Anda di halaman 1dari 10

Integrasi Teknologi Membran dan Koagulasi Untuk

Penghilangan Limbah Zat Warna

Rofi Hilmi Ali H ( 14-2013-074) dan Akhmadi Waridyanto (14-2013-077)


Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Nasional Bandung
Jl. PHH. Mustafa. No. 23, Bandung, 40124, email : akhmadi664@gmail.com
Pembimbing : Jono Suhartono, S.T., M.T., Ph.D
Co Pembimbing : Dyah Setyo Pertiwi, S.T., M.T., Ph.D

Abstrak
Negara Indonesia merupakan salah satu negara di mana setiap tahun mampu mengekspor tekstil, namun
dari keberhasilan Negara Indonesia dalam mengekspor tekstil tersebut muncul dampak negatif yang ditimbulkan
dari industri tekstil tersebut yaitu limbah industri tekstil yang dihasilkan salah satunya mengandung zat warna.
Limbah ini perlu diproses terlebih dahulu sebelum dibuang. Proses pengolahan limbah zat warna ini pada
umumnya dilakukan dengan proses kimia, proses fisika, dan proses biologi, namun dari berbagai proses
pengolahan tersebut dinilai kurang maksimal dalam pengolahan limbah warna karena dapat membentuk limbah
baru. Oleh karena itu dilakukan penelitian penghilangan limbah warna dengan cara pengintegrasian antara proses
pemisahan dengan teknologi membran, dan proses koagulasi untuk memaksimalkan hasil pengolahan limbah yang
baik. Penelitian ini bertujuan untuk menghilangkan zat warna, tekanan optimum diperoleh pada 2 bar, pH
optimum dalam proses penghilangan limbah warna diperoleh pada pH 7, Dosis Alkalinitas optimum diperoleh
pada dosis 300 ppm, suhu optimum yang diperoleh pada penelitian ini adalah 25℃

Kata kunci : zat warna, membran, koagulasi


Abstract
Indonesia is one countries where every year can export textiles, but the success of the Indonesia country’s
textile export it appears the negative impacts of the textile industry is the textile industry’s waste produced one
containing the dyes. This waste needs to be processed before being discharged. Dyes waste treatment process is
generally carried out by chemical process, physical process, and biological process, but of various treatment
processes are valued less than the maximum in sewage treatment dyes because it can create new waste. Therefore
conducted research removal dyes waste with integration between processes with membrane technology, and
coagulation process to maximize the results of good waste treatment. The purpose of this research is to removal
dyes waste, the pressure get the optimum value at 2 bar, alkalinity dosage get the optimum at 300 ppm, pH get
the optimum at 7, and the temperature get the optimum at 25℃.

1. Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan salah satu negara di mana setiap tahun mampu mengekspor tekstil. Di mana
nilai ekspor tekstil tersebut mencapai 6,81 persen pada tahun 2016. Dari nilai ekspor tekstil tersebut sudah menjadi
keuntungan besar untuk Negara Indonesia, di mana nilai keuntungan pada bulan Februari 2016 mencapai USD
8,69 miliar (Ade Sudrajat, 2016). Namun dari besarnya keuntungan yang diperoleh negara Indonesia atas produksi
tekstilnya, ternyata industri tekstil menjadi sumber masalah yang ditimbulkan oleh limbah zat cair tersebut.
Limbah zat cair mengandung zat warna, BOD, COD, dan padatan tersuspensi yang relatif tinggi. Zat warna di
industri tekstil berguna sebagai bahan pewarna pada proses pencelupan di industri tekstil. Zat warna ini merupakan
sumber limbah yang cukup tinggi tingkat pencemarannya apabila tidak dilakukan proses pengolahannya. Dampak
dari limbah zar warna tersebut apabila tidak dilakukan proses pengolahannya adalah berupa kematian biota air,
kerusakan ekosistem, dan berbagai macam penyakit yang timbul. Teknologi pengolahan limbah warna pada
umumnya bisa dilakukan secara proses kimia, proses fisik, dan proses biologi.
Beberapa penelitian penghilangan warna dan senyawa organik yang ada dalam limbah cair industri tekstil
telah banyak dilakukan, misalnya dengan cara kimia menggunakan koagulan, secara fisika dengan sedimentasi,
adsorpsi dan lain-lain. Pengolahan limbah cair dengan menggunakan proses biologi juga banyak diterapkan untuk
mereduksi senyawa organik dari limbah cair industri tekstil. Namun efisiensi penghilangan zat warna melalui
proses biologi ini seringkali memiliki kelemahan sehingga hasilnya tidak memuaskan, karena zat warna
mempunyai sifat tahan terhadap degradasi biologi (recalcitrance).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka dilakukan pengintegrasian 2 proses penghilangan zat
warna yaitu proses filtrasi dengan teknologi membran, dan proses koagulasi yang merupakan metode yang efektif,
dan efisien dalam penghilangan limbah zat warna. Dimana pada proses filtrasi dengan menggunakan teknologi
membran memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan teknologi pemisahan yang lainnya. Keunggulan
pemisahan dengan teknologi membran yaitu sederhana, tidak membutuhkan zat kimia, dan energi. Sedangkan
proses koagulasi memiliki keunggulannya yaitu harganya murah, dan cukup efisien dalam proses pengolahan
limbah zat warna.
Karena pentingnya pengolahan limbah warna tersebut dalam hal kesehatan, dan keselamatan manusia,
oleh karena itu diadakan penelitian “Integrasi Teknologi Membran dan Koagulasi untuk Penghilangan Limbah
Warna“ yang diharapkan dari penelitian ini dapat menjadi solusi alternatif dalam pengolahan limbah zat warna.

2. Metodologi dan Bahan Penelitian


2.1 Bahan dan Alat
Pada penelitian “Integrasi Teknologi Membran dan Koagulasi Untuk Penghilangan Limbah Warna” akan
dilakukan penghilangan limbah warna dengan menerapkan proses pemisahan dengan teknologi membran yang
diintegrasikan dengan proses koagulasi. Pada pengaplikasiannya teknologi membran sudah banyak diaplikasikan
yang bertujuan untuk memisahkan campuran, teknologi membran sangat baik untuk diaplikasikan karena
memiliki selektivitas yang tinggi sehingga pada pengaplikasiannya untuk memisahkan air dengan zat warna yang
digunakan adalah jenis C.I Reactive Yellow 14, nantinya akan menghasilkan kadar zat warna yang minimum.
Dan proses koagulasi pada penerapannya banyak dilakukan untuk pengolahan air limbah, koagulan ini
mempunyai kemampuan untuk mendestabilisasi koloid sehingga akan terbentuk flok-flok halus yang dapat
diendapkan. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk menghilangkan zat warna dengan cara melakukan
pengintegrasian antar 2 proses yaitu : pemisahan dengan membran, dan proses koagulasi.
Pada penelitian ini digunakan membran jenis mikrofiltrasi dengan menggunakan modul flat membran, yang
diintegrasikan dengan dengan proses koagulasi. Proses koagulasi dilakukan pada treatment awal sebelum
dilakukan proses mikrofiltrasi. Proses koagulasi dilakukan pengadukan cepat. Pengadukan cepat berguna untuk
mempercepat, dan menyeragamkan penyebaran zat kimia melalui air yang diolah, dan pada proses koagulasi juga
dilakukan penambahan alkalinitas dengan bantuan senyawa sodium karbonat. Setelah proses koagulasi pada zat
warna maka dilakukan proses filtrasi dengan membran yang dibantu oleh alat pompa RO yang prinsip kerjanya
menggunakan tekanan yang tinggi. Permeat yang dihasilkan dari membran tersebut kemudian dilakukan tahap
analisis seperti analisis konsentrasi limbah terolah
Penelitian ini dioperasikan secara batch yang artinya umpan masuk hanya sekali, dan permeat yang keluar
berupa air dengan konsentrasi zat warna yang minimum, sedangkan retentatnya merupakan bagian yang tidak ikut
tersaring.

4 4
5

3 3
7

2
1

Gambar 2.1 Skema Alat Penelitian


Keterangan :

1 Tangki umpan
2 Pompa
3 Gate valve
4 Pressure gauge
5 Membran Mikrofiltrasi
6 Penampung Permeat
7 Flowmeter

1.4 Prosedur Penelitian


1. Zat warna C.I Reactive Yellow 14 disiapkan dengan konsentrasi 100 ppm
2. Koagulan Alum dipersiapkan dengan dosis yang telah optimum
3. Sodium karbonat dipersiapkan dengan dosis 150 ppm
4. Zat warna diatur pH nya sebelum dicampurkan dengan Koagulan Alum, dan Sodium Karbonat
masing masing 300 ml dalam gelas kimia 1000 ml
5. Campuran tersebut dilakukan proses koagulasi dengan pengadukan cepat 100 rpm selama 5 menit
6. Setelah proses koagulasi sample hasil koagulasi diambil sebagian untuk dianalisis.
7. Langkah selanjutnya dilakukan treatment lanjutan dengan menggunakan teknologi membran
mikrofiltrasi
8. Campuran yang telah dikoagulasi dituangkan ke tangki umpan
9. 1 set peralatan teknologi membran dinyalakan, lalu diatur valve beda tekan agar sesuai dengan variasi
penelitian yang diinginkan
10. Hasil permeat diambil setiap 3 menit sekali selama 30 menit proses filtrasi teknologi membran
mikrofiltrasi, lalu volume permeat dicatat
11. Setelah proses filtrasi selesai kemudian dilakukan analisis hasil sample permeat tersebut
12. Prosedur penelitian kembali diulang untuk variasi lainnya seperti pH, Dosis Sodium Karbonat, Beda
Tekan, dan Suhu

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Pengaruh pH Limbah Zat Warna Terhadap Fluks Membran, dan % Rejeksi Membran
Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan variasi pH untuk mengetahui pengaruh pH limbah
zat warna terhadap proses membran mikrofiltrasi yang meliputi yaitu : % rejeksi membran, fluks membran,
dan umur membran tersebut. Namun dalam hal ini parameter yang diperhatikan dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh pH limbah zat warna terhadap % rejeksi, dan fluks membran. Variasi pH limbah
zat warna yang digunakan adalah 3, 5, 7, 9, dan 11. Berikut hasil penelitian yang berkaitan dengan pengaruh
pH limbah zat warna terhadap % rejeksi membran, dan fluks membran.
Pengaruh pH limbah zat warna terhadap fluks membran dapat dilihat pada Gambar 4.4 di bawah ini
pH 3

100 pH 5
𝑳
Fluks (𝒎𝟐𝒋𝒂𝒎)
80 pH 7
60
pH 9
40
pH 11
20

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Menit)

Gambar 3.1 Pengaruh pH Terhadap Fluks Membran


Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat dilihat pada gambar 3.1 menunjukkan bahwa fluks permeat
tertinggi didapat pada pH 7, hal ini disebabkan pH 7 adalah pH yang ideal dalam proses koagulasi, maka zat warna
C.I Reactive Yellow 14 pada pH 7 terbentuk flok kecil sehingga dengan masuknya rentang pH 7 pada zat warna
pada proses koagulasi akan memudahkan zat warna C.I Reactive Yellow 14 untuk melewati pori membran karena
sudah dilakukan proses koagulasi terlebih dahulu sebelum dilakukan filtrasi teknologi membran.
Jika dibandingkan dengan pada pH 3, 5, 9, dan 11 koagulan alum bukanlah koagulan yang ideal untuk
pada pH tersebut. Hal ini bisa dilihat pada gambar 4.4 bahwa pada saat pH 3 nilai fluks membran cukup baik
karena membran yang digunakan masih dalam keadaan baru, namun jika dibandingkan dengan 5, 9, dan 11
cenderung flukaktif karena adanya faktor pengotor fouling sehingga karena pengotor fouling di membran tersebut
akan menyebabkan menurunnya laju fluks.

90
85
80 pH 3
% Rejeksi

75 pH 5
70 pH 7
65 pH 9
60 pH 11
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Menit)

Gambar 3.2 Pengaruh pH Terhadap % Rejeksi Membran


Pada gambar 3.2 dapat dilihat bahwa pH tertinggi pada sisi % rejeksi diperoleh pada pH 7, hal ini dapat
dipengaruhi dari beberapa faktor yaitu dari saat proses koagulasi bahwa pH 7 merupakan pH yang ideal untuk
proses koagulasi menggunakan koagulan alum, sehingga dengan efektifnya pH 7 pada saat proses koagulasi
menggunakan alum maka partikel zat warna setelah dilakukan proses koagulasi akan mengalami penurunan
konsentrasi zat warna, dan ketika ditreatment lanjut dengan membran mikrofiltrasi akan mempengaruhi
efisiensi membran atau rejeksi membran karena pH 7 yang telah dikoagulasi ukuran partikel zat warnanya
menjadi lebih pendek maka akan memudahkan zat warna tersebut untuk difilter membran mikrofiltrasi
sehingga dapat dilihat pada gambar 3.2 menunjukkan pH 7 di saat menit awal efisiensi penyisihan
membrannya cukup besar namun seiring berjalannya waktu akan mengalami penurunan efisiensi
membrannya karena membrannya yang sudah banyak endapan sehingga akan mempengaruhi efisiensi
membran.
Sedangkan untuk pH yang lain seperti pH 3, 5, 9, dan 11, pH 3 efisiensi membrannya cukup baik
daripada 5 karena pH 3 saat dilakukan proses filtrasi membran mikrofiltrasi keadaan membran masih baru
dipakai, namun ketika pada saat dilakukan dengan pH 5 justru mengalami penurunan karena jika kembali
ditinjau dengan faktor proses koagulasi pH 5 tidak masuk kriteria pH yang efektif untuk koagulan alum, hal
tersebut cukup mempengaruhi pada efisiensi membran, begitu juga dengan pH 9, dan pH 11 mengalami
penurunan dalam efisiensi membran karena membran yang sudah cukup kotor oleh endapan flok pada saat
filtrasi membran dilakukan pada pH 7 yang merupakan pH yang efektif untuk rentang pH koagulan alum.

1.4 Pengaruh Dosis Alkalinitas Terhadap Fluks Membran, dan % Rejeksi Membran

Pada penelitian ini diamati juga pengaruh dosis alkalinitas terhadap fluks membran, dan % rejeksi
membran. Dosis alkalinitas yang digunakan adalah menggunakan senyawa Sodium Karbonat dengan
variasi dosis alkalinitas yang digunakan yaitu 150, 300, 450, 600, dan 750 ppm. Dari hasilnya pada
variasi dosis alkalinitas bisa dilihat pada gambar berikut ini :

60
𝑳 50
Fluks ( )
𝒎𝟐 𝒋𝒂𝒎 Dosis Alkalinitas 150
40
30 Dosis Alkalinitas 300
20 Dosis Alkalinitas 450
10 Dosis Alkalinitas 600
0 Dosis Alkalinitas 750
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Menit)

Gambar 3.3 Pengaruh Dosis Alkalinitas Terhadap Fluks


Pada gambar 3.3 dapat dilihat bahwa dosis alkalinitas dari 150 ppm sampai 450 ppm mengalami
kenaikan nilai fluks artinya pada dosis alkalinitas tersebut cukup baik untuk proses pengolahan limbah
zat warna yang terlebih dahulu ditreatment koagulasi terlebih dahulu karena dosis alkalinitas mempunyai
peranan sebagai pengikat molekul zat warna bersamaan dengan mengikatnya koagulan alum sehingga
partikel zat warna tersebut akan berkurang karena sudah terikat oleh senyawa alkalinitas, dan koagulan
alum sehingga akan memudahkan untuk proses membran mikrofiltrasi.

Dari gambar 3.3 juga dapat dilihat setelah dilakukan penambahan 450 ppm, dilakukan kembali
penambahan dosis alkalinitas 600 ppm, dan 750 ppm namun dengan penambahan dosis alkalinitas 600
ppm, dan 750 ppm justru akan menurunkan fluks zat warna tersebut, hal disebabkan penambahan dosis
alkalinitas tersebut sudah terlalu banyak untuk ditambahkan, karena dengan banyaknya penambahan
dosis alkalinitas tersebut pada dosis sebesar 600 ppm, dan 750 ppm akan menyebabkan endapan atau
fouling di permukaan membran tersebut sehingga karena adanya fouling tersebut akan menyebabkan
menurunnya nilai fluks permeat pada variasi dosis alkalinitas
85.00

80.00 150 ppm


% Rejeksi
300 ppm
75.00 450 ppm
600 ppm
70.00 750 ppm
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (Menit)

Gambar 3.4 Pengaruh Dosis Alkalinitas Terhadap Rejeksi Membran

Dari gambar 3.4 dapat dilihat merupakan kurva pengaruh dosis alkalinitas terhadap % rejeksi
membran. Kurva tersebut menunjukkan bahwa pada dosis alkalinitas 300 ppm merupakan dosis yang
terbaik dalam efisiensi pemisahan membran atau % rejeksi, sedangkan pada penambahan dosis
alkalinitas 450, 600, dan 750 ppm % rejeksi membran cenderung tidak stabil atau fluktuatif karena
penambahan dosis alkalinitas tersebut sudah terlalu banyak, karena terlalu banyaknya penambahan dosis
alkalinitas, maka dosis alkalinitas yang berlebih tersebut akan menyebabkan efisiensi membran tidak
stabil karena dosis alkalintas yang ditambahkan pada zat warna tersebut tidak terikat seluruhnya sehingga
akan mempengaruhi efisiensi kerja membran tersebut.

3.3 Pengaruh Beda Tekan Terhadap Fluks Membran, dan % Rejeksi Membran

Pada penelitian ini diamati juga pengaruh beda tekan terhadap fluks membran, dan % rejeksi membran.
Beda tekan yang digunakan yaitu 1, 2, 3, 4, dan 5 bar. Dari hasilnya pada variasi dosis alkalinitas bisa
dilihat pada gambar berikut ini :

80
70
60
𝑳
50 P = 1 Bar
Fluks ( )
𝒎𝟐 𝒋𝒂𝒎
40 P = 2 Bar
30 P = 3 Bar
20
P = 4 Bar
10
0 P = 5 Bar
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Menit)

Gambar 3.5 Pengaruh Beda Tekan Dengan Fluks

Dapat diketahui bahwa Menurut (Mulder, 1996), proses terjadinya pemisahan suatu spesi kimia
tersebut disebabkan adanya driving force seperti beda tekan (∆𝑃). Secara umum jika semakin besar beda
tekan yang dioperasikan maka fluks permeat yang dihasilakan akan semakin besar karena pada beda
tekan yang besar, laju alir juga akan makin besar, nilai fluks permeat terbesar diperoleh pada beda tekan
2 bar.

Namun pada beda tekan 3 bar cenderung mengalami penurunan nilai fluks jika dibandingkan
dengan beda tekan 2 bar yang seharusnya semakin besar beda tekan berbanding lurus dengan besarnya
fluks permeat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh besarnya tekanan yang menyebabkan semakin
cepatnya penmpukan retentat pada membran sehingga menghalangi zat warna untuk mengalir menembus
melewati membran.

Jika ditinjau dari sisi fluks pada beda tekan yang secara teori mengatakan bahwa semakin besar
beda tekan operasi, maka besarnya fluks yang dihasilkan juga semakin besar, tapi jika ditinjau dari sisi
efisiensi membran atau % rejeksi membran, maka semakin besar beda tekan operasi maka % rejeksi
membran akan semakin kecil hal ini bisa dilihat pada gambar 3.6.

100
95
90
% Rejeksi

85 P = 1 Bar
80 P = 2 Bar
75 P = 3 Bar
70 P = 4 Bar
65 P = 5 Bar
60
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (Menit)

Gambar 3.6 Pengaruh Beda Tekan Terhadap Rejeksi Membran

Dari gambar 4.9 menunjukkan beda tekan optimum berada di beda tekan 2 bar. Semakin besar
beda tekan operasi maka % rejeksi membran akan berdampak dengan penurunan % rejeksi membran.
Hal ini disebabkan karena pada beda tekan tinggi pori pori membran akan semakin lebar, diameter pori
membran juga akan semakin membesar.

Dengan begitu karena semakin besarnya beda tekan, pori pori membran semakin lebar, diameter
pori membran yang semakin membesar akan menyebabkan lolosnya komponen partikel zat warna
bersamaan dengan permeat yang keluar dari membran yang telah terlebih dahulu dilakukan pre treatment
proses koagulasi sebelum dilakukan treatment lanjutan dengan membran mikrofiltrasi.

3.4 Pengaruh Suhu Operasi Terhadap Fluks dan Rejeksi Membran

Pada penelitian ini diamati juga pengaruh suhu terhadap fluks membran, dan % rejeksi membran. Variasi
suhu yang digunakan yaitu 25, 30, 35, 40, dan 45 ℃. Dari hasilnya pada variasi dosis alkalinitas bisa
dilihat pada gambar berikut ini :
80
70
60
T = 25
𝑳
50
Fluks ( ) 40 T = 30
𝒎𝟐 𝒋𝒂𝒎
30
T = 35
20
10 T = 40
0 T = 45
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (Menit)

Gambar 3.7 Pengaruh Suhu Operasi Terhadap Fluks Membran


Pada penelitian ini akan diamati pengaruh suhu terhadap fluks membran. Jika ditinjau dari segi
teknologi membran secara teori mengatakan bahwa jika semakin besar suhu maka semakin besar nilai
fluks permeatnya hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhunya akan menyebabkan ukuran pori akan
semakin membesar, tapi jika ditinjau dari segi koagulasi peningkatan suhu akan meningkatkan kecepatan
gerak partikel dalam suatu sistem sehingga semakin banyak tumbukan antar partikel yang dapat terjadi
yang pada akhirnya akan mempercepat terbentuknya flok.
Kenaikan suhu pada air akan meningkatkan kelarutan dari koagulan alum Menurut (Pernitsky,
David J) sehingga partikel partikel koloid lebih cepat ternetralisir membentuk flok seiring dengan
kenaikan suhu, namun dengan suhu optimum yang telah diperoleh, peningkatan suhu tidak lagi
memperbesar ukurannya, karena kelarutan flok meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Sehingga
kenaikan suhu akan menyebabkan flok flok yang sudah jenuh akan melarut kembali. Dari penjelasan
mengenai suhu dapat dikaitkan dengan hasil penelitian pengaruh suhu terhadap fluks membran seperti
pada gambar 3.7 tersebut.
Gambar 3.7 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pada pengolahan limbah zat warna C.I
Reactive Yellow 14 dengan metode integrasi antar teknologi membran, dan koagulasi justru mengalami
penurunan pada nilai fluks membran, hal ini disebabkan karena adanya faktor proses koagulasi yang
cukup dipengaruhi oleh faktor suhu seperti yang sudah dijelaskan di atas karena suhu semakin tinggi
pada proses koagulasi maka semakin cepat terbentuknya flok, namun jika suhu yang terlalu tinggi akan
menyebabkan flok flok kembali terlarut, maka karena itu flok flok yang terlarut kembali akan
menyebabkan endapan di permukaan membran menjadi fouling atau pengotor di membran tersebut,
sehingga karena adanya fouling yang disebabkan karena flok yang terlarut di dalam zat warna akan
menyebabkan fluks permeat menjadi kecil dengan kenaikan suhu.

Pengaruh kenaikan suhu juga berdampak pada % rejeksi membran seperti pada gambar 4.11
berikut ini

80 T = 25
79
78 T = 30
77 T = 35
% Rejeski 76
75 T = 40
74
T = 45
73
72
71
70
0 5 10 15 20 25 30 35
Gambar 3.8 Pengaruh Suhu Operasi Terhadap % Rejeksi Membran
Dari gambar 4.11 bisa dilihat bahwa semakin besar kenaikan suhu, maka akan berdampak
dengan semakin menurun nilai % rejeksinya karena ukuran pori yang membesar sehingga banyak
partikel partikel yang melewati membran. Selain itu dengan meningkatnya suhu akan menyebabkan
penurunan viskositas larutan. Penurunan viskositas akan berpengaruh terhadap jarak antar partikel dalam
larutan akan semakin renggang, sehingga akan menurunkan rejeksi membran Menurut (Sorin et al, 2005).

4. Kesimpulan
Dari penelitian yang sudah dilaksanakan dapat ditarik kesimpulan adalah sebagai berikut :
1. Pemisahan zat warna bisa dilakukan dengan integrasi antar 2 proses yaitu teknologi membran, dan
koagulasi
2. Bahwa pemisahan zat warna jika dilakukan dengan integrasi antar 2 proses cukup efektif hingga 60-
85 %
3. pH optimum yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 7
4. Dosis Alkalinitas optimum diperoleh dengan dosis 300 ppm
5. Beda tekan pada proses mikrofiltrasi yang optimum diperoleh adalah pada beda tekan 2 bar
6. Suhu optimum yang diperoleh pada integrasi 2 proses dalam penghilangan limbah warna adalah
sebesar 25℃

Daftar Pustaka

1 Ade Sudrajat. 2016, Industri Tekstil Harus Perluas Akses Pasar


<http://economy.okezone.com/read/2016/04/28/320/1374857/industri-tekstil-harus-perluas-
akses-pasar> [ 04/06/2016]
2 Agustina S, Sri P. Widianto T, Trisni A. 2008, Penggunaan Teknologi Membran Pada
Pengolahan Air Limbah Industri Kelapa Sawit. Workshop Teknologi Industri Kimia dan
Kemasan 46-47
3 Djufri, Rasjid, dkk. 1973 Teknologi Penggelantangan dan Pencapan. Bandung : Institut
Teknologi Tekstil.
4 Ebeling, James M. dan Sarah R. Ogden. 2004. Application Of Chemical Coagulation Aids for
the Removal of Suspended Solids (TSS) and Phosphorus from the Microscreen Effluent
Discharge of an Intensive Recirculating Aquaculture System. North American Journal Of
Aquaculture 66:198-207
5 Gebbie, Peter. 2005. A Dummy’s Guide to Coagulants 68 th Annual Water Industry Engineers
and Operators. Bendigo: Conference Schweppes Centre.
6 Hidayati, Filmi , 2003. Pengolahan Limbah Cair Tekstil dengan Menggunakan Metoda
Elektrokoagulasi, Bandung: Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Bandung.
7 Leksy T L, Yusuf B. 2012, Pengolahan Limbah Zat Warna Dispersi Dengan Elektrokoagulasi
Secara Kontinyu. Bandung: Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Bandung.
8 Manurung, Renita, Rosdanelli Hasibuan, Irvan, 2004. Perombakan Zat Warna Azo Reaktif
Secara Aerob-Anaerob, Jurusan Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara
9 Metcalf, dan Eddy, Inc. 2004. Wastewater Engineering, Treatment and Reuse. 4th.
Singapura:McGraw-Hill.
10 Mulder, M .1996. “Basic Principle Of Membrane Technology”. Second edition. Netherlands :
Kluwer Academic Publisher
11 Pernitsky, David J, “Coagulation 101”associated Engineering, Calgary, Alberta
12 Pratiwi, Anti Dewi, Tina Tresnawati, 2009, Proses Pengolahan Limbah Zat Warna Dispersi
dengan Metode Elektrokoagulasi, Bandung : Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Nasional
Bandung.
13 Richard W Barker .2004. Membrane Technology And Aplications .Second Edition : WILEY
14 Schnitzer, M. dan Khan, S.U. (1972) Humic Substances in The Environment, Marcel Dekker.
Inc., NewYork.
15 Seader dan Henley. 2004, Separation Process Principles. John Wiley & Sons,Inc
16 Sorin, A., Favre-Réguillon, A., Pellet-Rostaing, S., Sbaï, M., Szymczyk, A., Fievet, P. &
Lemaire, M. (2005). Rejection of Gd (III) by nanofiltration assisted by complexation on charged
organic membrane: Influences of pH, pressure, flux, ionic strength and temperature. Journal of
Membrane Science. 267(1): 41-49.
17 Sri Redjeki. 2011, Proses Desalinasi Dengan Membran. Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi , dan Departemen
Pendidikan Nasional.
18 Sugiyana, D. 2003. Pencemaran Logam Berat pada Limbah Industri Teksti dan Alternatif
Material Penyerap Ekonomis Arena Tekstil 39. Bandung: Balai Besar Tekstil.
19 Wenten, I.G. 1999. Teknologi Membran Industrial. Teknik Kimia ITB, Bandung
20 W.W.Jr. Eckenfelder, Industrial Water Pollution Control, McGraw – Hill Co., New York, 1989.

Anda mungkin juga menyukai