Anda di halaman 1dari 27

TUGAS ILMU PENYAKIT DALAM

REFERAT

Peranan modulator sinyal intraselular jalur AMPK dan mTOR dalam regulasi
metabolisme sel dan karsinogenesis

Perceptor:
dr. Juspeni Kartika, Sp. PD

Oleh:
Delvi Rusitaini Putri, S.Ked
1218011033

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR.H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai prevalensi
cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya saja
prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di
Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720
kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus
kematian pada pria.

Di Indonesia, kanker payudara menempati urutan ke dua setelah kanker leher


rahim.Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian
kanker. Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga
kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan
tumor epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berasal dari jaringan
penghubung, jarang dijumpai pada payudara.

Berdasarkan asal dan karakter histologinya kanker payudara dikelompokkan


menjadi dua kelompok besar yaitu insitu karsinoma dan invasive karsinoma.
Karsinoma insitu dikarakterisasi oleh lokalisasi sel tumor baik di duktus maupun
di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal menuju stroma di
sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal akan rusak
sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi jaringan
disekitarnya menjadi sel metastatik.

Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan dengan
jelas oleh penderita sehingga banyak penderita yang berobat dalam keadaan
lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian kanker tersebut.
Padahal, pada stadium dini kematian akibat kanker masih dapat dicegah. Penyakit
kanker payudara ditemukan dalam stadium dini, angka harapan hidupnya (life
expectancy) tinggi, berkisar antara 85 s.d. 95%. Namun, dikatakannya pula bahwa
70--90% penderita datang ke rumah sakit setelah penyakit parah, yaitu setelah
masuk dalam stadium lanjut.

Pengobatan kanker pada stadium lanjut sangat sukar dan hasilnya sangat tidak
memuaskan. Pengobatan kuratif untuk kanker umumnya operasi dan atau radiasi.
Pengobatan pada stadium dini untuk kanker payudara menghasilkan kesembuhan
75%. Pengobatan pada penderita kanker memerlukan teknologi canggih,
ketrampilan, dan pengalaman yang luas. Perlu peningkatan upaya pelayanan
kesehatan, khususnya di RS karena jumlah yang sakit terus-menerus meningkat,
terlebih menyangkut golongan umur produktif.

Sebagai tolak ukur keberhasilan pengobatan kanker, termasuk kanker payudara,


biasanya adalah 5 year survival (ketahanan hidup 5 tahun). Faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis dan ketahanan hidup penderita kanker payudara adalah
besar tumor, status kelenjar getah bening regional, skin oedema ‘pembengkakan
kulit’, status menopause, perkembangan sel tumor, residual tumor burden (tumor
sisa), jenis patologinya, dan metastase, terapi, serta reseptor estrogen. Selain itu,
ditambahkan pula dengan umur dan besar payudara. Ketahanan hidup penderita
kanker dipengaruhi oleh pengobatan, ukuran tumor, jenis histologi, ada tidaknya
invasi ke pembuluh darah, anemia, dan penyulit seperti hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi payudara

Payudara pada laki-laki hanya mengalami sedikit perubahan selama


kehidupan. Pada wanita, tonjolan prepubertas berkembang pada usia 11-15
tahun, dan lobulasi terjadi setelah ovulasi pertama. Jaringan kelenjar yang
membentuk 15-20 lobus tersusun secara radier di sekitar puting dan
dipisahkan oleh jaringan lemak yang jumlahnya bervariasi. Di antara lobus
dikelilingi oleh stroma atau jaringan ikat. Setiap lobus berbeda sehingga
penyakit yang menyerang satu lobus tidak menyerang lobus yang lain.
Drainase lobus yaitu ke sinus laktiferosa yang lalu ke duktus pengumpul
dan akhirnya bermuara ke puting.

Payudara terletak pada hemithoraks kanan dan kiri. Batas payudara wanita
dewasa yang terlihat dari luar yaitu superior: iga II atau III, inferior: iga VI
atau VII, medial: tepi lateral sternum, dan lateral: linea axillaris anterior
sedangkan batas yang sesungguhnya yaitu superior: hampir sampai
klavikula, medial: garis tengah, dan lateral: m. latissimus dorsi. Basis
payudara berbentuk sirkular kecuali pada bagian lateral atas terdapat
penonjolan ke arah aksila, disebut tail of Spence. Payudara ditunjang oleh
ligamentum Cooper yang merupakan pita fibrous yang terletak tegak lurus
terhadap dermis.

Payudara dapat dibedakan menjadi 5 kuadran: lateral atas, lateral bawah,


medial atas, medial bawah, dan sentral. Kuadran lateral atas terdiri dari
jaringan yang lebih banyak dari kuadran lainnya.

Payudara menerima suplai darah utamanya dari cabang perforantes arteri


mammaria interna, cabang lateral dari arteri intercostales posterior, dan
cabang dari arteri axillaris, termasuk thoracica yang paling besar, thoracica
lateral, dan cabang pektoralis dari arteri thoracoacromialis.
Vena dari payudara dan dinding dada yang berjalan mengikuti jalan arteri
dibedakan menjadi tiga kelompok utama yaitu cabang perforantes vena
mamaria interna, cabang perforantes vena intercostales posterior, dan
cabang vena Axilaris. Plexus Batson dari vena vertebrales dari basis
tengkorak sampai sacrum dapat memberikan jalan bagi metastasis ca
mamma ke vertebrae, tengkorak, tulang pelvis, dan sistem susunan syaraf
pusat.

Pembuluh darah limfe secara umum berjalan paralel dengan pembuluh


darah. Kelenjar getah bening berupa enam kelompok KGB aksila: vena
aksilaris, kelompok anterior dan pektoral mammaria eksterna, scapula
(posterior atau subscapular), sentral, subklavikula, dan, interpektoral
(Rotter’s node), KGB prepektoral, dan KGB mammaria interna. Sekitar
75% aliran limfe dari payudara ke KGB aksilaris, dan yang lain yang
berasal dari aspek medial ke KGB parasternal (mammaria interna).
B. Definisi carsinoma Mammae

Carsinoma mammae adalah pertumbuhan dan pembelahan sel khususnya


sel pada jaringan mammae yang tidak normal/abnormal yang terbatas serta
tumbuh perlahan karena suplai limpatik yang jarang ketempat sekitar
jaringan mammae yang banyak mengandung banyak pembuluh limfe dan
meluas dengan cepat dan segera bermetastase Penyakit kanker payudara
adalah penyakit keganasan yang berasal dari struktur parenkim payudara.
Paling banyak berasal dari epitel duktus laktiferus (70 %), epitel lobulus
(10%) sisanya sebagian kecil mengenai jaringan otot dan kulit payudara,
kanker payudara tumbuh lokal ditempat semula, lalu selang beberapa
waktu menyebar melalui saluran limfe (penyebaran sisitemik) ke organ
vital lain seperti paru-paru, tulang, hati, otak dan kulit.

C. Faktor Resiko

Penyebab kanker payudara secara pasti tidak diketahui. Akan tetapi, dari
data epidemiologi telah didapatkan faktor-faktor yang berperan dalam
perkembangan penyakit ini. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok: genetik, endokrin, dan lingkungan yang masing-
masing dapat sebagai mayor, intermediet, atau minor. Banyak faktor minor
masih dalam perdebatan.

Faktor risiko mayor

1) Jenis kelamin
Ca mamme seratus kali lebih banyak pada wanita dibandingkan laki-
laki.
2) Usia

Sama seperti carcinoma yang lain, insiden kanker payudara meningkat


seiring peningkatan usia. Kanker payudara hanya terjadi sekali-sekali
pada usia belasan tapi pada usia berikutnya kejadiannya meningkat.
Risiko kumulatif dari perkembangan kanker payudara pada usia 20-40
tahun sebesar 0,5%, 50-70 tahun sebesar 5%. Angka tersebut
menunjukkan fakta bahwa mayoritas pasien mengalami ca mamme di
atas usia 50 tahun. Sekitar 60% kanker payudara terjadi pada usia diatas
60 tahun. Resiko terbesar ditemukan pada wanita berusia diatas 75
tahun.

3) Ca mamme sebelumnya

Perkembangan kanker payudara sekunder dapat sebagai manifestasi


klinis dari ca primer multifokal atau sebagai ca yang baru. Risiko
relative perkembangan ca sekunder pada 20 tahun setelah diagnosis
awal ialah 1,2-1,5. Risiko ini terjadi paling banyak pada wanita usia
muda dengan diagnosis kanker payudara sebelum usia 40. Wanita yang
pernah menderita kanker in situ atau kanker invasif memiliki resiko
tertinggi untuk menderita kanker payudara. Setelah payudara yang
terkena diangkat, maka resiko terjadinya kanker pada payudara yang
sehat meningkat sebesar 0,5-1%/tahun.

4) Riwayat keluarga dan predisposisi genetik


Riwayat keluarga kanker payudara dikaitkan dengan peningkatan risiko
menderitanya. Risiko tersebut paling tinggi pada pasien dengan
hubungan tingkatan pertama (ibu atau saudara perempuan), khususnya
jika penyakit berkembang pada usia sebelum 50 tahun. Wanita yang
ibu, saudara perempuan atau anaknya menderita kanker, memiliki
resiko 3 kali lebih besar untuk menderita kanker payudara.

Telah ditemukan 2 varian gen yang tampaknya berperan dalam


terjadinya kanker payudara, yaitu BRCA1 dan BRCA2. Jika seorang
wanita memiliki salah satu dari gen tersebut, maka kemungkinan
menderita kanker payudara sangat besar.
Gen lainnya yang juga diduga berperan dalam terjadinya kanker
payudara adalah p53, BARD1, BRCA3 dan Noey2. Kenyataan ini
menimbulkan dugaan bahwa kanker payudara disebabkan oleh
pertumbuhan sel-sel yang secara genetik mengalami kerusakan.
Terdapat 5% dari total pasien mempunyai kaitan dengan faktor genetik.
Sekitar 20% wanita yang didiagnosis kanker payudara punya paling
sedikit satu anggota keluarga yang menderita.

5) Benign breast disease


Benign disease tidak sering dianggap sebagai faktor risiko mayor
meskipun papillomatosis multipel demikian.

Faktor risiko intermediat

1. Diet dan alkohol


Diet tinggi lemak atau kolesterol berkaitan dengan risiko kanker
payudara meskipun hubungan sebab akibat antara keduanya belum
didemonstrasikan secara jelas.

Bukti adanya hubungan antara konsumsi alkohol dan peningkatan risiko


kanker payudara semakin kuat. Kondisi ini juga sebanding dengan
jumlah alkohol yang dikonsumsi. Pemakaian alkohol lebih dari 1-2
gelas/hari bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.
2. Faktor endokrin
Faktor ini mungkin berhubungan dengan jumlah siklus menstruasi
dimana payudara terekspos. Faktor hormonal penting karena hormon
memicu pertumbuhan sel. Kadar hormon yang tinggi selama masa
reproduktif wanita, terutama jika tidak diselingi oleh perubahan
hormonal karena kehamilan, tampaknya meningkatkan peluang
tumbuhnya sel-sel yang secara genetik telah mengalami kerusakan dan
menyebabkan kanker. Hormon, khususnya hormon seks steroid
estrogen, progesteron dan testosteron, telah diketahui sebagai promotor
kanker payudara, endometrium, ovarium, dan prostat. Data meunjukkan
bahwa estrogen secara langsung berperan atau berkontribusi terhadap
perkembangan kanker payudara. Estrogen bisa berasal dari ovarium
(premenstruasi), adrenal (postmenopause), dan dari payudara itu sendiri
(dengan aromatisasi androgen menjadi estrogen). Banyak faktor yang
dapat meregulasi sintesis estradiol tapi yang paling penting adalah
derajat obesitas yang dapat meningkatkan proses aromatisasi dalam
payudara. Estrogen dapat menginisiasi proses mutasi gen dan juga
meningkatkan pembelahan sel yang sudah mengalamai mutasi gen.
Intake alkohol dapat meningkatkan risiko mungkin karena menurunkan
estradiol clearence. Dari data penelitian didapatkan bahwa risiko kanker
payudara lebih besar pada penggunaan kombinasi estrogen dan
progesteron daripada estrogen sendiri.

Wanita yang mengkonsumsi DES untuk mencegah keguguran memiliki


resiko tinggi menderita kanker payudara.

Beberapa penelitian telah menyebutkan pemaparan bahan kimia yang


menyerupai estrogen (yang terdapat di dalam pestisida dan produk
industri lainnya) mungkin meningkatkan resiko terjadinya kanker
payudara.

3. Nulliparitas
Nulliparitas menghilangkan efek proteksi terhadap kanker payudara.
Wanita yang melahirkan anak pertama sebelum usia 20 punya risiko
relative 0,5 dibandingkan dengan nullipara, yang melahirkan anak
pertama setelah 30 tahun punya risiko relative 0,94. Beberapa bukti
bahkan menyatakan bahwa wanita yang melahirkan anak pertama pada
usia lebih dari 35 tahun punya risiko lebih besar untuk mendapatkan
kanker payudara.

Kehamilan berikutnya sepertinya kurang berperan pada risiko kanker


payudara meskipun kondisi tersebut sebenarnya juga memberikan efek
proteksi. Efek proteksi terjadi pada kehamilan full term.

Data menunjukkan pemberian ASI memberikan efek proteksi meskipun


tidak semua penelitian mengkonfirmasikan hal ini.

4. Usia menarche dan menopause


Wanita dengan menarche sebelum usia 12 punya risiko relative 2,30
dibandingkan dengan setelah usia 12. Risiko menurun seiring dengan
peningkatan usia menarche. Cepatnya usia menarche, khususnya di
negara bagian barat, mungkin sebagai akibat dari peningkatan nutrisi
dan kesehatan umum, diperkirakan penting berkaitan dengan
bervariasinya insiden kanker payudara secara demografi.

Risiko relative perkembangan kanker payudara sebesar 0,5% pada


wanita dengan menopause sebelum usia 45 tahun, dibandingkan dengan
wanita yang tetap menstruasi setelah usia 55 tahun. Menopause buatan
dengan oophorectomy or irradiasi juga menurunkan risiko kanker
payudara.

Semakin dini menarke, semakin besar resiko menderita kanker


payudara. Semakin lambat menopause dan kehamilan pertama, semakin
besar resiko menderita kanker payudara

5. Kontrasepsi oral dan hormone replacement therapy


Meta-analisis telah menunjukkan risiko relative dari perkembangan
kanker payudara dengan konsumsi kontrasepsi oral sebesar 1,24. Ketika
berhenti, angka tersebut menurun menjadi 1,01 setelah 10 tahun.
Hormone replacement therapy telah ditunjukkan dengan meta-analisis
berkaitan dengan peningkatan risiko menjadi kanker payudara,
walaupun risiko tidak lebih dari 5 dan penggunaan selama 10 tahun.

Pil KB bisa sedikit meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara,


yang tergantung kepada usia, lamanya pemakaian dan faktor lainnya.
Belum diketahui berapa lama efek pil akan tetap ada setelah pemakaian
pil dihentikan.

Terapi sulih estrogen yang dijalani selama lebih dari 5 tahun tampaknya
juga sedikit meningkatkan resiko kanker payudara dan resikonya
meningkat jika pemakaiannya lebih lama.

6. Irradiasi
Peningkatan risiko muncul setelah masa laten, 10-15 tahun. Efek
tersebut lebih tampak pada wanita yang terekspos irradiasi sebelum usia
35 tahun dan sedikit pada wanita yang terekspos setelah usia 40 tahun.

Pemaparan terhadap penyinaran (terutama penyinaran pada dada), pada


masa kanak-kanak bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker
payudara.

7. Benign breast disease


Atipia berat dengan hyperplasia dihubungkan dengan peningkatan
risiko menjadi ca. Hubungan tersebut paling banyak pada wanita
dengan riwayat keluarga kanker payudara.

Faktor risiko minor

1. Body size
Terdapat hubungan minor antara ukuran tubuh dan kanker payudara,
tergantung pada umur dan tinggi badan atau massa tubuh. Hal ini
mungkin berkaitan dengan lemak tubuh dan risiko dari hormone
replacement therapy.

2. Stress
Tidak ada bukti bahwa stress dapat menyebabkan kanker payudara.

3. Benign breast disease


Beberapa gambaran patologis, seperti papillomatosis dan hyperplasia
dengan atipia umum, dihubungkan dengan peningkatan risiko menjadi
kanker payudara. Risiko tersebut menjadi lebih rendah dengan semakin
sedikitnya derajat atipia. Pasien dengan kista apokrin makroskopik juga
berisiko menjadi ca akan tetapi bukti yang meyakinkan mengenai hal
ini kurang. Kaitan antara benign breast disease dan risiko ca menjadi
masalah karena pada fibroadenoma dan fibrocystic change tidak terjadi
peningkatan risiko menjadi ca.

Faktor resiko lainnya

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kanker rahim, ovarium dan


kanker usus besar serta adanya riwayat kanker dalam keluarga bisa
meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.

D. Kegagalan Terapi pada kanker

Sampai saat ini, satu-satunya kemungkinan kesembuhan total dari


kanker yang telah terbukti adalah dengan cara pembedahan. Kemoterapi
dan radioterapi, kecuali untuk keganasan tertentu seperti keganasan
hematologik, belum mampu memberikan angka kesembuhan yang
menjanjikan. Bahkan kemoterapi dan radioterapi cenderung lebih besar
kemungkinan gagal dibandingkan berhasil dalam menangani kanker,
baik itu karena toksisitas, gagal respons ataupun relaps dari kanker
tersebut.
Terapi kanker kepala dan leher dengan menggunakan terapi kombinasi
hanya memberikan laju respons komplit sebesar 23%, dengan efek
samping kemoterapi yang besar. Demikian pula radioterapi pada kanker
paru, dengan menggunakan mesin modern dan tatalaksana tiga dimensi
hanya menghasilkan recurrence free survival sebesar 27%, atau hanya
meningkat sebesar 9% bila dibandingkan tanpa radioterapi. Kanker
payudara, dengan pilihan terapi yang luas dan multimodal, ternyata
untuk kasus-kasus non surgikal hanya memberikan respons patologik
komplit sebesar 15-25%. Pada pasien dengan kanker payudara
inflamatorik kurang lebih 20% pasien yang telah diterapi dengan
kemoterapi, radioterapi dan bahkan pembedahan tetap mengalami
relaps lokal.

Kegagalan terapi pada kanker sesuai dengan data di atas berlaku umum
untuk semua keganasan. Berbagai cara sudah dilakukan untuk mencoba
memperbaiki angka keberhasilan terapi pada kanker, mulai dari
kemoterapi konvensional sampai dengan terapi target, namun
kesemuanya belum berhasil memberikan hasil yang menggembirakan.
Salah satu penyebab utama kegagalan terapi pada kanker, khususnya
kemoterapi dan radioterapi, diperkirakan adalah oleh karena adanya sel
punca kanker (SPK), yang mampu untuk memperbarui volume tumor
bahkan setelah dilakukan kemo/radioterapi adekuat.

Peranan sel punca kanker terhadap kegagalan terapi

Terapi kanker konvensional diarahkan pada populasi gumpalan (bulk)


tumor , strategi ini seringkali mempunyai efektivitas terbatas oleh
karena adanya resistensi obat intrinsik/akuisita dan/atau resistensi
terhadap radiasi pengion. Mekanisme resistensi terapeutik termasuk
peningkatan pengenalan dan perbaikan DNA yang dirusak oleh obat
atau radiasi pengion, perubahan kendali siklus sel, gangguan jalur
apoptosis fungsional dan penurunan akumulasi obat sebagai akibat
peningkatan ekspresi transporter ABC yang mengeluarkan obat.
Bukti-bukti telah timbul yang menunjukkan sel punca kanker (SPK)
sebagai subpopulasi sel di dalam keganasan dengan sifat-sifat resistensi
terhadap kemo dan radioterapi, yang menandakan pendekatan
antikanker konvensional dapat seringkali gagal untuk mengeradikasi
subset sel yang menginisiasi dan mempertahankan tumorigenesis.
Sebagai contoh, resistensi SPK terhadap kemoterapi telah dilaporkan
terdapat pada leukemia, melanoma maligna dan dalam kanker otak,
payudara, pankreas dan kolorektal. Lebih lanjut lagi, resistensi SPK
terhadap radioterapi juga telah diidentifikasi pada kanker otak dan
payudara.

Metformin untuk membunuh sel punca kanker. Pada saat menggunakan kemoterapi
konvensional, jumlah sel tumor menurun namun proporsi sel punca kanker lebih besar
dibandingkan sebelum terapi, mengindikasikan bahwa sitotoksis secara efisien membunuh sel
tumor namun sel punca kanker, secara alamiah resisten terhadap efek obat antikanker dan
membuat pertumbuhan tumor kembali. Sebaliknya dengan metformin, pada saat digunakan
bersama dengan kemoterapi sitotoksik tradisional, obat tersebut tidak hanya membunuh sel
tumor yang berproliferasi, namun nampaknya juga mampu menyerang sel punca kanker,
sehingga mencegah relaps tumor
Apabila SPK memang merupakan penyebab utama dari perkembangan
tumor dan bertanggungjawab terhadap resistensi terapeutik dan
progresivitas pasien kanker, pendekatan terapi yang menargetkan SPK
dapat secara potensial meningkatkan efektivitas regimen terapi yang saat
ini tersedia dan menurunkan risiko relaps tumor dan metastasis.

Kanker payudara, prostat dan kolorektal merupakan kanker yang


penyebarannya global dan kanker ini diakibatkan langsung dari
penggunaan rokok global dan adopsi gaya hidup, diet dan inaktivitas fisik
khas kehidupan barat apabila SPK memang merupakan penyebab utama
dari perkembangan tumor dan bertanggungjawab terhadap resistensi
terapeutik dan progresivitas pasien kanker, pendekatan terapi yang
menargetkan SPK dapat secara potensial meningkatkan efektivitas
regimen terapi yang saat ini tersedia dan menurunkan risiko relaps tumor
dan metastasis.

Banyak nya faktor terjadinya kanker maka dari pola hidup sangat
berpengaruh maka dari itu sangatlah penting untuk mengetahui
keterkaitan penyakit metabolik dengan kanker, di mana baru-baru ini
bukti-bukti kuat semakin menunjukkan adanya hubungan kuat antara
disregulasi metabolisme selular dengan karsinogenesis. Refrat ini juga
bertujuan untuk memberikan pemahaman terkini mengenai jalur sinyal
intraselular yang mengatur metabolisme, terutama jalur AMPK-mTOR
dan keterkaitannya dengan karsinogenesis dan metastasis. Selain itu, juga
akan dibahas mengenai karakter unik dari obat lama, yakni metformin,
yang ternyata mempunyai efek ganda baik sebagai aktivator AMPK dan
juga inhibitor mTOR serta peranannya dalam perkembangan terapi
sitostatika terutama efeknya pada SPK.

Disregulasi metabolisme sel sebagai mekanisme karsinogenesis

Selama proliferasi, sel harus meningkatkan biomassa dan mereplikasi


genom sebelum membelah menjadi dua sel turunan. Oleh karenanya, sel
harus membentuk cukup energi dan memperoleh atau mensintesis
biomolekul dalam laju yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
proliferasi. Kanker secara esensi merupakan penyakit di mana sel telah
kehilangan kendali atas titik periksa normal dalam proliferasi. Sehingga,
tidak mengherankan apabila sel tumor, dalam kebutuhannya untuk
memenuhi kebutuhan proliferasi yang meningkat, menunjukkan
perubahan fundamental dalam metabolisme energi dan asupan nutrien.
Otto Warburg pertamakali mengajukan teori ini pada tahun 1920, bahwa
defek dalam metabolisme energi, terutama fungsi mitokondrial mungkin
adalah akar dari kanker.

mTOR (mammalian target of rapamycin) adalah protein kinase yang


mengatur pertumbuhan sel, proliferasi sel, motilitas sel, ketahanan hidup
sel dan sintesis protein dan protein jalur mTOR diekspresikan secara
berlebihan pada kanker prostat primer dibandingkan dengan jaringan
BPH , ekspresinya dikaitkan dengan keganasan suatu penyakit.
Kehilangan gen supresor tumor homolog fosfat dan tensin (PTEN)
mengindikasikan ke arah keganasan dengan aktivasi phospatidylinositol
3 – kinase (PI3K)/Akt (protein kinase B family) / jalur sinyal mTOR

Ditingkat seluler ataupun molekuler saat ini dikenal komunikasi inter


ataupun antar sel melalui berbagai jalur sinyal (signaling pathway) yang
menjelaskan tentang proses pertumbuhan dan metabolisme yang terjadi
baik dalam kondisi normal ataupun patologis. Salah satu jalur (pathway)
yang berperan penting dalam pertumbuhan dan metabolisme sel dikenal
adalah jalur sinyal Mammalian Target of Rapamycin (mTOR) Signaling
Pathway, mTOR adalah suatu enzim serine / threonine kinase yang
berperan dalam sejumlah proses seluler penting, misalnya sintesa dan
translasi protein dengan cara memfosforilasi molekul - molekul dibawah
(downstream) lintasannya (Fang et al, 2001), sedangkan p70 ribosomal
S6 protein Kinase (p70S6K) adalah suatu protein ribosom yang berperan
sama seperti mTOR dan kerjanya dapat dikendalikan oleh mTOR. Pada
kondisi sepsis jalur sinyal mTOR akan mengalami hambatan, akibatnya
level ekspresi mTOR akan menurun. Gambaran level ekpresi mTOR
pada kondisi normal lebih proksimal daripada p70S6K, maka untuk
melihat level ekspresi mTOR dapat digunakan p70S6K sebagai penanda
(Xu et al, 2010). Hingga saat ini sepsis masih merupakan salah satu
penyebab kematian yang terbesar pada pasien yang dirawat di ICU dan
sejauh ini juga masih merupakan penyulit yang paling sering timbul pada
pasien-pasien sakit kritis. Meskipun telah terdapat banyak kemajuan
dalam mengenal patofisiologi sepsis, ketersediaan uji-uji diagnostik yang
lebih cepat, sensitif dan spesifik, pencegahan dan pengelolaan pasien
sepsis di ICU masih merupakan tantangan yang berat bagi para ahli
perawatan intensif (intensivist).

Peranan jalur mTOR dalam karsinogenesis

Banyak mutasi predominan yang diamati pada kanker juga


mengendalikan metabolisme sel, sehingga mengarahkan kepada teori
bahwa jaringan onkogen dan supresor tumor mempengaruhi pergeseran
metabolik dalam kanker. Sebuah regulator sentral metabolisme, baik
pada sel nontransformasi dan transformasi adalah phosphatidylinositol-3-
kinase (PI3K), suatu kinase lipid yang mengatur level
phosphatidylinositol terfosforilasi (PIP3) pada membran plasma. Aktivasi
PI3K terkait faktor pertumbuhan menyebabkan aktivasi efektor hilir,
termasuk Akt dan target rapamicin mamalia (mTOR – mammalian target
of rapamycin), yang mengkoordinasi aktivitas metabolik pendukung
biosintesis selular. Pada sel normal, aktivasi PI3K dikendalikan ketat
dengan defosforilasi PIP3 oleh fosfatase PTEN, suatu supresor tumor
poten. Aktivitas jalur ini mengalami deregulasi pada kanker melalui
beberapa mekanisme, termasuk mutasi aktivasi pada PI3K atau
kehilangan PTEN.

Secara keseluruhan, mutasi-mutasi sinyal PI3K menyebabkan salah satu


kelompok mutasi tersering pada tumor manusia. Sinyal PI3K/Akt yang
meningkat mempromosikan transformasi metabolik melalui berbagai
jalur termasuk :
1. Meningkatkan ekspresi permukaan transporter nutrien, sehingga
menyebabkan peningkatan asupan glukosa, asam amino dan nutrien
lain;
2. Stimulasi dependen-Akt dari hexokinase dan fosfofruktokinase untuk
meningkatkan glikolisis;
3. Peningkatkan transkripsi gen yang terlibat dalam glikolisis dan
lipogenesis; dan
4. Meningkatkan translasi protein melalui aktivasi mTOR dependen-
Akt

Translasi protein penting untuk pertumbuhan tumor, dan gangguan


translasinya dapat menyebabkan efek tumorigenik. Jalur mTOR
mengkoordinasi sinstesis protein dengan mengatur asupan asam amino,
pengisian tRNA dan inisiasi translasi. Jalur mTOR juga berfungsi
sebagai kinase sentral melalui dua kompleks multiprotein berbeda, yang
dikenal sebagai kompleks TOR1 (TORC1) dan kompleks TOR2
(TORC2), di mana keduanya mempunyai perbedaan dalam komposisi
serta fungsi fisiologisnya. Transduksi sinyal oleh mTOR
mempromosikan peningkatan asupan asam amino dengan meregulasi
naik dan mempertahankan ekspresi permukaan transporter asam amino.
Asam amino dapat secara langsung mempengaruhi laju sintesis protein
dengan stimulasi mTOR. Keadaan ini dimediasi oleh keluarga Rag dari
GTPase kecil, yang berinteraksi dengan TORC1 dan mempromosikan
aktivasinya sebagai respons terhadap sinyal asam amino.

Model jalur sinyal mTOR pada sel mamalia. Jalur sinyal mTOR terdiri
atas dua cabang utama, yang dimediasi oleh kompleks mTOR spesifik
(mTORC). Cabang mTORC1 mengendalikan beberapa jalur yang secara
kolektif menentukan ukuran sel. Cabang mTTORC2 mengendalikan
sitoskeleton aktin dan oleh karenanya menentukan bentuk sel. Cabang
mTORC1 dan mungkin pula mTORC2 berespons terhadap faktor
pertumbuhan (insulin/IGF1), status energi sel, nutrien (asam amino) dan
stress. Kompleks mTORC1 (dan juga kemungkinan mTORC2) bersifat
multimerik, meskipun digambarkan sebagai monomer. Panah mewakili
aktivasi di mana batang mewakili inhibisi.

Peranan inhibitor mTOR

Perkembangan klinis mengindikasikan bahwa rapamycin, hanya


memberikan harapan pada beberapa kanker, terutama limfoma sel
mantle, kanker endometrial dan karsinoma sel ginjal. Secara keseluruhan,
respons terapi terhadap rapamycin sangat bervariasi, menandakan bahwa
penanda biologis yang mampu memprediksi sel mana yang akan
berespons terhadap terapi rapamycin sangat dibutuhkan. Walaupun hasil-
hasil terkini membuat frustasi, kemungkinan hasil tersebut lebih
merefleksikan fakta bahwa masih banyak yang belum diketahui
mengenai aksi rapamycin ataupun sirkuit mTOR.

Meskipun demikian, turunan rapamycin kemungkinan merupakan


inhibitor mTOR pertama yang akan dipasarkan sebagai terapi kanker.
Rapamycin merupakan inhibitor universal fosforilasi S6K1 dependen-
mTORC1, namun adanya umpan balik negatif kuat dari S6K1 terhadap
sinyal AKT menggambarkan adanya permasalahan terapeutik potensial,
oleh karena kehilangan inhibisi umpan balik AKT dapat mempromosikan
kesintasan sel dan kemoresistensi. Efek samping yang tentu saja tidak
diinginkan. Temuan bahwa terapi rapamycin berkepanjangan
menghambat rangkaian mTORC2 dan fosforilasi AKT pada beberapa
tipe sel menunjukkan ide menarik dan mungkin provokatif, bahwa
beberapa respons klinis rapamycin berasal dari penghambatan kedua
mTORC.

Inhibisi ganda jalur PI3K atau lainnya dan mTOR dapat menjadi suatu
strategi yang efektif. Strategi ini menghindari konsekuensi potensial
adanya umpan balik yang merugikan. Beberapa obat-obatan yang sedang
dipertimbangkan sebagai terapi kombinasi termasuk gefitinib, imatinib,
tamoxifen dan paclitaxel. Oleh karena aktivasi AKT ditemukan meluas
pada kanker, juga terdapat rasionale bahwa menciptakan inhibitor
mTORC2 akan bermanfaat (gambar 10). Selain itu juga dipertimbangkan
bahwa inhibitor mTORC2 spesifik akan mempunyai potensi terapeutikal
yang baik, terutama pada kanker yang kecanduan terhadap peningkatan
sinyal PI3K. Namun demikian, meskipun menarik untuk membicarakan
beberapa strategi yang dapat dilakukan, nampaknya fakta dari studi klinis
menunjukkan bahwa masih banyak misteri mengenai jalur mTOR yang
harus diselidiki. Peranan jalur mtor dalam karsinogenesis Banyak mutasi
predominan yang diamati pada kanker juga mengendalikan metabolisme
sel, sehingga mengarahkan kepada teori bahwa jaringan onkogen dan
supresor tumor mempengaruhi pergeseran metabolik dalam kanker.
Sebuah regulator sentral metabolisme, baik pada sel nontransformasi dan
transformasi adalah phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K), suatu kinase
lipid yang mengatur level phosphatidylinositol terfosforilasi (PIP3) pada
membran plasma.

Metformin sebagai sitostatika potensial melalui jalur AMPK/mTOR

Pada level selular, metformin mengaktivasi AMPK, suatu sensor energi


yang terlibat dalam regulasi metabolisme sel, yang teraktivasi dengan
peningkatan kadar AMP intraselular. Metformin secara tidak langsu
mengaktivasi AMPK dengan mengganggu komples I rantai pernapasan
mitokondria, yang mengakibatkan penurunan sintesis AMP dan
peningkatan rasio AMP:ATP selular. Efek antikanker metformin
dikaitkan baik dengan efek langung (insulin-independen) dan tidak
langsung (insulin-dependen),. Efek tidak langsung, dependen insulin
dimediasi oleh kemampuan AMPK untuk menghambat transkripsi gen
glukoneogenesis kunci di hati dan menstimulasi asupan glukosa di otot,
sehingga menurunkan kadar glukosa darah puasa dan insulin.
Efek menurunkan insulin dari metformin memainkan peranan besar
dalam aktivitas antikankernya, oleh karena insulin mempunyai efek
mitogenik dan prokesintasan serta sel tumor seringkali mengekspresikan
reseptor insulin dalam jumlah besar, menandakan sensitivitas potensial
terhadap efek merangsang pertumbuhan hormon tersebut. Lebih jauh lagi
obesitas dan kadar insulin tinggi merupakan faktor prognostik negatif
untuk beberapa kanker, terutama payudara, prostat dan kolon. Akibatnya,
metformin dapat meminimalisir efek negatif insulin pada perkembangan
dan pertumbuhan tumor. Metformin telah dibuktikan mampu menekan
efek stimulatorik kegemukan dan hiperinsulinemia pada pertumbuhan
tumor paru di mencit dengan memperbaiki sensitivitas insulin,
menurunkan insulin dalam sirkulasi dan mengaktivasi sinyal AMPK

Mekanisme potensial metformin pada metabolisme dan proliferasi


selular. Metformin meningkatkan asupan glukosa dan glikolisis.
Metformin juga mengaktivasi AMPK sehingga menyebabkan fosforilasi
ACC dan akhirnya meningkatkan oksidasi asam lemak. Metformin
kemudian dapat pula menghambat kompleks mitokondrial 1, selain itu
metformin juga mempengaruhi pertumbuhan sel melalui: induksi
autofagi dependen-p53, menghambat mTOR dan sintesis protein serta
menginduksi penghentian siklus sel melalui penurunan kadar protein
cyclin-D1

Beberapa laporan terakhir juga menunjukkan kemungkinan bahwa


metformin mampu memediasi efek antikanker tambahan, terlepas dari
AMPK, LKB1 dan TSC2. Metformin mampu mereduksi sinyal mTOR
terlepas dari AMPK dan TSC2 dengan menghambat aktivasi melalui
jalur yang dimediasi oleh Rag GTPase. Secara paradoks, kehilangan
fungsi LKB1 pada sel membuat sel tersebut mengalami sensitisasi
terhadap kerja metformin pada keadaan glukosa rendah. Lebih lanjut lagi,
metformin mampu menurunkan glukoneogenesis hepar dengan
menurunkan kadar energi hepatik pada ketiadaan AMPK dan LKB1.
Sementara efek-efek tambahan ini menjanjukan, supresi sinyal mTOR
dependen-LKB1 tetap merupakan kandidat kunci kerja antitumor
metformin.

Faktor Resiko Kanker Payudara Beberapa faktor resiko untuk kanker


payudara telah didokumentasikan. Namun demikian, untuk mayoriti
wanita yang menderita kanker payudara, faktor resiko yang spesifik tidak
dapat ditentukan (IARC, 2008; Lacey, et al., 2009). Yang paling beresiko
terserang kanker payudara ialah wanita yang berumur diatas 30 tahun
(sekarang, dibawah 20 tahun juga sudah ditemukan kanker payudara).
Kejadian puncak kanker payudara terjadi pada usai 40-45 tahun
(Azamris, 2006). Di samping itu, riwayat dalam keluarga ada yang
menderita kanker payudara (ini juga tidak mutlak karena tanpa ada
riwayat keluarga juga bisa terkena) juga menjadi faktor resiko. Mereka
yang punya riwayat tumor juga mempunyai resiko tinggi menderita
kanker payudara.

Faktor resiko lain adalah seperti haid terlalu muda atau menopause diatas
umur 50 tahun, tidak menikah atau tidak menyusui dan melahirkan anak
pertama diatas usia 35 tahun. Mereka yang sering terkena radiasi (bisa
dari sering melakukan pemeriksaan kesehatan dengan menggunakan alat
x-ray) juga mempunyai kemungkinan menderita kanker payudara. Selain
itu, pola makan dengan konsumsi lemak berlebihan, kegemukan dan
konsumsi alkohol berlebihan juga merupakan faktor resiko. Mereka yang
sudah mendapatkan terapi hormonal dalam jangka panjang harus lebih
berwaspada karena mereka mempunyai resiko mendapat kanker
payudara. Stres dan faktor genetik (BRCA1/BRCA2) juga dikatakan
tergolong dalam faktor resiko kanker payudara. Mutasi gen BRCA1 pada
kromosom 17 dan BRCA2 pada kromosom 13 dapat meningkatkan
resiko kanker payudara sampai 85%.

Stadium Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil


penelitian dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita
pasiennya, sudah sejauh manakah tingkat penyebaran kanker tersebut
baik ke organ atau jaringan sekitar maupun penyebaran ketempat lain.
Stadium hanya dikenal pada tumor ganas atau kanker dan tidak ada pada
tumor jinak. Untuk menentukan suatu stadium, harus dilakukan
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya yaitu
histopatologi atau PA, rontgen, USG, dan bila memungkinkan dengan
CT scan, scintigrafi, dan lain-lain. Banyak sekali cara untuk menentukan
stadium, namun yang paling banyak digunakan saat ini adalah stadium
kanker berdasarkan klasifikasi sistem TNM yang direkomendasikan oleh
UICC (International Union Against Cancer dari World Helath
Organization) / AJCC (American Joint Committee On Cancer yang
disponsori oleh American Cancer Society dan American College of
Surgeons).

Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan


dengan jelas oleh penderita sehingga banyak penderita yang berobat
dalam keadaan lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka
kematian kanker tersebut. Padahal, pada stadium dini kematian akibat
kanker masih dapat di cegah. Tjindarbumi (1982) mengatakan, bila
penyakit kanker payudara ditemukan dalam stadium dini, angka harapan
hidupnya (life expectancy) tinggi, berkisar antara 85-95%. Namun,
dikatakannya pula bahwa 70-90% penderita datang ke rumah sakit
setelah penyakit parah, yaitu setelah masuk dalam stadium lanjut.

Patafisiologi Kanker Payudara, Patogenesis terjadinya kanker payudara


juga disebut karsinogenesis ini terus mengalami perubahan, seiring
dengan diketemukannya peralatan untuk menguak pengetahuan tentang
sel. Pada tahun 1950, diketahui bahwa hormon steroid memegang
peranan penting untuk terjadinya kanker payudara. Tahun 1980 mulai
terbuka pengetahuan tentang adanya beberapa onkogen dan gen
suprespor, keduanya memegang peranan penting untuk progresi tumor,
adesi antara sel dan faktor pertumbuhan. Abad 20, mulailah diketahui
tentang siklus sel serta perbaikan DNA dan kematian sel (apoptosis) serta
regulasinya. Kemudian abad 21 ini mulai berkembang pengetahuan yang
menganalisa secara mendalam kegagalan terapi kanker juga tentang
mekanisme resistensi terhadap kemoterapi, antiestrogen, radiasi dan
pengetahuan tentang proses invasi, angiogenesis, dan metastase.
BAB III

KESIMPULAN

1. Penyakit kanker payudara (Carcinoma mammaee) dalam bahasa


inggrisnya disebut breast cancer merupakan kanker pada jaringan
payudara. Kanker ini paling umum menyerang wanita, walaupun laki-laki
juga punya potensi terkena akan tetapi kemungkinan sangat kecil dengan
perbandingan 1 diantara 1000.
2. mTOR (mammalian target of rapamycin) adalah protein kinase yang
mengatur pertumbuhan sel, proliferasi sel, motilitas sel, ketahanan hidup
sel dan sintesis protein dan protein jalur mTOR diekspresikan secara
berlebihan pada kanker prostat primer dibandingkan dengan jaringan BPH
, ekspresinya dikaitkan dengan keganasan suatu penyakit.
3. Aktivasi jalur AMPK dan inhibisi jalur mTOR telah terbukti mempunyai
potensi sitostatika yang besar. Jalur AMPK pada saat diaktivasi telah
terbukti mampu untuk menghambat angiogenesis dan pertumbuhan sel
tumor, begitupula dengan jalur mTOR. Pada beberapa kasus jalur mTOR
dan inhibisinya juga dikaitkan dengan hambatan terhadap metastasis
kanker. Namun demikian, mekanisme tepat dari inhibisi mTOR masih
belum jelas, sehingga inhbitior mTOR spesifik seperti rapamycin masih
memerlukan studi lanjut untuk menentukan peranannya dalam kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

Amarapurkar DN, Hashimoto E, Lesmana LA, Sollano JD, Chen PJ, Goh
KL. How common is nonalcoholic fatty liver disease in the Asia-
Pacific region and are there local differences? J Gastroenterol Hepatol
2007;22:788-93.

Dhar M, Lahiri S, Takiar R, Ashok NC, Murthy NS. An indirect study of


cancer survival in the context of developing countries. Asian Pac J
Cancer Prev 2008;9:479-86.

Doll R. Epidemiological evidence of the effects of behaviour and the


environment on the risk of human cancer. Recent Results Cancer Res
1998;154:3-21.

Kamangar F, Dores GM, Anderson WF. Patterns of cancer incidence,


mortality, and prevalence across five continents: defining priorities to
reduce cancer disparities in different geographic regions of the world.
J Clin Oncol 2006;24:2137-50.

Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. Estimating the world cancer burden:
Globocan 2000. Int J Cancer 2001;94:153-6.

Petroulakis E, Mamane Y, Le Bacquer O, Shahbazian D,Sonenberg N.


MTOR sigling implications for cancer and anticancer therapy. British
Journal of Cancer 2006;94: 95 – 199

Quinn M, Babb P. Patterns and trends in prostate cancer incidence, survival,


prevalence and mortality. Part II: individual countries. BJU Int
2002;90:174-84.

Quinn M, Babb P. Patterns and trends in prostate cancer incidence, survival,


prevalence and mortality. Part I: international comparisons. BJU Int
2002;90:162-73.

Anda mungkin juga menyukai