Mona Martin BAB II
Mona Martin BAB II
B. Etiologi
1) Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
2) Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
3) Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
4) Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal
polikistik,asidosis tubulus ginjal
5) Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
6) Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal
7) Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
8) Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
C. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
D. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
1) Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
2) Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
3) Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
Tahap ini sering disebut End Stage Renal Disease (ESRD) dan perlu tindakan
hemodialisis. Pengukuran nilai GFR untuk menentukan tahapan PGK yang paling
akurat adalah dengan menggunakan Chronic Kidney Disease Epidemiology
Collaburation (CKD-EPI) dibanding dengan model Modification of Diet in Renal
Disease (MDRD) atau dengan rumus Cockcroft-Gault. Praktek pengukuran GFR
untuk menentukan tahapan PGK yang sering digunakan adalah menggunakan rumus
Cockcroft-Gault.
Rumus Cockcroft-Gault untuk laki-laki:
(140-umur) x BB
GFR= 72 x serum
creatinin
Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau 0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85 - 1,23 mL/detik/m2
E. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinik antara lain:
a. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, odem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut antara lain: hipertensi, (akibat retensi cairan dan
natrium dari aktivitas sistem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis
(akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual,
muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran,
tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi kliniknya adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan
irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak
kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot
ekstremitas).
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana
uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.
F. Komplikasi
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosi metabolik, katabolisme
dan masukan diet berlebih
2. Perikarditis: efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron
4. Anemia akibat eritripoetin
5. Penyakit tulang serta klasifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium
6. Asidosis metabolic, osteodistropi ginjal
7. Sepsis, neuropati perifer, hiperuremia
G. Pemeriksaan Penunjang
Di dalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara
lain :
Pemeriksaan lab.darah
- Hematologic (Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit)
- RFT (renal fungsi test) ureum dan kreatinin
- LFT (liver fungsi test)
- Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium)
- Koagulasi studi (PTT, PTTK)
- BGA
Urine
- Urine rutin
- Urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
Pemeriksaan kardiovaskuler
- ECG
- ECO
Radidiagnostik
- USG abdominal
- CT scan abdominal
- BNO/IVP, FPA
- Renogram
- RPG (retio pielografi)
H. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya odema
- Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
- Peritoneal dialysis : Biasanya dilakukan pada kasus – kasus
emergency.
- Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja
yang tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori
Peritonial Dialysis )
- Hemodialisis : dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif
di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis
dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan :
- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke
jantung)
c) Operasi
- Pengambilan batu
- Transplantasi ginjal
A. DEFINISI
Oliguria didefinisikan sebagai keluaran urin kurang dari 1 mL/kg/jam pada bayi,
kurang dari 0,5 mL/kg/jam pada anak, dan kurang dari 400 mL/hari pada dewasa.
Oliguria merupakan salah satu tanda klinik dari gagal ginjal. Mula timbul
oliguria sering akut, sering merupakan tanda pertama dari kemunduran fungsi
ginjal, dan merupakan tantangan diagnostik dan manajemen bagi dokter. Pada
sebagian besar situasi klinik, oliguria akut bersifat reversibel dan tidak
mengakibatkan gagal ginjal.
B. PATOFISIOLOGI
Oliguria dapat diakibatkan oleh 2 proses patofisiologik: mekanisme prerenal,
intrinsik renal, dan postrenal.
1. Insufisiensi prerenal bertanggung jawab atas kira-kira 70% kasus gagal
ginjal akut (GGA) di luar rumah sakit dan sampai 60% dari kasus-kasus
GGA di rumah sakit. Insufisiensi prerenal merupakan respons fungsional dari
ginjal normal terhadap hipoperfusi. Fase dini dari kompensasi ginjal untuk
perfusi yang berkurang adalah autoregulasi laju filtrasi glomerulus, melalui
dilatasi arteriol aferen (yang diinduksi oleh respons miogenik, umpan balik
tubuloglomerulus, dan prostaglandin) dan via konstriksi arteriol eferen
(diperantarai oleh angiotensin II). Fase dini juga mencakup peningkatan
reabsorpsi garam dan air (dirangsang oleh sistem renin-angiotensin-
aldosteron dan sistem saraf simpatis). Oliguria yang cepat memulih setelah
perfusi ginjal membaik adalah skenario yang khas dan lazim. Sebagai
contoh, oliguria pada bayi dan anak paling sering terjadi sekunder setelah
dehidrasi dan pulih tanpa cedera ginjal jika dehidrasi dikoreksi. Akan tetapi,
hipoperfusi ginjal yang berkepanjangan bisa mengakibatkan pergeseran dari
kompensasi ke dekompensasi. Stimulasi simpatis dan sistem renin-
angiotensin yang berlebihan bisa menyebabkan vasokonstriksi renal yang
hebat dan cedera iskemik terhadap ginjal. Interferensi autoregulasi ginjal
oleh pemberian vasokonstriktor (siklosporin atau takrolimus), inhibitor
sintesis prostaglandin (obat anti-inflamasi nonsteroid atau Penghambat
angiotensin-converting enzyme (ACE) bisa mencetuskan GGA oligurik pada
individu dengan perfusi ginjal yang berkurang.
2. Gagal ginjal intrinsik disertai oleh kerusakan struktur ginjal. Ini meliputi
nekrosis tubulus akut (akibat iskemia berkepanjangan, obat-obat dan toksin),
penyakit glomerulus, atau lesi pembuluh darah). Patofisiologi iskemia,
nekrosis tubulus akut telah diketahui dengan baik. Iskemia mengakibatkan
perubahan metabolisme sel tubulus (deplesi ATP, pelepasan spesies oksigen
reaktif) dan kematian sel dengan akibat deskuamasi sel, pembentukan cast,
obstruksi intratubulus, tumpahnya cairan tubulus, (backleak), dan oliguria.
Pada kebanyakan situasi klinik, oliguria bisa pulih dan diikuti perbaikan dan
regenerasi sel epitel tubulus.
3. Gagal postrenal merupakan akibat dari obstruksi mekanik atau fungsional
terhadap aliran urin. Bentuk oliguria dan insufisiensi ginjal ini biasanya
memberi respons setelah obstruksi dilepas.
4. Gagal ginjal tidak selalu disertai oliguria. gagal ginjal yang diakibatkan oleh
cedera nefrotoksik, nefritis interstisial dan asfiksia neonatorum sering
memiliki jenis nonoligurik, dengan cedera ginjal lebih sedikit dan memiliki
prognosis lebih baik.
C. PEMERIKSAAN LAB
Urinalisis
1. Pemeriksaan seksama dari urin segar adalah cara cepat dan murah untuk
membedakan gagal ginjal prerenal dari intrinsik renal.
2. Pada gagal prerenal, bisa terlihat beberapa silinder hialin dan granular dengan
sedikit protein, heme, atau sel darah merah. Urin heme-positif yang tidak
disertai eritrosit memberi kesan hemolisis atau rhabdomiolisis.
3. Pada gagal ginjal intrinsik, hematuria dan proteinuria menonjol. Silinder
granular coklat dan lebar khas dijumpai pada iskemia atau nekrosis tubulus
akut dan sedimen eritrosit khas terlihat pada glomerulonefritis akut. Urin
pada nefritis interstisial akut memperlihatkan sel darah putih, khususnya
eosinofil dan sedimen sel darah putih.
Indeks urin
1. Pengukuran sekaligus dari natrium, kreatinin, osmolalitas serum maupun urin
bisa membantu membedakan azotemia prerenal atau gagal ginjal intrinsik.
Pada azotemia prerenal, kapasitas reabsorpsi dari sel tubulus dan daya
konsentrasi ginjal masih baik atau bahkan meningkat. Pada gagal ginjal
intrinsik, fungsi-fungsi ini terganggu karena kerusakan struktural.
2. Pada gagal prerenal, berat jenis urin tinggi (lebih dari 1020), rasio kreatinin
urin: kreatinin plasma tinggi (lebih dari 40), rasio osmolalitas urin:plasma
tinggi (lebih besar daripada 1,5), dan konsentrasi natrium urin rendah
(kurang dari 20 mEq/L).
3. Temuan berlawanan didapatkan pada gagal ginjal intrinsik, di mana rasio
kreatinin urin:plasma kurang dari 20, rasio osmolalitas urin:plasma kurang
dari 1.1, dan konsentrasi natrium urin lebih besar daripada 40 mEq/L.
4. Ekskresi fraksional natrium (FeNa) adalah persen natrium filtrasi yang
diekskresi. Ini mudah dihitung dengan rumus: %FeNa = [(U/P)Na]/[(U/P)Cr]
x 100, di mana Na dan Cr menyatakan konsentrasi natrium dan kreatinin
masing-masing dalam urin (U) dan plasma (P). %FeNa khas kurang dari 1%
pada azotemia prerenal dan lebih dari 2% pada gagal ginjal intrinsik.
5. Interpretasi indeks urin perlu hati-hati. Spesimen darah dan urin harus
dikumpulkan sebelum pemberian cairan, manitol atau diuretik. Urin harus
tidak mengandung glukosa, zat kontras, atau mioglobin. Indeks urin yang
memberi kesan gagal prerenal (%FeNa kurang dari 1, natrium urin kurang
dari 20 mEq/L) bisa juga dijumpai pada glomerulonefritis dini, vaskulitis,
dan oklusi pembuluh darah, gagal postrenal dini, nefropati zat kontras dan
rhabdomiolisis. Juga peninggian palsu dari FeNa bisa dijumpai pada pasien
dengan gagal prerenal dan dengan peningkatan ekskresi asam keto dan
glukosa.
BUN dan kreatinin serum
1. Pada gagal prerenal ada peninggian mencolok dari BUN, dan rasio BUN/Cr
lebih dari 20. Ini mencerminkan peningkatan reabsorpsi urea di tubulus
proksimal. GGA ditandai oleh peningkatan kreatinin setiap hari (0,5-1,5
mg/dL/hari) dan BUN (10-20 mg/dL/hari).
2. Peninggian BUN bisa juga diakibatkan dari terapi steroid, nutrisi parenteral,
perdarahan gastrointestinal, dan status katabolisme. Peninggian palsu bisa
dijumpai setelah penggunaan obat yang mengganggu sekresi kreatinin oleh
tubulus (trimetoprim, simetidin), atau obat-obat yang menyediakan substrat
khromogenik (sefalosporin), yang mengganggu reaksi Jaffé untuk
pengukuran kreatinin serum.
Natrium serum
1. Hiponatremia adalah temuan lazim dan biasanya bersifat pengenceran
(dilutional), yang terjadi karena retensi cairan dan pemberian cairan
hipotonik.
2. Sebab-sebab yang agak jarang dari hiponatremia mencakup deplesi natrium
(dehidrasi hiponatremik) dan hiperglikemia (konsentrasi natrium serum
berkurang sebesar 1,6 mEq/L untuk setiap 100 mg/dL peningkatan glukosa
serum di atas 100 mg/dL). Adakalanya, hipernatremia terjadi sebagai
komplikasi GGA, dan biasanya akibat pemberian natrium berlebihan (terapi
cairan yang tidak benar atau terlalu agresif memberikan natrium bikarbonat).
Kalium serum
1. Hiperkalemia merupakan komplikasi penting karena penurunan filtrasi
glomerulus , penurunan sekresi tubulus, asidosis metabolik (setiap 0,1 unit
penurunan pH arteri meninggikan kalium serum sebesar 0,3 mEq/L), dan
disertai status katabolisme.
2. Hiperkalemia paling mencolok pada pasien dengan produksi kalium
endogen berlebihan, misal pada rhabdomiolisis, hemolisis, dan tumor lysis
syndrome.
3. Hiperkalemia merupakan kedaruratan yang mengancam jiwa dan harus
diatasi segera dan dengan agresif, karena efek depolarisasinya terhadap
lintasan konduksi jantung.
4. Gejala-gejala dapat mencakup malaise, mual dan kelemahan otot.
Fosfat dan kalsium serum
1. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia sering sebagai penyulit GGA oligurik.
Kelebihan fosfat disebabkan berkurangnya ekskresi ginjal dan bisa
mengakibatkan hipokalsemia dan penimbunan kalsium fosfat di berbagai
jaringan.
2. Hipokalsemia diakibatkan oleh gangguan penyerapan kalsium di
gastrointestinal karena produksi vitamin D yang aktif tidak memadai oleh
ginjal, resistensi rangka terhadap aksi hormon paratiroid, dan
hipoalbuminemia.
3. Kadar ion kalsium penting diukur karena merupakan bentuk kalsium serum
yang tidak berikatan, dan menentukan aktivitas fisiologis. Kalsium ion bisa
ditaksir dengan menganggap 1 mg/dL kalsium berikatan dengan 1 g/dL
albumin; jadi, kalsium ion adalah selisih antara kalsium total dan kadar
albumin serum.
4. Asidosis meningkatkan fraksi kalsium total dalam bentuk ion; jadi terapi
bikarbonat yang terlalu agresif bisa mengurangi kadar kalsium ion.
5. Hipokalsemia berat mengakibatkan tetani, kejang dan aritmia jantung.
Imbang asam-basa
1. Gangguan ekskresi asam non-volatil dan penurunan reabsorpsi tubulus dan
berkurangnya produksi bikarbonat ginjal mengakibatkan asidosis metabolik
dengan senjang anion (anion gap) tinggi.
2. Asidosis berat bisa terjadi pada anak yang hiperkatabolik (syok, sepsis) atau
mereka dengan kompensasi respiratorik tidak adekuat.
3. 2 digit terakhir dari pH arteri membantu prediksi kompensasi pernapasan.
Angka-angka ini meramalkan pCO2 (misal, pasien dengan pH arteri 7,25
memiliki kompensasi respiratorik yang adekuat jika pCO2 arteri adalah 25 ±
3 mmHg).
Hitung darah lengkap
1. Anemia adalah hasil dari pengenceran atau berkurangnya eritropoiesis.
Anemia hemolitik mikroangiopatik dengan skistosit dan trombositopenia
adalah petunjuk untuk sindroma hemolitik-uremik.
2. Oliguria yang sekunder terhadap lupus eritematosus sistemik bisa
memperlihatkan neutropenia dan trombositopenia.
3. Eosinofilia adalah selalu disebabkan nefritis intersitial alergika.
4. GGA yang memanjang bisa mengakibatkan gangguan trombosit.
Tes-tes lain yang bisa dikerjakan di unit dengan fasilitas lengkap, antara lain:
Radiologi:
1. Ultrasonografi
2. Voiding cystourethrogram diindikasikan pada kecurigaan obstruksi bladder
outlet.
3. Skan radionuklida mungkin berguna dalam penilaian rejeksi transplan dan
obstruksi.
4. X-foto toraks diindikasikan jika dicurigai ada edema paru.
5. Echocardiogram berguna jika ada gagal jantung bendungan.
D. TATALAKSANA OLIGURIA
Perawatan medis:
Pencegahan
1. Pada situasi klinik di mana diantisipasi hipoperfusi atau keracunan ginjal,
terapi dengan manitol (12,5 gr bolus), diuretik (furosemid 100-300 mg) dan
dopamin dosis rendah (2-5 µg/kg/menit) telah digunakan untuk mencegah
atau memulihkan cedera ginjal. Walaupun cara-cara ini tidak mengubah
perjalanan GGA, mereka bisa mengubah status oliguria menjadi non-oliguria,
yang lebih mudah dikelola karena GGA non-oligurik tidak membutuhkan
pembatasan cairan dan memungkinan dukung nutrisi maksimal. Namun,
peran dopamin dewasa ini banyak diperdebatkan, bahkan suatu uji klinik
acak terbaru telah memberi kesan bahwa pemakaian dopamin tidak
bermanfaat.
2. Pemberian cairan agresif telah berhasil digunakan untuk mencegah GGA
setelah pembedahan jantung, transplantasi ginjal kadaver, hemoglobinuria,
mioglobinuria, hiperurikosuria, infus zat radiokontras dan terapi dengan
amfoterisin B atau cisplatin
3. Percobaan dengan manitol atau furosemid intravena harus diusahakan pada
pasien oliguria yang berlangsung kurang dari 48 dan belum memberi respons
terhadap hidrasi yang adekuat. Manfaat terapi dopamin dosis renal masih
diperdebatkan. Rekomendasi mutakhir adalah pada pasien yang telah
mendapat hidrasi cukup dan resisten terhadap furosemid.
4. Tujuan utama dari manajemen cairan adalah memulihkan dan
mempertahankan volume intravaskular normal. GGA oligurik bisa tampil
dengan hipovolemia, euvolemia atau kelebihan volume, jadi taksiran status
cairan adalah prasyarat untuk memulai terapi.
5. Anak dengan deplesi volume intravaskular membutuhkan resusitasi cairan
cepat dan agresif. Terapi awal membutuhkan NaCl 0,9% atau Ringer laktat
20 mL/kg dalam 30 menit, yang bisa diulang dua kali jika perlu.
6. Pemberian kalium dikontraindikasikan sebelum aliran urin cukup. Terapi
harus meningkatkan jumlah urin dalam 4-6 jam. Jika oliguria menetap
(dikonfirmasi dengan kateter kandung kemih) pemantauan vena sentral
mungkin diperlukan untuk memandu manajemen selanjutnya.
7. Oliguria dengan kelebihan beban volume membutuhkan pembatasan cairan
dan furosemid intravena. Kegagalan memberi respons terhadap furosemid
memberi kesan nekrosis tubulus akut, bukan hiperfusi ginjal, dan
pembuangan cairan dengan dialisis atau hemofiltrasi mungkin dibutuhkan
jika terbukti ada tanda edema paru.
8. Kalium tidak diberikan dulu sebelum oliguria membaik dan sebelum kadar
kalium mulai turun.
9. Catatan asupan dan keluaran, berat badan harian, pemeriksaan fisik dan
natrium serum menuntun terapi yang sedang berjalan. Bila sesuai, terapi
cairan diberikan, berat badan harus turun sebesar 0,5-1,0% per hari akibat
kekurangan kalori, dan konsentrasi natrium harus stabil. Penurunan berat
badan yang lebih cepat menunjukkan penggantian cairan yang tidak adekuat.
Bila berat badan tidak turun, sementara natrium serum turun ini memberi
kesan kelebihan air bebas.
10. Hiperkalemia
a. Kadar kalium serum 5,5-6,5 mEq/L harus ditanggulangi dengan
menghilangkan semua sumber kalium dari diit atau cairan intravena dan
diberikan resin penukar ion seperti sodium polystyrene sulfonate
(Kayexalate). Kayexalate memerlukan beberapa jam kontak dengan
mukosa kolon sebelum efektif dan lebih disukai pemberian per rektum.
Komplikasi terapi ini mencakup hipernatremia dan konstipasi.
b. Tatalaksana darurat dari hiperkalemia diindikasikan bila kalium serum
melebihi 6,5 mEq/L, atau gelombang T runcing. Di samping Kayexalate,
pasien harus diberi natrium bikarbonat yang menyebabkan perpindahan
kalium ke dalam sel. Hati-hati karena bisa menyebabkan hipokalsemia
dan kelebihan natrium.
c. Ambilan kalium oleh sel juga bisa dirangsang dengan infus insulin, atau
beta-agonis (albuterol melalui nebulizer). Khasiat dan kenyamanan
nebulized albuterol telah dilaporkan pada pasien hemodialisis dengan
hiperkalemia, namun sering menyebabkan takikardia dan pengalaman
pada anak masih terbatas.
d. Interval PR yang menjang atau kelainan EKG lain membutuhkan
pemberian kalsium glukonat (dengan pemantauan EKG kontinyu) untuk
melawan efek hiperkalemia terhadap miokard.
e. Dalam praktek, terapi definitif untuk hiperkalemia yang bermakna dan
menyertai GGA oligurik sering memerlukan dialisis.
11. Imbang elektrolit dan asam basa lain
a. Tatalaksana primer dari hiponatremia adalah pembatasan air bebas;
namun natrium serum di bawah 120 mEq/L, atau disertai gejala saraf
pusat mungkin membutuhkan infus NaCl 3%.
b. Manajemen hiperfostatemia memerlukan pembatasan diit dan perlu
diberikan pengikat fosfat (kalsium karbonat atau kalsium asetat).
Hipokalsemia biasanya memberi respons terhadap garam kalsium oral
yang digunakan untuk mengendalikan hiperfosfatemia tetapi
membutuhkan infus kalsium glukonat 10% jika berat.
c. Asidosis metabolik ringan diatasi dengan natrium bikarbonat oral atau
natrium sitrat. Asidosis berat (pH < 7,2), apalagi jika ada hiperkalemia
membutuhkan terapi bikarbonat intravena. Harus diketahui bahwa terapi
bikarbonat membutuhkan ventilasi adekuat (untuk mengekskresikan
karbon dioksida yang dihasilkan) agar efektif, dan bikarbonat bisa
mencetuskan hipokalsemia dan hipernatremia. Pasien yang tidak bisa
mentoleransi beban natrium besar (misal, gagal jantung bendungan) bisa
dikelola di ICU dengan trometamin (THAM) intravena, dengan syarat
dukungan ventilasi memadai sebelum dialisis dilaksanakan.
12. Hipertensi
a. Hipertensi ringan biasanya memberi respons terhadap pembatasan garam
dan pemberian diuretik.
b. Hipertensi sedang dan asimtomatik paling sering diobati dengan
antagonis kalsium oral atau sublingual, atau dengan hidralazin intravena.
c. Jika ada ensefalopati, berikan infus kontinyu sodium nitroprusside
dengan memantau kadar tiosianat. Karena terapi nitroprusid memerlukan
perhitungan tetesan yang seksama, alternatif lain yang bisa diberikan
segera adalah diazoksid atau labetalol intravena. Obat oral dimulai
setelah krisis hipertensi diatasi.
1. Definisi Hemodialisa
Dialisis merupakan suatu proses yang di gunakan untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses
tersebut. Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan
pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis,
hemofiltrasi dan peritoneal dialisis.
Pada dialisis molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan
cara mengalir dari sisis cairan yang lebih pekat (konsentarsi solut lebih tinggi) ke
cairan yang lebih encer (kondisi solut yang lebih rendah). Cairan mengalir lewat
membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekanan
exsternal pada membran) pada hemodialisis membran merupakan bagian dari dialeser
atau ginjal artifisial. Pada perritoneal dialisis, merupakan peritoneum atau lapisan
dinding abdomen berfungsi sebagai membran semipermeabel .
Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan
larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke
dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar
volume cairan.
2. Epidemologi
Hemodialisis di Indonesia mulai tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dapatdilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Kualitas hidup yang diperoleh
cukup baik danpanjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun.Indonesia
termasuk Negara dengantingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi.Saat ini
jumlah penderita gagal ginjalmencapai 4500 orang. Dari jumlah itu banyak penderita
yang meninggal dunia akibat tidakmampu berobat atau cuci darah (hemodialisis)
karena biaya yang sangat mahal.
3. Etiologi
Hemodialisa dilakukan kerena pasien menderita gagal ginjal akut dan kronik
akibat dari : azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis, uremia,
hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang tidak responsive dengan diuretic, asidosis
yang tidak bisa diatasi, batu ginjal, dan sindrom hepatorenal.
4. Patofisiologi
Ginjal adalah organ penting bagi hidup manusia yang mempunyai fungsi
utama untuk menyaring / membersihkan darah. Gangguan pada ginjal bisa terjadi
karena sebab primer ataupun sebab sekunder dari penyakit lain. Gangguan pada ginjal
dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal atau kegagalan fungsi ginjal dalam
menyaring / membersihkan darah. Penyebab gagal ginjal dapat dibedakan menjadi
gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik. Dialisis merupakan salah satu
modalitas pada penanganan pasien dengan gagal ginjal, namun tidak semua gagal
ginjal memerlukan dialisis. Dialisis sering tidak diperlukan pada pasien dengan gagal
ginjal akut yang tidak terkomplikasi, atau bisa juga dilakukan hanya untuk indikasi
tunggal seperti hiperkalemia. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum
melalui hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik terdiri dari keadaan penyakit
penyerta dan kebiasaan pasien. Waktu untuk terapi ditentukan oleh kadar kimia serum
dan gejala-gejala.Hemodialisis biasanya dimulai ketika bersihan kreatin menurun
dibawah 10 ml/mnt, yang biasanya sebanding dengan kadar kreatinin serum 8-10
mge/dL namun demikian yang lebih penting dari nilai laboratorium absolut adalah
terdapatnya gejala-gejala uremia.
5. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2010) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain ;
a) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Menurut PERNEFRI (2008) waktu atau lamanya hemodialisa
disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam
dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15
jam/minggu dengan Blood flow (QB) 200–300 mL/menit. Sedangkan
menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3 – 5 jam dan
dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara
hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah
merah rusak dalam proses hemodialisa.
3. AksesVaskularHemodialisis
Untuk melakukan hemodialisis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan
masuk kedalam sistem vascular penderita. Darah harus keluar dan masuk tubuh
penderita dengan kecepatan 200 sampai 400 ml/menit. Teknik akses vaskular
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. AksesVaskuler Eksternal (sementara)
a. Pirauarterio venosa(AV) atau sistem kanula diciptakan dengan
menempat kanujungkanula dari teflon dalam arteri dan sebuah vena
yang berdekatan. Ujung kanula di hubungkan dengan selang karetsili
kondansuatusambunganteflon yang melengkapipirau.
b. Kateter vena femoralis sering dipakai pada kasus gagal ginjal akut bila
diperlukan aksesvaskular sementara, atau bila teknik aksesvaskuler lain
tidak dapat berfungsi. Terdapat dua tipe kateter dialisis femoralis.
Kateter saldon adalah kateter berlumen tunggal yang memerlukan akses
kedua. Tipe kateter femoralis yang lebih barume miliki lumen ganda,
satu lumen untuk mengeluarkan darah menuju alat dialisis dan satu lagi
untuk mengembalikan darah ketubuh penderita. Komplikasi
padakateter vena femoralis adalah laserasi arteria femoralis,
perdarahan, thrombosis, emboli, hematoma, daninfeksi.
c. Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai sebaga
Alat akses vaskular karena pemasangan yang mudah dan
komplikasinya lebih sedikit dibanding kateter vena femoralis. Kateter
vena subklaviamempunyai lumen gandauntukaliranmasukdankeluar.
Kateter vena subklavia dapat digunakan sampai empa tminggu sedang
kankateter vena femoralis dibuang setelah satu sampai dua hari setelah
pemasangan. Komplikasi yang disebabkan oleh katerisasi vena
subklavi serupa dengan katerisasi vena femoralis yang termasuk
pneumotoraksrobeknya arteri asubklavia, perdarahan, thro mbosis,
embolus, hematoma, daninfeksi.
2. AksesVaskular Internal (permanen)
1) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan yang
(biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara
menghubungkan atau menyambungkan (anastomosis) pembuluh
aretri dengan vena secara side to-side (dihubungkan antar-sisi) atau
end-to-side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah).
Segmen-arteri fistula diganakan untuk aliran darah arteri dan
segmen vena digunakan untuk memasukan kembali (reinfus) darah
yang sudah didialisis. Umur fistula AV adalah empat tahun dan
komplikasinyalebihsedikitdenganpirau AV. Masalah yang paling
utama adalah nyeri pada pungsi vena terbentuknya aneurisma,
trombosis, kesulitan hemostatis pascadialisis, danis kemia pada
tangan.
2) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum
dialisis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong
pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-Tex
(heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya
tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak
cocok untuk dijadikan fistula.Tandur biasanya dipasang pada
lengan bawah, lengan atas atau paha bagian atas. Pasien dengan
sistem vaskuler yang terganggu, seperti pasien diabetes, biasanya
memerlukan pemasangan tandur sebelum menjalani hemodialisis.
Karena tandur tersebut merupakan pembuluh drah artifisial risiko
infeksi akan meningkat. Komplikasitandur AV samadengan fistula
AV.trombosis, infeksi, aneurismadaniskemiatangan yang
disebabkanolehpiraudarahmelalui prosthesis danjauhdarisirkulasi
distal.(Sylvia, 2005: 975)
4. Indikasi
Gagal ginjal akut
Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
Ureum lebih dari 200 mg/dl
pH darah kurang dari 7,1
Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
Intoksikasi obat dan zat kimia
Sindrom Hepatorenal
Fluid overload
5. Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses
vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom
hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI,
2003).
Tidak dilakukan pada pasien yang mengalami suhu yang tinggi.Cairan dialisis
pada suhu tubu akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapis uhu yang terlalu tinggi
menyebabkan hemodialisis sel-sel darah merah sehingga kemungkinan penderita
akan meninggal.
1. PENGKAJIAN
a) Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien hemodialisa adalah
Sindrom uremia
Mual, muntah, perdarahan GI.
Pusing, nafas kusmaul, koma.
Perikarditis, cardiar aritmia
Edema, gagal jantung, edema paru
Hipertensi
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual, muntah,
anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum yang
meningkat. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)
c) Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus
dievaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi, yang sering merupakan bagian
dari susunan terapi dialysis, merupakan salah satu contoh di mana komunikasi,
pendidikan dan evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus
mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, obat
antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani
hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan
menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya. (Brunner & Suddarth,
2001: 1401)
d) Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan kondisi
penyakitnya yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi masalah
financial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang
menghilang serta impotensi, dipresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan
terhadap kematian.(Brunner & Suddarth, 2001: 1402) Prosedur kecemasan
merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang pertama kali dilakukan
hemodialisis. (Muttaqin, 2011: 267)
e) ADL (Activity Day Life)
Nutrisi : pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan cairan
masuk untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang dapat
mengakibatkan gagal jantung kongesti serta edema paru, pembatasan pada
asupan protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan
demikian meminimalkan gejala, mual muntah. (Brunner & Suddarth, 2001 :
1400)
Eliminasi : Oliguri dan anuria untuk gagal
Aktivitas : dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu
yang diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang tersedia
untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi.
Karena waktu yang terbatas dalam menjalani aktivitas sehai-hari.
f) Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun.
TTV: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan
tekanan darah diatas rentang normal. Kondisi ini harus di ukur kembali pada
saat prosedur selesai dengan membandingkan hasil pra dan sesudah
prosedur. (Muttaqin, 2011: 268)
Manifestasi klinik
a) Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus
atau gatal-gatal
b) Kuku : kuku tipis dan rapuh
c) Rambut : kering dan rapuh
d) Oral : halitosis / faktor uremic, perdarahan gusi
e) Lambung : mual, muntah, anoreksia, gastritis ulceration.
f) Pulmonary : uremic “lung” atau pnemonia
g) Asam basa : asidosis metabolik
h) Neurologic : letih, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan otot :
pegal
i) Hematologi : perdarahan
g) Pemeriksaan Penunjang
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan,
dan GFR 4 ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pre HD
1) Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, Hb ≤ 7 gr/dl,
Pneumonitis dan Perikarditis d.dPenggunaan otot aksesoris untuk bernafas,
Pernafasan cuping hidung, Perubahan kedalaman nafas, dan Dipneu
2) Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual &
muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa oral d.d nyeri
abdomen bising usus hiperaktif, kurang makanan, diare, kurang minat pada
makanan, dan berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal.
3) Ansietas b.d krisis situasional d.d gelisah, wajah tegang, bingung, tampak
waspada, ragu/tidak percaya diri dan khawatir.
4) Kerusakan integritas kulit b.d Gangguan sirkulasi, Iritasi zat kimia, Defisit cairan
d.d Kerusakan jaringan (Mis. Kornea, membrane mukosa, integument, atau
subkutan) dan Kerusakan jaringan.
b. Intra HD
1) Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap penusukan &
pemeliharaan akses vaskuler.
2) Risiko terjadi perdarahan b.d penggunaan heparin dalam proses hemodialisa
c. Post HD
1) Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur
dialisis d,d menyatakan merasa lemah, menyatakan merasa letih, dispnea setelah
beraktifitas, ketidaknyamanan setelah beraktifitas, dan respon tekanan darah
abnormal terhadap aktivitas.
2) Risiko Harga diri rendah b.d ketergantungan, perubahan peran dan perubahan
citra tubuh dan fungsi seksual d.d gangguan citra tubuh.
3) Resiko infeksi b.d prosedur invasif berulang
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Pre Intra
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 PRE Setelah diberikan asuhan 1) Observasi penyebab nafas tidak a. Untuk menentukan
Pola nafas tidak efektif keperawatan selama 1x24 jam efektif tindakan yang harus segera
b.d edema paru, asidosis diharapkan Pola nafas efektif 2) Observasi respirasi & nadi dilakukan
metabolic, Hb ≤ 7 gr/dl, setelah dilakukan tindakan HD 4- 3) Berikan posisi semi fowler b. Menentukan tindakan
Pneumonitis dan 5 jam, dengan Kriteria hasil: 4) Ajarkan cara nafas yang efektif c. Melapangkan dada klien
Perikarditis - Nafas 16-28 x/m 5) Berikan O2 sehingga nafas lebih
- edema paru hilan 6) Lakukan SU pada saat HD olaborasi longgar
- tidak sianosis pemberian tranfusi darah d. Hemat energi sehingga
7) Kolaborasi pemberian antibiotic nafas tidak semakin berat
8) Kolaborasi foto torak e. Hb rendah, edema, paru
9) Evaluasi kondisi klien pada HD pneumonitis, asidosis,
berikutnya perikarditis menyebabkan
10) Evaluasi kondisi klien pada HD suplai O2 ke jaringan < SU
berikutnya adalah penarikan secara
cepat pada HD
f. Mempercepat pengurangan
edema paru
g. Untuk ↑Hb, sehingga
suplai O2 ke jaringan
cukup
h. Untuk mengatasi infeksi
paru & perikard
i. Follou up penyebab nafas
tidak efektif
2 INTRA Setelah dilakukan asuhan a. Observasi kepatenan AV shunt 1) AV yg sudah tidak baik
Resiko cedera b.d akses keperawatan selama 1x24 jam sebelum HD bila dipaksakan bisa terjadi
vaskuler & komplikasi diharapkan pasien tidak b. Monitor kepatenan kateter sedikitnya rupture vaskuler
sekunder terhadap mengalami cedera dengan Kriteria setiap 2 jam 2) Posisi kateter yg berubah
penusukan & hasil: c. Observasi warna kulit, keutuhan kulit, dapat terjadi rupture
pemeliharaan akses - Kulit pada sekitar AV shunt sensasi sekitar shunt vaskuler/emboli
vaskuler. utuh/tidak rusa d. Monitor TD setelah HD 3) Kerusakan jaringan dapat
- Pasien tidak mengalami e. Lakukan heparinisasi pada didahului tanda kelemahan
komplikasi HD shunt/kateter pasca HD pada kulit, lecet bengkak,
f. Cegah terjadinya infeksi pd area ↓sensasi
shunt/penusukan kateter 4) Posisi baring lama stlh HD
dpt menyebabkan
orthostatik hipotensi
5) Shunt dapat mengalami
sumbatan & dapat
dihilangkan dg heparin
6) Infeksi dapat
mempermudahkerusakan
jaringan
3 POST Setelah dilakukan tindakan a. Observasi faktor yang menimbulkan Menyediakan informasi
Intoleransi aktivitas b.d keperawatan & HD, selama 1x24 keletihan: Anemia, tentang indikasi tingkat
keletihan, anemia, retensi jam diharapkan klien mampu Ketidakseimbangan cairan & keletihan
produk sampah dan berpartisipasi dalam aktivitas elektrolit, Retensi produk sampah Meningkatkan aktifitas
prosedur dialisis yang dapat ditoleransi, dengan depresi ringan/sedang &
Kriteria Hasil: b. Tingkatkan kemandirian dalam memperbaiki harga diri
- Berpartisipasi dalam aktivitas aktifitas perawatan diri yang dapat Mendorong latihan &
perawatan mandiri yang ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi aktifitas yang dapat
dipilih c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil ditoleransi & istirahat yang
- Berpartisipasi dalam↑ istirahat adekuat
aktivitas dan latihan d. Anjurkan untuk istirahat setelah Istirahat yang adekuat
- Istirahat & aktivitas dialisis dianjurkan setelah dialisis,
seimbang/bergantian karena adanya perubahan
keseimbangan cairan &
elektrolit yang cepat dan
melelahkan.
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi atau tindakan yang direncanakan.
E. EVALUASI
a. Pre HD
1. Nafas kembali normal, tidak terdapat edema paru dan sianosis
2. Volume cairan kembali dalam keadaan seimbang
3. Nutrisi pasien kembali dalam keadaan seimbang
4. Ansietas yang di alami menurun sampai tingkat dapat ditangani
5. Integritas kulit tidak mengalami kerusakan
b. Intra HD
1. Resiko cedera tidak terjadi
2. Tidak terjadi perdarahan
c. Post HD
1. Dapat beraktivitas seperti biasa
2. Harga diri rendah dapat teratasi karena pola koping klien efektif
3. Tidak terjadi infeksi
DAFTAR PUSTAKA
1) Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC
2) Herdman, T. Heather. 2012.NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan. Jakarta :
EGC
3) Ariany, Arin. 2013. Asuhan Keperawatan Hemodialisis. Di akses pada tanggal 23
Desember 2014 pada :http://arinariany.blogspot.com/2013/04/asuhan-keperawatan-
hemodialisis.html
4) Setiawati, Wiwik. 2013. Laporan Pendahuluan Hemodialisa .Di Akses Pada Tanggal
23 Desember 2014 Pada :http://kesehatan-ilmu.blogspot.com/2012/01/laporan-
pendahuluan-hemodialisa.htm.