Anda di halaman 1dari 6

 LUKA BAKAR

Luka bakar adalah kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas
seperti air, api, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar akan mengakibatkan tidak hanya
kerusakan kulit, tetapi juga amat memengaruhi seluruh sistem tubuh (Nina, 2008).Luka bakar
adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan
suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi (Wim de Jong. 2005).

 TERAPI FARMAKOLOGI
Obat Kekuatan Obat Pemakaian Dan
Pertimbangan
Perak Sulfadiazin Krim 1% , dioleskan 1-2 Mencegah dan mengobati
(Silvadene) kali / hari infeksi pada luka bakar
derajat ke I, II dan ke III. 10 %
dari obat ini diabsorbsi.
Pemakaian yang banyak atau
pengolesan secara berlebihan
dapat menyebabkan
timbulnya Kristal sulfa
(kristaluria)
Perak Nitrat Larutan 0,5 % Untuk luka bakar derajat ke
II dan ke III. Pembalut
direndam dalam larutan
perak nitrat 0,5 % dan
pembalut diangkat sebelum
menjadi kering. Efektif
melawan beberapa
organisme gram negatif.
Dapat menimbulkan
ketidakseimbangan elektrolit
(Hipokalemia) jika dipakai
berlebihan.
Mafenid Asetat Krim 8,5 % Untuk luka bakar derajat ke
(Sulfamylon) II dan ke III.
Nitrofurazone Krim, salep, larutan, 0,2 Untuk luka bakar derajat ke
(Furacin) % II dan ke III dapat
menimbulkan
fotosensistifitas, oleh karena
itu hindari sinar matahari
dapat menyebabkan
dermatis kontak

 HIPERTIROID
Hipertiroid adalah kondisi di mana kelenjar tiroid terlalu aktif memproduksi hormon
tiroid. Akibatnya, kadar hormon tiroid dalam darah sangat tinggi. Padahal hormon ini
hanya diperlukan dalam jumlah sedikit. Kelenjar tiroid adalah organ berbentuk seperti
kupu-kupu yang terletak di persis di bawah jakun. Organ ini berfungsi memproduksi
hormon tiroid. Hormon tiroid sendiri sangat penting dalam proses metabolisme
makanan menjadi energi, juga untuk mengendalikan pertumbuhan tubuh. Manfaat lain
hormon tiroid yang tidak kalah penting adalah mengatur suhu tubuh, mempengaruhi
denyut jantung, dan mengontrol produksi protein.

 Terapi Farmakologi
Tata laksana terapi yang dapat digunakan untuk mengobati pasien
hipertiroidisme adalah sebagai berikut:

a. Obat Anti Tiroid

Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk menekan kelebihan hormon
tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level normal (euthyroid). Tujuan utama penggunaan
obat anti tiroid adalah untuk mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan
untuk mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi bervariasi
antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada kepatuhan pasien dalam
menggunakan obat (Baskin et al, 2002). Di negara-negara maju, pengobatan hipertiroidisme
cenderung bergeser ke terapi iodine radioaktif dan penggunaan obat anti tiroid semakin
jarang diberikan karena tingginya kemungkinan relaps (kambuh) setelah remisi dan jangka
waktu pengobatan yang memakan waktu selama satu hingga dua tahun. Namun demikian
obat anti tiroid juga masih umum digunakan pada pasien yang kontraindikasi terhadap iodine
radioaktif, pasien hamil dan pasien yang akan menjalani terapi radioiodine. Pada pasien
hipertiroidisme dengan toksik nodul atau toxic multinodular goiter obat anti tiroid tidak
direkomendasikan untuk digunakan karena tidak menyebabkan remisi pada golongan pasien
ini. Sedangkan pada pasien Graves’ Disease obat anti tiroid terbukti dapat menghasilkan
remisi karena efek antitiroid dan imunosupresan (Ajjan dan Weetman, 2007).

1) Jenis Obat Anti Tiroid

Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan methimazole, termasuk
dalam golongan yang sama yaitu thionamide. Keduanya memiliki mekanisme aksi yang sama
namun memiliki profil farmakokinetika yang berbeda dalam hal durasi, ikatan dengan
albumin dan lipofilisitas. Propylthiouracil dan methimazole dapat digunakan sebagai terapi
tunggal pada hipertiroidismeyang diakibatkan oleh Graves’ Disease maupun pada pasien
yang akan menerimaterapi radioiodine dan tiroidektomi (Bahn et al, 2011; Fumarola et al,
2010). Dalam mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’ Disease, obat anti
tiroid dapat mengembalikan fungsi tiroid karena adanya sifat imunosupresan. Obat anti tiroid
dapat memacu apoptosis limfositintratiroid, menekan ekspresi HLA kelas 2, sel T dan natural
killer cells(Bartalena, 2011; Fumarola et al, 2010).

a) Propylthiouracil

Propylthiouracil atau biasa disingkat PTU merupakan obat antitiroid golongan thionamide
yang tersedia dalam sediaan generik di Indonesia. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
kerja enzim thyroid peroxidase dan mencegah pengikatan iodine ke thyroglobulin sehingga
mencegah produksi hormon tiroid. Selain itu obat anti tiroid memiliki efek imunosupresan
yang dapat menekan produksi limfosit, HLA, sel T dan natural killer sel (Fumarola et al,
2010). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo edisi III, dosis awal
propylthiouracil adalah 100-150 mg setiap 6 jam, setelah 4 – 8 minggu dosis diturunkan
menjadi 50 – 200 mg sekali atau dua kali dalam sehari (Anonim, 2008). Keuntungan
propylthiouracil dibandingkan methimazole adalah propylthiouracil dosis tinggi juga dapat
mencegah konversi thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif triiodothyronine (T3) di perifer,
sehingga merupakan terapi pilihan dalam thyroid storm atau peningkatan hormon tiroid
secara akut dan mengancam jiwa (Nayak dan Burman, 2006). Propylthiouracil yang
digunakan secara per oral hampir sepenuhnya terabsorpsi di saluran gastrointestinal. Karena
durasi kerjanya yang hanya 12 – 24 jam maka PTU harus digunakan beberapa kali sehari
(multiple dose). Hal ini menjadi salah satu alasan obat ini mulai ditinggalkan karena berkaitan
dengan kepatuhan pasien (Bartalena, 2011; Fumarola et al, 2010). Di Amerika Serikat
propylthiouracil hanya digunakan jika pasien alergi atau dikontraindikasikan terhadap
methimazole dan hamil. Propylthiouracil tidak menjadi terapi lini pertama pada pengobatan
hipertiroidisme karena kepatuhan pasien yang rendah dan efek samping berat seperti
hepatotoksik. Namun propylthiouracil merupakan obat pilihan pertama pada pasien
hipertiroidisme yang sedang hamil trimester pertama. Hal ini disebabkan sifat PTU yang
kurang larut lemak dan ikatan dengan albumin lebih besar menyebabkan obat ini transfer
plasenta lebih kecil dibandingkan methimazole (Fumarola et al, 2010; Hackmon et al, 2012).

b) Methimazole

Methimazole atau biasa disingkat MMI merupakan obat anti tiroid golongan thionamide yang
menjadi lini pertama pengobatan hipertiroidisme dan merupakan metabolit aktif dari
carbimazole. Carbimazole merupakan bentuk pro-drug dari methimazole yang beredar di
beberapa negara seperti Inggris. Di dalam tubuh carbimazole akan diubah menjadi bentuk
aktifnya methimazole dengan pemotongan gugus samping karboksil pada saat metabolisme
lintas pertama (Bahn et al, 2011). Mekanisme kerja methimazole dalam mengobati
hipertiroidisme sama seperti propylthiouracil yaitu menghambat kerja enzim thyroid
peroxidase dan mencegah pembentukan hormon tiroid. Namun methimazole tidak memiliki
efek mencegah konversi T4 ke T3 (Nayak dan Burman, 2006). Obat ini digunakan secara per
oral dan hampir terabsorpsi sempurna di saluran cerna. Karena durasi aksinya yang panjang,
sekitar 40 jam, maka MMI cukup digunakan satu kali sehari (single dose). Menurut Pedoman
Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III, dosis awal methimazole dimulai dengan
40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan dan selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5 – 20 mg
setiap pagi (Anonim, 2008). Methimazole merupakan lini pertama pengobatan
hipertiroidisme karena efek samping yang relatif lebih rendah dari propylthiouracil, faktor
kepatuhan pasien, serta efektivitas yang lebih baik dibandingkan propylthiouracil. Sejak
tahun 1998 methimazole merupakan obat anti tiroid yang paling banyak diresepkan di
Amerika Serikat untuk mengobati Graves’ Disease (Bahn et al, 2011; Emiliano et al, 2010;
Nakamura et al, 2007). Penggunaan methimazole pada kehamilan terutama trimester pertama
tidak direkomendasikan karena efek teratogenik methimazole menyebabkan malformasi
kongenital seperti aplasia cutis dan choanal atresia. Sehingga pada pasien hipertiroidisme
yang sedang hamil trimester pertama yang sedang mengonsumsi methimazole perlu
dilakukan penggantian terapi ke propylthiouracil. Sedangkan pada ibu menyusui methimazole
terbukti aman diberikan hingga dosis 20 – 30 mg/ hari (Hackmon et al, 2012; Stagnaro-Green
et al, 2011).

2) Metode Terapi Obat Anti Tiroid

a) Block and Replacement

Pada metode block and replacement pasien diberikan obat anti tiroid golongan thionamide
(propylthiouracil atau methimazole) dosis tinggi tanpa adanya penyesuaian dosis bersamaan
dengan levothyroxine. Pada penderita Graves’ Disease anti tiroid dosis tinggi diharapkan
dapat memberikan efek imunosupresan yang maksimal. Sedangkan pemberian levothyroxine
ditujukan untuk mengganti kebutuhan hormon tiroid yang dihambat oleh obat anti tiroid dosis
tinggi dan mencegah hipotiroidisme (Bartalena, 2011). Menurut Ajjan dan Weetman (2007),
pemberian obat anti tiroid dengan regimen dosis block and replacement lebih banyak
menghasilkan efek samping dibandingkan dengan metode titrasi karena penggunaan obat anti
tiroid dosis tinggi. Namun metode ini ini memiliki keuntungan berupa fluktuasi fungsi tiroid
yang lebih terjaga dan durasi pengobatan yang lebih pendek (6 bulan).

b) Titrasi

Pada metode titrasi pemberian dosis disesuaikan dengan kondisi hipertiroidisme masing-
masing pasien. Dosis awal untuk methimazole 15 – 40 mg/hari diberikan single dose dan
dosis awal untuk propylthiouracil 300 – 400 mg/hari diberikan multiple dose. Prinsip dari
regimen dosis dengan metode titrasi adalah mencapai kondisi euthyroid secepatnya dan
menghindari kondisi hipotiroidisme. Apabila kadar TSH serum meningkat dan kadar T4 telah
mencapai kondisi euthyroid maka dosis obat anti tiroid diturunkan hingga
mencapai dosis efektif minimal yang menghasilkan efek (Bartalena, 2011). Menurut
Abraham et al (2005), pemberian obat anti tiroid dengan metode titrasi memberikan efikasi
yang setara dengan metode block and replacement. Keunggulannya efek samping berupa
rash dan agranulositosis lebih jarang terjadi pada metode titrasi. Namun pada metode ini
durasi pengobatan yang dibutuhkan lebih lama dibandingkan dengan metode block and
replacement, rata-rata selama 12 – 24 bulan, dan perlu dilakukan kontrol rutin untuk
mengetahui profil TSH dan hormon tiroid darah untuk penyesuaian dosis.

Anda mungkin juga menyukai