Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Limfatik


2.1.1 Anatomi Sistem Limfatik
Sistem limfatik adalah suatu sistem sirkulasi sekunder yang berfungsi
mengalirkan limfa atau getah bening di dalam tubuh. Selain sistem peredaran
darah, manusia juga mempunyai sistem peredaran getah bening (limfa) yang
keduanya berperan dalam sistem transportasi. Sistem limfatik berkaitan erat
dengan sistem peredaran darah. Sistem limfatik terdiri dari organ-organ
limfatik, yaitu sumsum tulang, tonsil, thymus, limpa (spleen), dan nodus limfa
yang dihubungkan oleh pembuluh limfa. Dalam organ dan pembuluh limfa
tersebut terdapat cairan limfa (getah bening). Dalam cairan limfa terdapat sel-
sel imun seperti sel darah putih dan limfosit yang melawan patogen dan sel
kanker (Azlina, 2004).
(1) Pembuluh limfatik
Struktur pembuluh limfa serupa dengan vena kecil, tetapi memiliki
lebih banyak katup sehingga pembuluh limfa tampaknya seperti rangkaian
petasan atau tasbih. Pembuluh limfa yang terkecil atau kapiler limfa lebih
besar dari kapiler darah dan terdiri atas selapis endotelium. Pembuluh
limfa bermula sebagai jalinan halus kapiler yang sangat kecil atau sebagai
rongga-rongga limfa di dalam jaringan berbagai organ. Pembuluh limfa
khusus di vili usus halus yang berfungsi sebagai absorpsi lemak
(kilomikron) disebut lacteal villi (Yanwirasti, 2010).
Pembuluh limfa berfungsi untuk mengangkut cairan untuk kembali
ke peredaran darah. Limfa sebenarnya merupakan cairan plasma darah
yang merembes keluar dari pembuluh kapiler di sistem peredaran darah
dan kemudian menjadi cairan intersisial ruang antarsel pada jaringan.
Pembuluh limfa dibedakan menjadi dua (Pearce, 2000), yaitu:
a. Pembuluh limfa kanan (duktus limfatikus dekster)
Pembuluh limfa kanan terbentuk dari cairan limfa yang berasal dari
daerah kepala dan leher bagian kanan, dada kanan, lengan kanan,
jantung, dan paru-paru yang terkumpul dalam pembuluh limfa.
Pembuluh limfa kanan bermuara di pembuluh balik (vena) di bawah
selangka kanan.
b. Pembuluh limfa kiri (duktus limfatikus toraksikus)
Pembuluh limfa kiri disebut juga pembuluh dada. Pembuluh limfa kiri
terbentuk dari cairan limfa yang berasal dari kepala dan leher bagian
kiri dan dada kiri, lengan kiri, dan tubuh bagian bawah. Pembuluh
limfa ini bermuara di vena bagian bawah selangka kiri.

Gambar 2.1 Pembuluh limfa

Peredaran limfa merupakan peredaran yang terbuka. Peredaran ini


dimulai dari jaringan tubuh dalam bentuk cairan jaringan. Cairan jaringan
ini selanjutnya akan masuk ke dalam kapiler limfa. Kemudian kapiler
limfa akan bergabung dengan kapiler limfa yang membentuk pembuluh
limfa yang lebih besar dan akhirnya bergabung menjadi pembuluh limfa
besar yaitu pembuluh limfa kanan dan kiri. Kurang lebih 100 ml cairan
limfa akan dialirkan oleh pembuluh limfa menuju vena dan dikembalikan
ke dalam darah.
(2) Organ limfatik
Organ limfatik dibedakan menjadi dua, yaitu organ limfatik primer
dan sekunder.
a. Organ limfatik primer
a) Sumsum tulang merah
Sumsum tulang merah merupakan jaringan penghasil limfosit. Sel-
sel limfosit yang dihasilkan tersebut akan mengalami
perkembangan. Limfosit yang berkembang di dalam sumsum
tulang akan menjadi limfosit B. Sedangkan limfosit yang
berkembang di dalam kelenjar timus akan menjadi limfosit T.
Limfosit-limfosit ini berperan penting untuk melawan penyakit.
b) Kelenjar thymus
Kelenjar thymus memiliki fungsi spesifik, yaitu tempat
perkembangan limfosit yang dihasilkan dari sumsum merah untuk
menjadi limfosit T. Timus tidak berperan dalam memerangi antigen
secara langsung seperti pada organ-organ limfoid yang lain. Untuk
memberikan kekebalan pada limfosit T ini, maka timus
mensekresikan hormon tipopoietin.
b. Organ limfatik sekunder
a) Nodus limfa
Berbentuk kecil lonjong atau seperti kacang dan terdapat di
sepanjang pembuluh limfa. Nodus limfa terbagi menjadi ruangan
yang lebih kecil yang disebut nodulus. Nodulus terbagi menjadi
ruangan yang lebih kecil lagi yang disebut sinus. Di dalam sinus
terdapat limfosit dan makrofag. Fungsi nodus limfa adalah untuk
menyaring mikroorganisme yang ada di dalam limfa. Kelompok-
kelompok utama terdapat di dalam leher, axial, thorax, abdomen,
dan lipatan paha.
b) Limpa
Limpa merupakan organ limfoid yang paling besar. Kelenjar yang
dihasilkan dari limpa berwarna ungu tua. Limpa terletak di
belakang lambung. Fungsi limpa antara lain membunuh kuman
penyakit, membentuk sel darah putih (leukosit) dan antibodi, serta
menghancurkan sel darah merah yang sudah tua.

c) Nodulus Limfatikus
Sekumpulan jaringan limfatik yang tersebar di sepanjang jaringan
ikat yang terdapat pada membran mukus yang membatasi dinding
saluran pencernaan, saluran reproduksi, saluran urin, dan saluran
respirasi. Beberapa bentuk nodulus limfatikus yaitu tonsil dan
folikel limfatik. Tonsil terdapat di tenggorokan. Folikel limfatik
terdapat di permukaan dinding usus halus. Letak nodulus
limfatikus sangat strategis untuk berperan dalam respon imun
melawan zat asing yang masuk dalam tubuh melalui pencernaan
atau pernafasan.

Gambar 2.2 Lokasi dan penyebaran pembuluh limfatik dan organ limfatik
dalam tubuh
2.1.2 Fisiologi Sistem Limfatik
Secara garis besar, sistem limfatik mempunyai fungsi (Gibson, 2008):
1. Aliran cairan interstisial
Cairan interestial yang menggenangi jaringan secara terus menerus yang
diambil oleh kapiler kapiler limfatik disebut dengan Limfa. Limfa mengalir
melalui sistempembuluh yang akhirnya kembali ke sistem sirkulasi. Ini dimulai
pada ekstremitas dari sistem kapiler limfatik yang dirancang untuk menyerap
cairan dalam jaringan yang kemudian dibawa melalui sistem limfatik yang
bergerak dari kapiler ke limfatik (pembuluh getah bening) dan kemudian ke
kelenjar getah bening. Getah bening ini disaring melalui benjolan dan keluar dari
limfatik eferen. Dari sana getah bening melewati batang limfatik dan akhirnya ke
dalam saluran limfatik. Pada titik ini getah bening dilewatkan kembali ke dalam
aliran darah dimana perjalanan ini dimulai lagi.
2. Produksi limfosit
Limfosit diproduksi dalam limfonodi dan mengalir sepanjang pembuluh
limfe ke dalam ductus thoracicus ke dalam darah.
3. Mencegah Infeksi
Sementara kapiler getah bening mengumpulkan cairan interstisial mereka
juga mengambil sesuatu hal lain seperti virus dan bakteri, ini terbawa dalam getah
bening sampai mereka mencapai kelenjar getah bening yang mana dirancang
untuk menghancurkan virus dan bakteri dengan menggunakan berbagai metode.
Pertama sel makrofag menelan bakteri, ini dikenal sebagai fagositosis. Kedua sel
limfosit menghasilkan antibodi, ini dikenal sebagai respon kekebalan tubuh.
Proses ini diharapkan akan berhubungan dengan semua infeksi yang berjalan
melalui getah bening tetapi sistem limfatik tidak meninggalkan ini di sana.
Beberapa sel Limfosit akan meninggalkan node dengan perjalanan di getah bening
dan memasuki darah ketika getah bening bergabung kembali, ini memungkinkan
untuk menangani infeksi pada jaringan lain.
Ini bukan satu-satunya daerah dimana perlawanan berlangsung, limpa juga
menyaring darah dengan cara yang sama seperti sebuah nodus yang menyaring
getah bening, sel B dan sel T yang bermigrasi dari sumsum tulang merah dan
Thymus yang telah matang pada limpa (Ada 3 jenis sel T yang menakjubkan, itu
adalah memori T sel yang dapat mengenali patogen yang telah memasuki tubuh
sebelumnya. Dan dapat menangani mereka dengan lebih cepat, sel T lainnya
disebut helper dan sitotoksik) yang melaksanakan fungsi kekebalan, sedangkan sel
makrofag limpa menghancurkan sel-sel darah patogen yang dilakukan oleh
fagositosis. Ada nodul limfatik seperti amandel yang menjaga terhadap infeksi
bakteri yang mana ini menggunakan sel limfosit. Kelenjar timus mematangkan sel
yang diproduksi di sumsum tulang merah. Setelah sel-sel ini matang, sel – sel ini
kemudian bermigrasi ke jaringan limfatik seperti amandel yang mana kemudian
berkumpul pada suatu wilayah dan mulai melawan infeksi. Sumsum tulang Merah
memproduksi sel B dan sel T yang bermigrasi ke daerah lain dari sistem getah
bening untuk membantu dalam respon kekebalan.
4. Pengangkutan Lipid
Jaringan kapiler dan pembuluh juga mengangkut lipid dan vitamin yang
larut lemak A, D, E dan K ke dalam darah, yang menyebabkan getah bening
berubah warna menjadi krem. Lipid dan vitamin yang diserap dalam saluran
pencernaan dari makanan dan kemudian dikumpulkan oleh getah bening pada saat
ini dikirimkan ke darah. Tanpa sistem limfatik kita akan berada dalam kesulitan,
memiliki masalah dengan banyak penyakit. Jaringan tubuh akan menjadi macet
dengan cairan dan sisa -sisa yang membuat kita menjadi bengkak. Kita juga akan
kehilangan vitamin yang diperlukan.

2.2 Definisi
Limfoma adalah neoplasma padat yang mengandung sel-sel asal
limforetiklar. Tumor-tumor ini mencakup tumor sistem imun, karena prinsip
komponen selulernya adalah limfosit. Organ limfofortikuler mencakup
limfonodus, limpa, sumsum tulang, hati dan submukosa saluran gastrointestinal
dan saluran pernapasan (Tambayong, 2010).
Limfoma Maligna merupakan beragam kelompok kanker klinis maupun
patologis dengan pembesaran yang tidak diketahui penyebabnya dan ditandai
dengan peningkatan limfosit, histosit, prekusornya (Daniels & Nicoll, 2012;
Mead, 2003). Perjalanan penyakit bermula dari nodus limfa namun dapat
mengenai jaringan limfoid di splen, saluran pencernaan, hati atau sumsum tulang.
Penyakit ini digolongkan berdasarkan derajat diferensiasi sel dan asal sel maligna
predominannya (Smeltzer et al, 2010).
Limfoma maligna merupakan penyakit keganasan primer dari jaringan
limfoid yang bersifat padat (solid), meskipun dapat menyebar secara sistemik
(Handayani & Haribowo, 2008).
Ada dua jenis Limfona Maligna, yakni HodgKin’s Disease (HD) dan Non
Hodgkin’s Lymphoma (NHL). HD dapat diketahui dari limfosit B yang mengalami
pembesaran abnormal, dan setelah dibiopsi terdapat sel Reed-Stenberg (sel
Hodgkin) (White, Duncan & Baumle, 2013). Sedangkan NHL termasuk dari
semua limfoma maligna yang tidak memiliki sel Reed-Stenberg, dan memiliki
lebih dari 12 subtipe (Winkleman, Workman, & Hausman, 2010).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi pasti dari kedua jenis limfoma tidak diketahui secara pasti
(Winkleman, Workman, & Hausman, 2010). Menurut Tambayong (2000) etiologi
dari limfoma maligna mencakup hereditas, pemajanan terhadap karsinogen
lingkungan, imunosupresi, dan pemajanan virus dan onkogenik. Faktor resiko
dari HD di antaranya penurunan imunitas tubuh dan infeksi dengan implikasi dari
penyakit yang disebabkan virus tertentu, yang paling banyak adalah infeksi
Epstein-Barr Virus (EBV) (Daniels & Nicoll, 2012; Mehta & Hoffbrand, 2005).
Sedangkan faktor resiko LNH adalah infeksi virus (EBV, Burkitt’s Limfoma/BL,
Human T-cell leukimia virus (HTLV-1), infeksi bakteri (contoh:
Helicobacterpylori), radiasi, obat tertentu (contoh: Phenytoin) atau terapi
immunosuppresant yang diberikan dalam jangka waktu yang lama, penyakit
autoimun (Sjorgen’s Syndrome, Rheumatioid Arthritis), dan penekan imun (AIDS,
post-transplantasi) (Daniels & Nicoll, 2012; Mehta & Hoffbrand, 2005).

2.4 Patofisiologi
2.3.1 Hodgkin’s disease (HD)
HD tumbuh pada satu nodus limfa atau sebuah rantai nodus yang
kemudian menyebar melalui sistem limfatik. Nodus limfa yang terinfeksi
mengandung sel Reed-Stenberg, yang mana dikelilingi oleh sel inflamasi asal.
Invasi HD tidak hanya pada nodus limfa, namun juga pada jaringan limfatik
ditubuh seperti liver, spleen, dan sumsum tulang. Invasi jaringan ini menentukan
prognosis dari penyakit. Pengkategorian derajat penyakit (staging) menggunakan
Ann Arbor Staging System ) (Daniels & Nicoll, 2012; White, Duncan & Baumle,
2013).
Keberadaan sel Reed-Stenberg merupakan penanda patologis dari
penyakit. Namun empat subtipe histologis dari Hodgkin’s disease (HD) telah
dikenal, yakni: lymphocyte predominanee, nodular selerosis, mixed cellularity,
dan lymphocyte depletion. Lymphocyte predominanee dan nodular selerosis
memiliki prognosis yang terbaik. Sedangkan lymphocyte depletion adalah yang
terburuk. Nodular selerosis adalah yang paling banyak muncul dengan lokasi
ditemukan paling umum di nodus supraclavicular dan cervical (White, Duncan &
Baumle, 2013).
Asal dari sel Reed-Stenberg masih tidak jelas, namun dimungkinkan sel ini
berasal dari limfosit sel B atau makrofag. Staging yang akurat sangat krusial
untuk menentukan regimen pengobatan yang akan digunakan, karena nya
prognosis paling penting ditentukan oleh ketepatan penentuan stage penyakit pada
saat diagnosis (White, Duncan & Baumle, 2013).
2.3.2 Non-Hodgkin’s Lymphoma (NHL)
Menyebar melalui pembuluh darah. NHL diklasifikasikan agresif atau
indolent. NHL yang agresif sangat cepet bertumbuh, sehingga pasien terlihat sakit
saat diagnosis. Karena penyakit biasanya terungkap pada stage awal, penanganan
lebih sesuai harapan. NHL yang agresif dibagi menjadi dua: tingkat intermediate
dan tingkat tinggi. Meskipun penanganannya berbeda, keduanya dapat diobati.
NHL yang indolent bertumbuh secara lambat, sehingga biasanya terlanjur
menyebar secara luas sebelum terdiagnosa. Bahkan setelah penanganan,
kebanyakan pasien dengan NHL indolent mengalami relaps (Daniels & Nicoll,
2012). Identifikasi yang akurat dari patologi histologi sangat krusial untuk
menentukan rencana tindakan. Satu klasifikasi memecah NHL menjadi limfositik,
histiositik, dan tipe sel campuran yang masing-masing dapat muncul secara
nodular atau berdisfusi pada pemeriksaan mikroskopis. Dibagi menjadi subdivisi
“favorable” dan “unfavorable” histology. Secara umum pola nodular dari
struktur sel lebih favorable prognosisnya daripada yang difusi. Sitologi limfositik
lebih favorable daripada histiositik, dan sel campuran berada ditengah-tengah
prognosisnya (White, Duncan & Baumle, 2013).
2.3.3 Staging Limfoma Malignant
Sistem staging menggunakan Ann Arbor Staging System. Ada yang
menyebutkan sistem ini hanya untuk tipe Hodgkin’s disease, namun ada juga yang
berpendapat dapat juga digunakan untuk yang Non-Hodgkin’s Limfoma.
Klasifikasinya antara lain (Mead, 2013):
Stage I : Area limfoid tunggal atau lokasi ekstra nodal tunggal
Stage II : Dua area limfoid atau lokasi ekstra nodal pada sisi diafragma
yang sama
Stage III : Area limfoid termasuk spleen pada dua sisi diafragma
Stage IV : Berdifusi melibatkan organ ekstranodal seperti : Liver dan
sumsum tulang

Tanda penyerta :
A : tanpa gejala
B : demam, berkeringat malam hari, BB turun 10% dalam 6 bulan
X : penyakit Bulky >1/3 lebar mediastinum
E : penyakit ekstra limfoid (paru-paru, kulit)
(Smeltzer et al, 2010)

2.5 Manifestasi Klinis


2.4.1 Hodgkin’s Disease (HD)
Pasien dengan Hodgkin’s Disease (HD) memiliki satu atau lebih
pembesaran nodus limfe tanpa nyeri dari obstruksi dan tekanan yang disebut
Lymphomadenopathy. Area yang paling umum ditemukan gejala ini adalah
servical dan subclavikula. Pembesaran nodus biasanya cukup tegas untuk dapat
dipalpasi dan pasien mungkin akan mengetahui kemunculan nodus tersebut bpada
salah satu sisi leher.
Nodus tidak akan nyeri ketika ditekan dan tegas namun tidak keras, selain
dua lokasi yang telah disebutkan diatas, juga terdapat lokasi lain seperti nodus
mediastinal. Pembesaran pada lokasi ini terkadang menekan trakea sehingga
menyebabkan dispnea (Daniels & Nicoll, 2012 ; Smeltzer et. Al, 2010).
Manifestasi sistemik dari Hodgkin’s Disease (HD) diantaranya : demam,
penurunan berat badan, berkeringat pada malam hari, pruritus, dan malaise.
Herpes zoster terkadang terlihat. Nyeri terkadang muncul, namun penyebabnya
tidak diketahui. Seluruh organ tubuh rentan terkena Hodgkin’s Disease (HD),
dengan manifestasunya masing-masing akibat penekanan tumor, misalnya :
a) Batuk dan efusi pulmuner akibatinfiltrasi ke paru-paru
b) Nyeri setelah minum alkohol
c) Jaundice akibat infiltrasi ke hepar dan obstruksi duktus empedu
d) Nyeri abdomen dari pembesaran spleen dan retroperitonial
adenopathy
e) Nyeri tulang dari infiltrasi ke tulang
f) Anemia ringan
g) Jumlah white blood cell (WBC) naik atau turun
h) Sakit kepala, perubahan mental dan penurunan aktivitas karena
infiltrasi ke sistem saraf pusat (Smeltzer et.al, 2010 ; Daniels &
Nicoll, 2012).
2.4.2 Non Hodgkin’s Lymphoma (NHL)
Pasien dengan Non Hodgkin’s Lymphoma (NHL) memiliki gejala yang
sangat bervariasi, sesuai dengan penyebab yang berbeda dari penyakitnya. Pada
umumnya di fase awal penyakit perjalanannya berlangsung lambat, tanpa gejala
atau sangat sedikit yang muncul, dan penyakit tidak terdiagnosis hingga fase
lanjut, ketika pasien mulai merasakan gejalanya. Pada tahap III dan IV,
lymphadenopathy dapat dikenali, disertai gejala “B” yaitu : demam, berkeringat
pada malam hari, dan penurunan berat badan 10% atau lebih.
Gejala yang muncul pada Non Hodgkin’s Lymphoma (NHL) gampir sama
dengan Hodgkin’s Disease (HD), dengan perbedaan pada lokal atau sistemik
pembesaran rantai nodus limfa di servical, aksila, inguinal, dan femoral. Selain itu
lebih banyak lokasi nodul perifer dengan lebih sering melokalisir kelompok
nnodus aksial tunggal. Beberapa orang juga memiliki lokasi ekstranodul untuk
infiltrasi seperti nasofaring, sistem pencernaan, tulang, tiroid, testis, dan jaringan
lunak, serta ada yang tumbuh dan retroperitonial dan abdominal (Smeltzer et.al,
2010 ; Daniels & Nicoll, 2012).

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosa pada Hodgkin’s Disease (HD) menggunakan biopsi dengan
eksisi pada nodus limfa untuk menemukan cel Read-Sternberg. Setelah diagnosa
terkonfirmasi dan jenis histologi telah diketahui diperlukan pemeriksaan lanjut
untuk menentukan tahap penyakit. Pemeriksaan X-Ray dada dan CT scan dada,
abdomen, dan pelvis sangat krusial untuk mengidentifikasi lymphadenopathy
pada area tersebut. Pemeriksaan laboratorium sepeti CBC test, jumlah platelet,
ESR, serta fungsi hepar dan renaldapat dilakukan untuk melihat efek dari
pembesaran dari pembesaran nodus limfa tersebut . tes CBC mengkaji sumsum
tulang untuk mengetahui tahap penyakit (Smeltzer et.al, 2010; Daniels & Nicoll,
2012).
Diagnosa Non Hodgkin’s Lymphoma masuk ke dalam kategori klasifikasi
kompleks tingkat tinggi berdasarkan histopatologi, immunofenotip, dan analisis
sitogenetik dari sel maligna. Pemeriksaan Non Hodgkin’s Lymphoma (NHL)
hampir sama dengan Hodgkin’s Disease (HD) dengan pengecualian tidak
ditemukan sel red sternberg pada biopsi nodus limfa , namun menunjukkan
infiltrasi dari sel B atau T yang malignan pada sistem limfa, dan untuk biopsi
sumsum tulang tulang ditemukan tipe sel folikular. Diagnosa Non Hodgkin’s
Lymphoma (NHL) terkadang juga membutuhkan analisis cairan cerebrospinal
(Smeltzer et.al, 2010 ; Daniels & Nicoll, 2012 ; Dibulio & Jacson, 2007).

2.7 Penatalaksanaan
2.6.1 Terapi Radiasi dan Kemoterapi
Penatalaksanaan Hodgkin’s Disease (HD) tergantung pada tahap penyakit.
Hodgkin’s Disease (HD) yang terlokalisir, tahap I dan tahap II, ditangani dengan
terapi radiasi. Paisen yang mengalami mediastinal masif dan yang mengalami
relaps setelah terapi radiasi secara terpisah dapat ditangani dengan terapi
kombinasi terapi radiasi dan kemoterapi. Pasien yang memiliki gejala “B”
memerlukan penanganan yang lebih intens. Selama terapi radiasi pasien mungkin
mengalami penurunan berat badan, nausea, dan vomiting, reaksi kulit, esofagitis,
fatigue, dan supresi susmsum tulang. Oleh karenanya diperlukan monitoring
komponen darah. Jika WBC rendah, pasien bisa infeksi, jika RBC dan platelet
turun, maka pasien bisa mengalami perdarahan.
2.6.2 Farmakologi
Penanganan farmakologis pada Hodgkin’s Disease difokuskan untuk
mencegah efek samping dari tatalaksana utama. Ondansentron HCl (zofran)
digunakan untuk mengurangi nausea dan vomiting. Analgetik digunakan untuk
ketidaknyamanan karena esofagitis. Kombinasi zofran, granisetron (kytril) dan
ranitidine (zatrax) diberikan sebelum dan setelah kemoterapi untuk mencegah
nausea. Allopurinol (zyloprim) diberikan untuk mencegah batu asam urat dan
renal karena pembedahan sel yang sangat cepat selama terapi (White, Duncan, &
Baumle, 2013).
2.6.3 Manajemen Nutrisi
Diet untuk Hodgkin’s Disease (HD) adalaah makanan tinggi kalori tinggi
protein dan mendorong pasien untuk minum minimal 2500 ml air per hari untuk
mencegah pembentukan batu renal. Istirahat yang cukup diperlukan untuk
menangani kelemahan terapi (White, Duncan, & Baumle, 2013).
Penanganan Non Hodgkin’s Lymphoma menggunakan penatalaksanaan
yang sama dengan Hodgkin’s Disease (HD) dengan jenis kemoterapi yang
berbeda. Jika penyakit tidak agresif dapat menggunakan terapi radiasi. Namun
jika pada tahap awal penyakit sudah agresif dapat menggunakan terapi kombinasi
kemoterapi. Bentuk yang lebih menengah bmenggunakan kombinasi kemoterapi,
dan radioterapi untuk tahap I dan II (Smeltzer et al, 2010).

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan
dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan
berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum
tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi
potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek
jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis
pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila
pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal
sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan
penurunan produksi saliva. Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa
abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan
anoreksia.
Komplikasi dapat terjadi pada LNH yang sudah mencapai stadium IV,
penyebaran limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ
lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru atau otak.

2.9 Prognosis
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent
Limfoma dan Agresif Limfoma. LNH memiliki prognosis yang relatif baik, dengan
median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium
lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma
agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat
disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Resiko
kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologik “divergen” baik
pada kelompok Indolen maupun Agresif.
1. Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh namun dapat hidup lama.
2. Derajat keganasan menengah: sebagian dapat disembuhkan
3. Derajat keganasan tinggi: dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila
tidak diobati.
2.10 Asuhan Keperawatan Umum
2.11.1 Pengkajian
A. Pengumpulan data
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku/kebangsaan, pendidikan, pekerjaan,
alamat, dana, nomor register, tanggal Masuk Rumah Sakit , diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Keluhan yang paling dirasakan adalah nyeri telan.
c. Riwayat penyakit sekarang
1. Alasan MRS
Menjelaskan riwayat penyakit yang dialami adalah pasien mengeluh nyeri
telan dan sebelum MRS mengalami kesulitan bernafas, penurunan berat
badan, keringat dimalam hari yang terlalu banyak, nafsu makan menurun
nyeri telan pada daerah lymphoma.
2. Keluhan waktu didata
Dilakukan pada waktu melakukan pengkajian yaitu keluhan kesulitan
bernafas, dan cemas atas penyakit yang dideritanya.
d. Riwayat kesehatan Dahulu
Riwayat Hipertensi dan Diabetes mielitus perlu dikaji dan riwayat pernah
masuk RS dan penyakit yang pernah diderita oleh pasien.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Terdapat riwayat pada keluarga dengan penyakit vaskuler: HT, penyakit
metabolik: DM atau penyakit lain yang pernah diderita oleh keluarga pasien.
f. ADL
1. Nutrisi
Perlu dikaji keadaan makan dan minum pasien meliputi : porsi yang
dihabiskan susunan menu, keluhan mual dan muntah, sebelum atau pada
waktu MRS, dan yang terpenting adalah perubahan pola makan setelah
sakit, terutama menyangkut dengan keluhan utama pasien yaitu kesulitan
menelan.
2. Istirahat tidur
Dikaji kebiasaan tidur siang dan malam, berapa jam sehari dan apakan ada
kesulitan waktu tidur dan bagaimana perubahannya setelah sakit klien
dengan LNH.
3. Aktifitas
Aktifitas dirumah atau dirumah sakit apakah ada kesenjangan yang berarti
misalnya pembatasan aktifitas, pada klien ini biasanya terjadi perubahan
aktifitas karena adanya limfoma dan penuruna aktifitas sosial karena
perubahan konsep diri.
4. Eliminasi
Mengkaji kebiasaan eliminasi alvi dan urin meliputi jumlah, warna,
apakah ada gangguan.
5. Personal Hygiene
Mengkaji kebersihan personal Hygiene meliputi mandi, kebersihan badan,
gigi dan mulut, rambut, kuku dan pakaian dan kemampuan serta
kemandirian dalam melakukan kebersihan diri.
6. Data Psikologi
Perlu dikaji konsep diri apakah ada gangguan dan bagaimana persepsi
klien akan penyakitnya terhadap konsep dirinya. Perlu dikaji karena
pasien sering mengalami kecemasan terhadfap penyakit dan prosedur
perawatan.
7. Data Sosial
Bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan bagaimana peran klien
dirumah dan dirumah sakit. Pada klien dengan LNH mungkin terjadi
gangguan interaksi sosial karena perubahan body image sehingga pasien
mungkin menarik diri.
8. Data Spiritual
Bagaimana persepsi klien terhadap penyakit dan hubungan dengan agama
yang dianut.
B. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breath)
Dispnea, takipnea, batuk non produktif, tanda-tanda distress pernapasan
(frekuensi dan kedalaman pernapasan meningkat, penggunaan otot bantu
pernapasan, stridor, sianosis) dan Parau (paralisis paringeal akibat tekanan
pembesaran kelenjar limfe terhadap saraf laringeal)
2. B2 (Blood)
Takikardia, disritmia, sianosis wajah akibat obstruksi drainase vena karena
pembesaran kelenjar limfe (jarang terjadi), ikterus sclera/umum akibat
kerusakan hati dan obstruksi duktus empedu (tanda lanjut), pucat (anemia),
diaphoresis, dan keringat malam.
3. B3 (Brain)
Nyeri saraf (neuralgia) yang menunjukkan terjadinya kompresi akar
saraf oleh pembesaran kelenjar limfe pada brakial, lumbal dan pleksus sacral
dan kelemahan otot, parastesi.
4. B4 (Bladder)
Nyeri tekan kuadran kanan atas, hepatomegali, nyeri tekan kuadran kiri atas,
splenomegaly, penurunan keluaran urin, warna lebih gelap/pekat, anuria
(obstruksi uretral, gagal ginjal), disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi
spinal cord pada gejala lanjut).
5. B5 (Bowel)
Pembengkakan pada wajah, leher, rahang, atau ekstremitas atas (kompresi
vena cavasuperior) dan edema ekstremitas bawah, asites (kompresi vena cava
inferior oleh pembesaran kelenjar limfe intradominal).
6. B6 (Bone)
Integritas kulit: kemerahan, pruritus umum, vitiligo (hipopigmentasi).

C. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a) Biopsi:
1. Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang
paling representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau
intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa:
a. Rutin:
Histopatologi: sesuai kriteria REAL-WHO
b. Khusus
Imunohistokimia
2. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup
hanya dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi,
maka kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain
(IHK, Flowcytometri dan lain-lain) mungkin mencukupi untuk diagnosis.
3. Tidak diperlukan penentuan stadium dengan laparotomy
b) Laboratorium:
1. Rutin
Hematologi:
a. Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED,
hitung jenis
b. Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah
Analisis urin: urin lengkap
Kimia klinik:
a. SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total,
albumin-globulin
b. Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin
c. Gula Darah Sewaktu
d. Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
e. HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)
2. Khusus
a. Gamma GT
b. Serum Protein Elektroforesis (SPE)
c. Imunoelektroforesa (IEP)
d. Tes Coomb
e. B2 mikroglobulin
c) Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina
illiaca dengan hasil spesimen 1-2 cm.
d) Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT Scan
thorak/abdomen. Bila hal ini tidak memungkinkan, evaluasi sekurang-
kurangnya dapat dilakukan dengan : Toraks foto PA dan Lateral dan USG
seluruh abdomen.
e) Konsultasi THT
Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi.
f) Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal)
Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin,
disamping pemeriksaan rutin lainnya.
g) Imunofenotyping
Minimal dilakukan pemeriksaan imunohitstokimia (IHK) untuk CD20 dan
akan lebih ideal bila ditambahkan dengan pemeriksaan CD45, CD3 dan CD56
dengan format pelaporan sesuai dengan kriteria WHO (kuantitatif).
h) Konsultasi jantung
Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung.

2.11.2 Diagnosa Keperawatan


1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan deformitas dinding dada akibat
penekanan trakea
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis penekanan abdomen
3) Nausea berhubungan dengan tatalaksana radioterapi
4) Hipertermi berhubungan dengan penyakit Non Hodgkin’s Lymphoma
5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya pruritus

2.11.3 Intervensi Keperawatan


1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan deformitas dinding dada akibat
penekanan trakea
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam status
respirasi adekuat
KH:
 RR terukur 4-5
 Irama nafas terukur 4-5
 Kedalaman nafas terukur 4-5
 Auskultasi suara nafas terkukur 4-5
Keterangan
1: Deviasi ringan dari rentang normal
2: Deviasi substansial dari rentang normal
3: Deviasi sedang dari rentang normal
4: Deviasi ringan dari rentang normal
5: tidak ada deviasi dari rentang normal
Intervensi Rasional
Manajemen jalan nafas: 2)
1. Posisikan pasien untuk dapat 1. Untuk memaksimalkan ekspansi paru
melakukan ventilasi secara pasien Ny
maksimal
2. Dorong untuk nafas pelan dan 2. Untuk memaksimalkan ekspansi paru
dalam pasien
3. Monitoring status respirasi dan 3. Untuk memantau oksigenasi klien
oksigen
4. Kolaborasi pemberian oksigen 4. Untuk membantu memperbaiki pola nafas
klien
5. Monitor kecepatan, ritme, 5. Untuk mengetahui keadekuatan
kedalaman dan usaha nafas pernapasan
6. Monitoring pola nafas pasien 6. Untuk mengetahui respirasi dan
keadekuatan oksigen
7. Auskultasi suara nafas. 7. Untuk memantau kepatenan jalan napas
eri akut berhubungan dengan agen cedera biologis penekanan abdomen
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam skala
nyeri berkurang
KH:
 Skala nyeri dalam rentang 4-5
 Reaksi non verbal klien dalam rentang 4-5
Keterangan
1: Deviasi ringan dari rentang normal
2: Deviasi substansial dari rentang normal
3: Deviasi sedang dari rentang normal
4: Deviasi ringan dari rentang normal
5: tidak ada deviasi dari rentang normal
Intervensi Rasional
Manajemen nyeri: 3)
1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri klien
menyeluruh meliputi lokasi, Na
durasi, kualitas, keparahan nyeri
dan faktor pencetus nyeri 2. Untuk mengetahui tingkat
2. Observasi ketidaknyaman non ketidaknyamanan dirasakan oleh
verbal klien
3. Agar nyeri yang dirasakan klien tidak
3. Ajarkan untuk teknik non bertambah.
farmakologi misal relaksasi,
terapi musik, distraksi 4. Pemberian “health education” dapat
4. Kendalikan faktor lingkungan mengurangi tingkat kecemasan dan
yang dapat mempengaruhi respon membantu klien dalam membentuk
pasien terhadap ketidaknyamanan mekanisme koping terhadap rasa
misal suhu, lingkungan, cahaya, nyeri
kegaduhan 5. Pemberian analgetik dapat
5. Kolaborasi: pemberian Analgetik mengurangi rasa nyeri klien
sesuai indikasi
usea berhubungan dengan tatalaksana radioterapi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam tidak
terjadi adanya mual dan muntah
KH:
 Pasien mengatakan tidak mual dari rentang 4-5
 Pasien mengatakan tidak muntah dari rentang 4-5
 Tidak ada peningkatan sekresi saliva dari rentang 4-5
Keterangan
1: Deviasi ringan dari rentang normal
2: Deviasi substansial dari rentang normal
3: Deviasi sedang dari rentang normal
4: Deviasi ringan dari rentang normal
5: tidak ada deviasi dari rentang normal
Intervensi Rasional
Manajemen nausea: 4)
1. Lakukan pengkajian lengkap rasa 1. Mengidentifikasi keefektifan intervensi
mual termasuk frekuensi, durasi, yang diberikan Hi
tingkat mual, dan faktor yang
menyebabkan pasien mual.
2. Evaluasi efek mual terhadap 2. Mengidentifikasi pengaruh mual
nafsu makan klien, aktivitas terhadap kualitas hidup klien.
sehari-hari, dan pola tidur klien
3. Anjurkan makan sedikit tapi 3. Memenuhi kebutuhan nutrisi klien dan
sering dan dalam keadaan hangat menegah mual
4. Anjurkan klien mengurangi
jumlah makanan yang bisa 4. Untuk menghindari terjadinya mual
menimbulkan mual.
5. Berikan istirahat dan tidur yang
adekuat untuk mengurangi mual 5. Untuk menghindari efek mual
6. Lakukan akupresure point P6 3
jari dibawah pergelangan tangan 6. Membantu mengurangi efek mual dan
pasien. menegah muntah
7. Lakukan selama 2-3 menit setiap
2 jam selama kemoterapi. 7. Menurangi mual dengan aksi sentralnya
8. Kolaborasi pemberian antiemetik: pada hipotalamus
ondansentron 4 mg IV jika mual 8. Mengurangi mual

pertermi berhubungan dengan penyakit Non Hodgkin’s Lymphoma


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam suhu
tubuh dalam batas normal
KH:
 Suhu tubuh dalam rentang 4-5
Keterangan
1: Deviasi ringan dari rentang normal
2: Deviasi substansial dari rentang normal
3: Deviasi sedang dari rentang normal
4: Deviasi ringan dari rentang normal
5: tidak ada deviasi dari rentang normal
Intervensi Rasional
Fever Treatment:
1. Monitor temperature dan TTV 1. Untuk mengetahui keadaan umum pasien
lainnya 2. Untuk membantu menurunkan panas
2. Kolaborasi pemberian antipiretik 3. Untuk memberikan kenyamanan dan
3. Anjurkan untuk bedrest dan membantu menurunkan panas
menggunakan baju dengan bahan
yang menyerap keringat 4. Untuk meurunkan suhu tubuh
4. Kompres di lipatan tubuh 5. Untuk mencegah dehidrasi akibat
5. Anjurkan untuk minum banyak peningkatan suhu tubuh
sesuai dengan kebutuhan cairan
pasien
5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya pruritus
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam integritas kulit
klien tidak memburuk.
KH:
 Lesi kulit pada skor 4-5
 Eritema pada skor 4-5
Keterangan:
1: Berat
2: Substansial
3: Sedang
4: Ringan
5: Normal
Intervensi Rasional
Manajemen pruritus:
1. Kaji penyebab dari pruritus 1. Untuk mengetahui penyebab dari
pruritus
2. Ganti dressing secara rutin 2. Untuk mencegah perburukan luka
3. Berikan krim atau lotion pada luka 3. Untuk memperbaiki luka
4. Observasi keadaan luka
4. Untuk mengetahui perkembangan fase
penyembuhan luka
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang kami dapat dari diskusi di atas adalah bahwa Limfoma Maligna
merupakan tumor yang muncul di nodus limfa dan dapat menyebar secara sistemik ke seluruh
jaringan limfatik, serta dapat pula mengenai organ-organ lain. Terdapat dua jenis limfoma
yakni Penyakit Hodgkin dan Limfoma Non-Hodgkin, di mana penyebab dari keduanya tidak
diketahui secara pasti. SNamun ada beberapa faktor risiko yang dapat memunculkan
limfoma, yakni paparan virus, obat-obatan, imunosupresan, bakteri, dan autoimun. Limfoma
maligna diberi tatalaksana sesuai dengan derajat penyakitnya, yang dihitung berdasarkan Ann
Arbor Staging System (AASS).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien Ny. M dengan Limfoma Malgina
Non-Hodgkin adalah: 1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan dyspnea akibat
penekanan tumor pada paru-paru; 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan faktor biologis mual dan muntah; 3) Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan penurunan imunologis. 4) Resiko infeksi berhubungan dengan luka post
operasi.
Setelah melalui perbandingan antara teori dan kasus, ada banyak teori yang muncul
pada kasus, terutama dalam kaitannya dengan gejala penyerta dari Limfoma Maligna seperti
lymphadenopathy atau pembersaran nodus limfa tanpa nyeri, Herpes Zoster, dan berkeringat
pada malam hari. Namun, ada juga beberapa gejala yang tidak muncul seperti demam dan
penurunan berat badan (karena tidak dapat dikaji). Keluhan utama pada kasus adalah muntah
yang tidak muncul di teori, karena pada kasus ada kemungkinan penyebaran
lymphadenopathy sehingga menimbulkan penekanan pada beberapa organ yang
menyebabkan keluhan utama berbeda dengan gejala yang muncul pada teori.

4.2 Saran
1. Bagi mahasiswa supaya memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada pasien
dengan penyakit Limfoma Maligna sesuai dengan perkembangan ilmu.

2. Bagi institusi agar dapat mengembangkan konsep asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit Limfoma Maligna

3. Bagi tenaga kesehatan agar menerapkan asuhan keperawatan yang tepat kepada
pasien dengan penyakit Limfoma Maligna sesuai dengan perkembangan ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Azlina, N 2004, Sistem Limfa, Majelis Amanah Rakyat, Kuala Lumpur.


Daniels, R & Nicoll, LN 2012, Contemporary Medical-Surgical Nursing, Delmar, USA
DiGulio, M & Jackson, D 2007, Medical-Surgical Nursing Demystified, The McGraw Hill,
New York
Gibson, John 2008, Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat, EGC, Jakarta
Mead, GM 2003, ABC of Clinical Haematology, BMJ Books, London
Mehta, AB & Hoffbrand, AV 2005, Haematology at a glance, Blackwell Publishing, Victoria
Monahan, FD et.al 2007, Phipp’s Medical Surgical NursingL Health and Illness Perspectives
8th ed, Mosby, Missouri
Pearce EC 2000, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, PT Gramedia, Jakarta.
Smeltzer, SC, Bare, BG & Hinkle, JL & Cheever, KH 2010, Brunner and Suddarth’s
Textbook of Medical Sugical Nursing 12th ed, Lippincot Williams & Wilkins,
Philadelphia
Yanwirasti 2010, Sistem Limfatik, FK Universitas Andalas, Padang.
White L, Duncan, O & Baumle, W 2013, Medical Surgical Nursing: An Integrated Approach,
Delmar, Australia
Winkelman, C, Workman, ML & Hausman, KA 2010, Medical Surgical Nursing, Saunders,
USA

Anda mungkin juga menyukai