Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN PSIKIATRI ​ ​ ​ ​ REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN ​ ​ ​ ​
AGUSTUS 2017
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA ​ ​ ​ ​

REFERAT: RETARDASI MENTAL (F70-F79)

DISUSUN OLEH:
Erza Alifianda
111 2016 2167

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Ahyani Muslimin

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Nurindah Kadir, M.Kes, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN PSIKIATRI FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017

LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan
bahwa:

Nama ​ ​ ​: Erza Alifianda


Stambuk ​ ​: 111 2016 2167
Judul Referat ​ ​: Retardasi Mental (F70-F79)
Laporan Kasus :​ Skizofrenia Paranoid
(F20.0) ​

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan


klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar.
Makassar, Agustus
2017

Supervisor Pembimbing,
Residen Pembimbing,

dr. Nurindah Kadir, M.Kes, Sp.KJ


dr. Ahyani Muslimin
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Retardasi mental (RM) adalah suatu gangguan
heterogen yang terdiri dari fungsi intelektual yang
dibawah rata-rata dan gangguan dalam
keterampilan adaptif yang ditemukan sebelum

orang berusia 18 tahun. Gangguan dipengaruhi


oleh faktor genetik, lingkungan, dan psikososial.
Selama dekade terakhir, semakin dikenal faktor
biologis, termasuk kelainan kromosom kecil,
sindrom genetika dan intoksikasi timbal subklinis
dan berbagai pemaparan toksin pranatal pada
orang dengan retardasi mental ringan (sampai 85
persen dari populasi retardasi mental).
1

Insidensi retardasi mental sulit dihitung


karena kesulitan mengenali onsetnya. Prevalensi
retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan
adalah kira-kira 1 persen dari populasi. Pada
banyak kasus, retardasi mungkin laten selama
waktu yang panjang sebelum keterbatasan
seseorang diketahui atau karena adaptasi baik.
Prevalensi untuk RM ringan 0,37-0,59%
sedangkan untuk RM sedang, berat dan sangat
berat adalah 0,3-0,4%. Insidensi tertinggi adalah
2

pada anak usia sekolah, dengan puncak usia 10


sampai 14 tahun. Retardasi mental 1,5 kali lebih
sering pada laki-laki dibandingkan dengan wanita.
Pada lanjut usia, prevalensi lebih sedikit karena
mereka dengan retardasi mental yang berat atau
sangat berat memiliki angka mortalitas yang tinggi
yang disebabkan dari penyulit gangguan fisik yang
menyertai.1

Retardasi mental merupakan masalah dunia


dengan implikasi yang besar terutama bagi negara
berkembang. Diperkirakan angka kejadian
retardasi mental berat sekitar 0,3% dari seluruh
populasi dan hampir 3% mempunyai IQ dibawah
70. Sebagai sumber daya manusia tentunya
mereka tidak bisa dimanfaatkan karena 0,1% dari
anak-anak ini memerlukan perawatan, bimbingan
serta pengawasan sepanjang hidupnya. Sehingga
3

retardasi mental masih merupakan dilema, sumber


kecemasan bagi keluarga dan masyarakat.
Demikian pula dengan diagnosis, pengobatan dan
pencegahannya masih merupakan masalah yang
tidak kecil. 1,2

Anak tumbuh dan berkembang di bawah


asuhan orang tua untuk beradaptasi dengan
lingkungan, mengenal dunia sekitarnya, dan pola
pergaulan hidup di lingkungan. Anak dengan
retardasi mental memerlukan dukungan keluarga,
teru- tama pola asuh orang tua yang akan sangat
memengaruhi perilaku, pembentukan kepriba-
dian dewasa, dan harga diri (self-esteem) anak di
kemudian hari. Terdapat empat macam pola asuh
orang tua, yaitu: 12

a. Tipe
A atau Authoritative (demokratis). Pola
asuh yang menganjurkan orang tua memberikan
kebebasan kepada anak untuk memilih dan
melakukan suatu tindakan de- ngan batas dan
tanggung jawab yang jelas, sehingga dapat
membantu mereka untuk mengaktualisasikan diri
sebagai makhluk sosial yang dapat bekerja dan
bermasyarakat dengan baik.
b. Tipe B atau Authoritarian (otoriter). Pola
asuh yang mana orang tua cenderung memberikan
perintah, tidak memberi kesempatan anak untuk
bertanya, dan tidak memberi penjelasan mengenai
tugas yang diberikan kepada anak. 

c. TipeC atau Permissive (permisif). Pola asuh
yang sangat longgar dan terlalu bebas, orang tua
tidak mengharuskan anaknya untuk mematuhi
aturan-aturan sosial, serta memberi kebebasan
penuh kepada anak untuk memilih kegiatan dan
mengambil keputusan tanpa kontrol dari orang tua.

d. Tipe D, pola asuh yang tidak konsisten dan


campuran. Pola asuh ini terbagi menjadi dua, yaitu
pola asuh neglectful dan indulgent. Pola asuh
neglectful, yang mana orang tua sangat tidak
terlibat dalam kehidupan anak. Pola asuh
indulgent, yang mana orang tua sangat terlibat
dalam kehidupan anak, na- mun hanya
memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat
minim. Pada tipe ini anak cen- derung kurang
memiliki kompetensi sosial dan kontrol diri. 

Adapun keempat pola asuh di atas dibagi
men- jadi dua kategori, yaitu pola asuh yang
diharap- kan (non-exposure) umumnya
menerapkan pola asuh tipe A (demokratis);
sedangkan pola asuh yang tidak diharapkan
(exposure) cenderung menerapkan pola asuh tipe
B (otoriter), tipe C (permisif), dan tipe D
(campuran).
Tekanan fisik dan mental yang dialami orang
tua ketika merawat anaknya yang menderita retar-
dasi mental ringan dapat menyebabkan mereka
menutup diri dari pekerjaan dan kesehariannya.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pola asuh serta psikopatologi (gejala
kejiwaan) orang tua dalam mengasuh anaknya
yang menderita retardasi mental ringan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Keterbelakangan mental atau lazim disebut
retardasi mental (RM) adalah suatu keadaan
dengan intelegensia yang kurang (subnormal)
sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak
masa anak-anak). Biasanya terdapat
perkembangan mental yang kurang secara
keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi
yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga
oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit danfren =
jiwa) atau tuna mental. Keadaan tersebut ditandai
dengan fungsi kecerdasan umum yang berada
dibawah rata-rata dan disertai dengan
berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan
diri atau berprilaku adaptif.
2

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis


Gangguan Jiwa edisi ke-III (PPDGJ III) adalah
suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti
atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh
hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua
tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif,
bahasa, motorik, dan sosial.
3

Menurut American Association Mental


Retardation (AAMR) 2002 adalah suatu disabilitas
yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan
yang bermakna baik dalam fungsi intelektual
maupun prilaku adaptif yang diekspresikan dalam
keterampilan konseptual, social dan praktis.
The American Association on Intellectual and
Developmental Disabilities (AAIDD)
mendefinisikan retardasi mental sebagai
keterbatasan dalam fungsi intelektual dan perilaku
adaptif. 5

2. ETIOLOGI
a. Kelainan kromosom
i. Sindrom Down
Sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya
kelebihan kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan
1
retardasi mental serta anomali fisik yang beragam. Untuk seorang
ibu usia pertengahan (> 32 tahun), resiko memiliki anak dengan
sindroma Down adalah kira-kira 1 dalam 100 kelahiran. Retardasi
mental adalah cirri yang menumpang pada sindrom Down. Sebagian
besar pasien berada dlam kelompok retardasi sedang sampai berat.,
hanya sebagian kecil yang memiliki IQ di atas 50. Diagnosis
sindrom Down relative mudah pada anak yang lebih besar tetapi
seringkali sukar pada neonates. Tanda yang paling penting pada
neonates adalah hipotonia umum, fisura palpebra yang oblik, kulit
leher yang berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar, tulang pipi
yang tinggi, dan lidah yang menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal
dan lebar, dengan garis transversal tunggal pada telapak tangan, dan
jari kelingking pendek dan melengkung ke dalam.

​ ​ ​ ​ ​ ​(google.com)
Gambar 1. Karakteristik Sindroma Down

ii. Sindrom Fragile X


Sindrom fragile X merupakan bentuk retardasi mental yang
1
diwariskan dan disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X.
Diyakini terjadi pada kira-kira 1 tiap 1000 kelahiran laki-laki dan
2000 kelahiran perempuan. Derajat retardasi mental terentang dari
ringan sampai berat. Ciri perilakunya adalah tingginya angka
gangguan defisit atensi/hiperaktivitas, ganguan belajar, dan
gangguan perkembangan pervasive seperti gangguan akuisitik.
Defisit dalam fungsi bahasa adalah pembicaraan yang cepat dan
perseveratif dengan kelainan dalam mengkombinasikan kata-kata
membentuk frasa dan kalimat.

iii. Sindrom Prader-Willi


Kelianan ini akibat dari penghilangan kecil pada kromosom 15,
biasanya terjadi secara sporadic. Prevalensinya kurang dari 1 dalam
10000. Orang dengan sindrom ini menunjukkan perilaku makan
yang kompulsif dan sering kali obesitas, retardasi mental,
hipogonadisme, perawakan pendek, hipotonia, dan tangan dan kaki
yang kecil. Anak –anak dengan sindrom ini seringkali memiliki
1
perilaku oposisional yang menyimpang.

​ ​(google.com)
Gambar 2. Karakteristik Sindrom Prader-Willi

iiii. Sindrom tangisan kucing (cat-cry [cri-du-chat] syndrome)


Anak-anak dengan sindrom tangisa kucing kehilangan bagian
dari kromosom 5. Mereka mengalami retardasi mental berat dan
menunjukkan banyak stigmata yang seringkali disertai dengan
penyimpangan kromosom, seperti mikrosefali, telinga yang letaknya
rendah, fisura palpebra oblik, hipertelorisme, dan mikrognatia.
Tangisan seperti kucing yang khas (disebabkan oleh kelainan laring)
yang memberikan nama sindrom secara bertahap berubah dan
1
menghilang dengan bertambahnya usia.

b. Faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan
penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya
terjadi adalah Rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak.
Penyakit ibu juga dapat menyebabkan retardasi mental, seperti sifilis,
cytomegalovirus, dan herpes genital. Obat-obatan yang digunakan ibu
selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian
dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah. Anak-
anak yang ibunya minum alkohol selama kehamilan sering lahir dengan
sindrom fetal dan merupakan kasus paling nyata sebagai penyebab
retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen atau
cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis, terkena
racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi
menyebabkan retardasi mental.

c. Faktor Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi premature dan bayi
dengan berat badan lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami
gangguan neurologis dan intelektual yang bermanifestasi selama tahun-
tahun sekolahnya. Bayi yang menderita pendarahan intrakranial atau
tanda-tanda iskemia serebral terutama rentan terhadap kelainan kognitif.
Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya berhubungan dengan
beratnya perdarahan intrakranial.

d. Gangguan Didapat pada Masa Anak-anak


Kadang-kadang status perkembangan seorang anak dapat berubah
secara dramatik akibat penyakit atau trauma fisik tertentu. Secara
retrospektif, kadang-kadang sulit untuk memastikan gambaran
kemajuan perkembangan anak secara lengkap sebelum terjadinya
gangguan, tetapi efek merugikan pada perkembangan atau keterampilan
anak tampak setelah gangguan. Beberapa penyebab yang didapat pada
masa anak-anak antara lain :
− Infeksi.
Infeksi yang paling serius mempengaruhi interitas serebral adalah
ensefalitis dan meningitis.
− Trauma kepala
Penyebab cedera kepala yang terkenal pada anak-anak yag
menyebabkan kecacatan mental, termasuk kejang, adalah
kecelakaan kendaraan bermotor. Tetapi, lebih banyak cedera kepala
yang disebabkan oleh kecelakaan di rumah tangga, seperti terjatuh
dari tangga. Penyiksaan anak juga suatu penyebab cedera kepala.

e. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural


Suatu bentuk retardasi mental dipengaruhi oleh lingkungan
dengan sosioekonomi rendah. Faktor-faktor psikososial, seperti
lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang memberi
stimulasi intelektual, penelantaran atau kekerasan dari orang tua, dapat
menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan
retardasi mental pada anak-anak. TIdak ada penyebab biologis yang
telah dikenali pada kasus tersebut.
Anak-anak dalam keluarga yag miskin dan kekurangan secara
sosiokultural adalah sasaran dari kondisi merugikan perkembangan dan
secara potensial patogenik. Lingkungan prenatal diganggu oleh
perawatan medis yang buruk dan gizi maternal yang buruk. Kehamilan
remaja sering disertai dengan penyulit obstetric, prematuritas, dan berat
badan lahir rendah. Perawatan medis setelah kelahiran buruk, malnutrisi,
pemaparan dengan zat toksin tertentu seperti timbale dan trauma fisik
adalah serig terjadi. Ketidakstabilan keluarga, sering pindah, dan
pengasuh yang berganti-ganti tetapi tidak adekuat sering terjadi. Selain
itu, ibu dalam keluarga tersebut sering berpendidikan rendah dan tidak
siap memberikan stimulasi yang sesuai bagi anak-anaknya.
Masalah lain yang tidak terpecahkan adalah pengaruh ganguan
mental parental yang parah. Gangguan tersebut dapat menganggu
pengasuhan dan stimulasi anak dan aspek lain dari lingkungan mereka,
dengan demikian menempatkan anak pada resiko perkembangan. Anak-
anak dari orang tua dengan gagguan mood dan skizofrenia diketahui
berada dalam resiko mengalami gangguan tersebut dan gangguan yang
berhubungan. Penelitian terakhrir menunjukkan tingginya prevalensi
gangguan keterampialan motorik dan gangguan perkembangan lainnya
tetapi tidak selalu disertai retardasi mental.

3. DIAGNOSIS
Menurut pedoman diagnostik PPDGJ III
intelegensia bukan merupakan karakteristik yang
berdiri sendiri, melainkan harus dinilai

berdasarkan sejumlah besar ketrampilan khusus


yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan
umum bahwa semua ketrampilan ini akan
berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap
individu, tetapi ada ketimpangan (discrepancy)
yang luas, terutama pada penyandang RM. Orang
yang demikian mungkin memperlihatkan hendaya
berat dalam satu bidang tertentu (misalnya bahasa)
atau mungkin mempunyai suatu area ketrampilan
tertentu yang lebih tinggi (misalnya tugas
visuospasial sederhana) pada RM berat. Keadaan
ini akan menimbulkan kesluitan dalam
menentukan kriteria diagnostik dimana seorang
penyandang RM harus diklasifikasikan.
Penilaian tingkat kecerdasan harus
berdasarkan semua informasi yang tersedia,
termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang
dinilai dalam kaitan dengan latar belakang
budayanya), dan hasil tes psikometrik.
Untuk diagnosis pasti, harus ada penurunan
tingkat kecerdasan yang meningkatkan
berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap
tuntutan dari lingkungan sosial biasa sehari – hari.
Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai retardasi
mental mempunyai pengaruh besar pada gambaran
klinis dan penggunaan dari semua
keterampilannya. Oleh karena itu kategori
diagnostik yang dipilih harus berdasarkan
penilaian kemampuan global dan bukan atas suatu
hendaya atau ketrampilan khusus. Tingkat IQ yang
ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan
seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam
memandang keabsahan permasalahan lintas
budaya. 3

Kriteria diagnostik untuk RM menurut DSM IV –


TR adalah sebagai berikut :
1. Fungsi intelektual dibawah rata – rata (IQ 70
atau kurang) yang telah diperiksa secara
individual.
2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku
adaptif (sama dengan kekurangan individu
untuk memenuhi tuntutan standar perilaku
sesuai dengan usianya dari lingkungan
budayanya) dalam sedikitnya 2 hal, yaitu
komunikasi, self-care, kehidupan rumah-
tangga, ketrampilan sosial/interpersonal,
menggunakan sarana komunitas, mengarahkan
diri sendiri, ketrampilan akademis fungsional,
pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan
keamanan
3. Awitan terjadi sebelum usia 18 tahun
Kode diagnostik dan derajat RM menurut DSM
IV – TR adalah sebagai berikut :4

317 ​ etardasi mental ringan, IQ 50 – 55


R
sampai 70
318 ​ etardasi mental sedang, IQ 35 – 40
R
sampai 50 – 55
318.1 ​Retardasi mental berat, IQ 20 – 25
sampai 35 – 40
318.2 ​Retardasi mental sangat berat, IQ
dibawah 20 atau 25
Fungsi intelektual dapat diketahui dengan
tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan
sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ.Dapat
dihitung dengan : 4

IQ = MA/CA x 100%
MA = Mental Age, umur mental yang didapat dari hasil tes
CA = Chronological Age, umur yang didapat berdasarkan perhitungan
tanggal lahir

Diagnosis retardasi mental dapat dibuat


setelah riwayat penyakit, pemeriksaan
intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi
adaptif menyatakan bahwa perilaku anak
sekarang adalah secara bermakna di bawah
tingkat yang diharapakan. Diagnosis sendiri
tidak menyebutkan penyebab ataupun
prognosisnya. Suatu riwayat psikiatrik adalah
berguna untuk mendapatkan gambaran
longitudinal perkembangan fungsi anak, dan
pemeriksaan stigma fisik, kelainan neurologis,
dan tes laboratorium dapat digunakan untuk
memastikan penyebab dan prognosis. 6

a. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua
atau pengasuh, dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu,
persalinan, dan kelahiran. Terdapat riwayat keluarga retardasi
mental, hubungan darah pada orangtua, dan gangguan herediter.
Juga dapat menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim
1
emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien.

b. Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting saat jika mewawancarai
pasien adalah sikap pewawancara dan cara berkomunikasi dengan
pasien. Kemampuan verbal pasien, termasuk bahasa reseptif dan
ekspresif, harus dinilai sesegera mungkin dengan mengobservasi
komunikasi verbal dan nonverbal antara pengasuh dan pasien dan
dari riwayat penyakit. Sangat membantu jika memeriksa pasien
dan pengasuhnya bersama-sama. Jika pasien menggunakan
bahasa isyarat, pengasuh dapat sebagai penerjemah.
Orang terertardasi mengalami kegagalan seumur hidup
dalam berbagai bidang, dan mereka mungkin mengalami
kecemasan sebelum menjumpai pewawancara. Pewawancara dan
pengasuh harus berusaha untuk memberikan pasien suatu
penjelasan yang jelas, suportif, dan konkret tentang proses
diagnostik, terutama pasein dengan bahasa reseptif yang
memadai. Dukungan dan pujian harus diberikan dalam bahasa
yang sesuai dengan usia dan pengertian pasien.
Pengendalian pasien terhadap pola motilitas harus
dipastikan, dan bukti klinis adanya distraktibilitas dan distorsi
dalam persepsi dan daya ingat harus diperiksa. Pemakaian bahasa,
tes realitas, dan kemampuan menggali dan pengalaman penting
untuk dicatat. Sifat dan maturitas pertahanan pasien
(menundukkan diri sendiri menggunakan penghindaran, represi,
penyangkalan, introyeksi, da isolasi) harus diamati. Potensi
sublimasi, toleransi frustasi, dan pengendalian impuls (terutama
terhadap dorongan motorik, agresif, dan seksual) harus dinilai.
Juga penting adalah citra diri dan peranannya dalam
perkembangan keyakinan diri, dan juga penilaian keuletan,
ketetapan hati, keingintahuan, dan kemauan menggali hal yang
6,7
tidak diketahui.
Pada umumnya pemeriksaan psikiatrik pasien yang
teretardasi harus mengungkapkan bagaimana pasien mengalami
stadium perkembangan. Dalam hal kegagalan atau regresi, juga
dapat mengembangkan sifat kepribadian yang memungkinkan
perencanaan logis dari penatalaksanaan dan pendekatan
7
pengobatan.

c. Pemeriksaan Fisik
Berbagai bagian tubuh memiliki karakteristik tertentu yang
sering ditemukan pada orang retardasi mental dan memiliki
penyebab prenatal. Sebagai contoh, konfigurasi dan ukuran
kepala memberikan petunjuk terhadap berbagai kondisi seperti
mikrosefali, hidrosefalus, dan sindroma Down. Wajah pasien
mungkin memiliki beberapa stigmata retardasi mental yang
sangat mempermudah diagnosis. Tanda fasial tersebut adalah
hipertelorisme, tulang hidung yang datar, alis mata yang
menonjol, lipatan epikantus, opasitas kornea, perubahan retina
yag letaknya rendah atau bentuknya aneh, lidah yang menonjol,
dan gangguan gigi geligi. Lingkaran kepala harus diukur sebagai
bagian dari pemeriksaan klinis. Warna dan tekstur kulit dan
rambut, palatum dengan lengkung yang tinggi, ukuran kelenjar
tiroid, dan ukuran anak dan batang tubuh dan ekstremitasnya
,7
adalah bidang lain yang digali.

d. Pemeriksaan Neurologis
Gangguan sensorik sering terjadi pada orang retardasi
mental, sebagai contoh sampai 10 persen orang retardasi mental
mengalami gangguan pendengaran empat kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal. Gangguan sensorik dapat berupa
gangguan pendengaran dan gangguan visual. Gangguan
pendengaran terentang dari ketulian kortikal sampai deficit
pendengaran yang ringan. Gangguan visual dapat terentang dari
kebutaan sampai gangguan konsep ruang, pengenalan rancangan,
dan konsep citra tubuh.
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh
kelainan pada tonus otot (spastisitas atau hipotonia), refleks
(hiperefleksia), dan gerakan involunter (koreoatetosis). Derajat
kecacatan lebih kecil ditemukan dalam kelambanan dan
koordinasi yang buruk.

e. Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan pada kasus retardasi
mental adalah pemeriksaan urin dan darah untuk mencari
gangguan metabolik. Penentuan kariotipe dalam laboratorium
genetic diindikasikan bila dicurigai adanya gangguan kromosom.
Amniosintesis, di mana sejumlah kecil cairan amniotic
diambil dari ruang amnion secara transabdominal antara usia
kehamilan 14 dan 16 minggu, telah berguna dalam diagnosis
berbagai kelainan kromosom bayi, terutama Sindroma Down.
Amniosintesis dianjukan untuk semua wanita hamil berusia di
8
atas 35 tahun.
Pengambilan sampel vili korionik (CVS; chorionic villi
sampling) adalah teknik skrining yang baru untuk menentukan
kelainan janin. Cara ini dilakukan pada usia kehamilan 8 dan 10
minggu. Hasilnya tersedia dalam waktu singkat (beberapa jam
atau hari), dan jika kehamilan adalah abnormal, keputusan untuk
mengakhiri kehamilan dapat dilakukan dalam trimester pertama.
1,8
Prosedur memiliki resiko keguguran antara 2 dan 5 persen.

f. Pemeriksaan Psikologis
Tes psikologis, dilakukan oleh ahli psikologis yang berpengalaman,
adalah bagian standar dari pemeriksaan untuk retardasi mental.
Pemeriksaan psikologis dilakukan untuk menilai kemampuan
perceptual, motorik, linguistik, dan kognititf. Informasi tentang factor
1,8
motivasional, emosional, dan interpersonal juga penting.

4. KLASIFIKASI
Menurut PPDGJ-III retardasi mental dibagi
menjadi : 5, 9, 11

F70 Retardasi Mental Ringan


​Populasi terbelakang mental berada pada
kategori agak terbelakang. Skor kecerdasan
intelektual mereka (IQ) berkisar antara 50-75,
dan mereka sering memperoleh keterampilan
akademis sampai tingkat 6 kelas. Mereka bisa
menjadi cukup mandiri dan dalam beberapa kasus
hidup mandiri, dengan dukungan masyarakat dan
sosial. Pemahaman dan penggunaan bahasa
cenderung terlambat pada berbagai tingkat, dan
masalah kemampuan berbicara yang
mempengaruhi perkembangan kemandirian dapat
menetap sampai dewasa. Walaupun mengalami
keterlambatan dalam kemampuan bahasa, tapi
sebagian besar dapat mencapai kemampuan
bicara untuk keperluan sehari – hari. Kebanyakan
juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri
sendiri dan mencapai ketrampilan praktis dan
ketrampilan rumah tangga, walaupun tingkat
perkembangannya agak lambat daripada normal.
​Etiologi organik hanya dapat
diidentifikasikan pada sebagian kecil penderita.
Keadaan lain yang menyertai, seperti autisme,
gangguan perkembangan lain, epilepsi, gangguan
tingkah laku, atau disabilitas fisik dapat
ditemukan dalam berbagai proporsi. Bila terdapat
gangguan demikian, maka harus diberi kode
diagnosis tersendiri.

F71 Retardasi Mental Sedang


​Sekitar 10% populasi terbelakang mental
dianggap sebagai retardasi moderat. Individu
terbelakang sedang memiliki skor kecerdasan
(IQ) mulai dari 35-55. Mereka bisa melaksanakan
pekerjaan dan tugas perawatan mandiri dengan
pengawasan moderat. Mereka biasanya
memperoleh keterampilan komunikasi di masa
kanak-kanak dan mampu hidup dan berfungsi
dengan baik di dalam masyarakat atau di rumah
kelompok yang diawasi. Umumnya ada profil
kesenjangan dari kemampuan, beberapa dapat
mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam
ketrampilan visuo-spasial daripada tugas – tugas
yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang
lainnya sangat canggung namun dapat
mengadakan interaksi sosial dan percakapan
sederhana.
​Tingkat perkembangan bahasa bervariasi,
ada yang dapat mengikuti percakapan sederhana,
sedangkan yang lain hanya dapat berkomunikasi
seadanya untuk kebutuhan dasar mereka.
​Suatu etiologi organik dapat
diidentifikasikan pada kebanyakan penyandang
retardasi mental sedang. Autisme masa kanak
atau gangguan perkembangan pervasif lainnya
terdapat pada sebagian kecil kasus, dan
mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis
dan tipe penatalaksanaan yang dibutuhkan.
Epilepsi, disabilitas neurologik dan fisik juga
lazim ditemukan meskipun kebanyakan
penyandang retardasi mental sedang mampu
berjalan tanpa bantuan.
Kadang – kadang didapatkan gangguan jiwa
lain, tetapi karena tingkat perkembangan
bahasanya yang terbatas sehingga sulit
menegakkan diagnosis dan harus tergantung dari
informasi yang diperoleh dari orang lain yang
mengenalnya. Setiap gangguan penyerta harus
diberi kode diagnosis tersendiri.

F72 Retardasi Mental Berat


IQ biasanya berada dalam rentang 20 – 34. Pada umumnya mirip
dengan retardasi mental sedang dalam hal :
- Gambaran klinis
- Terdapatnya etiologi organik
- Kondisi yang menyertainya
- Tingkat prestasi yang rendah
- Kebanyakan penyandang retardasi mental berat menderita gangguan
motorik yang mencolok atau defisit lain yang menyertainya,
menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan
perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan saraf
pusat.

F73 Retardasi Mental Sangat Berat


​Hanya 1-2% populasi terbelakang mental
tergolong sangat terbelakang. Individu yang
terbelakang terbelakang memiliki skor
kecerdasan intelektual (IQ) di bawah 20-25.
Mereka mungkin bisa mengembangkan
keterampilan perawatan diri dan komunikasi
dasar yang sesuai untuk dukungan dan pelatihan.
Keterlambatan mereka sering disebabkan oleh
kelainan neurologis yang menyertainya.
Kebutuhan yang sangat terbelakang
membutuhkan tingkat struktur dan pengawasan
yang tinggi. American Association on Mental
Retardation (AAMR) telah mengembangkan
sistem klasifikasi diagnostik lain yang diterima
secara luas untuk keterbelakangan mental. Sistem
klasifikasi AAMR berfokus pada kemampuan
individu yang terbelakang dan bukan pada
keterbatasan. Kategori menggambarkan tingkat
dukungan yang dibutuhkan. Ada dukungan
intermiten, dukungan terbatas, dukungan penuh,
dan dukungan yang meluas.
Pemahaman dan penggunaan bahasa
terbatas, hanya mengerti perintah dasar dan
mengajukan permohonan sederhana.
Keterampilan visuospasial yang paling dasar dan
sederhana tentang memilih dan mencocokkan
mungkin dapat dicapainya dan dengan
pengawasan dan petunjuk yang tepat, penderita
mungkin dapat sedikit ikut melakukan tugas
praktis dan rumah tangga.
​Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi
pada sebagian besar kasus. Biasanya ada
disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat
yang mempengaruhi mobilitas, seperti epilepsi
dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering
ada gangguan perkembangan pervasif dalam
bentuk sangat berat khususnya autisme yang
tidak khas (atypical autism) terutam pada
penderita yang dapat bergerak.

F78 Retardasi Mental Lainnya


​Kategori ini hanya digunakan bila penilaian
dari tingkat retardasi mental dengan memakai
prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin
dilakukan karena adanya gangguan sensorik atau
fisik, misalnya buta, bisu, tuli dan penderita yang
perilakunya terganggu berat atau fisiknya tidak
mampu.

F79 Retardasi Mental YTT


​Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak
ada informasi yang cukup untuk
menggolongkannya dalam salah satu kategori
tersebut diatas.

5. PENATALAKSANAAN
Retardasi mental berhubungan dengan
beberapa gangguan heterogen dan berbagai faktor
psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi
mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan
tersier.
1

A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan
tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan atau menurunkan kondisi
yang menyebabkan perkembangan
gangguan yang disertai dengan retardasi
mental. Tindakan tersebut termasuk :
− Pendidikan untuk meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat
umum tentang retardasi mental.
− Usaha terus-menerus dari professional
bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbaharui kebijaksanaan
kesehatan masyarakat.
− Aturan untuk memberikan pelayanan
kesehatan maternal dan anak yang
optimal.
− Eradikasi gangguan yang diketahui
disertai dengan kerusakan system saraf
pusat.
Konseling keluarga dan genetik
membantu menurunkan insidensi retardasi
mental dalam keluarga dengan riwayat
gangguan genetic yang berhubungan dengan
retardasi mental. Untuk anak-anak dan ibu
dengan sosioekonomi rendah, pelayanan
medis prenatal dan perinatal yang sesuai dan
berbagai program pelengakap dan bantuan
pelayanan social dapat menolong menekan
komplikasi medis dan psikososial.

B. Pencegahan Sekunder dan Tersier


Jika suatu gangguan yang disertai
dengan retardasi mental telah dikenali,
gangguan harus diobati untuk
mempersingkat perjalanan penyakit
(pencegahan sekunder) dan untuk menekan
sekuele atau kecacatan yang terjadi
setelahnya (pencegahan tersier).
Gangguan metabolik dan endokrin
herediter, seperti PKU dan hipotiroidisme,
dapat diobati dalam stadium awal dengan
control diet atau dengan terapi penggantian
hormone.
Anak retardasi mental seringkali
memiliki kesulitan emosional dan perilaku
yang memerlukan terapi psikiatrik.
Kemampuan kognitif dan sosial yang
terbatas yang dimiliki anak tersebut
memerlukan modalitas terapi psikiatrik yang
dimodifikasi berdasarkan tingkat kecerdasan
anak.
a. Pendidikan untuk anak
Lingkungan pendidikan untuk anak-
anak dengan retardasi mental harus
termasuk program yang lengkap yang
menjawab latihan keterampilan adaptif,
latihan keterampilan sosial, dan latihan
kejujuran. Perhatian khusus harus
dipusatkan pada komunikasi dan usaha
untuk meningkatkan kualitas hidup.
Terapi kelompok seringkali merupakan
format yang berhasil dimana anak-anak
dengan retardasi mental dapat belajar dan
mempraktekkan situasi hidup nyata dan
mendapatkan umpan balik yang
mendukung.

b. Terapi perilaku, kognitif, dan


psikodinamika
Kesulitan dalam beradaptasi di
antara orang retardasi mental adalah luas
dan sangat bervariasi sehingga sejumlah
intervensi sendiri atau dalam kombinasi
mungkin berguna.
Terapi perilaku telah digunakan
selama bertahun-tahun untuk membentuk
dan meningkatkan perilaku sosial dan
untuk mengendalikan dan menekan
perilaku agresif dan destruksi pasien.
Dorongan positif untuk perilaku yang
diharapkan dan memulai hukuman
(seperti mencabut hak istimewa) untuk
perilaku yang tidak diinginkan telah
banyak menolong.
Terapi kognitif seperti
menghilangkan keyakinan palsu dan
latihan relaksasi dengan instruksi dari
diri sendiri, juga telah dianjurkan untuk
pasien retardasi mental yang mampu
mengikuti instruksi pasien.
Terapi psikodinamika telah
digunakan pada pasien retardasi mental
dan keluarganya untuk menurunkan
konflik tentang harapan yang
menyebabkan kecemasan, kekerasan, dan
depresi yang menetap.

c. Pendidikan keluarga
Satu bidang yang penting dalam
pendidikan keluarga dari pasien dengan
retardasi mental adalah tentang cara
meningkatkan kompetensi dan harga diri
sambil mempertahnkan harapan yang
realistic untuk pasien. Keluarga seringkali
merasa sulit untuk menyeimbangkan
antara mendorong kemandirian dan
memberikan lingkungan yang mengasuh
dan suportif bagi anak retardasi mental,
yang kemungkinan mengalami suatu
tingkat penolakan dan kegagalan di luar
konteks keluarga.
Orang tua mungkin mendapatkan
manfaat dari konseling yang terus-
menerus datau terpai keluarga. Orang tua
harus diberikan kesempatan untuk
mengekspresikan perasaan bersalah,
putus asa, kesedihan, penyangkalan yang
terus-menerus timbul, dan kemarahan
tentang gangguan dan masa depan anak.
Dokter psikiatrik harus siap untuk
memberikan semua informasi medis dasar
dan terakhir tentang penyebab, terapi, dan
bidang lain yang berhubungan (seperti
latihan khusus dan perbaikna defek
sensorik).

d. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis dalam
terpai gangguan mental komorbid pada
pasien retardasi mental adalah banyak
kesamaannya seperti untuk pasien yang
tidak mengalami retardasi mental.
Semakin banyak data yang mendukung
pemakaian berbagai medikasi untuk
pasien dengan gangguan mental yang
tidak retardasi mental. Beberapa
penelitian telah memusatkan perhatian
pada pemakaian medikasi untuk sindrom
perilaku berikut ini yang sering terjadi di
antara retardasi mental:
− Agresi dan perilaku melukai diri sendiri
o Beberapa bukti dari penelitian telah
menyatakan bahwa lithium
(Eskalith) berguna dalam
menurunkan agresi dan perilaku
melukai diri sendiri.
o Antagonis narkotik seperti
naltrexone (Trexan) telah dilaporkan
menurunkan perilaku melukai diri
sendiri pada pasien retardasi mental
yang juga memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan austik
infantile. Satu hipotesis yang
diajukan sebagai mekanisme kerja

terapi naltrexone adalah bahwa obat


mempengaruhi pelepasan opioid
endogen yang dianggap
berhubungan dengan melukai diri
sendiri.
o Carbamazepine (Tegretol) dan
valproic acid (Depakene) adalah
medikasi yang juga bermanfaat pada
beberapa kasus perilaku melukai diri
sendiri.
− Gerakan motorik stereotipik
Medikasi antipsikotik, seperti
haloperidol (Haldol) dan
chlorpromazine (Thorazine),
menurunkan perilaku stimulasi diri
yang berulang pada pasien retardasi
mental, terapi medikasi tersebut tidak
meningkatkan perilaku adaptif.
Beberapa anak dan orang dewasa
(sampai sepertiga) dengan retardasi
mental menghadapi resiko tinggi
mengalami tardive dyskinesia dengan
pemakaian kontinu medikasi
antipsikotik.
− Perilaku kemarahan eksplosif
Penhambat-β, seperti propranolol
dan buspirone (BuSpar), telah
dilaporkan menyebabkan penurunan
kemarahan ekspolasif di antara pasien
dengan retardasi mental dan gangguan
autistik. Penelitian sistematik
diperlukan sebelum obat dapat
ditetapkan sebagai manjur.

− Gangguan defisit atensi/hiperaktivitas


Penelitian terapi methylphenidate

pada pasien retardasi mental ringan


dengan gangguan defisit
atensi/hiperaktivitas telah menunjukkan
perbaikan bermakna dalam kemampuan
mempertahankan perhatian dan
menyelesaikan tugas. Penelitian terapi
metylphenidate tida menunjukkan bukti
adanya perbaikan jangka panjang dalam
keterampilan sosial atau belajar.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dalam refarat ini


disimpulkan bahwa retardasi mental merupakan suatu
keadaan perkembangan mental yang terhenti atau
tidak lengkap, terutama ditandai oleh hendaya
keterampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu
kemampuan kognitif, bahasa, motrik, dan sosial yang
dapat didiagnosis berdasarkan :
1. Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ 70 atau
kurang) yang telah diperiksa secara individual.
2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif
(sama dengan kekurangan individu untuk
memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan
usianya dari lingkungan budayanya) dalam
sedikitnya 2 hal, yaitu komunikasi, self-care,
kehidupan rumah-tangga, keterampilan,
sosial/interpersonal, menggunakan sarana
komunitas, mengarahkan diri sendiri, keterampilan
akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang,
kesehatan dan keamanan.
3. Awitan terjadi sebelum usia 18 tahun.
Berdasarkan Panduan Pedoman Diagnostik
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, retardasi mental
diklasifikasikan menjadi retardasi mental ringan,
retardasi mental sedang, retardasi mental berat,
retardasi mental sangat berat, retardasi mental lainnya,
dan retardasi mental yang tidak tergolongkan. Untuk
penatalaksanaannya dibagi menjadi pencegahan
primer, pencegahan sekunder, pencegahan tersier.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Retardasi Mental.


Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010
2. Pujiadi, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ilmu
Kesehatan Anak edisi II. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.Jakarta.2011
3. Suzanne M, dkk. Are different soil metals near the
homes of pregnant woment assosiated with mild
and severe intellectual disability in children? 2014
4. International Journal of Scientific and Research
Publications, Adjustment problems of Educable
Mentally Retarded. Dr. Bharati ROY ; Volume 2,
Issue 6, June 2012 1 ISSN 2250-3153.
5. Schalock RL, Borthwick-Duffy SA, Bradley M,
editors. Intellectual disability: definition,
classification, and systems of supports, 11th
ed. Washington: American Association on
Intellectual and Developmental Disabilities; 2010.

6. Elvira SD, Hadisukanto G. Retardasi Mental. Buku


Ajar Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2010
7. Louis SC;Geoffrey MR; Handyaastuti S,dkk,
Intelectual developmental disorder: towards a new
name, definition and framework for “mental

retardation/intelectual disability” 2011


8. Julian N.Trollor, dkk. Intellectual disability health
content within medical curiculum: an audit of what
our future doctors are taught.2016
9. Elvira, Sylvia, Gitayanti H. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta; Badan Penerbit FKUI. 2010.
10. Jenny Fairthhorne, dkk. Early Mortality and
primary cause of death in mothers of children with
intellectual disabilityor autism spectrum disorder: A
retropective cohort study. 2014.
11. International Journal of Learning & Development
ISSN 2164-4063 2012, Vol. 2, No. 5
12. Damianus Journal of Medicine;
CHARACTERISTICS OF PARENTING AND
PARENT PSYCHOPATHOLOGY OF CHILD WITH
MILD MENTAL RETARDATION. Maya, Daniel,
Surilena. Vol.13 hlm. 74-83. No.2 Juni 2014:
3

Anda mungkin juga menyukai