Anda di halaman 1dari 10

1

PANDANGAN ISLAM MENGENAI KELUARGA BERENCANA 1

Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A 2

Pengertian Keluarga Berencana


Islam memberikan tuntunan yang tegas bahwa semua manusia,
tanpa membedakan jenis kelamin dan jenis gendernya, diciptakan untuk
mengembang misi yang amat penting sebagai khalifah fil ardh
(pemimpin di bumi), paling tidak pemimpin untuk dirinya sendiri.
Adapun tujuan utama penciptaan manusia adalah amar ma’ruf nahy
mungkar, yakni melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi
demi kesejahteraan dan kemashlahatan manusia yang tentunya dimulai
dari diri sendiri dan keluarga inti.
Agar dapat mengemban dan melaksanakan tugas dan tujuan mulia
tersebut, manusia memerlukan pendidikan, pelatihan dan pengalaman
yang panjang. Karena itu, semua manusia: perempuan dan laki-laki
diharapkan bekerjasama secara tulus dan dengan penuh kasih sayang,
bahu-membahu, bergotong-royong mewujudkan masyarakat yang damai,
bahagia dan sejahtera (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur), seperti
diilustrasikan Al-Qur’an dalam surah Saba’ yang bercerita tentang
kesuksesan dan kepemimpinan Ratu Bulqis di kerajaan Saba’.
Sebagai manusia yang jelas tugas dan tujuannya, laki-laki dan
perempuan harus memikirkan dengan baik setiap fase hidupnya. Jika
mereka memilih untuk hidup berkeluarga maka mereka harus
memikirkan bagaimana mewujudkan keluarga yang damai dan sejahtera.
Karena itu kehidupan keluarga harus direncanakan dengan sebaik-
baiknya. Dari sinilah muncul gagasan pemerintah tentang program
Keluarga Berencana. Program Keluarga Berencana disingkat KB
1
Disampaikan dalam Workshop Hari Ibu, diselenggarakan oleh DPP-PDI Perjuangan,
tanggal 22 Desember 2014 di Jakarta
2
Direktur Megawati Institut, dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dapat dikontak via m-mulia@indo.net.id
2

dimaksudkan sepenuhnya untuk menciptakan kesejahteraan dan


kebahagiaan bagi setiap anggota keluarga: ibu, bapak, dan anak-anak,
bahkan juga anggota keluarga lainnya.
Perencanaan keluarga dimulai dengan merencanakan hal-hal
penting berikut:
Pertama, kapan waktu yang tepat untuk menikah? Meski UU
Perkawinan menyebutkan usia minimal untuk melangsungkan
pernikahan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan,
namun tidak berarti harus menikah di usia tersebut. Faktanya, dalam
kehidupan sosial ternyata usia 16 atau 19 tahun masih terlalu dini.
Umumnya anak laki dan anak perempuan dalam usia tersebut belum
mampu hidup mandiri, apalagi berperan menjadi orang tua. Sebab,
pernikahan itu memerlukan kesiapan fisik, mental, dan finansial
disamping juga kesiapan moral dan spiritual. Harus dipkirkan secara
matang, kehidupan setelah menikah nanti, mau tinggal dimana,
pekerjaan apa yang akan dilakukan untuk menopang biaya hidup dan
seperti apa bentuk keluarga yang akan dipilih?
Kedua, kapan waktu yang tepat untuk mulai hamil dan
melahirkan? Pertanyaan ini terkait erat dengan kemampuan fisik, mental
serta kesehatan reproduksi perempuan. Sebab, menjalani kehamilan
secara bertanggungjawab bukanlah perkara mudah. Bukan hanya
dibutuhkan kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental dan spiritual
calon ibu. Terlebih lagi setelah melahirkan nanti, apakah calon ibu sudah
siap untuk menyusukan anaknya secara penuh sebagaimana dianjurkan
ahli kesehatan dan juga dianjurkan dalam agama Islam, yaitu menyusui
anak selama dua tahun penuh. Apakah laki-laki, calon ayah sudah siap
berbagi waktu untuk mengasuh anak? Selain menyiapkan waktu yang
cukup, juga keperluan material berupa sandang-pangan juga sangat
dibutuhkan dalam periode ini.
Ketiga, kapan jarak terbaik antara satu kelahiran dan kelahiran
anak berikutnya? Laki-laki dan perempuan sebagai calon orang tua
sebaiknya memikirkan dengan matang jarak kelahiran anak-anak
mereka. Jarak kelahiran yang terlalu dekat akan mengurangi perhatian
dan kasih sayang yang seharusnya dirasakan seseorang anak. Lagi pula,
kehamilan yang sangat rapat juga mempengaruhi kualitas kesehatan
reproduksi perempuan. Anak adalah amanah Tuhan yang harus dijaga
3

sedemikian rupa, tidak boleh disia-siakan kehadirannya. Sementara


kebutuhan anak sangat kompleks, mulai dari kebutuhan jasmani berupa
makanan sehat dan bergizi, pakaian yang memadai, serta rumah tempat
tinggal yang memungkinkan dia tumbuh dengan sehat, aman dan
nyaman. Belum lagi, kebutuhan non-fisik berupa perhatian, kasih sayang
yang tulus dan pengasuhan, dan kemudian pendidikan yang memadai
bagi pertumbuhannya menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab.
Dengan demikian konsep Keluarga Berencana mencakup
spektrum yang sangat luas dan holistik. Mulai dari mempersiapkan diri
sendiri menjadi orang tua (ayah dan ibu) yang sehat, bijak dan
berkualitas. Merencanakan kapan punya anak, berapa jarak kelahiran dan
kapan harus berhenti punya anak, untuk selanjutnya mempersiapkan
anak-anak kita menjadi calon ayah dan calon ibu yang
bertanggungjawab, membimbing mereka menjadi orang dewasa yang
berkualitas fisik, mental, rohani dan spiritualnya serta memberikan bekal
yang cukup dalam memilih pasangan dan menentukan kapan akan
membentuk keluarga sendiri secara mandiri. Semua itu dengan satu
tujuan yang jelas, yakni mewujudkan kesejahteraan dan kemashlahatan
dalam hidup berkeluarga sehingga memperoleh kedamaian dan
kebahagiaan lahir-batin di dunia sampai akhirat kelak.
Dari uraian tadi jelas bahwa KB bukanlah sekedar pemakaian alat
kontrasepsi belaka. KB adalah satu cara mewujudkan keluarga sejahtera
yang dapat dilakukan dengan atau tanpa memakai alat kontrasepsi.
Berbicara tentang alat kontrasepsi, bermacam model ditawarkan, tentu
dengan berbagai keuntungan dan kerugian serta efek sampingnya.
Pemilihan salah satu alat kontrsepsi hendaknya didahului dengan
konsultasi pada bidan atau dokter. Tidak semua orang cocok dengan alat
kontrasepsi tertentu mengingat kondisi fisik setiap individu berbeda satu
sama lain.
Berdasarkan berbagai fakta medis dan sosial, tampaknya
penggunaan alat kontrasepsi sebaiknya dilakukan oleh laki-laki atau
suami. Mengapa sebaiknya laki-laki yang menggunakan alat
kontrasepsi? Sebab, bagi laki-laki lebih mudah dan lebih praktis. Hal itu
karena posisi organ reproduksi laki-laki berada di luar dan bentuknya
pun tidak serumit organ reproduksi perempuan. Mari kita ubah
4

paradigma yang terlanjur berkembang di masyarakat bahwa pemakaian


alat kontrasepsi adalah kewajiban perempuan.
Konsep Keluarga Berencana yang utama adalah merencanakan
suatu kehidupan keluarga yang damai dan bahagia, dan salah satu
indikasinya adalah jumlah anak yang sedikit dan berkualitas. Pandangan
ini terkait dengan masalah global tentang ledakan penduduk,
kemiskinan, pengangguran dan keterbatasan sumber daya alam. Sebagai
manusia yang dianugerahi akal budi, manusia selayaknya memikirkan
dan merencanakan hidupnya dengan sebaik-baiknya agar tidak
menambah kerumitan dalam kehidupan di bumi ini.
Islam membolehkan penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk tujuan
memelihara kesehatan, mengatur jarak kelahiran anak, dan juga untuk
menghindari penularan penyakit tertentu. Hal penting yang dipikirkan
oleh suami dan isteri adalah bagaimana merencanakan keluarga bahagia,
sejahtera dan harmoni yang dalam istilah Islam disebut sakinah wa
mawaddah wa rahmah. Islam sejak dini sudah memberikan peringatan
agar kita tidak meninggalkan keturunan yang lemah seperti tertera dalam
ayat pembukaan di atas.

Fungsi Keluarga
Keluarga adalah sebuah institusi yang minimal memiliki fungsi-
fungsi sebagai berikut. 1) Fungsi religius, yaitu keluarga memberikan
pengalaman keagamaan kepada anggota-anggotanya; 2) Fungsi afektif,
yakni keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan; 3)
Fungsi sosial; keluarga memberikan prestise dan status kepada semua
anggotanya; 4) Fungsi edukatif; keluarga memberikan pendidikan
kepada anak-anaknya; 5) Fungsi protektif; keluarga melindungi anggota-
anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis, dan psiko-sosial; dan 6)
Fungsi rekreatif. yaitu bahwa keluarga merupakan wadah rekreasi bagi
anggotanya.
Suatu keluarga akan menjadi kokoh, bilamana keenam fungsi
yang disebutkan tadi berjalan harmonis. Sebaliknya, bila pelaksanaan
fungsi-fungsi di atas mengalami hambatan akan terjadi krisis keluarga.
Keluarga juga akan mengalami konflik, bila fungsi-fungsi itu tidak
berjalan secara memadai. Misalnya, jika fungsi edukatif tidak berjalan
efektif mungkin hubungan anak dan orangtua akan mengalami
5

ketidakteraturan (disorder).
Ditinjau dari perspektif gender, keluarga merupakan lingkungan
yang secara langsung dan tidak langsung memperkenalkan sifat-sifat
khas perempuan dan laki-laki (gender traits), cara-cara mengisi peran
gender (sebagai ayah-ibu atau sebagai suami-isteri) dan berbagai bentuk
interaksi gender, seperti ayah dominan, ibu submisif, atau sebaliknya.
Dalam keluarga Indonesia pada umumnya, laki-laki sebagai ayah
mempunyai kedudukan yang sentral dan peran laki-laki sebagai ayah
dan yang biasanya aktif di ruang publik sangat menentukan status
keluarga dalam masyarakat.
Sebagai penerus utama nilai-nilai, dalam lingkungan keluarga
juga berlangsung mekanisme pemilihan tokoh identifikasi. Anak meniru
pola perilaku orang di dalam keluarga. Yang ditiru dapat berupa
perilaku, gaya bicara atau sifat-sifat khasnya. Ditinjau dari perspektif
gender, keluarga merupakan laboratorium dimana sejak anak dilahirkan
ia belajar dan mengenal perilaku yang terkait pada gender seseorang
(gender related behavior).

Anak sebagai amanah


Ajaran Islam menegaskan bahwa anak adalah amanah Allah swt.
Sebagai suatu amanah tentu saja anak harus dipersiapkan kehadirannya
sedemikian rupa. Ayah dan ibu sebagai calon kedua orang tua bagi si
anak terlebih dahulu harus mempersiapkan diri, baik dalam aspek fisik
maupun non-fisik, seperti moral, mental, emosional, finansial dan aspek
sosial. Selanjutnya setelah lahir, anak dijaga dan dipelihara kelangsungan
hidupnya dengan sebaik-baiknya agar tumbuh menjadi manusia yang
sehat, cerdas, bermoral dan berakhlak-karimah. Oleh karena itu, setiap
orang tua akan dimintai pertanggungjawaban berkenaan dengan anak
yang dianugerahkan kepadanya.
Ayat an-Nisa 9 (pembukaan) secara tegas memperingatkan kepada
setiap orang tua (lelaki dan perempuan) agar jangan meninggalkan
keturunan atau anak-anak yang lemah. Pengertian lemah dalam ayat
tersebut mempunyai makna yang sangat luas, yaitu lemah dalam agama
atau akidah, lemah ekonomi, lemah pendidikan, lemah fisik, lemah
mental dan seterusnya. Dengan begitu, setiap calon ayah dan ibu
hendaknya mempersiapkan sedemikian rupa dan seoptimal mungkin
6

segala sesuatu yang dibutuhkan bagi kelahiran dan pertumbuhan anak-


anak mereka. Sehingga kelak bisa menjadi generasi yang kuat dan
berkualitas, dan bukan generasi lemah yang akan menjadi beban sosial di
masyarakat.
Di samping sebagai amanah, anak juga merupakan cobaan atau
fitnah dari Allah. Ini maksudnya untuk menguji iman manusia
sejauhmana manusia dapat memelihara amanah Allah. Dalam hal ini
posisi anak tak ubahnya dengan harta kekayaan. Allah menganugerahkan
harta kekayaan kepada manusia agar dipergunakan atau dibelanjakan ke
jalan yang benar serta untuk menolong orang-orang yang membutuhkan.
Demikian pula halnya dengan anak, dianugerahkan pada manusia
agar dapat dididik ke jalan yang benar dan menjadi manusia yang
berguna; baik bagi sesamanya, maupun bagi agama dan bangsa. Manusia
yang paling baik di sisi Allah adalah manusia yang paling bermanfaat
bagi sesamanya, demikian bunyi satu hadis. Karena itu, setiap orang akan
ditanyai dan dimintai pertanggung-jawabannya berkenaan dengan harta
dan anak yang dianugerahkan Tuhan padanya. Jadi, sebelum punya anak,
pikirkan dulu secara mendalam apakah mampu memenuhi hak dan
kebutuhan anak yang sangat kompleks tersebut.
Itulah perlunya memahami ajaran Islam dengan benar agar kita
tidak salah kaprah. Sebab, di masyarakat banyak sekali beredar
pemahaman yang keliru, misalnya Islam melarang Keluarga Berencana,
Islam menghendaki kita punya anak banyak, banyak anak banyak rezeki
dan seterusnya. Hanya dengan satu ayat Al-Qur’an (an-Nisa 9) semua
pandangan keliru tersebut terbantahkan dengan sendirinya. Yang benar,
Islam mengajarkan agar kita agar meninggalkan keturunan yang kuat dan
berkualitas serta dapat dibanggakan. Di sinilah letak pentingnya program
Keluarga Berencana.

Tujuan mulia perkawinan


Islam mengajarkan bahwa perkawinan bukanlah semata ucapan ijab-
qabul, melainkan suatu akad (komitmen) yang sangat kuat antara dua
orang manusia yang bertujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah
wa rahmah (keluarga yang tenteram, penuh cinta, dan kasih-sayang).
Itulah sebabnya, dalam perkawinan Islam tidak dibenarkan adanya
7

perilaku dominasi, diskriminasi, eksploitasi, dan segala bentuk poligami,


selingkuh dan kekerasan, khususnya kekerasan seksual.
Perlu diketahui bahwa hukum dasar perkawinan adalah mubah
artinya boleh, boleh menikah, dan boleh tidak. Jangan disalahpahami
bahwa jika seseorang memilih tidak menikah berarti dia memilih hidup
bebas dan melakukan hal-hal tercela.
Ditemukan cukup banyak perempuan dan laki-laki yang tidak
menikah dan tetap komitmen hidup dalam kesucian dan mengamalkan
nilai-nilai spiritual yang tinggi, tidak terlibat free seks dan semacamnya,
bahkan mengabdikan seluruh hidupnya untuk membantu sesama demi
kemanusiaan. Karena itu, jangan berburuk sangka atau memberi stigma
pada seseorang (perempuan atau laki-laki) yang secara sadar memilih
untuk tidak menikah.
Masalahnya, tidak semua perempuan memiliki kemerdekaan penuh
dan punya pilihan bebas. Sebagian perempuan sungguh-sungguh tidak
mengerti akan eksistensi dirinya sebagai manusia utuh yang punya harkat
dan martabat; sebagian perempuan tidak bebas menentukan pilihan
hidupnya, melainkan sangat ditentukan oleh orang tua atau walinya.
Menikah pun atas keinginan orang tua agar tetap disebut anak yang
berbakti. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hidup dengan pasangan
yang bukan pilihan hati, untunglah kalau dia berbudi luhur dan baik hati,
tapi kalau dia berakhlak buruk, maka terjadilah kasus-kasus kekerasan
dalam rumah tangga. Dan pastilah perempuan dan anak-anak yang akan
menderita. Ditemukan pula sebagian perempuan terpaksa memilih
menikah hanya untuk mendapatkan status sebagai isteri karena
masyarakat masih sulit menerima kehadiran perempuan tanpa pasangan
(suami).
Demikianlah problematika budaya yang masih melilit perempuan.
Kondisi merugikan ini harus segera diakhiri agar perempuan di masa
depan dapat memilih dengan cerdas sesuai pesan-pesan moral agamanya,
memilih kemaslahatan untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakatnya.
Untuk itu, perempuan harus berkualitas, berpengalaman, berwawasan
luas, berilmu-pengetahuan cukup, berketerampilan memadai, dan juga
berakhlak karimah.
Harus selalu diingat bahwa perkawinan bukan semata urusan
biologis atau sekedar memenuhi kebutuhan syahwat, melainkan jauh
8

lebih bermakna dari itu. Perkawinan memerlukan adanya kesadaran


tentang kehadiran Allah dalam hidup manusia, kehadiran Sang Maha
Pencipta yang akan membimbing manusia (perempuan dan laki-laki) ke
jalan yang lurus, jalan kebahagiaan sejati dan abadi. Perkawinan
menuntut agar suami-isteri jujur kepada diri sendiri, kepada pasangan
masing-masing, dan kepada Allah sang Pencipta.
Sejumlah ayat Al-Qur`an menjelaskan, agar suami memperlakukan
isteri secara hormat, lembut, sopan, dan tidak menyia-nyiakan mereka.
Suami dan isteri tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun
dan untuk alasan apa pun, tidak boleh ada perilaku diskriminatif dan
eksploitatif sedikit pun. Bahkan, secara khusus Allah juga menekankan
pentingnya berbuat adil dalam lingkup keluarga, sebuah lembaga di mana
praktik ketidakadilan terselubung seringkali terjadi, dengan korban utama
selalu istri dan anak-anak perempuan, seperti terlihat dalam kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Posisi perempuan sebagai isteri setara dengan suami. Keduanya
berhak mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan, baik biologis maupun
batiniyah. Keduanya pun sama-sama bertanggung jawab, baik dalam
tugas-tugas domestik di rumah tangga maupun dalam tugas-tugas publik
di masyarakat. Suami tetap harus peduli dengan fungsi reproduksi isteri
yang sangat mulia, yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui.
Ketika melaksanakan fungsi-fungsi mulia tersebut, para isteri wajib
mendapatkan perlindungan, bukan hanya dari suami, melainkan juga dari
seluruh masyarakat dan bahkan juga dari negara. Perlindungan negara,
antara lain dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana kesehatan
yang memadai, harga obat yang terjangkau, transportasi yang ramah
perempuan dan kebijakan hukum yang memihak perlindungan hak-hak
asasi perempuan, khususnya, hak dan kesehatan reproduksi perempuan.
Posisi perempuan sebagai ibu adalah sangat mulia dan terhormat.
Surga terletak di bawah kaki ibu, artinya keridhaan ibu amat menentukan
keselamatan dan kebahagiaan seorang anak. Karena itu, ibu berhak
mendapatkan penghormatan tiga kali lebih besar dari penghormatan anak
kepada ayahnya. Hadis berikut menjelaskan secara indah.
‫ضي اللﱠھم َع ْنھم قَا َل‬ ِ ‫اع ب ِْن ُش ْب ُر َمةَ ع َْن أَ ِبي ُزرْ َعةَ َع ْن أَ ِبي ھُ َر ْي َرةَ َر‬
ِ َ‫َح ﱠدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد َح ﱠدثَنَا َج ِري ٌر ع َْن ُع َما َرةَ ب ِْن ْالقَ ْعق‬
َ ْ ُ َ
‫ك قا َل ث ﱠم َمن قا َل‬ ُ َ
َ ‫ص َحابَتِي قا َل أ ﱡم‬ ْ
َ ‫اس بِ ُحس ِن‬ ‫ﱠ‬ ‫ﱡ‬ َ
ِ ‫ﷲ َمن أ َحق الن‬ْ ِ ‫صلﱠى اللﱠھم َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم فَقَا َل يَا َرسُو َل‬
‫ﱠ‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫ُول ﱠ‬
ِ ‫َجا َء َر ُج ٌل إِلَى َرس‬
(‫ )رواه البخارى ومسلم‬.‫ك‬ َ ُ َ ُ َ
َ ‫ك قا َل ث ﱠم َم ْن قا َل ث ﱠم أبُو‬ ُ ُ َ ُ َ
َ ‫ك قا َل ث ﱠم َم ْن قا َل ث ﱠم أ ﱡم‬ ُ ُ
َ ‫ث ﱠم أ ﱡم‬
9

Dari Abu Hurairah ra. berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw dan
bertanya: Ya Rasulullah, siapakah manusia yang wajib saya hormati? Jawab Rasulullah:
Ibumu, kemudian siapa? Ibumu, kemudian siapa? Ibumu, kemudian siapa? Ayahmu
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sangat jelas hadis nabi tersebut memerintahkan seorang anak agar


menghormati ibu dahulu baru ayah. Bahkan, penghormatan terhadap ibu
sebanyak tiga kali dari penghormatan yang diberikan kepada ayah.
Mengapa demikian? Tugas berat sebagai ibu sangat diapresiasi Islam,
tugas itu terkait dengan organ reproduksinya yang sangat spesifik, yaitu
haid, hamil, melahirkan dan menyusui anak. Tidak semua perempuan
dapat haid dengan nyaman, sebagian perempuan merasa sangat sakit dan
menderita ketika dalam periode menstruasi akibat pendarahan yang luar
biasa, karena itu cuti haid yang diberlakukan pada beberapa negara maju
amat penting dan sangat melindungi perempuan.
Tugas melahirkan pun tidak kalah berat dan sakitnya, sebagian
perempuan terpaksa meregang nyawa ketika melahirkan.Angka kematian
ibu melahirkan (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi, bahkan dalam
masa sepeuluh tahun ini tidak ada penurunan, malah terjadi kenaikan
yang signifikan. Hal itu karena perhatian dan kepedulian masyarakat dan
juga negara sangat rendah terhadap pemenuhan hak dan kesehatan
reproduksi perempuan.
Lalu, tugas menyusui dan merawat anak pun bukan tugas yang
ringan. Untuk dapat menyusui anak dengan baik ibu memerlukan
makanan bergizi dan kesehatan yang prima, serta suasana batin yang
mendukung (kondusif). Ringkasnya, tugas-tugas reproduksi yang
demikian berat dan seringkali seorang ibu harus mengorbankan
nyawanya dicatat oleh agama Islam dan dijadikan alasan mengapa
seorang anak wajib menghormati ibunya tiga kali lebih banyak dari
penghormatan terhadap ayah.
Islam menghargai hak-hak reproduksi perempuan sebagai manusia
merdeka. Karena itu, perempuan memiliki hak asasi atas diri dan juga
rahimnya. Perempuan dapat memilih secara merdeka apakah ia akan
menikah atau tidak; perempuan dapat memilih dan menentukan kapan
akan hamil atau tidak. Berapa kali akan hamil dan melahirkan. Tubuh
perempuan bukanlah mesin reproduksi. Seorang perempuan tidak boleh
mengalami kesengsaraan dan penderitaan, apalagi kematian karena
10

melakukan fungsi-fungsi reproduksi yang sangat mulia itu. Perempuan


harus mendapatkan informasi yang benar dan memadai terkait hak dan
kesehatan reproduksinya, di sinilah tugas negara dan masyarakat.
Karena itu, mari merencanakan keluarga yang damai dan bahagia
melalui program Keluarga Berencana. Wallahu a’lam.

***

Anda mungkin juga menyukai