Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU AKHLAK SEBELUM


DAN PADA MASA ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata kuliah

“Akhlak Tasawuf”

Dosen Pengampu:

Dr. Mambaul Ngadhimah, M. Ag.

Disusun Oleh:

1. Gus Rijal Mujahidin (211317099)


2. Mustika Ria Tahnia (211317087)
3. Maulida khusnul Khotimah (211317075)
4. Riscka Ayu Wardani (211317094)

JURUSAN TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………….. i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………. 2
C. Tujuan……………………………………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak…………………………………………………. 3
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak Sebelum Islam…… 5
C. Pertumbuhan dan PerkembanganIlmu Akhlak Pada Masa Islam…. 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………... 11
B. Saran………………………………………………………………. 12

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam percakapan sehari-hari, istilah akhlak (Arab: akhlaq) sering disamakan
dengan istilah lain seperti, perangai, karakter, unggah-ungguh (bahasa jawa), sopan
santun, etika dan moral. Padahal istilah akhlak secara konseptual sebenarnya memiliki
pengertian khusus, terlebih jika ditinjau dari asal-usul katanya.
Secara konseptual (baca: terminologi), pengertian akhlak telah banyak
dikemukakan oleh banyak ulama, semisal, Ibnu maskawaih (320 – 421 H/ 932 – 1030
M). Dia mendefinisikan akhlak sebagai: “the state of the soul which causes it to perform
its action without thought and deliberation. Artinya, suatu kondisi jiwa yang
menyebabkan ia bertindak tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang
mendalam.
Sementara itu, Imam Ghazali (450 – 505 H/ 1058 – 1111 M) juga memberikan
definisi akhlak agak mirip dengan definisi Ibnu Maskawaih, yaitu: “al-khuld ‘ibaratun
‘an hai’atin fi al-nafs rasikhatin, ‘anha tashduru al-‘af’al bi suhulatin wa yusrin min
ghairi hajatin ila fikrin wa rumiyyatin. Artinya, akhlak adalah sebuah kondisi mental
yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang, yang darinya lalu muncul perbuatan
(perilaku) dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.1
Persoalan pendidikan akhlak memang harus diakui bukanlah persoalan baru.
Banyak ahli pendidikan dalam merumuskan konsep-konsep pendidikannya telah
mengaitkan dan menjadikan moral sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem
pendidikan.
Bahkan sering dikatakan bahwa terbentuknya akhlak yang baik pada subyek
didik merupakan tujuan hakiki dari seluruh proses dan aktivitas pendidikan. Terdapat
banyak sekali faktor yang menyebabkan kemerosotan akhlak dewasa ini, antara lain
kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat, pendidikan
akhlak tidak terlaksana sebagaimana mestinya baik dirumah, disekolah maupun
dimasyarakat, kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang dengan cara yang
baik dan membawa kepada pembinaan akhlak dan lain sebagainya.
Berdasarkan persoalan diatas diperlukan sebuah disiplin ilmu tentang tingkah
laku manusia untuk dinilai apakah perbuatan tersebut tergolong baik, mulia, terpuji atau

1
Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf: Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati (Yogyakarta: Kaukaba Dibantara,
2013), 1-2.
sebaliknya, yakni buruk, hina dan tercela. Disiplin ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu
akhlak.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian Ilmu Akhlak?
2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak sebelum islam?
3. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada masa islam?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penulisan dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan pengertian Ilmu Akhlak.
2. Untuk menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak sebelum Islam.
3. Untuk menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada masa
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Akhlak


Kata akhlak atau khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan,
perangai, muru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at. Untuk menjelaskan
pengertian akhlak dari segi istilah ini kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para
pakar bidang ini. Ibnu Maskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai
pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan,
bahwa akhlak adalah:
َ ‫َحا ٌل ِللنَّ ْف ِس دَا ِعيَةٌ لَ َها اِلَى ا َ ْف َعا ِل َها ِم ْن‬
‫غي َْر ِف ْك ٍر َو ََلر ِو َي ٍة‬
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Ghazali (1059-1111 M.) yang selanjutnya dikenal sebagai
hujjatul islam (pembela islam), karena kepiawaiannya dalam membela islam dari
berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibnu
Maskawaih, mengatakan, akhlak adalah:
َ ‫صدر ْاَلَ ْفعَال بُِسه ْْولَ ٍة َويُس ٍْر ِم ْن‬
‫غي ِْر َحا ََج ٍة اِلَى فِ ْك ٍر‬ ْ َ ‫ع ْن َها ت‬ ْ ‫ع ْن َه ْيئ َ ٍة فِى‬
َ ٌ‫الن ْف ِس َرا ِسخَة‬ َ ٌ ‫ِعبَاَرة‬
‫َورؤْ يَ ٍة‬
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gampang dan muudah, tanpa memerlukan peikiran dan pertimbangan.2
Selanjutnya di daalam kitab Dairatul Ma’arif, secara singkat akhlak diartikan,
‫ان ْاَلَدَبِيَّة‬
ِ ‫ُس‬ ِ ْ ‫صفَات‬
َ ‫اَل ْن‬ ِ ‫ِي‬
َ ‫ه‬
Keseluruhan definisi akhlak tersebut diatas tampak tidak ada yyang
bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara satu dan lainnya. Definisi-definisi
akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat
melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam
jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika kita mengatakan bahwa si
A misalnya sebgai orang yang berakhlak dermawan, maka sikap dermawan tersebut
telah mendarah daging, kapan dan dimanapu itu sikapnya akan dibawanya, sehingga
menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Jika si A tewrsebut
kadang-kadang dermawan, dan kadang-kadang bakhil maka si A tersebut belum bisa

2
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 3.
dikatakan sebagai seorang yang dermawan. Demikian juga kepada si B kita mengatakan
bahwa ia termasuk orang yang taat beribbadah, maka sikap taat beribadah tersebut telah
dilakukannya dimanapun ia berada.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tnpa
pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang
bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang
bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh
karena itu, perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidur, hilang
ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, dan sebagainya
bukanlah perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh
orang yang sehat akal pikirannya. Namun, karena perbuatan tersebut telah mendarah
daging, sebagaimana disebutkan dalam sifat yang pertama, maka pada saat akan
mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran lagi. Yang
yang demikian tak ubahnya dengan seseorang yyangg sudah mendarah daging
mengerjakan shalat lima waktu, maka pada saat datang panggilan shalat ia sudah tidak
berat agi mengerjakannya, dan tanpa pikir-pikir lagi ia sudah dengan mudah dan ringgan
dapat mengerjakannya.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri
orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang melakukan suatu perbuatan,
tetapi karena perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan, tekanan atau ancaman dari
luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam akhlak dari orang yang
melakukannya.
Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
sesungguhnyya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Jika kita menyaksikan
orang berbuat kejam, sadis, jahat, dan seterusnya, tapi kita lihat perbuatan tersebut
dalam pertunjukkan film, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut perbuatan
akhlak, karena perbuatan tersebuut bukan perbuatan yang sebenarnya. Berkenaan
dengan ini, maka sebaiknya seseorang tidak cepat-cepat menilai orang lain sebagai
berakhlak baik atau berakhlak buruk, sebelum diketahui dengan sesungguhnya bahwa
perbuatan tersebut memang dilakukkan dengan sebenarnya. Hal ini perlu dicatat, karena
manusia adalah makhluk yang pandai bersandiwara, atau berpura-pura. Untuk
mengetahui perbuatan yang sesungguhnya dapat dilakukan melalui ccara kontinyu dan
terus-menerus.
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak
yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah,
bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.
Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat
dikatakan perbuatan akhlak.3

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak Sebelum Islam


1. Akhlak pada Bangsa Yunani
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi
setelah munculnya apa yang disebut sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana
(500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai
mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya
mengenai alam.
Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun Ilmu Akhlak adalah
pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia. Ini menunjukkan
bahwa Ilmu Akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang
bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam
diri manusia atau bersifat anthroposentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak
adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri, dan hasil yang
didapatnya adalah Ilmu Akhlak yang didasarkan pada logika murni. Hal ini tidak
sepenuhnya salah, karena manusia secara fitrah telah dibekali dengan potensi bertuhan,
beragama dan cenderung kepada kebaikan, disamping juga memiliki kecenderungan
kepada keburukan, dan ingkar pada Tuhan. Namun kecenderungan kepada yang baik,
bertuhan dan beragama jauh lebih besar dibandingkan dengan kecenderungan kepada
yang buruk.
Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan
pemikiran dibidang akhlak adalah Socrates (469-399 M). Socrates dipandang sebagai
perintis Ilmu Akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh
membentuk pola hubungan antarmanusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia
berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu tidak akan menjadi benar,
kecuali bila didasarkan pada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa
keutamaan itu addalah ilmu.

3
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 3-6.
Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates da mengaku sebagai pengikutnya
ialah Cynics dan Cyrenics. Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada
tahun 440-370 SM. Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala
kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan. Sebagai
konsekuensinya, golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya terhadap dunia
sedapat mungkin, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak suka
terhadap kemewahan, menjauhi kelezatan, tidak peduli dengan cercaan orang, yang
penting ia dapat memelihara akhlak yang mulia.
Di antara pemimpin paham golongan cynics yang terkenal adalah Diogenes yang
meninggal pada tahun 323 SM. Dia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya supaya
membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan manusia dan peranannya. Dia memakai
pakaian yang kusam, makan-makanan yang sederhana dan tidur diatas tanah. Hal ini
mereka lakukan karena dengan cara inilah ia selalu ingat kepada Tuhan.
Adapun golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippus yang lahir di Cyrena (kota
Barka di utara Afrika). Golongan ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan
menjauhi kepedihan adalah merupakan satu-satunya tujuan hidup yang benar.
Menurutnya perbuatan yang utama adalahperbuatan yang tingkat dan kadar
kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikian menurutnya
kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan dan
mengutamakannya.
Kedua golongan tersebut diatas, sama-sama bicara tentang bicara yang baik, utama
dan mulia. Namun ukuran yang mereka gunakan berbeda. Golongan pertama, Cynics
bersikap memusat pada Tuhan (teo-sentris) dengan cara manusia berupaya
mengidentifikasi sifat Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari
yang wujudnya tampil sebagai seorang zahid. Sedangkan golongan kedua Cyrenics
bersikap memusat pada manusia (anthroposentris) dengan cara manusia
mengoptimalkan perjuangan dirinya dan memenuhi kelezatan hidupnya. Namun
terlepas aliran mana yang akan diikuti, kedua aliran tersebut telah berbicara tentang
akhlak yang mulia.
Pada tahap selanjutnya datanglah Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli filsafat
Athena dan murid dari Socrates. Ia telah menulis dari beberapa buku. Di antara bukunya
yang mengandung ajaran akhlak adalah Republik. Pandangannya pada bidang akhlak
adalah berdasarkan pada teori contoh. Menurutnya bahwa apa yang terdapat pada yang
lahiriah ini sebenarnya telah ada contohnya terlebih dahulu, sehingga yang lahiriah atau
yang tampak ini hanya merupakan bayangan atau poto copy dari contoh yang tidak
tampak (alam rohani atau alam idea). Selanjutnya ia mengatakan bahwa tiap-tiap
keberadaan yang berbentuk adalah sebagai gambaran (contoh) yang tidak berbeda
dengan yang ada di alam rohani.
Teori contoh ini selanjutnya digunakan Plato untuk menjelaskan maslah akhlak. Di
antara contoh ini adalah contoh untuk kebaikan. Yaitu arti yang mutlak, azali, kekal dan
amat sempurna.
Dalam pandangan akhlaknya itu, Plato tampak berupaya memadukan antara unsur
yang datang dari diri manusia sendiri, dan unsur yang datang dari luar. Unsur dari diri
manusia berupa akal pikiran dan potensi rohaniah lainnya, sedangkan unsur dari luar
berupa pancaran nilai-nilai luhur dari yang bersifat mutlak. Perpaduan dari kedua unsur
inilah yang membawa manusia menjadi orang yang utama.
Setelah Plato, datang pula Aristoteles (394-322 SM). Sebagai seorang murid Plato,
Aristoteles berupaya membangun suatu paham yang khas, dan para pengikutnya disebut
sebagai kaum Peripatetisc, karena ia memberi pelajaran sambil berjalan, atau karena ia
mengajar di tempat berjalan yang teduh. Dia berupaya menyelidiki akhlak secara
mendalam dan menuangkannya dalam bentuk karya tulis.
Aristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki oleh manusia dari apa
yang dilakukannya adalah bahagia atau kebahagiaan. Jalan untuk mencapai kebahagiaan
ini adalah dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya.
Keseluruhan ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani tersebut tampak
bersifat rasionalistik. Penentuan baik dan buruk didasarkan pada pendapat akal dan
pikiran yang sehat dari manusia. Karenanya tidaklah salah kalau dikatakan bahwa ajaran
akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani ini beraifat anthropocentris (memusat
pada manusia). Pendapat akal yang demikian itu dapat saja diikuti sepanjang tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, atau sepanjang pemikiran akal tersebut
sejalan dengan kedua sumber ajaran islam tersebut.4

2. Akhlak pada Agama Nasrani


Pada akhir abad ketiga masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah
berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak
yang tersebut dalam kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah
sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak
yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 58-64.
Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menurut agama ini bahwa yang disebut
baik ialah perbuatan yang disukai Tuhan serta berusaha melaksanakannya dengan
sebaik-baiknya.
Dengan demikian ajaran akhlak pada agama Nasrani ini tmpak bersifat teo-centri
(memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin). Agama ini menjadikan roh sebagai
kekuasaan yang dominan terhadap diri manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat
mengalahkan hawa nafsu syahwat. Akibat dari paham akhlak yang demikian itu,
kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi
dunia yang fana, beribadah, dan hidup menyendiri.5

3. Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)

Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu
itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan
kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari
wahyu. Apa yang diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh karena itu tidak
ada artinya lagi penggunaan akal pikiran untuk kegiatan penelitian. Menggunakan
filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin yang dikeluarkan oleh
gereja, atau memiliki persamaan dan menguatkan pendapat gereja. Di luar ketentuan
seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.

Namun demikian sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran
Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya
dengan akal.

Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu
adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran
Nasrani.6

4. Akhlak pada Bangsa Arab


Bangsa Arab pada zaman Jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang
mengajak kepada aliran paham tertentu, sebagaimana yang dijumpai pada bangsa
Yunani dan Romawi yang disebutkan diatas. Hal yang demikian sebagai akibat dari
tidak berkembangnya kegiatan ilmiah dikalangan masyarakat Arab. Pada masa itu
bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair. Di dalam kata-kata

5
Ibid., 64-65.
6
ibid., 65-66.
hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang memerintahkan agar berbuat baik
dan menjauhi keburukan, mendorong kepada perbuatan yang utama dan menjauhi dari
perbuatan yang tercela dan hina.7

C. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak Pada Masa Islam


Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan
titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak
manusia agar mengajak kepada Tuhan dan mengakuinya bahwa Dia-lah Pencipta,
Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih dan Penyayang terhadap
semua makhluk-Nya. Segala apa yang ada di dunia ini, dari gejala-gejala yang
bermacam-macam dan segala makhluk yang beraneka warna, dari biji dan binatang
yang melata di bumi sampai kepada langit yang berlapis semuanya milik Tuhan dan
diatur oleh-Nya.
Selain itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang lebih sempurna
dan menuntun umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semua ini terkandung
dalam ajaran Al-Qur’an yang diturunkan Allah dan ajaran Sunnah yang didatangkan
dari Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam.
Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah,
pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumber yang aslinya di dalam Al-
Qur’an.8
Dalam islam, tidak diragukan lagi bahwa bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan keterutusannya di muka bumi ini adalah
untuk menyempurnakan akhlak. Akan tetapi tokoh yang pertama kali menggagas atau
menulis ilmu akhlak dalam islam, masih terus diperbincangkan. Berikut ini akan
dikemukakakan beberapa teori:
Pertama, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak adalah Ali bin Abi
Thalib. Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya, Al-Hasan,
setelah kepulangannya dari Perang Shiffin. Di dalam risalah tersebut terdapat banyak
pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan kandungan risalah ini tercermin pula pada
dalam kitab Nahj Al-Balaghah yang banyak dikutip oleh ulama sunni, seperti Abu
Ahmad bin ‘Abdillah Al-‘Askari dalam kitabnya Az-Zawajir wa Al-Mawa’izh.

7
ibid., 66-67.
8
ibid., 67.
Kedua, tokoh islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Ismail bin
Mahran Abu An-Nashr As-Saukani, ulam abad ke-2 H. Ia menulis kitab Al-Mu’min wa
Al-Fajir, kitab akhlak yang pertama kali dikenal dalam Islam.
Ketiga, pada abad ke-3 H, Jafar bin Ahmad Al-Qummi menulis kitab Al-Mani’at
min Dukhul Al-Jannah. Tokoh lainnya yang secara khusus berbicara dalam bidang
akhlak adalah:
1. Ar-Razi (250-313 H) walaupun masih ada filsuf lain seperti Al-kindi dan Ibnu Sina.
Ar-Razi menulis karya dalam bidang akhlak yang berjudul Ath-Thibb Ar-Ruhani
(kesehatan ruhani). Buku ini menjelaskan kesehatan rohani dan penjagaannya.
Kitab ini merupakan filsafat akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral
manusia.
2. Pada abad ke-4 H, Ali bin Ahmad Al-kufi menulis kitab Al-Adab dan makarim Al-
Akhlak. Pada abad ini dikenal pula tokoh Abu Nasr Al-Farabi yang melakukan
penyelidikan tentang akhlak.
3. Pada abad ke-5 H, Ibnu Maskawaih (w. 421 H) menulis kitab Tahdzib Al-Akhlak
wa That-hir Al-a’araq dan Adab Al-‘Arab wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian
suatu aliran akhlak yang sebagian materinya berasal dari konsep-konsep akhlak dari
Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hokum slam serta diperkaya
dengan pengalaman hidup penulis dan situasi zamannya.
4. Pada abad ke-6 H, Warram bin Abi Al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khatir wa
Nuzhah An-Nazhir.
5. Pada abad ke-7 H, Syeh khawajah Nashir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlaq wa
Nashiriyyah wa Awshaf Asy-Asyraf wa Adab Al-Muta’allimin.

Pada abad-abad sesudahnya, dikenal beberapa kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami,


Mashabih Al-Qulub karya Asy-Syairazi, Makarim Al-Akhlaq karya Hasan bin Amin
Ad-Din, Al-Adab Ad-Diniyyah karya Amin Ad-Din Ath-Thabarsi.9

9
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 58-60.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan diatas sebagai berikut:
1. Kata akhlak atau khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan,
perangai, muru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at. pengertian akhlak
dari segi istilah ini kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar bidang
ini. Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar
bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan, bahwa
akhlak adalah:
َ ‫َحا ٌل ِللنَّ ْف ِس دَا ِعيَةٌ لَ َها اِلَى ا َ ْف َعا ِل َها ِم ْن‬
‫غي َْر ِف ْك ٍر َو ََلر ِو َي ٍة‬
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Ghazali (1059-1111 M.) yang selanjutnya dikenal
sebagai hujjatul islam (pembela islam), karena kepiawaiannya dalam membela
islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari
Ibnu Miskawaih, mengatakan, akhlak adalah:
َ ‫صدر ْاَلَ ْف َعال بُِسه ْْولَ ٍة َويُس ٍْر ِم ْن‬
‫غي ِْر َحا ََج ٍة اِلَى ِف ْك ٍر‬ ْ َ ‫ع ْن َها ت‬ ْ ‫ع ْن َه ْيئ َ ٍة ِفى‬
َ ٌ‫الن ْف ِس َرا ِسخَة‬ َ ٌ ‫ِع َباَرة‬
‫َورؤْ يَ ٍة‬
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan
dengan gampang dan muudah, tanpa memerlukan peikiran dan pertimbangan.

2. a. Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi
setelah munculnya apa yang disebut sophisticians, yaitu orang-orang yang
bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak
dijumpai mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada
penyelidikannya mengenai alam.

b. Pada akhir abad ketiga masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah
berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran
akhlak yang tersebut dalam kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini bahwa
Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk
patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menurut
agama ini bahwa yang disebut baik ialah perbuatan yang disukai Tuhan serta
berusaha melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.

c. Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada


waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran
ilmu dan kebudayaan kuno.

d. Bangsa Arab pada zaman Jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang
mengajak kepada aliran paham tertentu, sebagaimana yang dijumpai pada bangsa
Yunani dan Romawi. Hal yang demikian sebagai akibat dari tidak
berkembangnya kegiatan ilmiah dikalangan masyarakat Arab.

3. Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan
titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak
manusia agar mengajak kepada Tuhan dan mengakuinya bahwa Dia-lah Pencipta,
Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih dan Penyayang
terhadap semua makhluk-Nya.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat semoga dengan penyusunan makalah ini dapat
mengerti mengenai pengertian Akhlak dari segi kebahasaan serta istilah dari Ibnu
Maskawaih dan Imam Ghazali , pertumbuhan dan perkembangan akhlak sebelum Islam,
dan pada masa Islam.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini.
Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini serta
kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Mustaqim, Abdul. (2013). Akhlak Tasawuf: Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati. Yogyakarta:
Kaukaba Dibantara. (U 2X5.2 MUS a c. 7/7)

Nata, Abuddin. (2010). Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. (U 2X5.2 NAT a c.
2/3)

Nata, Abuddin. (2013). Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anwar, Rosihon. (2010). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai