Bid’ah (Bag. 1)
Dalil-dalil dari dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalil naqli) sangatlah banyak yang
menunjukkan tercelanya perbuatan bid’ah. Di samping itu, terdapat dalil-dalil berdasarkan
akal sehat (dalil ‘aqli) yang juga menunjukkan bahwa bid’ah adalah perbuatan yang
sangat tercela dan harus dijauhi. Dalam tulisan ini, akan kami sampaikan dalil-dalil akal
sehat yang menunjukkan tercelanya bid’ah, agar kita semakin meningkatkan kewaspadaan
darinya.
Hal ini karena konsekuensi yang bisa disimpulkan dari ucapan dan keadaan orang yang
gemar berbuat bid’ah (diistilahkan dengan ahlul bid’ah atau mubtadi’) adalah bahwa
syariat Islam ini belum sempurna, dan masih tersisa sesuatu (baik sedikit atau pun
banyak) yang wajib atau dianjurkan untuk diralat dan dikoreksi. Seandainya dia meyakini
bahwa syariat ini sudah sempurna dari semua sisi, tidak mungkin dia berbuat bid’ah dan
meralat syariat tersebut. Orang yang mengatakan bahwa syariat ini belum sempurna, tentu
saja telah tersesat dari jalan yang lurus.
Syariat Islam ini sudah sempurna, sehingga tidak perlu lagi penambahan dan
pengurangan. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman,
Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa beliau telah
menyampaikan semua yang dibutuhkan oleh seorang hamba berkaitan dengan kehidupan
akhirat dan agamanya. Artinya, semua hal yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan
dari nereka telah diajarkan dan ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ٌ موميِسندذمرمهسم،إدلنمه لمسم ميِمكسن مندبييِ مقسبدليِ إدلل مكاًمن مح قنقاً معلمسيِده أمسن ميِمدلل أ ملممتمه معملىَ مخسيِدر مماً ميِسعملمممه ملمهسم
مشلر مماً ميِسعملمممه ملمهسم
“Sesungguhnya tidak ada satu pun Nabi sebelumku, melainkan wajib baginya untuk
menunjukkan kebaikan yang dia ketahui kepada umatnya dan memperingatkan umatnya
dari keburukan yang dia ketahui.” (HR. Muslim no. 1844)
Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
ٌ إدلل مومهمو،ب مجمناًمحسيِده دفيِ اسلمهموادء
ٌ مومماً مطاًدئكر ميِمقليِ م،صللىَ ام معلمسيِده مومسللمم متمرسكمناً مرمسومل د
ا م
ًميِمذيِكمرمناً دمسنمه دعسلنما
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dan tidak ada seekor burung
pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara, kecuali beliau telah mengajarkan
ilmunya kepada kami.”
Kemudian sahabat Abu Dzarr Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
Oleh karena itu, siapa saja yang lancang berbuat bid’ah, konsekuensinya dia telah
menuduh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak amanah (berkhianat) dalam
menyampaikan wahyu kenabian. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik bin
Anas rahimahullah,
ٌ زعم أن محمدا صلىَ ا عليِه وسلم خاًن،من ابتدع فيِ السلم بدعة يِراهاً حسنة
ٌ فل يِكون،ًٌ فماً لم يِكن يِومئذ ديِنا، { }اليِوم أكملت لكم ديِنكم:ٌ لن ا يِقول،الرساًلة
ًاليِوم ديِنا
“Barangsiapa yang membuat-buat bid’ah dalam agama ini dan dia pandang baik, maka
sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkhianat ketika menyampaikan risalah (wahyu). Karena Allah Ta’ala berfirman,
’Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’. Maka segala sesuatu yang
tidak menjadi bagian dari agama pada hari itu, tidak akan pula menjadi bagian dari
agama pada hari ini.” (Al-I’tisham, 1: 49)
Ahlu bid’ah berarti menentang dan melawan syariat
Hal ini karena syariat telah menentukan jalan yang harus ditempuh oleh setiap hamba
yang ingin menuju kepada Rabb-nya dan syariat telah membatasi bahwa hanya ada satu
jalan yang dapat mengantarkan seseorang menuju surga Allah Ta’ala. Syariat pun telah
menjelaskan bahwa kebaikan adalah dengan mengikuti dan meniti jalan tersebut,
sedangkan sumber kejelekan dan kebinasaan adalah dengan menentang jalan tersebut
dan memilih jalan-jalan yang lainnya.
موأملن مهمذا د
صمرادطيِ ممسسمتدقيِنماً مفاًلتدبمعوهم مومل متلتدبمعوا الضسمبمل مفمتمفلرمق دبمكسم معسن مسدبيِلدده مذلدمكسم
صاًمكسم دبده لممعللمكسم متلتمقومن
مو ل
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa.“ (QS. Al-An’am [6]: 153)
Dalam ayat di atas, Allah menggunakan kata tunggal (singular) untuk menyebutkan jalan
yang lurus (shirath), yang mengisyaratkan bahwa jalan kebenaran menuju Allah itu hanya
ada satu jalan. Yaitu jalan (cara dan metode beragama) yang ditempuh oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya radhiyallahu
‘anhum. Sedangkan untuk jalan kesesatan, Allah gunakan kata jamak (plural), yang
menunjukkan bahwa jalan kesesatan (subul) itu banyak dan berbilang.
Konsekuensi dari bid’ah yang dilakukan oleh ahlu bid’ah adalah bahwa mereka menolak
dan menentang ini semua. Karena konsekuensinya, mereka menyangka bahwa di sana
ada jalan kebaikan yang lain, tidak terbatas pada satu jalan yang telah dikhususkan dan
digariskan oleh syariat tersebut. Seolah-olah pembuat syariat itu tidak mengetahui adanya
jalan kebaikan yang lain, sedangkan dia-lah (ahlu bid’ah) yang mengetahuinya, dan kita
pun juga tidak tahu, hanya dia-lah (ahlu bid’ah) yang mengetahuinya.
Oleh karena itu, ketika sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengingkari orang yang
berbuat bid’ah dalam tata cara berdzikir, beliau mengatakan,
ضململةَة
ب م إدلنمكسم لممعملىَ دمللةَة دهميِ أمسهمدىَ دمسن دمللدة مممحلمةَد م
صللىَ ام معلمسيِده مومسللمم أ سو ممسفمتدتمحو مباً د
“Apakah kalian berada di atas agama yang lebih mendapatkan petunjuk daripada agama
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sebenarnya kalian sedang membuka pintu-
pintu kesesatan?” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 204 dengan
sanad yang hasan)
Benarlah apa yang beliau katakan. Hal ini karena hanya ada dua kemungkinan bagi ahlu
bid’ah:
Pertama, mereka menyangka bahwa mereka lebih mendapatkan petunjuk dari agama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan keyakinan semacam ini, tentu saja kekafiran.
[Bersambung]
***
Artikel: Muslim.Or.Id