Anda di halaman 1dari 42

PEDOMAN

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

2015

MFK, dr Panudju, RSRP


BAB I

PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan institusi layanan kesehatan yang bersifat preventif,


promotif, kuratif dan rehabilitatif. Walaupun pada kenyataannya lebih didominasi sifat
kuratifnya dibandingkan dengan lainnya, hal ini dikarenakan Rumah Sakit memiliki
sarana dan prasarana yang memfasilitasi proses penyembuhan suatu penyakit bagi pasien.
Selain itu Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat kerja yang mempunyai banyak potensi
bahaya bagi para pekerjanya. Potensi bahaya dapat ditemukan diberbagai tempat dan
bentuk pekerjaan. Potensi bahaya yang terjadi dikarenakan adanya : Padat teknologi
dimana Rumah Sakit memiliki alat-alat canggih sebagai penunjang pemeriksaan/diagnosa
penyakit seperti Alat-alat Radiologi, CT Scan, MRI, angiografi, USG dan alat-alat
lainnya, sehingga dengan keberadaan alat-alat canggih tersebut memiliki potensi besar
untuk terjadinya suatu bahaya. Selain adanya padat teknologi di Rumah Sakit, potensi
bahaya juga karena adanya Padat Bahaya dimana para pekerja ketika melakukan
pekerjaan memiliki prilaku kerja Unsafe Condition dan Unsafe Act yang menyebabkan
potensi bahaya. Potensi bahaya yang lain karena adanya Padat Manusia dimana Rumah
Sakit bukan saja dikunjungi oleh orang yang sakit tapi juga orang yang sehat (seperti
pekerja mitra kerja, keluarga pasien dan pengunjung pasien) sehingga potensi bahaya
bukan hanya timbul namun efek tidak diperhatikannya kesehatan kerja dapat berdampak
pada pengunjung Rumah Sakit.
Rumah Sakit sebagai tempat kerja harus dapat menciptakan suasana kerja
yang aman, nyaman, bebas dari kecelakaan dan bebas dari penyakit akibat kerja. Untuk
menciptakan suasana tersebut perlu diupayakan program kesehatan & keselamatan kerja
(K3). Upaya K3 yang dilaksanakan di Rumah Sakit bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan dan produktifitas kerja seluruh pekerja. Upaya tersebut meliputi upaya
peningkatan, pencegahan dan pemulihan dengan penekanan pada upaya peningkatan dan

MFK, dr Panudju, RSRP


pencegahan. Selain itu upaya ini dikembangkan untuk mengantisipasi factor-faktor yang
menimbulkan risiko terhadap kesehatan pengunjung dan masyarakat umum di sekitar
Rumah Sakit.

Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4437)
2. Undang-Undang Nomor1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja (Lembaran
Negara RI Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
2918)
3. Keputusan Menkes No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri
4. Keputusan Menkes No. 876/Menkes/SK/VIII/2001 tentang pedoman Teknis
Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan lingkungan Rumah
Sakit
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4437)
7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara RI Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 3637)
8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan (Lembaran
Negara RI Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4729)
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3838)

MFK, dr Panudju, RSRP


10. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 1998 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3781)
11. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul
Karena Hubungan Kerja
12. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion (Lembaran Negara RI
Tahun 2000 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3992)
13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 351/Menkes/SK/III/2003 tentang
Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sektor Kesehatan

MFK, dr Panudju, RSRP


BAB II

GAMBARAN UMUM
RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS

Pada saat berdiri tanggal 29 Juni 1990 dinamakan Rumah Sakit Medika Griya
(RSMG) yang beralamat di jl. Danau Sunter Utara, Sunter Paradise Jakarta Utara dan
diresmikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia yaitu Bapak Adhiyatma MPH.
Selanjutnya sebagai Soft Opening pada tanggal 1 Maret 2003 terjadi perubahan nama
yaitu Royal Progress International Hospital dan pada tanggal 17 Juli 2007 secara resmi
ditetapkan perubahan nama tersebut oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dengan berjalannya waktu dan peraturan yang ada dari pemerintah tahun 2009 menjadi
Rumah Sakit Royal Progress.

Gedung Rumah sakit Royal Progress terdiri dari delapan lantai dan saat ini
membuka kamar perawatan sebanyak 130 tempat tidur yang terdiri dari VIP (VIP, VIP
Deluxe, VIP Executive), kelas I, II, III, NICU, PICU, ICU .
Disamping itu juga terdapat Poli rawat jalan Spesialis, Poli Umum, IGD, MCU dan
Penunjang Medik ( Laboratorium, Radiologi, Apotik ), Rekam Medik. Dimana pada saat
ini rumah sakit menyerap tenaga kerja baik medis maupun non medis sebanyak 300
orang.

MFK, dr Panudju, RSRP


BAB III

VISI DAN MISI RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS

VISI :
Meningkatkan kualitas kehidupan lahir batin manusia secara seimbang beserta
lingkungan hidupnya berjalan dengan waktu

MISI :
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna (preventif, promotif, kuratif
dan rehabilitatif) yang berkualitas tinggi, sesuai dengan standar yang berlaku dan
berorientasi pada kepuasan pelanggan.

LANDASAN NILAI
Nilai Royal Progress secara umum adalah PROGRESS

PRO : Proaktif dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan Royal Progress

G : Gigih dalam meningkatkan terus profesionalisme berlandaskan etika profesi


dan berorientasi pada kepuasan pelanggan melalui kerjasama tim.

R : Ramah tamah dan cinta kasih dalam melayani.

E : Efektif & efisien dalam melakukan setiap pekerjaan dengan meningkatkan


rasa kepemilikan.

MFK, dr Panudju, RSRP


S : Saling Asih, Asah, Asuh dan Wangi.

S : Saling menguntungkan.

TUJUAN (GOAL)

1. Tercapainya pelayanan yang bermutu tinggi yang berorientasi pada kepuasan


pelanggan.
2. Pelayanan kesehatan Rumah sakit Royal Progress terus meningkat dan
berkembang.
3. Tercapainya peningkatan produktivitas pelayanan Rumah Sakit Royal Progress.
4. Terbentuknya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi, memiliki
integritas, komitmen yang kuat terhadap organisasi melalui upaya pendidikan dan
pelatihan, serta upaya peningkatan kesejahteraan yang adil dan manusiawi.

MFK, dr Panudju, RSRP


BAB IV

VISI, MISI, FALSAFAH, FUNGSI, TUJUAN, DAN SASARAN


K3

Penyebab utama kecelakaan kerja, yakni perbuatan berbahaya atau tindakan tidak
aman dan kondisi yang tidak aman. Selain itu penyebab kesalahan antara lain karena
kurangnya pengetahuan atau keterampilan, cacat tubuh yang tidak kentara, keletihan dan
kelesuhan. Tingkah laku dan kebiasaan yang ceroboh, sembrono, berani tanpa
pertimbangan dan tidak memperdulikan petunjuk secara instruksi (tidak sesuai dengan
SPO), tidak menggunakan APD atau menggunakan APD secara tidak benar serta
lemahnya pengawasan.

Visi Kesehatan & Keselamatan Kerja


Meningkatkan derajat kesehatan dan keselamatan tenaga kerja yang setinggi-
tingginya serta mendorong terciptanya suasana lingkungan kerja yang kondusif dan sehat.

Misi Kesehatan & Keselamatan Kerja


Melakukan pengembangan terhadap pelayanan kesehatan tenaga kerja,
mengembangkan penyuluhan dan penelitian bidang Keselamatan Kerja, Kesehatan
Kerja, Hygiene RS dan Ergonomi.

Falsafah Kesehatan & Keselamatan Kerja


Memberikan suasana lingkungan kerja yang kondusif dengan meningkatkan
Kesehatan dan Keselamatan bagi para pekerja.

MFK, dr Panudju, RSRP


Fungsi Kesehatan & keselamatan Kerja
Memberikan perlindungan terhadap karyawan yang kaitannya dengan nyawa. Oleh
karena itu, seharusnya manusia lebih dihargai dari pada aset yang lain untuk
mendapatkan prioritas. Disisi lain karena aturan-aturan yang tinggi misalnya faktor
kecelakaan yang tinggi karena kebakaran dan ledakan yang bisa merusak aset, mereka
cenderung untuk melakukan pengamanan dengan ketat.

Tujuan Kesehatan & Keselamatan Kerja


Mencegah atau mengurangi kecelakaan, kebakaran, peledakan dan penyakit akibat
kerja. Mengamankan mesin, instalasi pesawat, alat kerja, bahan bakar dan bahan hasil
produksi serta menciptakan lingkungan dan tempat kerja yang aman, nyaman, sehat dan
penyesuaian antara pekerjaan dengan manusia atau sebaliknya.

Sasaran Kesehatan & Keselamatan Kerja


Perlindungan terhadap tenaga kerja di lingkungan kerja, perlindungan setiap orang
lainnya yang berada di tempat kerja serta perlindungan terhadap bahan dan peralatan
produksi.

MFK, dr Panudju, RSRP


BAB V

URAIAN PANITIA K3

KETUA K3

1. Nama Panitia Kerja : K3


2. Nama Jabatan : Ketua
3. Pengertian :
Seseorang Profesional yang diberi tugas dan wewenang untuk dapat memimpin
dalam menjalankan pelaksanaan program K3
4. Persyaratan dan Kualifikasi :
a. Pendidikan Formal :
Dokter
b. Pendidikan Non Formal :
Memiliki sertifikat kursus sesuai bidang ( K3)
c. Pengalaman Kerja :
Memiliki pengalaman sebagai tenaga K3
d. Ketrampilan :
Memiliki bakat dan minat serta dedikasi tinggi, berkepribadian mantap
dan emosional yang stabil.
e. Berbadan sehat jasmani dan Rohani

5. Tanggung Jawab :
Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab seluruhnya
terhadap pelaksanaan Program K3 di RS.

MFK, dr Panudju, RSRP


6. Tugas Pokok :
Mengkoordinator semua pelaksanaan kegiatan Program K3 di RS.
7. Uraian Tugas :
a. Menyusun dan merencanakan pelaksanaan kegiatan program kerja K3.
b. Memimpin, mengkoordinir dan mengevaluasi pelaksanaan operasional
K3 secara efektif , efisien dan bermutu.
c. Bertanggung jawab terhadap koordinasi dengan bagian unit kerja terkait
d. Memberikan pembinaan terhadap anggota K3
e. Membuat daftar inspeksi ke semua unit terkait
f. Memimpin pertemuan rutin setiap bulan dengan anggota K3 untuk
membahas dan menginformasikan hal – hal penting yang berkaitan
dengan K3.
g. Menghadiri pertemuan manajemen, bila dibutuhkan
h. Menjalin Kerjasama antar bagian ( Produksi, teknik, Logistik dsb ).
i. Berperan pada kegiatan Dewan K3 wilayah maupun Depnaker
J. Meningkatkan pengetahuan anggota, membuat dan memperbaiki cara kerja dan
pedoman kerja yang aman.
8. Wewenang:
a. Memberikan penilaian kinerja anggota K3.
b. Membuat prosedur K3.
9. Hasil Kerja
a. Daftar kerja untuk anggota K3
b. Usulan perencanaan ketenagaan dan fasilitas yang dibutuhkan di K3
c. Standar Operating Procedure K3
d. Laporan Program K3

MFK, dr Panudju, RSRP


SEKRETARIS K3

1. Nama Panitia Kerja : K3


2. Nama Jabatan : Sekeretaris K3

3. Pengertian :
Seseorang yang ahli dalam bidang K3 dan mampu dalam menjalankan
pelaksanaan Program K3
4. Persyaratan dan Kualifikasi :
a. Pendidikan Formal :
Berijazah K3 dari semua institusi yang disyahkan oleh pemerintah atau
yang berwenang
b. Pendidikan Non Formal :
Memiliki sertifikat kursus sesuai bidang
c. Pengalaman Kerja :
Memiliki pengalaman sebagai tenaga K3
d. Ketrampilan :
Memiliki bakat dan minat serta dedikasi tinggi, berkepribadian
mantap dan emosional yang stabil
e. Berbadan sehat jasmani dan rohani
5. Tanggung Jawab :
Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepada ketua K3
6. Tugas Pokok :
Ikut berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan Program K3
7. Uraian Tugas :
a. Mengatur rapat dan jadwal rapat K3

MFK, dr Panudju, RSRP


b. Menyiapkan ruang rapat dan perlengkapannya yang diperlukan,
termasuk konsumsi, khususnya bila rapat berlangsung saat waktu
makan siang atau sore.

c. Membuat dan menanda tangani surat keluar serta melakukan pekerjaan


administrasi termasuk pengarsipannya .
d. Menyusun kesimpulan sidang.
e. Memberikan pertimbangan/saran K3 pada perencanaan, pengembangan proses
dan alat- alat baru.
f. Membuat Analisa Kecelakaan dan Statistik Kecelakaan Kerja.
8. Uraian Wewenang :
Meminta informasi dan petunjuk kepada atasan
9. Hasil Kerja
Analisa K3
Pelaporan K3

Anggota K3

1. Nama Panitia Kerja : K3


2. Nama Jabatan : anggota K3

3. Pengertian :
Seseorang yang diberi tugas oleh ketua K3 dalam mengidentifikasi
sumber bahaya yang ada pada masing – masing bagian/unit kerja.
4. Persyaratan dan Kualifikasi :
a. Pendidikan Formal :
Berijasah K3/mengetahui tentang K3 dari semua institusi yang
disyahkan oleh pemerintah atau yang berwenang
b. Pendidikan Non Formal :
Memiliki sertifikat kursus sesuai unit kerja masing - masing
c. Pengalaman Kerja :
Memiliki pengalaman sebagai tenaga K3

MFK, dr Panudju, RSRP


d. Ketrampilan :
Memiliki bakat dan minat serta dedikasi tinggi, berkepribadian
mantap dan emosional yang stabil
e. Berbadan sehat jasmani dan rohani

5. Tanggung Jawab :
Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepada Ketua dan
Sekretaris K3
6. Tugas Pokok :
Membantu pelaksanaan semua kegiatan di Program K3
7. Uraian Tugas :
a. Mengidentifikasi potensi bahaya yang ada di unit kerja masing - masing
b. Melaporkan potensi bahaya yang ada di unit kerja masing – masing
c. Melakukan safety patroll di unit kerja masing - masing
8. Uraian Wewenang :
Meminta informasi dan petunjuk kepada atasan
9. Hasil Kerja
Identifikasi potensi bahaya perunit kerja
Penerapan APD

MFK, dr Panudju, RSRP


BAB VI

TATA HUBUNGAN KERJA PANITIA K3

YANMEDIS

PERAWATAN PANITIA K3 KESLING

UMUM

Keterangan :
 Panitia K3 saling berkoordinasi dengan bagian Perawatan, Yanmedis, Umum
dan Kesling dalam pelaksanaaan kegiatan program K3, khususnya dalam
mengidentifikasi potensi bahaya yang ter jadi di bagian/unit masing – masing
kerja.

MFK, dr Panudju, RSRP


 Identifikasi potensi bahaya di inspeksi oleh masing – masing anggota K3 dari
masing –masing unit/bagian kerja.
 Hasil dari identifikasi tersebut dianalisa dan diolah di panitia K3 untuk
selanjutnya ditindak lanjuti oleh panitia K3.

BAB VII

PRINSIP DASAR KESEHATAN KERJA

1. Pengertian

1. Upaya Kesehatan kerja adalah upaya antara kapasitas kerja, beban kerja dan
lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar
diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan tahun 1992 Pasal
23)
2. Upaya Kesehatan Kerja di Rumah Sakit menyangkut tenaga kerja,
cara/metode kerja, alat kerja, proses kerja dan lingkungan kerja.Upaya ini
meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemilihan.
3. Konsep dasar dari Upaya Kesehatan Kerja ini adalah : Identifikasi
Permasalahan, Evaluasi dan dilanjutkan dengan tindakan Pengendalian.
4. Pekerja RS adalah pekerja dilingkungan RS terdiri dari :
a. Tenaga Medis :
- Dokter
- Perawat
- Bidan
b. Tenaga non medis :
- Insinyur
- Teknisi
- Apoteker
- Asisten apoteker
- Ahli gizi
- Fisiotherapi
- Penata Anasthesi
- Penata Rontgen
- Analis Kesehatan

MFK, dr Panudju, RSRP


- Tenaga Administrasi

II. Ruang Lingkup Kesehatan Kerja

Kesehatan Kerja meliputi berbagai upaya penyerasian anatara pekerja dengan pekerjaan
dan lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode kerja, proses
kerja dan kondisi yang bertujuan untuk :

1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di


semua lapangan kerja ke tingkat setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun
kesejahteraan sosialnya.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang
diakibatkan oleh keadaan/kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya dari
kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan
kesehatan.
4. Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuaan fisik dan psikis pekerjanya.

A. Kapasitas kerja, Beban kerja, dan Lingkungan kerja

Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen
utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga
komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal.
Kapasitas kerja yang baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik
serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar seorang pekerja dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik.
Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja sebagai (modal) awal seseorang untuk
melakukan pekerjaan harus pula mendapat perhatian. Kondisi awal seseorang
untuk bekerja dapat dipengaruhi oleh kondisi tempat kerja, gizi kerja dan lain-
lain.
Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja yang
terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan
seorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja.
Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising, debu, zat-zat kimia dan lain-
lain) dapat merupakan beban tambahan terhadap pekerja. Beban-beban tambahan

MFK, dr Panudju, RSRP


tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan
atau penyakit akibat kerja.
Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor yang
berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan masyarakat
pekerjaa dipengaruhi tidak hanya oleh bahaya kesehatan di tempat kerja dan
lingkungan kerja tetapi juga oleh faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku
kerja serta faktor lainnya seperti pada gambar di bawah ini :

SKEMA BLUM

Lingkungan individu &


Lingkungan kerja

Faktor Genetik Status Perilaku


Kesehatan
Kerja
Kesehatan
Pekerja

Pelayanan
Kesehatan Kerja

MFK, dr Panudju, RSRP


B. Lingkungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja yang ditimbulkan

Penyakit akibat dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh
pemaparan di lingkungan kerja. Dewasa ini terdapat kesenjangan antara
pengetahuaan ilmiah tentang bagaimana bahaya-bahaya kesehatan berperan dan
usaha-usaha untuk mencegahnya.

Misalnya antara penyakit yang sudah jelas penularannya dapat melalui darah dan
pemakaian jarum suntik yang berulang-ulang, atau perlindungan yang belum baik
pada para pekerja rumah sakit dengan kemungkinan terpajan melalui kontak
langsung.

Untuk mengantisipasi permasalahan ini maka langkah awal yang penting adalah
Pengenalan/Identifikasi bahaya yang bisa timbul dan di evaluasi, kemudian
dilakukan Pengendalian.

Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkungan kerja


ditempuh tiga langkah utama, yakni :

1. Pengenalan lingkungan kerja


Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan
mengenal, (walk through inspection), dan ini merupakan langkah dasar yang
pertama-tama dilakukan dalam upaya program kesehatan kerja.
Untuk itu perlu diketahui informasi tentang pekerja yang terlibat proses kerja
dan limbah/sisa buangan, potensi bahaya yang mungkin, ada juga bahaya
kecelakaan kerja.
2. Evaluasi di lingkungan kerja
Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya
yang mungkin timbul, sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam
mengatasi permasalahan.
3. Pengendalian lingkungan kerja
Hal ini bisa dijelaskan dengan Teori Simpul Pengamatan/pengendalian oleh
Prof.dr umar Fahmi Achmadi, Ph.D. yaitu

⃝-----------------------⃝-------------------------⃝---------------------⃝

A B C D

Simpul A = Sumber potensi bahaya


Simpul B = Zat yang berbahaya berada di lingkungan

MFK, dr Panudju, RSRP


Simpul C = zat mulai masuk tubuh manusia
Simpul D = zat mulai mempengaruhi kesehatan manusia, dengan kemungkinan :
a. Tidak menyebabkan gangguan kesehatan
b. Menimbulkan gangguan kesehatan, dengan kemungkinan :
- Individu jelas sakit
- Gejala samar/subklinis

Simpul-simpul ini merupakan simpul pengamatan sekaligus merupakan simpul


pengendalian, misalnya :

- Pada simpul A, tindakan yang perlu dilakukan idealnya adalah


menghilangkan sumber, bila tidak mungkin, dengan subsitusi bahan
yang kurang berbahaya.
- Pada simpul B, misalnya uap berbahaya yang berada diruangan
dihilangkan dengan jalan menghisap keluar/ventilasi yang baik.
- Pada simpul C yakni saat akan memasuki tubuh manusia, misalnya
dicegah dengan pakaian pelindung/alat pelindung lain
- Pada simpul D bila zat yang berbahaya terlanjur masuk tubuh maka
dilakukan Bio-marker untuk monitoring dengan standart NAB, kalau
perlu dengan pemberiaan antagonisnya.

Pengendalian pada simpul A dan simpul B adalah pengendalian lingkungan sedang


pengendalian pada simpul C dan D adalah pengendalian perorangan. Selain pengendalian
lingkungan dan perorangan maka dalam menghadapi bahaya yang timbul ditempat kerja
perlu diadakan Program Pelayanan Kesehatan Kerja, yang meliputi :

- Pelayanan Promotif
- Pelayanan Preventif
- Pelayanan Kuratif
- Pelayanan Rehabilitatif

C. Perilaku Pekerja

Perilaku dan sikap para pekerja yang tidak sesuai dengan prinsip kesehatan dapat
mempengaruhi status kesehatan pekerja yang bersangkutan, sehingga didalam
pelaksanaan upaya kesehatan kerja diperlukan langkah-langkah mengubah
perilaku pekerja untuk keberhasilan program

KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA DAN UPAYA


PENGENDALIAANNYA

MFK, dr Panudju, RSRP


The american Industrial Hygiene Association membuat batasan higiene/kesehatan
lingkungan sebagai ilmu dan seni yang ditunjukan untuk mengenal, mengevaluasi
dan mengendalikan semua faktor-faktor dan stres lingkungan di tempat kerja yang
dapat menyebabkan gangguan kesehatan, kesejahteraan, kenyamanan dan
efisiensi di kalangan pekerja dan masyarakat.

Namun batasan tersebut oleh praktisi-praktisi higiene lingkungan kerja dirasakan


kurang mencerminkan profesionalisme dan tanggung jawab mereka. Dengan
pengenalan (recognition) berati bahwa bahaya-bahaya atau gangguan telah timbul,
yang seharusnya dapat dilakukan tindakan lebih dini lagi yaitu dengan melakukan
antisipasi dari bahaya dan risiko yang potensial akan timbul.

Sehubungan dengan hal tersebut, dewasa ini telah banyak tenaga dan dana yang
dikeluarkan dalam bidang percobaan toksikologis, dimana bahaya potensial dapat
di evaluasi dan tindakan-tindakan pencegahan dapat dilakukan sebelum mulai
digunakan di bidang industri.

Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkungan kerja


yang diperkirakan dapat menimbulkan penyakit akibat kerja, utamanya terhadap
para pekerja,ditempuh 3 langkah utama yaitu pengenalan, evaluasi dan
pengendalian dari berbagai bahaya dari risiko kerja.

1. Pengenalan Lingkungan Kerja (Recognition)

Pengenalan dari berbagai bahaya dan risiko kesehatan di lingkungan kerja


biasanya dilakukan pada waktu survai pendahuluan dengan cara melihat
dan mengenal (Walk-through survey), yang merupakan salah satu langkah
dasar yang pertama-tama harus dilakukan dalam upaya program kesehatan
kerja. Beberapa diantara bahaya dan risiko tersebut dapat dengan mudah
dikenali seperti masalah kebisingan disuatu tempat yaitu bilamana sebuah
percakapan sulit untuk di dengar, atau masalah panas di sekitar tungku
pembakaran atau peleburan yang dengan segera dapat kita rasakan.
Beberapa hal lainnya tidak jelas atau sulit dikenali; seperti zat kimia yang
terbentuk dari suatu rangkaian proses produksi tanpa adanya tanda-tanda
sebelumnya. Dengan demikian maka survai pendahuluan sebaiknya
dilakukan oleh seseorang yang telah berpengalaman di bidang tersebut,
karena bahaya atau risiko yang terlewatkan untuk dikenali tidak akan
terevaluasi atau terkendalikan.

Untuk dapat mengenal bahaya dan risiko lingkungan kerja dengan baik
dan tepat, sebelum dilakukan survaii pendahuluan perlu didapatkan segala
informasi mengenai proses dan cara kerja yang digunakan, bahan baku dan

MFK, dr Panudju, RSRP


bahan tambahan lainnya; hasil antara, hasil akhir, hasil sampingan serta
limbah yang dihasilkan. Kemungkinan-kemungkinan terbentuknya zat-zat
kimia yang berbahaya secara tak terduga perlu pula dipertimbangkan. Hal-
hal lain yang harus diperhatikan pula yaitu efek kesehatan dari semua
bahaya dilingkungan kerja termasuk pula jumlah pekerja yang potensial
terpapar sehingga langkah yang akan ditempuh, evaluasi serta
pengendaliannya dapat dilakukan sesuai dengan prioritas kenyatan yang
ada.

2. Evaluasi Lingkungan Kerja (Evaluation)

Evaluasi ini akan menguatkan dugaan adanya zat/bahan yang berbahaya


dilingkungan kerja, menetapkan karakteristiknya serta memberikan
gambaran cakupan besar dan luasnya pemaparan. Hal ini diperlukan
sebagai dasar untuk penetapan disain dan langkah-langkah pengendalian.
Tingkat pemaparan dari zat/bahan yang berbahaya dilingkungan kerja
yang terkenali selama survai pendahuluan harus ditentukan secara
kualitatif dan/atau kuantitatif, melalui berbagai teknik misalnya
pengukuran kebisingan, penentuan indeks tekanan panas, pengumpulan
dan analisis dari sampel udara untuk zat-zat kimia dan partikel-partikel
(termasuk ukuran partikel), dan lain-lain.

Selaian daripada penentuan tingkat bahaya zat/bahan di lingkungan kerja,


perlu pula ditetapkan kondisi-kondisi pemaparan yang meliputi lama
pemaparan, berbagai kemungkinan jalan masuk ke dalam tubuh, jenis dan
tingkat aktifitas fisik pekerja, dan sebagainya. Hanya setelah didapatkan
gambaran yang lengkap dan menyeluruh dari pemaparan, untuk kemudian
dibandingkan dengan standar kesehatan kerja yang berlaku, maka
penilaian dari bahaya/risiko yang sebenarnya terdapat dilingkungan kerja
telah tercapai. Standar kesehatan kerja tersebut dapat berupa ambang batas
pemaparan yang ditetapkan melalui studi intensif yang menghubungkan
pemaparan dan efek kesehatan terhadap manusia. Sebagai contoh yaitu
Nilai Ambang Batas (NAB) atau Threshold Limit Values (TLV) terhadap
konsentrasi zat-zat kimia di udara yang menggambarkan suatu kondisi
yang dipercahaya dimana hampir seluruh pkerja mungkin terpapar
berulang kali, hari demi hari, tanpa timbul efek yang merugikan
kesehatannya.

NAB dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengendalian bahaya


kesehatan, dan tidak dapat digunakan sebagai pedoman dalam
pengendalian bahaya kesehatan, dan tidak dapat digunakan sebagai batas

MFK, dr Panudju, RSRP


antara konsentrasi yang aman dan konsentrasi yang membahayakan untuk
zat-zat tertentu.

NAB terdiri dari 3 kategori yaitu :

a. Treshold limit Value – Time weighted average (TLV-TWA), yaitu konsentrasi


rata-rata untuk 8 jaqm kerja yang normal sehari dan 40 jam seminggu, dimana
hampir seluruh pekerja mungkin terpapar berulang-ulang, hari demi hari, tanpa
timbulnya gangguan yang merugikan.
b. Treshold Limit Value - Short term Exposure Limit (TLV_STEL), konsentrasi
dimana pekerja dapat terpapar terus menerus untuk jangka pendek (15 menit)
tanpa mendapat gangguan berupa (1) iritasi, (2) kerusakan jaringan yang menahun
atau tidak dapat kembali, dan (3) nekrosis derajat tertentu yang dapat
meningkatkan kecelakaan atau mengurangi efisiensi kerja.
c. Treshald Limit Value – Ceiling (TLV-C), yaitu konsentrasi yang tidak boleh
dilampaui setiap saat.

Parameter penting lainnya untuk penentuan penyerapan dari zat-zat kimia ke dalam
tubuh manusia (yang merupakan pelengkap dari evaluasi bahaya-bahaya lingkungan
kerja) ialah Indeks Pemaparan Biologis (Biological Exposure Indices) dari para pekerja.

Pemaparan biologis merupakan penilaian keseluruh pemaparan terhadap zat-zat kimia


yang ada di tempat kerja melalui pengukuran dari faktor penentu (determinants) yang
sesuai dalam spesimen biologis yang berasal dari pekerja pada waktu tertentu. Faktor
penentu tersebut dapat berupa zat kimia itu sendiri atau metabolitnya, ataupun
karakteristik dari perubahan biokimia yang disebabkan oleh zat kimia tersebut.

Spesimen biologis tersebut dapat berupa aiar seni, darah, udara pernapasan, atau
spesimen biologis lainnya yang berasal dari pekerja terpapar. Hasil pengukuran tersebut
kemudian dibandingkan dengan standar berupa Indeks Pemaparan Biologis yang
merupakan nilai-nilai acuan yang digunakan sebagai panduan dalam mengevaluasi
bahaya-bahaya kesehatan yang potensial dalam praktek kesehatan lingkungan kerja.

3. Pengendalian Lingkungan kerja ( Control )

Pengendalian lingkungan kerja dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan


pemaparan terhadap zat/bahan yang berbahaya di lingkungan kerja. Kedua tahapan
sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja
yang sehat. Jadi hal ini hanya dapat dicapai dengan teknologi pengendalian yang adekuat
untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan di kalangan para pekerja.

MFK, dr Panudju, RSRP


Walaupun setiap kasus mempunyai keunikan masing-masing , terdapat prinsip-prinsip
dasar teknologi pengendalian yang dapat diterapkan, baik secara sendiri maupun dalam
bentuk kombinasi , terhadap sejumlah besar situasi tempat kerja. Untuk memulainya, ada
beberapa pertanyaan yang perlu dikemukakan, yang jawabannya diharapkan dapat
memberi pedoman terhadap jenis teknologi pengendalian yang paling tepat dan paling
mungkin untuk dilaksanakan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi antara lain :

- Apakah jenis bahaya yang potensial, sumber serta lokasinya?


- Apakah sumber bahaya bisa dihilangkan atau diisolasi secara
menyeluruh?
- Apakah ada cara lain yang kurang berbahaya untuk pelaksanaan
produksi (penggantian bahan, peralatan atau cara kerja) ?
- Apakah kontak antara bahan yang berbahaya dengan pekerja di dalam
ruang kerja hanya dapat dikurangi dalam segi waktu dan frekuensi,
atau dipindahkan ke tempat yang lebih jauh ?
- yang kontak dengan para pekerja (dengan cara ventilasi, isolasi,
penutupan), atau para pekerja yang kontak terhadap zat/bahan yang
berbahaya (jarak, ruangan khusus, perlindungan perorangan) ?
- Apakah jangka waktu pemaparan dapat dikiurangi seminimal mungkin
(dengan cara kerja yang adekuat atau pengendalian secara
administratif ?

Higiene lingkungan kerja pada dasarnya meliputi identifikasi, evaluasi dan pengendalian
berbagai proses dan bahan-bahan yang mungkin dapat membahayakan manusia,
menyebabkan ketidak-nyamanan atau merusak lingkungan mereka. Di banyak negara,
langkah awal dari identifikasi masalah diperoleh dari informasi dan masukan dari
kalangan masyarakat tentang adanya bahaya yang berasal dari industri-industri serta
penggunaan bahan-bahan baik tradisional ataupun baru. Untuk mengantisipasi timbulnya
bahay-bahaya tersebut diperlukan suatu pendekatan sistematik dalam investigasi dan
pengendalianya. Pada dasarnya pengendalian terhadap bahaya-bahaya lingkungan kerja
dapat dikelompokkan ke dalam 2 katagori yaitu Pengendalian lingkungan dan
Pengendalian perorangan.

3.1. Pengendalian Lingkungan (Environmental Control Measures)

Pengendalian lingkungan meliputi perubahan dari proses kerja dan/atau lingkungan kerja
dengan maksud untuk pengendalian terhadap bahaya kesehatan baik dengan meniadakan
zat/bahan yang bertanggung jawab atau mengurangi zat/bahan tersebut sampai tingkat
yang tidak membahayakan kesehatan, serta mencegah kontak antara zat/bahan dengan
para pekerja.

MFK, dr Panudju, RSRP


Disain dan Tata Letak yang adekuat

Situasi yang ideal ialah keadaan dimana aspek kesehatan dan keselamatan kerja
diperhitungkan pada tahap disain dan tata letak dari peralatan, proses dan tempat kerja.
Setelah sebuah tempat kerja selesai dibuat, biasanya sulit diadakan perubahan untuk
mengurangi bahaya kesehatan. Dengan demikian pada saat pemilihan proses dan
peralatan, kemungkinan menghasilkan bahaya-bahaya harus diperhitungkan untung
ruginya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan akhir . Sebagai contoh,
bila ada sebuah proses yang “bebas debu” dapat digunakan, proses ini yang dipilih,
walaupun biayanya lebih mahal.

Penghilangan atau pengurangan bahan berbahaya pada sumbernya

Cara lain yang digunakan adalah penghapusan atau pengurangan zat/bahan berbahaya
pada sumbernya. Suatu proses yang diduga menghasilkan atau membentuk zat-zat yang
berbahaya dapat dipertimbangkan untuk dihentikan (Discontinuation ot the process)
Penggantian bahan-bahan yang kurang beracun (pelarut, bahan bakar, bahan baku, bahan-
bahan lainnya) dapat merupakan cara yang efektif untuk pengendalian pemaparan bahan-
bahan berbahaya. Misalnya trichloroethylene dapat menggantikan carbon tetrachloride
(CC14) dalam penggunaannya sebagai bahan pelarut atau pembersih gemuk; juga toluol
dan xylol dapat dipakai untuk subsitusi benzene, serta fiberglas sebagai penganti asbestos
(Subsitution).

Cara isolasi dapat digunakan terhadap zat-zat yang berbahaya untuk mencegah kontak
dengan pekerja. Berbagai cara isolasi yang dapat digunakan antara lain : sistem tertutup
untuk bahan-bahan kimia beracun, adanya dinding pemisah antara daerah yang berbahaya
dan tidak berbahaya, penutupan terhadap seluruh atau sebagian dari proses untuk
mencegah kontaminasi terhadap udara ruang kerja (Isolation).

Ventilasi di tempat kerja dapat digunakan antara lain untuk menjamin suhu yang nyaman,
sirkulasi udara segar di ruang kerja; sehingga dapat melarutkan zat pencemar ke tingkat
yang diperkenankan, serta mencegah zat pencemar di udara mencapai daerah pernafasan
para pekerja (Ventilation).

Cara basah, digunakan untuk mengendalikan dispersi debu yang mengotori lingkungan
kerja dengan mengg,unakan air atau bahan-bahan basah lainnya. Cara ini banyak
digunakan di dalam industri-industri kecil misalnya kayu, peleburan logam, asbes (Wet
methods)
Pemeliharaan dan kebersuhan ruang dan peralatan penting untuk diperhatikan termasuk
kebersihan di tempat kerja dan mesin-mesin , pembuangan sampah yang adekuat dan
kontribusi terhadap upaya mempertahankan pemeparan yang rendah terhadap zat-zat
kimia dan debu (Good housekeeping and maintenance).

3.2. Pengendalian Perorangan (Personal Control Measures)

MFK, dr Panudju, RSRP


Penerapan cara kerja yang baik meliputi disain prosedur kerja yang spesifik untuk
mengurangi sebanyak mungkin penyebaran dan/atau pemeparan terhadap zat/bahan
berbahaya di lingkungan kerja merupakan pendekatan yang tepat untuk melindungi para
pekerja. Proses kerja dan bayhaya kesehatan yang berhubungan harus dipelajari dengan
seksama untuk menetapkan jenis pemaparan yang disebabkan oleh kelalaian atau
kesalahan pekerja, prosedur kerja apa yang bisa diubah serta bagaimana caranya, agar
supaya bahay/risiko dapat dikurangi (Work practices)

Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk melindungi


pekerja dari bahaya kesehatan. Namun perlu diperhatikan bahwa alat pelindung
perorangan harus sesuai dan adekuat untuk bahaya tertentu, resisten terhadap
kontaminan-kontaminan udara, dibersihkan dan dipelihara dengan baik, serta sesuai
untuk pekerja yang memakainya. Untuk alat tertentu seperti alat pelindung pernafasan,
sumbat/tutup telinga, pakaiab kerja kedap air, dan lain-lain mungkin tidak nyaman untuk
di pakai terutama di cuaca yang panas. Jadi mungkin diperlukan pengurangan jam kerja
paling tidak pada waktu-waktu yang memerlukan pemakaian alat pelindung tersebut
(Personal protective equipment)

Pembatasan waktu selama bekerja terpapar terhadap zat tertentu yang berbahaya dapat
menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan dilingkungan kerja. Hal ini dapat dicapai
melalui penerapan cara kerja, rotasi pekerja atau pengendalian administratif.
Pengendalian administratif merupakan prosedur yang memungkinkan dilakukan
penyesuaian jadwal kerja untuk mengurangi pemaparan (Limitation of the exposure
time).

Kebersihan perorangan yang meliputi kebersihan diri dan pakaiannya, merupakan hal
yang penting, terutama untuk pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan
bahan kimia serta partikel lain. Disanping itu terdapat hal lain yang penting untuk
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan para pekerja yaitu pemeriksaan kesehatan
sebelum kerja, penempatan kerja yang adekuat, pemeriksaan kesehatan berkala termasuk
pemanyauan biologis dari penemuan dini gangguan kesehatan, disamping pendidikan
kesehatan untuk pekerja dan manajemen, serta penerapan prinsip-prinsip keselamatan dan
ergonomik di lingkungan kerja (Personal hygiene)

Walaupun demikian, teknologi pengendalian lingkungan kerja dan pengendalian


kesehatan serta aspek-aspek lainnya harus terintergrasi dalam program yang menyeluruh
dan bukan merupakan kegiatan yang berjalan sendiri-sendiri. Pengendalian lingkungan
kerja secara efisien terhadap pemaparan zat/bahan yang membahayakan memerlukan
pendekatan muti disiplin dimana ilmu kesehatan dan lingkungan bahu-membahu satu
sama lain untuk menvegah efek kesehatan yang tidak diinginkan di tempat kerja.

4. Keracunan Bahan Kimia Dalam Proses Produksi

Sebagian besar dari bahaya di lingkungan kerja diakibatkan oleh terhirupnya berbagai
jenis zat kimia dalam bentuk uap, gas, debu, dan aerosol, atau kontak kulit dengan zat-zat
tersebut. Tingkat risiko yang diakibatkan tergantung dari besar, luas dan lama pemaparan.

MFK, dr Panudju, RSRP


Penggunaan bahan kimia di dalam industri makin hari makin meningkat. Walaupun zat
kimia yang sangat toksik sudah dilarang dan dibatasi pemakainnya, pemaparan terhadap
zat kimia yang dapat membahayakan tidak dapat dielakan dalam lingkungan kerja.
Karena itu proteksi dan sikap hati-hati terhadap xeno-biotik, (yaitu semua jenis zat kimia
yang dipakai manusia dan potensian dapat masuk ke dalam tubuh) perlu ditingkatkan.

Untuk mengenal fakto-faktor lingkungan kerja, pertama-tama harus diketahui dahulu


bahan kimia yang digunakan sebagai bahan baku, proses produksi, dan hasil sampingan
serta limbah yang dihasilkan. Sebagian dari informasi tersebut didapat dari label kemasan
bahan tersebut, dari produsennya, atau dari pustaka dalam bentuk Material Safety Sheet
(MSDS)

BAB VIII

KESEHATAN KERJA PETUGAS DI RUMAH SAKIT

Kiprah pembangunan kesehatan pada saat ini sudah mulai beralih dari upaya pelayanan
kesehatan kuratif kearah preventif dan promotif.

MFK, dr Panudju, RSRP


Seluruh jajaran pekerja rumah sakit mulai dari pimpinan, petugad medis, paramedis
sampai pekerja didapur merupakan subyek yang harus peduli dan tanggap terhadap
kualitas pelayanan jasa RS yang dihasilkan secara keseluruhan.

Kondisi lingkungan kerja di rumah sakit di masa mendatang akan berkembang secara
mekanik, otomatis, kimiawi dengan teknologi canggih yang dapat berpengaruh langsung
terhadap kesehatan.

Penerapan ilmu pengetahuaan dan teknologi membutuhkan tenaga ahli dan terampil.
Tanpa tenaga kerja yang berkualitas, maka kesehatan yang makin canggih justru dapat
menimbulkan kesulitan.

Pekerja yang ada di sarana kesehatan sangat bervariasi baik jenis maupun jumlahnya,
sesuai dengan fungsi sarana kesehatan tersebut. Masyarakat pekerja di rumah sakit dalam
melaksanakan tugasnya selalu berhubungan dengan berbagai bahaya potensial yang bila
tidak di antisipasi dengan baik dan benar dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
keselamatan dan kesehatannya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas
kerjanya.

Masalah Kesehatan Kerja di rumah sakit

Kinerja dari pekerja merupakan resultante dari 3 komponen kesehatannya, yaitu kapasitas
kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan pada
pekerja. Bila ke 3 komponen tersebut serasi, maka dapat dicapai suatu derajat kesehatan
yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak sesuaian
dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan akibat
kerja yang dapat menurunkan produktivitas

Kapasitas Kerja

MFK, dr Panudju, RSRP


Beban kerja Lingkungan Kerja

Kinerja Pekerja

Skema beban kerja, kapasitas kerja dan lingkungan kerja.

 Kapasitas Kerja
Kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih sangat rendah, hal ini tercermin
dalam pendidikan pencari kerja. Studi menunjukkan 30-49 % angkatan kerja
kurang kalori dan protein, 30 % menderita anemia gizi dan 35 % kekurangan besi
tanpa anemia.
 Beban Kerja
Pelayanan rumah sakit menuntut adanya pola kerja bergilir / tugas jaga malam.
Tenaga yang bertugas jaga malam dapat mengalami kelelahan yang meningkat
akibat terjadinya perubahan bioritmik.
 Lingkungan Kerja
Lingkungan kegiatan rumah sakit dapat mempengaruhi kesehatan kerja dalam 2
bentuk yaitu kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

1. Kecelakaan Kerja di Rumah Sakit

Bahaya kecelakaan yang ada di lingkungan rumah sakit dapat dijabarkan


dalam setiap tempat dan proses antara lain :
- Terpeleset, tersengat listrik, terjepit pintu
- Di tangga : terpeleset, tersandung, terjatuh
- Di lift : terjepit, terjebak karena listrik mati
- Di ruang rawat jiwa : dianianya pasien
- Di kamar bedah : tertusuk jarum/pisau bedah, gas anesthesi meledak
- Di dapur : luka bakar, luka karena pisau

MFK, dr Panudju, RSRP


- Di binatu : luka bakar, luka tertusuk jarum yang terbawa dicucian, pesawat
uap meledak
- Di farmasi/ laboratorium : alergi, keracunan, luka bakar kimia, ledakan
dan kebakaran
- Di instalasi pemeliharaan sarana : luka bakar, luka sayat, keracunan
karbon mono oksida
- Di instalasi listrik, diesel, genset, penyalur petir, peralatan listrik potensi
tersengat listrik dan kebakaran
- Di instalasi uap (ketel uap, bejana uap, autoclafe) : bahaya kebocoran,
keracunan, peledakan dan kebakaran
- Risiko kebakaran
Tersedianya sarana pemadam kebakaran yang memadai sangat penting
bagi keselamatan masyarakat rumah sakit.
Pencegahan kebakaran perlu direncanakan sejak tahap disain pembuatan
rumah sakit, emergency exit (jalan keluar darurat) harus ada dan dalam
keadaan selalu siap pakai

2. Penyakit Akibat kerja

Penyakit akibat kerja di rumah sakit umumnya berkaitan dengan faktor


biologis (kuman patogen yang umumnya berasal dari pasien), faktor kimia
(antiseptik pada kulit, gas aaesthesi), faktor ergonomik (cara duduk yang
salah, cara mengangkat pasien salah), faktor fisik dalam dosis kecil dan terus
menerus (panas pada kulit, radiasi pada sistem reproduksi/pemproduksi
darah), faktor psikososial (ketegangan dikamar bedah, penerimaan pasien
gawat darurat, bangsal penyakit jiwa)

a. Faktor Biologis

Penyakit infeksi masih mendominasi penyebab masalah kesehatan


masyarakat sehingga tenaga kerja di rumah sakit merupakan kelompok
masyarakat yang selalu kontak dengan sumber infeksi (bakteri, jamur,
virus, protozoa dll)
Virus HIV dan Hepatitis B dapat disebarkan melalui darah dan sekreta
sebagai akibat kecelakaan kecil di pekerjaannya. Juga dapat terjadi
berkembang biaknya strain kuman yang resisten terutama kuman
pyogenik, colli, bacil dan staphylocci dengan sumber penularan pasien dan
benda yang terkontaminasi.

MFK, dr Panudju, RSRP


Studi mengenai nosokomial di AS tahun 1971-1979 oleh Nasional
Nosokomial Infection Study menunjukkan 5 % penderita rawat inap di
rumah sakit kena infeksi nosokomial.
Dokter/tenaga medis di rumah sakit mempunyai risiko terkena infeksi 2
sampai 3 kali lebih besar daripada dokter praktek swasta. Petugas
binatu/loundry yang menangani linen kotor senantiasa kontak dengan
bahan dan menghirup udara yang tercemar kuman patogen. Linen dapat
dicemari berbagai bahan antara lain darah, bahan kimia, debu beracun
bahkan isotop radioaktif sehingga menimbulkan risiko keracunan atau
terkena infeksi
Penelitian bakteriologis terhadap bagian loundry rumah sakit
menunjukkan bahwa jumlah total bakteri meningkat lima puluh kali
selama periode waktu sebelum bahan cucian tadi mulai diproses.

b. Faktor Kimia

Kontak pekerja rumah sakit dengan bahan kimia dan obat-obatan yang
dipakai di rumah sakit dapat memberikan dampak negatif terhadap
kesehatannya; dermatosis kontak merupakan 95 % dari seluruh dermatosis
akibat kerja.
Pemaparan dengan antiseptik dalam waktu lama dapat menyebabkan
dermatitis, eczema, alergi dan sebagainya. Formaldehid merupakan
komponen dari banyak antiseptik dan desinfektans untuk mensterilkan alat
seperti sarung tangan karet. Zat ini bersifat karsinogenik (Suspected
Human Carcinogen, ACGIH, 1994)
Penelitian MJ Saurel dan kawan-kawan pada perawat wanita di Paris
menemukan adanya hubungan yang bermakna antara kehamilan ektopik
pada perawat wanita dengan pemaparan terhadap obat anti neoplasma.

Penelitian pada 557 perawat wanita di 18 rumah sakit di Paris dengan


kontrol 556 perawat wanita pada tahun 1986/1987 menyimpulkan adanya
hubungan kausal antara pemaparan terhadap gas anaesthesi dengan gejala
neuropsikologis antara lain berupa enek, kelelahan, kesemutan, kram pada
lengan dan tangan.

c. Faktor Ergonomi

Sebagian besar tenaga di rumah sakit bekerja dalam posisi yang tidak
ergonomis, misalkan operator peralatan medis.
Peralatan medis yang digunakan di rumah sakit pada umumnya barang
import. Posisi tubuh yang salah atau tidak alamiah, apalagi dalam sikap

MFK, dr Panudju, RSRP


paksa dapat menimbulkan kesulitan dalam melakukan kerja, mengurangi
ketelitian, menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang
efisien.
Keadaan ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan fisik dan
psikologi; keluhan yang paling sering: low back pain.

Dari hasil penelitian pada 1505 tenaga kerja wanita di rumah sakit di Paris
tahun 1986 :
Penyebab utama cuti sakit
- Gangguan muskuloskeletal ( 16 % ) dimana 47 % dari gangguan
tersebut berupa nyeri didaerah tulang punggung dan pinggang.
- Karakteristik kondisi kerja di rumah sakit yang menyebabkan
gangguan muskulo skeletal adalah :

*berdiri lebih dari 6 jam


*membungkuk lebih dari 10 kali/jam
*melakukan beberapa sikap paksa.

d. Faktor Fisik

Faktor fisik di rumah sakit yang dapat menimbulkan masalah kesehatan


kerja meliputi : kebisingan dan getaran diruang generator, pencahayaan
yang kurang, suhu dan kelembaban yang tinggi dan radiasi.

MFK, dr Panudju, RSRP


BAB IX

SISTIM MANAJEMEN K3 RUMAH SAKIT

A. Komitmen dan kebijakan

Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah
dimenggerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS. Manajemen RS
mengidentifikasikan dan menyedi akan semua sumber daya esensial seperti
pendanaan, tenga K3 dan sasaran untuk terlaksanakannya program K3 di RS.
Kebijakan K3 di RS diwujudkan dalam bentuk wadah K3 RS dalam struktur
organisasi RS.

Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 RS, perlu disusun strategi antara
lain:
1. Advokasi sosialisasi program K3 RS.
2. Menetapkan tujuan yang jelas.
3. Organisasi dan penugasan yang jelas.
4. Meningkatkan SDM professional di bidang K3 RS pada setiap unit kerja di
lingkungan RS.
5. Sumberdaya yang harus didukung oleh manajemen puncak.
6. Kajian risiko secara kualitatif dan kuantitatif.
7. Membuat program kerja K3 RS yang menggutamakan upaya peningkatan dan
pencegahan.
8. Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala.

MFK, dr Panudju, RSRP


B. Perencanaan

RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan penerapan


sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan K3
di RS dapat mengacu pada standart Sistem Manajemen K3 RS diantaranya self
assessment akreditasi K3RS dan SMK3.

Perencanaan meliputi:
1. Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan penggendalian faktor resiko. RS harus
melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta pengendalian
faktor resiko.

a. Identifikasi sumber bahaya


Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
 Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya.
 Jenis kecelakan dan PAK yang memungkinkan dapat terjadi.
Sumber bahaya yang ada di RS harus diidentifikasi dan dinilai untuk
menentukan tingkat resiko yang merupakan tolak ukur kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan PAK.

Tabel: Bahaya Kesehatan Yang Berkaitan Dengan Lokasi


dan Pekerjaan di rumah sakit

No Bahaya Lokasi Pekerjaan yang paling berisiko


Potensial
1 FISIK:
Bising IPS-RS, laundry, dapur, CSSD, gedung Karyawan yang berkerja di lokasi tsb
genset-boiler, IPAL

Getaran Ruang mesin-mesin dan peralatan yang Perawat, cleaning service dll
Menghasilkan getaran (ruang gigi dll)

Debu Genset, bengkel kerja, laboratorium gigi, Petugas sanitasi, teknisi gigi, petugas
gudang rekam medis, incinerator IPS dan rekam medis

Panas CSSD, dapur, laundry, incinerator, boiler Pekerja dapur, pekerja laundry,
petugas sanitasi dan IP-RS

Radiasi X-Ray, OK, yang menggunakan C-arm, Ahli radiologi, radioterapi, dan
ruang fisioterapi, unit gigi radiographer, ahli fisioterapi dan
petugas roentgen gigi.

2 KIMIA:
Disinfektan Semua area Petugas kebersihan, perawat

Cytotoxics Farmasi, tempat pembuangan limbah, Pekerja farmasi, perawat, petugas


bangsal penggumpul sampah

Ethylene oxide Kamar operasi Dokter, perawat

MFK, dr Panudju, RSRP


Formaldehyde Laboratorium, kamar mayat, gudang Petugas kamar mayat, petugas
farmasi laboratorium dan farmasi

Metyl: Petugas/dokter gigi, dokter bedah,


Methacrylate, Hg Ruang pemeriksaan gigi perawat
(amalgam)
Solvents Laboratorium, bengkel kerja, semua area Teknisi, petugas laboratorium, petugas
di RS pembersih

Gas-gas anastesi Ruang operasi gigi, OK, ruang pemulihan Dokter gigi, perawat, dokter bedah,
(RR) dokter/perawat anastesi

3 BIOLOGIK:
AIDS, Hepatitis B IGD, kamar Operasi, ruang pemeriksaan Dokter, dokter gigi, perawat, petugas
Dan Non A-Non B gigi, laboratorium, laundry laboratorium, petugas sanitasi dan
laundry

Cytomegalovirus Ruang kebidanan, ruang anak Perawat, dokter yang berkerja di


bagian ibu dan anak

Rubella Ruang ibu dan anak Dokter dan perawat

Tuberculosis Bangsa, laboratorium, ruang isolasi Perawat, petugas laboratorium,


fisioterapi

4 ERGONOMIK:
Pekerjaan yang
dilakukan secara Area pasien dan tempat penyimpanan Petugas yang menaggani pasien dan
manual barang (gudang) barang

Postur yang salah


dalam melakukan Semua area Semua karyawan
pekerjaan

Dokter gigi, petugas pembersih,


Pekerjaan yang Semua area fisioterapis, sopir, operator computer,
berulang yang berhubungan dengn pekerjaan
juru tulis

5 PSIKOSOSIAL:
Sering kontak
Dengan pasien,
kerja bergilir, kerja Semua area Semua
berlebihan,
ancaman secara fisk

a. Penilaian faktor risiko


Adalah proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan
melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan
dan keselamatan.

b. Pengendalian faktor risiko


Dilaksanakan melalui 4 tingkatan pengendaliaan risiko yakni menghilangkan
bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana/peralatan lain yang

MFK, dr Panudju, RSRP


tingkat risikonya lebih rendah/tidak ada [enginering/rekayasa ], administrasi
dan alat pelindung pribadi [APP].

1. Membuat peraturan

RS harus membuat,menetapkan dan melaksanakan standar operasional


prosedur[SOP] sesuai dengan peraturan perundangan dan ketentuan
mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP ini harus dievaluasi,diperbaharui
dan harus dikomunikasikan serta disosialisasikan pada karyawan dan
pihak terkait.

2. Tujuan dan sasaran

RS harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan,bahaya


potensian dan risiko K3 yang bias diukur,satuan/indicator
pengukuran,sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian[SMART]

3. Indikator kinerja

Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang


sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian
SMK3RS

4. Program K3

RS harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS,untuk mencapai


sasaran harus ada monitoring,evaluasi dan dicatat serta dilaporkan.

C. Pengorganisasian

Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab


manajemen dan petugas,terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja
sama dalam pelaksanaan K3.Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui
adanya aturan yang jelas.Pola pembagiaan tanggung jawab,penyuyluhan kepada
semua petugas,bimbingan dan latihan serta penegakan disiplin.Ketua
organisasi/satuan pelaksana K3RS secara spesifik harus mempersiapkan data dan
informasi pelaksanaan K3 di semua tempat kerja,merumuskan permasalahan
serta menganalisa penyebab timbulnya masalah,jalan pemecahannya dan
mengkomunikasikannya kepada unit – unit kerja,sehingga dapat dilaksanakan
dengan baik,Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan
program,untuk menilai sejauh mana program yang dilaksanakan telah
berhasil.Kalau masih terdapat kekurangan,maka perlu diindentifikasi
penyimpangannya serta dicara pemecahannya.

MFK, dr Panudju, RSRP


1. Tugas dan fungsi organisasi/unit pelaksana K3RS

a. Tugas pokok :
 Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS mengenai
masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
 Merumuskan kebijakan,peraturan,pedoman,petunjuk pelaksanaan dan
prosedur..
 Membuat program K3RS
b. Fungsi
 Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
 Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya promosi
K3,pelatihan dan penelitian K3 di RS.
 Pengawasan terhadap pelaksanaan program.
 Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan korektif.
 Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.
 Memberi nasehat tentang manajemen K3 di tempat kerja,kontrol bahaya,
mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.
 Investigasi dan melaporkan kecelakaan dan merekomendasikan sesuai
kegiatannya.
 Berpatisipasi dalam perencanaan pembeliaan peralatan baru, pembangunan
gedung dan proses.

2. Struktur organisasi K3RS

Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur dan bukan merupakan kerja


rangkap.

Keanggotaan :

 Organisasi/unit pelaksana K3RS beranggotakan unsur-unsur dari petugas


dan jajaran direksi RS
 Organisasi/unit pelaksana K3RS terdiri sekurang-kurangnya Ketua,Seketaris
dan anggota.Organisasi/unit pelaksana K3RS dipimpin oleh ketua.
 Pelaksana tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan seketaris serta anggota.
 Ketua organisasi/unit pelaksana K3RS sebaiknya adalah salah satu
manajemen tertinggi di RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah
langsung direktur RS.
 Sedang seketaris organisasi/unit pelaksana K3RS adalah seorang tenaga
professional,yaitu manajer K3RS atau ahli K3.

3. Mekanisme kerja

Ketua organisasi/unit pelaksana K3RS memimpin dan mengorganisasikan


kegiatan organisasi/unit pelaksana K3RS. Seketaris organisasi/unit pelaksana

MFK, dr Panudju, RSRP


K3RS memimpin dan mengorganisasikan tugas-tugas keseketariatan dan
melaksanakan keputusan organisasi/unit pelaksana K3RS.

Anggota organisasi/unit pelaksana K3RS mengikuti rapat organisasi/unit


pelaksana K3 RS dan melakukan pembahasan atas persoalan yang diajukan
dalam rapat, serta melaksanakan tugas – tugas yang diberikan organisasi/ unit
pelaksana K3 RS.

Untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,organisasi/unit


pelaksana K3RS mengumpulkan data dan informasi mengenai pelaksanaan
K3RS.Sumber data antara lain dari bagian personalia meliputi angka
sakit,tidak hadir tanpa keterangan,angka kecelakaan,catatan lama sakit dan
perawatan RS,khususnya yang berkaitan dengan akibat kecelakaan.Dan
sumber yang lain bisa dari tempat pengobatan RS sendiri antara lain jumlah
kunjungan,P3K dan perlu tindakan medik karena kecelakaan,rujukan ke RS
bila pengobatan lanjutan dan lama perawatan dan lama berobat.Dari bagian
tehnik bisa didapat data kerusakan akibat kecelakaan dan biaya,informasi juga
dikumpulkan dari hasil monitoring tempat kerja dan lingkungan kerja
RS,terutama yang berkaitan dengan sumber bahaya potensial baik yang
berasal dari kondisi berbahaya maupun tindakan berbahaya serta data dari
bagian K3 berupa laporan pelaksanaan K3 dan analisisnya.

Data dan informasi dibahas dalam organisasi/unit pelaksana K3RS. Untuk


menemukan penyebab masalah dan merumuskan tindakan korektif maupun
tindakan preventif.Hasil rumusan disampaikan dalam bentuk rekomendasi
kepada direktur RS.Rekomendasi berisi saran tindak lanjut dari organisasi
satuan pelaksana K3RS serta alternatif-alternatif pilihan serta perkiraan
hasil/konsekuensi setiap pilihan.

Organisasi/unit pelaksana K3RS membantu melakukan upaya promosi di


lingkungan RS baik pada petugas,pasien maupun pengunjung,yaitu mengenai
segala upaya pencegahan KAK dan PAK di RS.Juga bisa diadakan lomba
pelaksanaan K3 antar bagian atau unit kerja yang ada di lingkungan kerja
RS,dan yang terbaik atau terbagus pelaksanaan dan penerapan K3 nya
mendapat reward dari direktur.

D. Langkah-langkah penyelenggaraan

Untuk memudahkan penyelenggaraan K3 di RS,maka perlu langkah-langkah


penerapannya yaitu :

Peningkatan
Berkelanjuta Kebijakan
n K3
MFK, dr Panudju, RSRP
Tinjauan
Ulang Perencanaan

Pengendalian Pelaksanaan

1. Tahap Persiapan

a.Menyatakan komitmen

Komitmen harus dimulai dari direktur utama/direktur RS [manajemen


puncak]. Pernyataan Komitmen oleh manajemen puncak tidak hanya dalam
kata-kata,tetapi juga harus dengan tindakan nyata,agar dapat diketahui oleh
seluruh staf dan petugas RS.

b.Menetapkan cara penerapan K3 di RS.

Bisa menggunakan jasa konsultan atau tanpa menggunakan jasa konsultan


jika RS memiliki personil yang cukup mampu untuk mengorganisasikan dan
mengarahkan orang’

c. Pembentukan organisasi/unit pelaksana K3RS

d. Membentuk kelompok kerja penerapan K3.

Anggota kelompok kerja sebaiknya terdiri atas seorang wakil dari setiap
unit kerja,biasanya manajer unit kerja.Peran tanggung jawab dan tugas
anggota kelompok kerja perlu ditetapkan. Sedangkan mengenai kualifikasi
dan jumlah anggota kelompok kerja disesuiakan dengan kebutuhan RS.

MFK, dr Panudju, RSRP


e. Menetapkan sumber daya yang diperlukan

Sumber daya disisni mencangkup orang [mempunyai tenaga


K3],sarana,waktu dan dana.

2. Tahap pelaksanaan

a. Penyuluhan K3 ke semua petugas RS

b. Pelatihan K3 yang disesuaikan dengan ke butuhan individu dan kelompok di


dalam organisasi RS.Fungsinya memproses individu dengan perilaku tertentu
agar berperilaku sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya sebagai
produk akhir dari pelatihan.

c. Melaksanakan program K3 sesuai peraturan yang berlaku diantaranya :


 Pemeriksaan kesehatan petugas [ prakarya,berkala dan khusus ].
 Penyediaan Alat Pelindung Diri dan keselamatan kerja.
 Penempatan pekerja pada pekerjaan yang sesuai kondisi kesehatan.
 Pengobatan pekerja yang menderita sakit.
 Menciptakan lingkungan kerja yang higienis secara teratur,melalui
monitoring lingkungan kerja dari hazard yang ada.
 Melaksanakan biological monitoring.
 Melaksanakan survailas kesehatan pekerja.

3. Tahap pemantauan dan evaluasi

Pada dasarnya pemantauan dan evaluasi K3 di RS adalah salah satu fungsi


manajemen K3RS yang berupa suatu langkah yang diambil untuk mengetahui
dan menilai sampai sejauh mana proses kegiatan K3RS itu berjalan,dan
mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu kegiatan
K3RS dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Pemantauan dan evaluasi meliputi :

a. Pencatatan dan pelaporan K3


 Pencatan semua kegiatan K3
 Pencatatan dan pelaporan KAK
 Pencatatan dan pelaporan PAK

Pencatatan dan pelaporan K3 telah terintergrasi ke dalam system


pelaporan RS .

b. Inspeksi dan pengujiaan.

Inspeksi K3 merupakan suatu kegiatan untuk menilai keadaan K3 secara


umum dan tidak terlalu mendalam .Inspeksi K3 di RS dilakukan secara

MFK, dr Panudju, RSRP


berkala,teutama oleh petugas K3RS sehingga kejadian PAK dan KAK
dapat dicegah sedini mungkin.Kejadian lain adalah pengujiaan baik
terhadap lingkungan maupun pemeriksaan terhadap pekerja berisiko
seperti biological monitoring [Pemantauan secara biologis ].

c. Melaksanakan audit K3.

Audit K3 yang meliputi falsafah dan tujuan,administrasi dan


pengelolaan,karyawan dan pimpinan,fasilitas dan peralatan,kebijakan dan
prosedur,pengembangan karyawan dan Tujuan Audit K3 :

 Untuk menilai potensi bahaya,gangguan kesehatan dan keselamatan.


 Memastikan dan menilai pengelolaan K3 telah dilaksanakan sesuai
ketentuan;
 Menentukan langkah untuk mengendalikan bahaya potensial serta
pengembangan mutu.

Perbaikan dan pencegahan didasarkan atas hasil temuan dari audit, identifikasi,
penilaian risiko direkomendasikan kepada manajemen puncak.

Tinjauan ulang dan peningkatan oleh pihak manajemen secara berkesinambungan


untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan

MFK, dr Panudju, RSRP


BAB X

PENUTUP

Pengelolaan K3 di RS penting artinya untuk meningkatkan lingkungan kerja RS


agar aman,sehat dan nyaman baik bagi karyawan ,pasien,pengunjung ataupun
masyarakat disekitar RS. Pengelolaan K3 di RS dapat berjalan dengan baik,bila
pimpinan puncak atau direktus RS punya komitmen yang tinggi terhadap jalannya
pelaksanaan K3 di RS.Selain itu perlu juga pemahaman ,kesadaran dan perhatian yang
penuh dari segala pihak yang terlibat di RS,sehingga apa yang diharapkan terhadap
penerapan K3 di RS bisa tercapai.

Untuk suksesnya pengelolaan K3 di RS,tidak terlepas dari upaya pemerintah


dalam membina terhadap setiap proses terhadap K3 di RS.Bisa dari sudut legislasi
ataupun dari penyediaan pedoman-pedomab baik tehnis K3 maupun strategi penerapan
K3 di RS.

MFK, dr Panudju, RSRP

Anda mungkin juga menyukai

  • Panen Lele
    Panen Lele
    Dokumen19 halaman
    Panen Lele
    ade frana wijaya
    Belum ada peringkat
  • Dasar Dasar Pajak
    Dasar Dasar Pajak
    Dokumen35 halaman
    Dasar Dasar Pajak
    ade frana wijaya
    Belum ada peringkat
  • Konsum en
    Konsum en
    Dokumen29 halaman
    Konsum en
    ade frana wijaya
    Belum ada peringkat
  • Pajak
    Pajak
    Dokumen47 halaman
    Pajak
    ade frana wijaya
    Belum ada peringkat
  • Cardiac Arrest
    Cardiac Arrest
    Dokumen33 halaman
    Cardiac Arrest
    ade frana wijaya
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    ade frana wijaya
    Belum ada peringkat