Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di rumahsakit dan fasilitas
medis lainnya perlu di perhatikan. Demikian pula penanganan faktor potensi
berbahaya yang ada di rumah sakit serta metode pengembangan program keselamatan
dan kesehatan kerja disana perlu dilaksanakan, seperti misalnya perlindungan baik
terhadap penyakit infeksi maupun non-infeksi, penanganan limbah medis,
penggunaan alat pelindung diri dan lain sebagainya. Selain terhadap pekerja di
fasilitas medis/klinik maupun rumah sakit, Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
rumah sakit juga “concern” keselamatan dan hak-hak pasien, yang masuk kedalam
program patient safety.
Merujuk kepada peraturan pemerintah berkenaan dengan keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja, pedoman ini juga mengambil dari beberapa sumber
“best practices” yang berlaku secara Internasional, seperti National Institute for
Occupational Safety and Health (NIOSH), the Centers for Disease Control (CDC),
the Occupational Safety and Health Administration (OSHA), the US Environmental
Protection Agency (EPA), dan lainnya. Data tahun 1988, 4% pekerja di USA adalah
petugas medis. Dari laporan yang dibuat oleh The National Safety Council (NSC),
41% petugas medis mengalami absenteism yang diakibatkan oleh penyakit akibat
kerja dan injury, dan angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor industri
lainnya. Survei yangdilakukan terhadap 165 laboratorium klinis di Minnesota
memperlihatkan bahwa injury yang terbanyak adalah needle sticks injury (63%)
diikuti oleh kejadian lain seperti luka dan tergores (21%). Selain itu pekerja di rumah
sakit sering mengalami stres, yang merupakan faktor predisposisi untuk mendapatkan
kecelakaan. Ketegangan otot dan keseleo merupakan representasi dari low back
injury yang banyak didapatkan dikalangan petugas rumah sakit.systems.

B. Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan kesehatan dan keselamatan kerja…?
b) Bahaya apa yang sering kita dapatkan di rumah sakit…?
c) Bagai mana bentuk manajemen kesehatan dan keselamatan kerja…?
d) Bagaimana peran dines kesehatan pada K3…?

C. Tujuan
a) untuk mengetahui pengertian dan tujuan kesehatan dan keselamatan kerja.
b) untuk mengetahui Bahaya di rumah sakit.
c) untuk mengetahui bentuk manajemen kesehatan dan keselamatan kerja.
d) untuk mengetahui sejauh mana peran dines kesehatan pada K3.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun
kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses
produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan
berdampak pada masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan
baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara
maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan
prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran
pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak
pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat
pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23
tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja
harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan
pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya.
Dalam bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat
penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan
dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu
komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga
kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban
dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk
menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja,
khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit
penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi
dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria
tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak
kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga
terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola
RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS.
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan
sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas,
jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun
para pengunjung yang ada di lingkungan RS.
B. Bahaya Yang Dihadapi Dalam Rumah Sakit Atau Instansi Kesehatan
Dalam pekerjaan sehari-hari petugas keshatan selalu dihadapkan pada bahaya-
bahaya tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik , peralatan listrik
maupun peralatan kesehatan. Secara garis besar bahaya yang dihadapi dalam rumah
sakit atau instansi kesehatan dapat digolongkan dalam :
1. Bahaya kebakaran dan ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak
(obat– obatan).
2. Bahan beracun, korosif dan kaustik .
3. Bahaya radiasi .
4. Luka bakar .
5. Syok akibat aliran listrik .
6. Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam .
7. Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit.
Pada umumnya bahaya tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha
pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin kerja.
Pada kesempatan ini akan dikemukakan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
di rumah sakit / instansi kesehatan.
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan bahwa
terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang
sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka
bakar, dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan
kompensasi pada pekerja RS, yaitusprains, strains : 52%;contussion, crushing,
bruising : 11%; cuts, laceration, punctures: 10.8%; fractures: 5.6%; multiple injuries:
2.1%; thermal burns: 2%; scratches, abrasions: 1.9%; infections: 1.3%; dermatitis:
1.2%; dan lain-lain: 12.4% (US Department of Laboratorium, Bureau of
Laboratorium Statistics, 1983).
Laporan lainnya yakni di Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi
pada perawat (16.8%) dibandingkan pekerja sektor industri lain. Di Australia,
diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain, prevalensi 42% dan di AS, insiden
cedera musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera punggung menghabiskan
biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun. Khusus di Indonesia,
data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan
jelas, namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari para petugas di RS,
sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di RS.
Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang
diderita petugas RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit
ginjal dan saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta
nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae.
Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita
petugas RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi
dan parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga,
sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat
kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka. Dari berbagai potensi
bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila
mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik. Agar
penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah
pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola maupun karyawan RS.
C. Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan
Manajemen adalah pencapaian tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya,
dengan mempergunakan bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat
mengurangi dampak kelalaian atau kesalahan ( malprektek) serta mengurangi
penyebaran langsung dampak dari kesalahan kerja.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi manajemen


tesebut menjadi :
A. /Planning /(perencanaan)
B. /Organizing/ (organisasi)
C. /Actuating /(pelaksanaan)
D. /Controlling /(pengawasan)

a) Planning/ (Perencanaan)
Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan
dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal
ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dan instansi
kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi kesehatan pacsa
perawatan dan merawat ( hubungan timbal balik pasien – perawat / dokter, serta
masyarakat umum lainnya ). Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan
meliputi:
a. Hal apa yang dikerjakan
b. Bagaiman cara mengerjakannya
c. Mengapa mengerjakan
d. Siapa yang mengerjakan
e. Kapan harus dikerjakan
f. Dimana kegiatan itu harus dikerjakan
g. hubungan timbal balik ( sebab akibat)
Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak lagi
hanya di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang
pendidikan dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin banyak
ragamnya. Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam ( rumah
sakit / instansi kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha pengamanan
kerja di rumah sakit / instansi kesehatan harus ditangani secara serius oleh organisasi
keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan.
b) Organizing/ (Organisasi)
Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan
dapat dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi
kesehatan daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan
pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat
diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi ini
di tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping memberlakukan
Undang-Undang Keselamatan Kerja.
Di tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat (nasional) perlu dibentuk
Komisi Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan wewenangnya dapat
berupa :
1. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .
2. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan .
3. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .
4. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah sakit /
instansi kesehatan.
5. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah sakit /
instansi kesehatan.
6. Dan lain-lain.
Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia
Kedokteran No. 154, 2007 5/ background image Manajemen keselamatan kerja
profesi (PDS-Patklin) ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI) dalam kiprah
organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan ini.
Anggota organisasi profesi atau seminat yang terkait dengan kegiatan rumah sakit /
instansi kesehatan dapat diangkat menjadi anggota komisi di tingkat daerah (wilayah)
maupun tingkat pusat (nasional). Selain itu organisasi-organisasi profesi atau seminar
tersebut dapat juga membentuk badan independen yang berfungsi sebagai lembaga
penasehat atau Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit /
Instansi Kesehatan.

c) Actuating/ (Pelaksanaan)
Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat
kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan
menjadi aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program kesehatan dan
keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat kerja yang
aman dan sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam
rumah sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal yang
diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit /
instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk
melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja tersebut. Kemudian
mematuhi berbagai peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai spesimen
reagensia dan alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini timbul
permasalahan, keragu-raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas semua untuk
mengambil keputusan penyelesaiannya.
d) Controlling/ (Pengawasan)
Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-
pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip
pokok, yaitu :
a. Adanya rencana
b. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.
Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang
perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama di
rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, karena
usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan
diabaikan. Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu dibentuk pengawasan rumah
sakit / instansi kesehatan yang tugasnya antara lain :
1. Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah sakit / instansi
kesehatan yang baik, benar dan aman.
2. Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan memahami cara- cara
menghindari risiko bahaya dalam rumah sakit / instansi kesehatan.
3. Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau kecelakaan.
4. mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja rumah
sakit / instansi kesehatan .
5. Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan mencegah
meluasnya bahaya tersebut.
6. Dan lain-lain.

D. Penegakan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah sakit (K3RS)


dan Peran Dinas Kesehatan

1. Peraturan Kesehatan Kerja

UU Kesehatan Nomor 23 tahun 2002 pasal 23 tentang kesehatan kerja


menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.05/Men. 2006 juga
mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang atau
lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya wajib menerapkan sistem
manajemen K3 (Bab III Pasal 3).
Rumahsakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan ini karena teknologi dan sarana
kesehatan, kondisi fisik rumah sakit dapat membahayakan pasien, keluarga, serta
pekerja. Jika tidak dikelola, rumahsakit tidak terhindar dari kebakaran, bencana, atau
dampak buruk pada kesehatan.
Ringkasan studi tentang penerapan K3RS di bawah ini bisa dijadikan kasus
bagaimana lemahnya komitmen rumahsakit dalam hal ini.
K3RS di Indonesia telah memiliki 22 peraturan. Di antara seluruh peraturan itu,
paling banyak adalah peraturan menteri (9 buah) dan belum ada sama sekali peraturan
daerah. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sendiri tidak memiliki semua
dokumen peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dinas kesehatan bahkan
tidak memiliki satu staf yang mengurusi bidang ini. Tidak ada tim khusus K3RS.
Penjabaran dari regulasi tersebut oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan
daerah belum ada sama sekali. Padahal mengacu pada PP No. 25 tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan propinsi sebagai otonom maka pemerintah daerah
mempunyai legalitas dalam mengatur regulasi K3RS. Kenyataan ini barang kali bisa
mencerminkan keadaan sebelum desentralisasi. Daerah melaksanakan apa yang
menjadi keputusan pusat dan barang kali karena keputusan pusat itu pula, regulasi
K3RS ini lemah.
2. Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai Pilihan Rasional Rumahsakit

Penelitian Bambang mengukur sembilan aspek yang bisa dijadikan tolok ukur
bahwa rumahsakit itu memberikan komitmen pelaksanaan K3RS. Seluruh rumahsakit
menyediakan sejumlah dana untuk keperluan K3RS. Seperti terlihat dalam tabel di
bawah ini, 6 dari 7 rumahsakit belum memiliki sistem keamanan dan tenaga khusus
bidang K3RS. Lima rumahsakit belum memiliki sarana IPAL dan sistem pengawasan
yang memadai. Selain itu, observasi di lapangan, rumahsakit-rumahsakit ini tidak
memiliki sistem pelaporan tentang kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.
Tabel 1. Komitmen rumahsakit dengan kebijakan Regulasi K3RS
TAHUN REGULASI Jenis
1970 Keselamatan Kerja Undang-undang
1975 Keselamatan kerja terhadap radiasi Peraturan Pemerintah
1975 Izin pemakaian zat radioaktif Peraturan Pemerintah
1980 Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam Peraturan Menteri
penyelenggaraan K3
1980 Syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat Peraturan Menteri
pemadam api ringan
1981 Kewajiban melapor penyakit akibat kerja Peraturan Menteri
1983 Pelayanan kesehatan tenaga kerja Peraturan Menteri
1989 Ketentuan KK terhadap radiasi Keputusan Dirjen
1992 Kesehatan Undang-undang
1992 Persyaratan Kesling RS Peraturan Menteri
1993 Penyakit yang timbul karena hubungan kerja Keputusan Presiden
1993 Komite K3 Keputusan Menteri
1993  Persyaratan kesehatan lingkungan ruang & Keputusan Dirjen
Bangunan serta fasilitas sanitasi rumah sakit
 Persyaratan kesehatan konstruksi ruang di
rumah sakit.
 Persyaratan & petunjuk teknis tata cara
penye hatan lingkungan RS

1996 Sistem Manajemen K3 (SMK3) Peraturan Menteri


1996 Pengamanan bahan berbahaya bagi Kesehatan Peraturan Menteri
1997 Pelaksanaan Audit system manajemen K3 Peraturan Menteri
1997 Penyelenggaraan pelayanan radiology Peraturan Menteri
1997 Pembentukan Panitia K3 Rumah Sakit Surat Edaran
1997 Inspeksi K3 Keputusan Menteri
1998 Persyaratan kesling kerja Keputusan Menteri
1999 Perubahan PP18 /1999 terhadap pemgelolaan PP
limbah B3
2003 Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja Keputusan Menteri

Tekait dengan peran regulasi dinas kesehatan, standar K3RS bisa dijadikan sebagai
persyaratan pendirian atau operasi rumahsakit.
Pelaksanaan K3RS pada masa yang lalu ditekankan dengan pola pembinaan
dinas kesehatan. Kebijakan kita selama ini dalam bidang kesehatan dan keselamatan
kerja adalah berupa sosialisasi program, pelatihan tentang K3RS, menyediakan
tenaga khusus, dan membuat pedoman pelaksanaan.
Cara-cara pembinaan seperti itu memperlihatkan hasil yang minimal. Satu
rumahsakit dalam penelitian ini, kebetulan swasta, bisa menjadi contoh karena
mereka telah secara sadar menerapkan standar lebih internasional. Rumahsakit swasta
yang berorientasi internasional menganggap K3RS adalah strategis bagi pelanggan
yang sudah makin kritis. Sifat kesukarelaan seperti ini bagi rumahsakit pemerintah
dan swasta lokal bisa berakibat buruk. Pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan mau
tidak mau perlu membuat tekanan dari luar agar kesehatan dan keselamatan kerja
betul-betul terjaga.
Pemerintah daerah hendaknya lebih peduli dengan K3RS, dengan membuat
peraturan daerah khusus yang diberlakukan di daerahnya. Dinas kesehatan bisa
mengawasi pelaksanaan K3RS, diikuti dengan tindakan sanksi bagi yang tidak
menerapkannya. Lebih tegas, perlindungan publik dan pekerja seperti ini harus
menjadi persyaratan mutlak dalam pemberian izin pendirian suatu rumahsakit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja
Bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit ; Bahaya kebakaran dan ledakan
dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak (obat– obatan), Bahan beracun,
korosif dan kaustik , Bahaya radiasi , Luka bakar ,Syok akibat aliran listrik ,Luka
sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam & Bahaya infeksi dari kuman,
virus atau parasit.

B. Saran
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) khususnya di Indonesia secara
umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2008 Indonesia menempati posisi
yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi
tersebut mencerminkan kesiapan daya saing pelayanan dan kualitas saranan kesehatan
Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit
menghadapi persaingan global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan
tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan pelayanan tersebut
sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian
instansi itu sendiri, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan
perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi
atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak
lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja
karyawan dan pada gilirannya pada kinerja pelayanan kesehatan. Semakin
tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Allen, carol Vestal, 1998, Memahami Proses keperawatan dengan pendekatan latihan , alih
bahasa Cristantie Effendy, Jakarta : EGC
Depkes RI, 1991, pedoman uraian tugas tenaga keperawatan dirumah
sakit, Jakarta.:Depkes RI
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996

Anda mungkin juga menyukai