimana-mana, selain banjir permukiman penduduk
di daerah bantaran sungai juga menjadikan pandangan di sekitar sungai menjadi tidak enak dilihat
dan terkesan kumuh dan kotor. Rendahnya tingkat pendidikan para penduduk bantaran sungai juga
menyebabkan tidak pedulinya mereka terhadap kondisi lingkungan sungai.

Sektor permukiman dan prasarana wilayah masih menjadi prioritas dalam pembangunan
dibandingkan dengan sektor kehutanan. Indikator pembangunan barangkali lebih mudah dilihat
dengan berhasil dibangunnya berbagai sarana fisik, sementara pembangunan di bidang kehutanan
masih dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya diperoleh dalam jangka waktu yang
lama. Pada satu sisi sarana irigasi dibangun sebagai penunjang upaya peningkatan produksi
tanaman pangan di sektor pertanian, namun pada sisi lain kemampuan hutan sebagai penyangga
sistem DAS semakin menurun dengan meningkatnya nilai nisbah sungai. Penebangan hutan terus
berlanjut sebagai upaya memenuhi produksi kayu hutan. Akibatnya pada musim hujan air
berlimpah sehingga menjadi bencana banjir, dan pada musim kemarau air surut sehingga timbul
bencana kekeringan. Pada musim kering banyak sarana irigasi yang kering sehingga produksi
tanaman pangan terganggu. Sementara itu pendekatan yang dipakai dalam penyelesaiaan masalah
bencana banjir dan kekeringan selama ini tampaknya lebih banyak berorientasi pada penyelesaian
yang bersifat fisik yaitu dengan membangun prasarana pengendali banjir yang sekaligus dapat
berfungsi sebagai penampung air bagi penyediaan air irigasi di musim kemarau. Padahal hal ini
seringkali bersifat symtomatik hanya sekedar menangani gejala yang timbul tetapi kurang
memperhatikan akar permasalahannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, tampaknya alokasi dana
APBN yang ada untuk sektor kehutanan ditambah dengan Dana Reboisasi (DR) belum mampu
memperbaiki kondisi hutan. Hutan terus terdegradasi sehingga kemampuannya sebagai penyangga
sistem DAS terus menurun, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh subsistem DAS dari hulu
hingga ke hilir khususnya sektor permukiman wilayah dan sektor pertanian dalam bentuk bencana
banjir dan kekeringan.

3.2 PENGELOLAAN DAS TERPADU

1. Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan


dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.
2. Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan
program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu
pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.
3. Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan
dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
4. Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses
evaluasi dan monitoring.
5. Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.
6. Hak dan kewajiban dalam pengelolaan DAS yang meliputi hak setiap orang untuk
mengelola sumber daya air dengan memperhatikan kewajiban melindungi, menjaga dan
memelihara kelestarian daerah aliran sungai.
7. Pembagian kewenangan yang jelas antara daerah kabupaten/kota, daerah propinsi dengan
pemerintah pusat dalam mengelola DAS secara terpadu.
8. Badan pengelola daerah aliran sungai (aspek kelembagaan) dapat berupa badan usaha atau
badan/instansi pemerintah. Badan-badan tersebut ditetapkan oleh pemerintah baik pusat
maupun daerah sesuai dengan kewenangan yang berlaku.
9. Kebijakan pemerintah ini selain mengatur tentang peran serta masyarakat dalam
pengelolaan DAS terpadu, juga mengatur sanksi (hukuman) bagi masyarakat yang tidak
mengindahkan peraturan pemerintah dalam pengelolaan DAS terpadu baik pada DAS
lokal, regional maupun nasional.
KESIMPULAN

1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara Terpadu merupakan sebuah pendekatan
holistik dalam mengelola sumberdaya alam yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam secara berkesinambungan.
2. Tujuan pengelolaan DAS terpadu adalah membantu masyarakat mengembangkan visinya
tentang apa yang mereka inginkan terhadap DAS yang berada di daerah mereka
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Deden. 2008. Biologi Kelompok Pertanian. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Arsyad Sitanala, (2010). Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua, IPB Press.Bogor

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan Ketiga (revisi). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.

Barrow, C.J. 1991. Degradation of Tropical Rain Forest, Tropical/Sub Tropical Seasonally
Organisme ang Tropical/Sub Tropical Upland Forests, Woodlands and Saruglands. Land
Degradation Development and Breakdown of Terrestrial Environments. Cambridge-UK.

Farida, Noordwijk, M. 2004. Analisis debit sungai akibat alih guna lahan dan aplikasi model
Genriver pada DAS Way Besai, Sumberjaya. J.Agrivita 26:39-47

Kurnia, U., D. Erfandi, dan I. Juarsah. 2000. Pengolahan tanah dan pengolahan bahan organik pada
Typic Haplohumults terdegradasi di Jasinga, Jawa Barat. hlm. 285−302. Dalam F. Agus,
I. Las, A. Sofyan,Sukarman, W.J. Suryanto, Sri Rochayati, M. Anda (Ed.). Prosiding
Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, lklim, dan Pupuk.
Cipayung, 31 Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2010. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub
DAS). Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.Badan Litbang Kehutanan, Dep.
Kehutanan, Bogor. Cetakan Kedua Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012, tentang
pengelolaan DAS.

Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito Bandung.


Seyhan, Ersin., 1990. Dasar-dasar Hidrologi.Gadjah Mada Universiy Press. Yogyakarta.

Sri Harto. 2000. Hidrologi, Teori-Masalah-Penyelesaian. Yogyakarta: Nafiri Offset.


Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Wischmeier, W.H., dan D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses A Guide to
Conservation Planning. USDA Agric, Handb. No 537. 58 pp.

Anda mungkin juga menyukai