Anda di halaman 1dari 16

REFLEKSI KASUS Januari 2016

“TONSILOFARINGITIS”

Nama : Ani Bandaso


No. Stambuk : N 111 16 008
Pembimbing : dr.Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2016

1
PENDAHULUAN

Faringitis merupakan salah satu Infeksi Respirasi Akut (IRA) atas yang
banyak terjadi pada anak. Istilah faringitis digunakan untuk menunjukkan semua
infeksi akut pada faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung
hingga 14 hari. Tonsilofaringitis biasa terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak
berusia di bawah 1 tahun. Insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya umur,
mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insidens
Tonsilofaringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia di
bawah 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dan perempuan.1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Gejala yang didapat berupa demam, nyeri tenggorokan, sakit
saat menelan. Pada pemeriksaan bagian tonsil didapatkan pembesaran tonsil dan
hiperemis. Pemeriksaan penunjang sebagai baku emas adalah pemeriksaan kultur
dengan spesimen apusan tenggorokan. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah. 2,3
Tatalaksana tonsilofaringitis meliputi terapi non-farmakoterapi dan
farmakoterapi. Non-farmakotrapi diberikan edukasi menjaga kesehatan utamanya
rongga mulut, mempertahankan hidrasi, istirahat yang cukup dan perlu pertimbangan
tonsilektomi sebagai tindakan bedah dengan memperhatikan indikasi bedah.
Farmakoterapi berupa pemberian antibiotik yang sesuai, analgesik dan antipiretik. 2,3
Perlu mempertimbangkan infeksi bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup
A yang dapat menyebabkan komplikasi meningitis, osteomielitis, demam reumatik,
atau glomerulonefritis. Komplikasi lain berupa rhinosinusitis, otitis media,
mastoiditis dan pneumonia. 1,3
Prognosis baik dengan pemberian terapi yang tepat. Sangat penting
memperhatikan pencegahan penyebaran hematogen yang dapat menimbulkan
komplikasi di organ dan lain dan menyebabkan prognosis buruk. 3

2
STATUS PASIEN

Identitas pasien
Nama : An. A
Umur : 5 thn 7 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal pemeriksaan : 24 November 2016

Anamnesis
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien anak laki-laki masuk rumah sakit tanggal 24 November 2016 dengan
keluhan demam hari ke-3. Panas yang dialami naik turun, panas membaik dengan
pemberian obat penurun panas di rumah, tetapi tidak berselang lama panas kembali
naik. Panas tidak disertai menggigil maupun kejang. Panas disertai dengan batuk
berlendir dan pilek tanpa sesak. Batuk berlendir dan pilek dialami sejak 3 hari yang
lalu bersamaan dengan panas yang muncul, lendir berwarna putih, Tidak ada muntah
saat batuk, panas juga disertai nyeri menelan dan nyeri tenggorokan yang dialami
sejak 3 hari yang lalu bersamaan dengan dimulainya panas. Mimisan (-), gusi
berdarah (-), nyeri kepala (-), nyeri sekitar mata (-), nyeri tulang (-), nyeri perut (-),
nafsu makan menurun diakibatkan sakit menelan, BAB biasa, BAK lancar.

Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Dalam satu tahun ini pasien belum mengalami keluhan batuk, sakit
tenggorokan. Dalam dua tahun terakhir juga pasien tidak mengalami keluhan serupa,
begitupula dalam tiga tahun terakhir. Hal ini merupakan keluhan yang pertama kali
dialami oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit di dalam keluarga pasien.

3
Riwayat makanan:
ASI Eksklusif 0-6 bulan
Bubur saring diberikan saat usia 6 bulan sampai 11 bulan
Makanan padat saat berusia 1 tahun

Riwayat sosial-ekonomi: menengah

Riwayat kebiasaan dan lingkungan:


Pasien sehari-hari beraktivitas di dalam maupun di luar rumah, pasien gemar jajan
somai dan es di sekolahnya.

Riwayat kehamilan dan persalinan :


Pasien merupakan anak kedua dari 4 bersaudara. Lahir normal, cukup bulan, lahir
langsung menangis, berat bayi lahir 2.800 gram.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Tingkat Kesadaran : Compos mentis
Tinggi Badan : 90 cm
Berat Badan : 15 Kg
Status Gizi : CDC score 93 % (Gizi baik)

Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu Badan : 40oC

Kulit : warna sawo matang, eritema (-), turgor < 2 detik, pucat (-)

4
Kepala : Bentuk : Normocephale
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, tebal,
alopesia (-)
Mata : Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Refleks cahaya : (+/+)
Cekung : (-/-)
Telinga : otorhea (-/-)
Hidung : rhinorrhea (+/+)
Mulut : sianosis (-), kering (-)
Lidah : lidah kotor (-)
Tonsil : T2-T2 hiperemis (+/+), ulcus (-/-)
Faring : hiperemis (+)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening : +/+
Toraks :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Ekspansi dada simetris bilateral
Palpasi : Fremitus vokal ka=ki
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Bronchovesikuler +/+, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midmclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I/II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar, kesan normal
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal

5
Perkusi : timpani (+), ascites (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), spleenomegali (-), ginjal
tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, edem (-)
Genitalia : Tidak ada kelainan
Skor validasi streptococcus pada dewasa atau anak:

Manifestasi klinis Skor


Demam (subjektif/objektif) 1
Tidak batuk 0
Adenopati cervical anterior lunak 1
Pembengkakan tonsil atau eksudat 1
Usia:
3-14 tahun 1
15-45 tahun -
>45 tahun -
Total skor 4

Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 12,8 11,5-16,5 g/dl
Leukosit 14,6 3,5-10,5 /ul
Eritrosit 4,74 3,8-8,5 Juta/ul
Hematokrit 35.3 35-52 %

Trombosit 276 150-450 Ribu/ul

6
RESUME
Pasien anak laki-laki masuk rumah sakit tanggal 24 November 2016 dengan
keluhan panas hari ke-3. Panas yang dialami naik turun, membaik dengan pemberian
obat penurun panas dirumah. Tidak ada menggigil maupun kejang. Panas disertai
dengan batuk berlendir dan pilek tanpa sesak. Tidak ada muntah saat batuk, nyeri
menelan (+), nyeri tenggorokan (+), mimisan (-), gusi berdarah (-), nyeri kepala (-),
nyeri sekitar mata (-), nyeri tulang (-), nyeri perut (-), nafsu makan menurun, BAB
biasa, BAK lancar.

Dari pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah : 90/60 mmHg, Nadi: 88


x/menit, Pernapasan : 24 x/menit, Suhu Badan : 40oC, tonsil : T2-T2 hiperemis (+/+),
ulcus (-/-), faring : hiperemis (+), pembesaran kelenjar getah bening (+/+). Pada
pemeriksaan laboratorium darah, didapatkan leukositosis.
Total skor validasi streptococcus: 4 (seharusnya dilanjutkan RADT).
Diagnosis kerja : Tonsilofaringitis
Anjuran Pemeriksaan Penunjang
- Kultur apusan tenggorokan
- RADT (Rapid Antigen Diagnostic Test)
Terapi :
 IVFD Dextrose 5% 14 tpm
 Inj. Ceftriaxon 350 mg/12 jam/IV
 Inj. Dexamethasone 2.5/8 jam/IV
 Paracetamol syr 4 x 1 1⁄2 cth

 Puyer batuk (Ambroxol 7.5 mg + CTM 1.5 mg) 3x1 pulv

Follow Up 25 November 2016


S: demam (-), batuk (+), pilek (+), nyeri tenggorokan (+) BAB biasa, BAK lancar
O: Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 102 kali/menit

7
Pernapasan : 22 kali/menit
Suhu badan : 37,3 oC
Tonsil: T2-T2 hiperemis (+/+), Faring hiperemis (+/+)

Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 12.8 11,5-16,5 g/dl
Leukosit 10,6 3,5-10,5 103/ul
Eritrosit 4,52 3,8-8,5 106/ul
Hematokrit 35.1 35-52 %
Trombosit 235 150-450 103/ul

A: Tonsilofaringitis
P:
 IVFD Dextrose 5% 14 tpm
 Inj. Ceftriaxon 350 mg/12 jam/IV
 Inj. Dexamethasone 2.5/8 jam/IV
 Paracetamol syr 4 x 1 1⁄2 cth (jika perlu)

 Puyer batuk (Ambroxol 7.5 mg + CTM 1.5 mg) 3x1 pulv

26 November 2016
S: demam (-), batuk (+), pilek (-), nyeri tenggorokan (-) BAB biasa, BAK lancar
O: Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu badan : 36,7 oC
Tonsil: T2-T2 hiperemis (-/-), Faring hiperemis (-/-)
A: Tonsilofaringitis

8
P:
 Cefadroxil syr 2 x 1 1⁄2 cth

 Puyer batuk (Ambroxol 7.5 mg + CTM 1.5 mg) 3x1 pulv


 Pasien diperbolehkan pulang dan rawat jalan ke poli.

9
DISKUSI

Salah satu faktor penyebab tonsilofaringitis dimana bakteri dan virus


penyebab dapat ditularkan melalui jalur droplet.2
Penyebab tonsilofaringitis karena bakteri :2
 SBHGA,
 M.pneumonia,
 Neisseria gonorrhea, dan
 Corynebacterium diphtheria
Penyebab tonsilofaringitis Virus :2
 HSV,
 EBV,
 Sitomegalovirus,
 Adenovirus
Perbedaan tonsilofaringitis yang disebabkan virus dan bakteri:

Pasien dengan tonsilofaringitis mengalami batuk, nyeri tenggorok, disfagia,


dan demam. Tonsilofaringitis merupakan salah satu infeksi pediatrik tersering. Pada
pemeriksaan klinis, pemeriksaan tenggorok menunjukkan adanya eritema, eksudat,
petekie palatina, tonsil membesar dan kadang limfadenopati servikal anterior.2

10
Manifestasi klinis dari tonsillitis akut ialah odinofagia, demam dan menggigil,
rasa kering pada faring, disfagia, otalgia, sakit kepala, malaise dan myalgia. Pada
faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada
faringitis Streptococcus. Gejala yang timbul dapat hilang dalam 24 jam, berlangsung
4-10 hari, jarang menimbulkan komplikasi dan memiliki prognosis yang baik. [1][2]
Faringitis Streptococcus sangat mungkin jika dijumpai tanda berikut[2]:
- Awitan akut, disertai mual dan muntah
- Faring hiperemis
- Demam
- Nyeri tenggorokan
- Tonsil bengkak dengan eksudasi
- Kelenjar getah bening anterior bengkak dan nyeri
- Uvula bengkak dan merah
- Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
- Ruam skarlatina
- Petekia palatum mole
Bila dijumpai gejala dan tanda berikut, maka kemungkinan besar bukan
faringitis Streptococcus[2]:
- Usia dibawah 3 tahun
- Awitan bertahap
- Kelainan melibatkan beberapa mukosa
- Konjungtivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
- Mengi, ronki di paru
- Eksantem ulseratif
Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Membrane tersebut dapat meluas dari batas anterior
tonsil hingga palatum mole dan/atau ke uvula. Pada anak diatas umur 2 tahun mulai
dengan keluhan nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Gejala-gejala ini dapat disertai

11
dengan demam setinggi 400C. Beberapa jam sesudah keluhan awal, tenggorokan
dapat menjadi nyeri. Anak dengan tonsillitis kronik memperlihatkan halitosis, nyeri
kronik pada tenggorok, sensasi benda asing di faring, dan fisis tampak tonsil yang
besar dan sering terdapat debris pada kripta tonsil.1,2,4
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien sudah hari ke-3
menderita demam, disertai batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan. Pasien gemar jajan
snack dan es di sekolahnya.1
Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan suhu pasien
tinggi, tonsil membesar yaitu T2/T2 hiperemis, faring hiperemis. Baku emas
penegakkan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur
dari pemeriksaan apusan tenggorokan. Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk
mendeteksi antigen Streptococcus grup A (rapid antigen detection test). Metode uji
cepat ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi (90-95%) dan
hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini setidaknya dapat
digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur.1 Pada pasien ini, pemeriksaan
kultur tidak dilakukan. Sehingga penyebab pasti tonsilofaringitis pada pasien ini
belum dapat ditentukan secara pasti. Pemeriksaan kultur maupun RADT tidak
dilakukan melihat skor validasi streptococcus diperoleh 4, yang artinya risiko infeksi
streptococcus berkisar 51-53%, dan dapat diterapi dengan antibiotik secara empirik
dengan atau tanpa melakukan kultur.3
Dari pemeriksaan laboratoriun darah, leukosit terjadi peningkatan. Jumlah
leukosit yang meningkat biasanya menandakan infeksi bakteri, hasil validasi
streptococcus menunjukkan risiko infeksi oleh bakteri terutama streptococcus sebesar
51-53%. Sehingga lebih mengarah ke bakteri.3
Bakteri dan virus masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas
akan menyebabkan infeksi pada mukosa hidung atau faring kemudian menyebar
melalui sistem limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil
menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan infeksi sehingga kelenjar getah bening

12
dan tonsil membesar, demam dan bisa menyebabkan muntah akibat hambatan yang
disebabkan oleh tonsil membesar.3
Infeksi virus juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring
serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga
menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi dan bau
mulut.1 Namun pada pasien ini tidak ditemukan adanya eksudat berwarna putih pada
tonsil.
Tatalaksana tonsilofaringitis meliputi terapi non-farmakologis dan
farmakologis. Untuk terapi non-farmakologis pada pasien diberikan edukasi untuk
istirahat yang cukup, mempertahankan hidrasi yang cukup, dan menjaga kebersihan
rongga mulut agar tidak terjadi infeksi sekunder yang dapat terjadi akibat
menurunnya sistem imun lokal. Selain itu, apabila pasien mengeluhkan asupan
makanan yang berkurang akibat keluhan nyeri menelan, pasien dapat diedukasi untuk
memakan makanan dengan konsistensi lunak. 3
Terapi farmakologis pada pasien ini adalah:
1. Pemberian antibiotik. Pada kasus ini, diberikan antibiotik karena kemungkinan
penyebabnya adalah bakteri karena terjadi peningkatan leukosit dan neutrofil.
Menurut IDAI penyebab terbanyak tonsilofaringitis akut pada anak adalah
infeksi Streptococcus  hemolyticus grup A. Antibiotik pilihan pada terapi
faringitis akut Streptococcus β-hemolitikus grup A adalah penisilin V oral 15-30
mg/kg/ hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis
tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB <30 kg) dan 1.200.000 IU (BB >30 kg).
Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih
kecil, dengan dosis 50 mg/kg/hari dibagai 2 selama 6 hari. Pada anak yang alergi
penisilin dapat diberikan eritromisin suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin
estolat 20-40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2, 3, atau 4 kali perhari selam 10
hari. Pada infeksi berulang perlu dilakukan kultur kembali. Apabila hasil kultur
kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan terapi kedua, dengan pilihan

13
obat oral klindamisin 20-30 mg/kg/hari selama 10 hari, amoksisilin klavulanat 40
mg/kg/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari. Atau injeksi benzathine
penisilin G intramuscular, dosis tunggal 600.000 IU (BB <30 kg) dan 1.200.000
IU (BB >30 kg). Bila setelah terapi kedua kultur tetap positif, kemungkinan
pasien merupakan pasien karier, yang memiliki risiko ringan terkena demam
reumatik. Golongan tersebut tidak memerlukan terapi tambahan[7].
2. Pemberian gargles (obat kumur) dan lozengen (obat hisap), pada anak dapat
diberikan untuk meringankan keluhan nyeri tenggorokan[7].
3. Apabila terdapat nyeri yang berlebih dan demam dapat diberikan analgesik dan
antipiretik, pada pasien dapat diberikan parasetamol dengan dosis 10 – 15
mg/kgbb/kali[7].
4. Pemberian edukasi. Edukasi yang harus dilakukan meliputi berbagai aspek dari
penyakit tonsilofaringitis itu sendiri. Dari segi penyebab ada baiknya diberikan
penjelasan secara singkat dan jelas mengenai bakteri penyebab, pola dan
mekanisme penularan, dan bagaimana cara mencegah penularan. Edukasi juga
perlu dilakukan mengenai pengobatan pasien baik yang berupa kausatif dan
simtomatis. Antibiotik yang diberikan oleh dokter harus diminum sesuai dengan
dosis dan waktu yang telah ditentukan (biasanya habis dalam 7-10 hari).
Kemungkinan terjadinya resistensi obat akibat penggunaan antibiotik yang tidak
teratur juga harus dijelaskan kepada pasien. Pengobatan yang bersifat
simptomatis juga harus dijelaskan cara pemakaiannya yaitu dapat dihentikan
ketika gejala-gejala simptomatis sudah hilang atau membaik. Efek samping dari
obat yang diberikan juga harus dijelaskan agar pasien dapat segera kontrol ke
dokter apabila terjadi hal tersebut.[8][9]
Pada kasus ini, diberikan antibiotik berupa ceftriaxone untuk membunuh
bakteri. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif
yang dapat diberikan. Selain itu dapat diberikan gargles (obat kumur) dan lozenges
(obat hisap), pada anak yang cukup besar yang dapat meringankan keluhan nyeri
tenggorok.1 Pemberian kortikosteroid dapat memperpendek masa demam,

14
mengurangi edema faring. Terapi bedah yaitu tonsilektomi dan atau adenoidektomi
dilakukan dengan indikasi yang bervariasi. Tonsilektomi adalah efektif untuk
mengurangi frekuensi infeksi, dan keluhan tonsilitis kronik, nyeri tenggorok persisten
atau rekuren dan limfadenitis servikalis rekuren.5
Kriteria tonsilektomi berdasarkan Children’s Hospital of Pittsburgh Study,
yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik
pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi
dengan antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih episode
infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun selama 3 tahun
sebelumnya. Tonsilektomi sedapat mungkin dihindari pada anak berusia dibawah 3
tahun. Bila ada infeksi aktif, tonsilektomi harus ditunda hingga 2-3 minggu. Indikasi
lainnya adalah bila terjadi obstructive sleep apnea.2,6 Pada pasien ini, tonsilofaringitis
masih tergolong akut, sehingga tidak diindikasikan untuk tonsilektomi.2
Selain hal diatas, perlu diberitahukan mengenai waktu untuk kontrol kembali
jika keluhan belum membaik atau memburuk.2
Komplikasi pada faringitis virus sangat jarang. Beberapa kasus dapat berlanjut
menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus dapat
ditemukan komplikasi ulkus kronik yang cukup luas.1 Untuk komplikasi faringitis
bakteri dapat berlanjut menjadi rhinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis
servikal, abses retrofaringeal, atau parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran
hematogen Streptococcus Beta Hemolitikus grup A dapat mengakibatkan meningitis,
osteomielitis, atau arthritis septic, sedangkan komplikasi nonsupuratik berupa demam
reumatik dan glomerulonefritis.2
Pemberian terapi yang tepat umumnya akan memberikan prognosis baik, namun
bila sudah terjadi komplikasi khususnya komplikasi secara hematogen dan tidak
tertangani dengan baik dapat memberikan prognosis buruk.2 Untuk kasus ini,
memberikan prognosis bonam karena selama perawatan tidak ditemukan adanya
tanda-tanda komplikasi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak ed I. Badan
Penerbit IDAI. Jakarta.
2. Behrman RE, Kliegman RM. 2010. Nelson Esensi Pediatri Edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universia Indonesia. Jakarta.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis ed I.
Badan Penerbit IDAI. Jakarta.
5. Widagdo. 2011. Masalah Dan Tatalaksana Penyakit Anak Dengan Demam.
Jakarta : Sagung Seto.
6. Cummings, CW, Flent, PW, Barker, LA (Eds). 2005. Cummings
Otolaryngology Head & Neck Surgery Fourth Edition. Philadelphia: Elsevier.
7. Naning, R, Triasih, R, Setyati, A. Faringitis, Tonsilitis, dan Tonsilofaringitis
Akut, in: Rahajoe, NN, Supriyatno, B, Setyanto, DB (Eds.): Buku Ajar
Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta: badan Penerbit IDAI, 2012: 288-95.
8. WHO & DEPKES RI, 2009, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit, WHO Indonesia, Jakarta.
9. Mansjoer A, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid 2. Jakarta. Media
Aesculapius FK UI.

16

Anda mungkin juga menyukai