Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi (ozaena) adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut
juga rinitis chronica atrophicanscum foetida. Secara klinis, mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.1
Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara
berkembang. Penyakit ini muncul sebdemi di daerah subtropis dan daerah yang
bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania.
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5
pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4
penderita wanita dan 3 pria.7
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari
dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari
pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak
dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga
menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Adanya krusta
(pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering).
Hidung tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.2
Hingga kini pengobatan medis terbaik rhinitis atrofi hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik
dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan
jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama
adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan
dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung.1
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk mengetahui gejala klinis
rhinitis ozaena serta dapat mendiagnosis serta melakukan terapi pada pasien
rhinitis ozaena.

1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG


2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian, yang paling atas terdapat kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi, 5) kolumela,dan 6) lubang hidung (nares anterior). 1

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung
(os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 1

2
Gambar I : Anatomi Hidung Bagian Luar

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.
internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior. 1

Gambar 2 : Anatomi Hidung Bagian Dalam

3
Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadidua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, kristamaksila, Krista palatine serta krista
sfenoid. 1
Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari: 1
1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalisos maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior
3. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum
dan lamina pterigoideus medial.
4. Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka
media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat
(konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka
media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior

4
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superiordan palatum.

Meatus Nasalis Superior


Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid. 1

Meatus Nasalis Media


Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara
atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatusmedius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-
sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum. 1

5
Meatus Nasalis Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril. 1

Gambar 3 : Muara Sinus Paranasalis

Kompleks ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagiandari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal. 1
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena
sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media. 1

6
Gambar 4: Kompleks Ostiomeatal

Vaskularisasi hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalahujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posteriorkonka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.1
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoidanterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.1

7
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.1

Innervasi hidung
Bagian depan dan atas ronggahidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensorisjuga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerimaserabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut
parasimpatisdari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari
n.petrosus profundus.2 Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit
di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2

2.1.2 Fisiologi hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 3
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal
2) Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman)
dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu

8
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang
4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas
5) Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.
Iritasi pada mukosa hidung aka menyebabkan refleks bersin dan
nafas berhenti.

9
BAB III
RHINITIS ATROFI (OZAENA)
3.1 Definisi
Rhinitis ozaena atau rhinitis atrofi adalah suatu penyakit infeksi
hidung dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Secara
klinis mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering sehingga
terbentuk krusta berbau busuk. 3
Lebih sering mengenai wanita pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak pada
usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 3
Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia
menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau
gepeng berlapis, kelenjar-kelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya
berkurang dan berbentuk menjadi kecil. 3

3.2 Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering
mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita
dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi
mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita
rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis
mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50
tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49
tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat
sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang
berkembang. 1, 2, 6
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada
di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di
Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu
penurunan tajam dalam insidens ozaena. 1

10
Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000
ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37
tahun.6

3.3 Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang.
Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit
degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada
beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi
(Ozaena), yaitu : 1,3,5
 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh
Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada
mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik
penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas
aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli,
Cocobacillus foetidus ozaena.
 Defisiensi vitamin A.
 Defisiensi Fe.
 Sinusitis kronis.
 Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
 Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
 Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti
deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
 Herediter.
 Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
 Golongan darah.
 Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi
karena kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut
pembedahan, sedangkan terapi radiasi pada hidung segera merusak
pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus.

11
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas :
rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder,
akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi
hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma,
rinoskleroma dan tbc.1,5
Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan
kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai
infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah
diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab
dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada
masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5

3.4 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :
Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk
klasik rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
Penyebabnya adalah mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis
atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.
Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi
lokal setempat. 1

3.5 Patologi dan Patogenesis


Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada
rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas
epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis
atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini
mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan
membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau
menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga
penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi

12
penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis
atrofi itu sendiri). 4
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia
menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat
pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara
patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1
a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal
akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi
estrogen.
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan
terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan


menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi
sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi
positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang
aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan
krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang.
Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya
antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. 6

Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi


hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan
pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik
terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan
mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan
histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3

13
 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
 Silia hidung. Silia akan menghilang.
 Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia
menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.
 Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil),
atau jumlahnya berkurang.

3.6 Gejala Klinis


Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung
tersumbat, gangguan penciuman (anosmia), ingus kental berwarna hijau, adanya
krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering.
Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain
(+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa
tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas
menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan
tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem
saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,4,
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan
rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika
krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi
media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan
berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur
larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena
secara klinik dalam tiga tingkat : 3

a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan


berlendir, krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,
warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

14
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta
di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini


mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya
pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang
kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk
krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan
pendarahan.5
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan
memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel.
Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel
perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat,
termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan,
pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,
hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius,
berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang
tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca. 5

3.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. 3,4
1) Anamnesa :
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari
dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari
pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak
dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga
menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi
penyakit ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan

15
keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan sekret
kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung tersumbat,
Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.
2) Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior hidung didapatkan rongga hidung
sangat lapang, konkha inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen
dan krusta berwarna hijau.

3) Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat
dilakukan antara lain :
 Foto rontgen hidung dan sinus paranasalis, hal ini dilakukan untuk
meniyingkirkan sepsis pada sinus. Pada rontgen dapat menunjukkan
membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya
aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris.
 CT scan sinus paranasalis, dimana pada pemeriksaan ini ditemukan :
Penebalan mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman dan
kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan proses
“uncinate”, Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum hidung
dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang dan
atrofi mukosa pada konkha media dan inferior.
 Pemeriksaan mikroorganisme untuk menentukan kuman penyebab.
 Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konka media. Dari
pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang,
metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar
berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.
 Uji resistensi kuman.
 Pemeriksaan darah tepi.
 Pemeriksaan serologi darah.
o Protein Serum.
o Pemeriksaan Fe serum

16
o Pemeriksaan darah rutin
o ANA dan anti-DNA antibodi.
o (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.

3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :
1. Rinitis kronik Tuberculosis
Secara klinis rinitis aropi dan rhinitis kronik Tuberculosis sama, dapat
dibedakan dengan pemeriksaan Foto Rontgen Thorak dan terdapat adanya
riwayat penyakit TBC atau kontak erat pada pasien Tuberculosis oleh
penderita.
2. Rhinitis kronik lepra
Penderita rinitis kronik lepra mempunyai riwayat atau sedang menderita
penyakit Lepra
3. Rinitis kronik sifilis
Rinitis kronik sifilis terjadi pada penderita yang sedang atau sudah pernah
menderita penyakit sifilis sebelumnya
4. Sinusitis
Pada sinusitis sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan
orang lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun
orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.
Sedangkan pada Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta
berwarna kuning kehijauan, penderita tidak membau, sedangkan orang lain
membau. Lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama sekitar usia
pubertas.
5. Nasofaringitis kronis
Pada nasofaringitis kronis sekret post nasal bilateral, penderita membau,
sedangkan orang lain tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara
pria dan wanita

17
3.9 Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik
dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan
jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. 1,3
Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung
mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah
mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/
penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,3

Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci
hidung, dan simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan
akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida
oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup
efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun
pemakaian. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan
dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret
dan menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :
 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3 aaa 9
 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air
hangat

18
c. Larutan garam dapur
d. Campuran :
 Na bikarbonat 28,4 g
 Na diborat 28,4 g
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan


menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan
melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada
rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25%
dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis
10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl
30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan
Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan
80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa
intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini
membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam
laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu,
natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol
darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat,
pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan
sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6
dari 7 penderita.

19
Operasi
Tujuan operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk :
menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan
pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan
terjadinya regenerasi.1 Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 5
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke
arah dalam.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1


1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik
dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit
salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,
kemudian dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis
seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation)
dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan
operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak
berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan


perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.
Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana
sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan
implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.4

20
3.10 Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana

3.11 Prognosis
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.
Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan
keberhasilan dalam pengobatan.

21
22
BAB IV
RINGKASAN

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.
Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan
yang buruk.
Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada
anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang
berwarna hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung
terasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat
lapang, konka inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta
yang berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologik yang berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji
resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada
yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan
gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak
dapat menolong dilakukan pengobatan operatif. Pengobatan konservatif dengan
pemberian antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman,
dengan dosis yang adekuat. Obat cuci hidung juga diberikan untuk
menghilangkan bau busuk. Pengobatan operatif dengan operasi penutupan lubang
hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir
osteoperiosteal.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ and Snow JB. Atrophic Rinitis Dalam: Ballenger JJ and Snow
JB. Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16th Ed.
Hamilton:BC Decker inc; 2003 h: 750-751.

2. Lalwani AK. Nonallergic & Allergic Rinitis Dalam: Lalwani AK.Current


Diagnosis and Treatment in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. New
York: McGrawhill; 2007 Ch:13

3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed.
ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

4. Vanessa IDA. Rinitis Atrofi. Mataram:Fakultas Kedokteran Universitas


Mataram. 2008 h:1-11

5. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.1997

6. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006

7. Sampan S. Bist, Manisha Bisht, and Jagdish P. Purohit. Clinical Study


Primary Atrophic Rhinitis: A Clinical Profile, Microbiological and
Radiological Study. 2012

8.

24
25

Anda mungkin juga menyukai