Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEJARAH

DIPLOMASI INDONESIA

Kelas: XI MIPA 8

Disusun oleh:

Made Septa Anggara

MATA PELAJARAN SEJARAH


SMA YP UNILA BANDAR LAMPUNG
TP 2018
i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam
makalah ini kami membahas mengenai DIPLOMASI MULTILATERAL dalam WORLD TRADE
ORGANIZATION (WTO).

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya
harap pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun saya. Kritik konstruktif dari
pembaca sangatsangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Bandar Lampung, 22 mei 2018

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................................................................i

Daftar Isi.......................................................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...........................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................................................2

C. Tujuan......................................................................................................................................................2

BAB 2 KONSEP

A. Diplomasi Multilateral.............................................................................................................................3

BAB 3 PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Berdirinya World Trade Organization.............................................................................5

B. Pengertian World Trade Organization.....................................................................................................6

C. Tujuan World Trade Organization............................................................................................................6


D.Fungsi World Trade Organization..............................................................................................................7

E. Struktur Organisasi World Trade Organization........................................................................................7

F. Prinsip-prinsip World Trade Organization................................................................................................9


G.Peran Indonesia dalam Diplomasi Mulitilateral di WTO.........................................................................10

H. Diplomasi Ekonomi................................................................................................................................11

BAB 4 PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................................................18
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kata diplomasi berasal dari kata Yunani Diploun yang berarti melipat , meunurt Nicholson pada masa
kkaisaran Romawi semua paspor, yang melewatijalan milik negara dan surat-surat jalan dalam cara yang
khas. Surat jalan logam ini disebut Diplomas. Kemudian kata ini mulai berkembang dan mencakup pola-
pola dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya memberikan hak istimewa tertentu atau
menyangkut perjanjian dengan suku bangsa asing diluar bangsa romawi. Karena perjanjian-perjanjian ini
semakin menumpuk, arsip kekaisaran menjadi beban dengan dokumen-dokumen kecil yang tak
terhitung jumlahnya yang dilipat dan diberikan dalam cara khusus. Kemudian karena diperlukannya
orang untuk mengerjakan ini untuk mengindeks, menguraikan, dan memeliharanya, isi surat resmi
negara yang dikumpulkan, disimpan sebagai arsip, yang berhubungan dengan Hubungan Internasional.
Pada zaman pertengahan dikenal sebagai diplomaticus atau diplomatique. Siapapun yang berhubungan
dengan surat-surat tersebut dikataakn sebagai milik res diplomatique atau bisnis diplomatik. Hingga kata
diplomasi kemudian mulai berkembang.Menurut Earnest Satow, memakai kata diplomasi untuk
menunjukkan keahliannya dan keberhasilannya dalam melakukan Hubungan Internasional dan
perundingan Tahun 1796.

Kata diplomasi memiliki definisi yang berbeda dari beberapa tokoh, Sir Earnest Satow dalam bukunya
Guide To Diplomatic Practice memberikan karakterisasi diplomasi yang bagus meskipun tidak jelas dan
kurang akurat. Ia mengatakan diplomasi adalah the application of intelligence and tact to conduct of
official relations between the government of independent states. Harold Nicholson salah seorang
pengkaji dan praktis yang pandai dalam hal diplomasi di abad ke dua puluh menegaskan bahwa dalam
bahasa yang lebih mutakhir kata diplomasi secara gegabah diambil untuk menunjukan paling tidak 4 hal
yaitu: Politik Luar Negeri; Negosiasi; Mekanisme Pelaksanaan Negosiasi tersebut; suatu Cabang Dinas
Luar Negeri. Interpretasi kelima merupakan suatu keahlian dalam pelaksanaannya negosiasi
internasional; dan dalam arti yang buruk mencakup tindakan taktik yang lebih licik. KM Panikkar dalam
bukunya menyatakan diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional, adalah seni
mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain. Para pakar
kemudian meletakkan tekanan kepada keterkaitan antara negosiasi dan diplomasi. Melakukan negosisasi
tidak mesti berarti bahwa suatu usaha sedang dilakukan oleh dua pihak bersengketa untuk mencapai
kesepakatan satu sama lain. Meskipun ini sering menjadi motif utama dari suatu pertemuan yang diatur
antara para diplomat dan negarawan.maksud dari banyak konferensi bilateral maupun internasional,
pada bagian lain, adalah untuk memelihara hubungan-hubungan politik maupun nonpolitik yang akan
meningkatkan nilai-nilai kepenringan bersama. Konperensi itu juga memungkinkan untuk diarahkan
kepada usaha untuk mengurangi polemik

politik atau memperoleh kesempatan untuk mempelajari usul-usul pihak lain, apabila mungkin, dan
untuk menyiapkan dasar-dasar bagi penyelesaian masalah yang menonjo pada saat itu. Negosiasi yang
dilaksanakan bagi kasus-kasus yang menonjol mempunyai tujuan diplomatik jangka panjang.

Semakin berkembangnya diplomasi dan yang sudah ada sejak zaman kekaisaran serta negosiasi yang
memiliki ikatan, hubungan diplomatik diantara negara-negara sangatlah dibutuhkan dalam menjalankan
pemerintahannya dan untuk memudahkan dalam mengatasi isu-isu yang terjadi.

B. Rumusan Masalah

Mengapa G-33 memperjuangkan Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SMM) agar
dapat dimasukan ke dalam AoA WTO ?

Bagaimana strategi diplomasi ekonomi Indonesia pada era globalisai dalam kerangka WTO untuk
memerjuangkan SP dan SMM ?

C. Tujuan

Untuk memahami Diplomasi Multilateral dalam WTO

Untuk mengetahui peran Indonesia di dalam WTO


3

BAB II

KONSEP

Diplomasi Multilateral

Diplomasi merupakan instrumen untuk menjalankan suatu kebiajakan luar negeri, dan dapat
mempengaruhi kegiatan bagi negara-negara yang melakukannya. Maka diplomasi dilakukan oleh negara-
negara harus selalu sesuai dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional sebuah
negara. Berdasarkan aktornya, diplomasi ada yang bersifat bilateral (dua negara), regional (negara-
negara kawasan) dan multilateral (banyak negara) (Langhorne). Seperti di Indonesia sendiri, diplomasi
multilateral adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam politik luar negeri Indonesia yang ditunjukan
untuk secara aktif ikut serta mengatasi masalah-masalah global, khususnya yang memiliki dampak
terhadap kepentingan nasional.

Pada dasarnya diplomasi multilateral merupakan diplomasi yang dilakukan oleh lebih dari dua negara.
Diplomasi ini berhasil menjadi cara yang paling bermanfaat untuk meningkatkan negosiasi antara banyak
pihak, selain sebagai pendorong diplomasi bilateral (Djelantik dalam Dealova, 2017). Hubungan
multilateral dan Diplomasi multilateral penting untuk selalu diperhatikan, karena baik buruknya suatu
hubungan multilateral akan membuat sebuah image mengenai sebuah negara di hadapan dunia
internasional. Dalam diplomasi multilateral biasanya melibatkan lebih dari tiga negara untuk
menghasilkan suatu kebijakan yang biasanya diperuntukkan untuk forum, dimana secara garis besar
forum merupakan cara-cara untuk mencapai isi dari hubungan multilateral yang akan dilaksanakan oleh
lebih dari tiga negara. Forum dibagi menjadi empat bagian, yaitu PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), Non
PBB, Forum dan Inisiatif Multilateral.

Contoh dari diplomasi multilateral yang dilakukan oleh Indonesia, adalah berpartisipasinya Indonesia
dalam forum WEF, G-20 dan APEC menegaskan perhatian Indonesia dalam membangun pertumbuhan
ekonomi yang merata dan berkelanjutan. Melalui berbagai forum internasional, Indonesia berkepentigan
untuk memastikan empat sasaran diplomasi ekonomi: yaitu pemulihan stabilitas ekonomi global,
peningkatan ekonomi, fasilitas arus perdagangan dan investasi, serta dorongan bagi pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan. Pelaksanaan diplomasi multilateral sendiri bagi Indonesia, semakin
menegaskan ciri khas Indonesia. Diantaranya kepemimpinan dalam mendorong kemajuan di berbagai
bidang melalui upaya membangun konsensus, pendekatan kooperatif, menjembatani perbedaan tanpa
mengkompromikan kepentingan nasional, menonjolkan converge of interests, konsisten dengan prinsip-
prinsip multilateralisme serta memprioritaskan kepentingan negara-negara berkembang secara umum.

Selain itu, Situasi ekonomi Global mengharuskan negara-negara membuka pasar mereka, dan
interdependensi yang serta globalisasi ekonomi dunia telah mendorong bangsa bangsa untuk
bekerjasama melalui multilateralisme. Bangsa telah menemukan suatu hal yang bijak untuk mengambil
tanggung jawab kolektif yang lebih besar untuk keamanan bersama mereka, tidak hanya dalam hal
militer namun juga dalam pengertian ekonomi dan sosial seperti aksi kemanusiaan, pembangunan
berkelanjutan, demokratisasi dan promosi serta perlindungan hak-hak asasi kemanusiaan.
5

BAB III

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Berdirinya WTO

Latar belakang terbentuknya WTO tidak terlepas dari keberadaan GATT yang sudah ada sebelumnya.
Masyarakat setelah perang dunia II mulai menyadari seberapa pentinya pembentukan sebuah organisasi
internasional dalam bidang perdagangan yang diharapkan mampu mengatur segala masalah
perdagangan dan ketenagakerjaan internasional, serta mengatur arus perdagangan yang sebelumnya
terpuruk setelah terjadinya perang dunia II. Ditolakya GATT sebagai sebuah organisasi perdagangan
dunia oleh Amerika Serikat menjadikan Negara-negara anggotanya mengambil inisiatif untuk
memberlakukan GATT melalui Protocol of Provisional Application yang kemudian ditandatangani oelh 22
negara anggota asli GATT pada akhir 1947.

GATT kemudian menyelenggarakan banyak putaran-putaran perundingan sebagai upaya untuk


membahas isu-isu perdagangan dunia. Sejak berdirinya GATT pada tahun 1947, GATT telah
menyelenggarakan 8 putaran perundingan. Putaran terakhir, Uruguay Round berlangsung dari tahun
1986-1994 yang dimulai dari kota Jenewa, Swiss. Uruguay Round adalah perundingan perdagangan
multilateral dalam kerangka GATT yang diadakan sejak September 1986, dengan kesepakatan pertemuan
tingkat menteri Negara-negara yang merupakan penandatangan atau contacting parties GATT yang pada
saat itu berjumlah 105 negara, di Punta del Este, Uruguay. Kesepakatan yang menentukan dan memberi
mandat pada wakil-wakil Negara sebagai perunding disebut sebagai Punta dek Este declaration,
sedangkan perundingannya sendiri disebut sebagai Putaran Uruuay (Uruguay Round). Perundingan
antara para delegasi dilaksanakan di kantor secretariat GATT di Jenewa.

Perundingan perdagangan multilateral ini dimaksudkan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia
yang lebi terbuka dan bebas. Sistem perdagangan antar bangsa di dunia diharapkan benar-benar
berdasarkan prinsip dan aturan yang mendasari GATT serta Negara-negara diharapkan benar-benar
memtuhi aturan-aturan yang merupakan kesepakatan bersama tersebut untuk peningkatan perdagangan
dunia; lebih lanjut peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia. Perundingan
Uruguay juga merupakan sebuah usaha ambisus karena ketujuh round sebelumnya telah mengurangi
tarif produksi industry secara signifikan. Negosiator Uruguay berhasil menurunkannya sampai lebih dari
target mereka yaitu dengan tambahan sepertiga. Uruguay juga memecah lahan GATT yang baru dengan
menulis peraturan

perdagangan internasional dalam bidang jasa dan pertanian untuk melindungi kekayaan intelektual.
Mereka juga sepakat menghapus Multi Fiber Arrangement (MFA) setahap demi setahap, suatu perjanjian
perdagangan yang dinegosiasikan oleh Negara-negara maju yang mencangkup tekstil dan pakaian,
mungkin sistem pengaturan perdagangan tertua di dunia. MFA membatasi produksi dan ekspor tekstik
dari Negara-negara berkembang melalui kuota dan tarif.

Berbagai kritik menyatakan bahwa GATT justru adalah penghalang kecil untuk menggantungkan seluruh
sistem perdagangan dunia. Mekanisme sengketanya rumit dan ada banyak celah dalam bidang
pertanian, tekstil, pakaian, dan jasa. Sistem perdagangan dunia telah berkembang sejak tahun 1947 dan
liberalisasi perdagangan memerlukan dukungan dari kerangka kerja lembaga yang lebih kuat. Merespon
kekhawatiran ini, perundingan GATT Uruguay Round membentuk World Trade Organization, dan mulai 1
Januari 1995, organisasi baru ini mulai mengelola perjanjian perdagangan internasional dengan mandat
yang lebih luas daripada yang digunakan GATT. Mandat ini mencangkup proses permanen untuk merevisi
peraturan perdagangan dan menggantikan praktik GATT dalam perundingan round yang dilakukan secara
berkala.

B. Pengertian WTO

World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus
mengatur permasalahan antarnegara di dunia. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui
suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan
yang telah ditandatangani oleh Negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar
Negara-negara yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan
perdagangan di negaranya masing-masing. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, namun tujuan
utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam
kegiatan perdagangan.

C. Tujuan WTO

WTO memiliki beberapa tujuan penting, diantaranya:

Mendorong arus perdagangan antar negara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan
yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.

Memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negoisasi yang lebih permanen, mengingat
bahwa perundingan perdagangan internasional di masa lalu prosesnya sangat kompleks dan memakan
waktu.
Penyelesaian sengketa dagang antar Negara, mengingat hubungan dagang sering menimbulkan konflik-
konflik kepentingan. Meskipun sudah ada persetujuan-persetujuan dalam WTO yang sudah disepakati
anggotanya, masih dimungkinkn terjadi perbedaan interpretasi dan pelanggaran sehingga diperlukan
prosedur legal penyelesaian sengketa yang netral dan telah disepakati bersama.

D. Fungsi WTO

WTO memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah :

WTO berfungsi sebagai lembaga yang memberikan fasilitasi implementasi, administrasi dan pelaksanaan
dari perjanjian WTO serta memberikan kerangka kerja untuk implementasi, administrasi dn pelaksanaan
dari perjanjian plurilateral.

WTO berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan forum untuk melakukan perundingan di antara
anggotanya terkait dengan isu yang diatur dalam perjanjian WTO termasuk menyediakan forum dan
kerangka kerja untuk implementasi hasil-hasil perundingan yang telah dicapai.

WTO bertindak selaku administrator dari aturan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement
Understanding) yang menjadi tanggung jawab Dispute Settlement Body.

WTO berfungsi selaku administrator mekanisme pengujian kebijakan perdagangan yang secara regular
melakukan peninjauan terhadap ketentuan perdagangan dari masing-masing Negara anggota.

WTO bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional seperti International Monetary Fund (IMF)
dan Bank Dunia (World Bank) dengan tujuan agar dapat tercapai sinkronisasi dan konsistensi dalam
pembuatan ekonomi global.

E. Struktur Organisasi WTO

Kelembagaan

Dilihat dari segi kelembagaan, struktur WTO terdiri dari unsur-unsur berikut :

Konferensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference)

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) dalah badan tertinggi dari WTO yang keanggotaannya terdiri dari
wakil-wakil semua Negara anggota, dan berwenang untuk mengambil semua keputusan terkait dengan
pelaksanaan perjanjian-perjanjian WTO yang diajukan oleh semua anggota. Dalam melaksanakan
tugasnya, KTM melakukan pertemuan paling sedikit 1 kali dalam setiap 2 tahun.
Dewan Umum (General Council)

Dewan umum merupakan badan yang mengawasi pelaksanaan perjanjian WTO dan putusan-putusan
yang telah diambil dalam KTM. Selain itu, Dewan Umum juga bertanggung jawab atas pemasalahan
terkait dengan anggaran, administrasi dan sumber daya manusia termasuk pula penunjukan Direktur
Jenderal, menyetujui tindakan/kegiatan yang diusulkan badan lain seperti pelepasan hak (waivers),
megambil posisi (accessions), dan mengawasi pelaksanaan kerja sama dengan organisasi lain. Dewan
umum juga bertindak sebagai :

Dispute Settlement Body

DSB merupakan badan penyelesaian sengketa yang menyelesaikan msalah yang muncul dari
pelaksanaan kesepakatan perjanjian-perjanjian Uruguay Round.

Trade Policy Review Mechanism

TPRM adalah sebuah mekanisme peninjauan kebijakan perdagangan Negara anggota WTO yang
ditunjukan untuk meningkatkan ketaatan para anggota WTO terhadap peraturan, tata tertib, dan
komitmen perjanjian WTO. Peninjauan kebijakan perdagangan ini dilakukan setiap 2 tahun sekali untuk
Negara maju dan 4 tahun sekali untuk Negara berkembang.

Dewan-Dewan (Councils)

Dewan umum membentuk 3 dewan dibawahnya yakni Dewan Perdagangan Barang (The Councils for
Trade in Goods/Goods Councils), Dewan Perdagangan Jasa (The Councils for Trade in Services/Services
Councils) dan Dewan Perdagangan terkait Hak Kekayaan Intelektual (The Councils for Trade Related
Aspects of Intelectual Property Rights) untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian multilateral tersebut.
Ketiga Dewan tersebut melaksanakan kegiatannya berdasarkan pedoman yang ditetapkan Dewan Umum
(General Council) serta membuat aturan menyangkut prosedur yang harus disetujui terlebih dahulu oleh
dewan umum.

Komite (Committee)/ Kelompok Kerja (Working Group)

Terdapat beberapa komite dibawah Dewan (Council) yang mempunyai tugas membahas
permasalahan/isu khusus Komite terdiri dari semua Negara anggota WTO dan melaporkan kegiatannya
kepada Dewan (Council) diatasnya yang selanjutnya akan memberikan persetujuan atau laporan
tersebut.

Sekretariat

Sekretariat WTO dipimpin oleh seorang Jenderal yang diangkat oleh siding tingkat menteri yang sekaligus
menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai wewenang, tugas dan persyaratan jabatannya. Tugas utama
secretariat adalah sebagai berikut :

Menyediakan bantuan teknis dan professional untuk mendukung Dewan (council) dan Komite
(committee).
b. Menyediakan bantuan teknis untuk Negara berkembang.

c. Mengawasi dan menganalisa perkembangan perdagangan internasional.

d. Menyediakan informasi kepada publik dan media.

e. Menyelenggarakan KTM.

f. Memberikan bantuan hokum dalam proses penyelesaian sengketa.

g. Memberika advis kepada pemerintah yang berkeinginan untuk menjadi anggota WTO.

3. Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan dalam WTO pada dasarnya melanjutkan praktek pengambilan keputusan
yang dilakukan dalam skema GATT 1947, yaitu consensus dianggap terpenuhi apabila pada saat
keputusan diambil, anggota yang hadir dalam pertemuan tersebut tidak ada yang mengajukan keberatan
secara resmi atas keputusan yang diusulkan. Apabila konsensus tidak dapat dicapai, maka akan dilakukan
voting berdasarkan ketentuan satu Negara satu suara.

Setiap Negara dapat mengusulkan suatu usulan perubahan ketentuan perjanjian kepada siding tingkat
menteri dan kepada dewan umum. Kuorum yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan tergantung
pada sifat perubahan yaitu :

”Perubahan terhadap prinsip-prinsip umum seperti perlakuan most favoured nation harus disetujui oleh
semua anggota.”

F. Prinsip-Prinsip WTO

Dalam perundingan WTO, para anggota telah membuat lima prinsip dasar, yaitu norma-norma bagi
sistem perdagangan global berstandar.

Perdagangan tanpa diskriminasi. Ini adalah prinsip most-favored nation (MFN), dan hal ini menuntut
semua Negara memperlakukan anggota WTO yang lain secara sama. Jika suatu Negara memberikan
kesepakatan perdagangan istimewa kepada Negara lain, kesepakatan tersebut diberlakukan kepada
seluruh anggota WTO. Aspek lain dari perilaku nondiskriminasi ini adalah bahwa lokal dan asing harus
diperlakukan sama. Hal ini berarti bahwa ketika berada di pasar, barang-barang impor tidak boleh
mengalami diskriminasi.

Perdagangan yang lebih bebas, secara bertahap, melalui perundingan. Penurunan hambatan
perdagangan, baik yang telihat nyata seperti tariff impor maupun yang kurang terlihat seperti birokrasi
dapat mendorong pertumbuhan perdagangan. Kesepakatan WTO menetapkan liberalisasi progresif
melalui perubahan bertahap. Negara-negara berkembang diberi waktu lebih panjang untuk
menyesuaikan diri.
Prediktabilitas melalui ikatan dan transportasi. Prediktabilitas membantu perusahaan untuk mengetahui
berapa biaya yang sesungguhnya terjadi. WTO mengoperasikan dengan tarif

10

mengikat atau kesepakatan untuk tidak menaikan tarif tertentu selama waktu yang ditentukan. Janji
sperti itu sama baiknya dengan penurunan tarif karena mereka memberi pelaku bisnis data yang realistis.
Transparansi membuat peraturan perdagangan yang dapat diakses dengan sangat jelas, juga membantu
pelaku bisnis mengantisipasi kestabilan dimasa depan.

Mempromosikan kompetisi yang adil. Walaupun banyak yang mendeskripsikan WTI sebagai Perdagangan
Bebas dan memang berhasil dalam liberalisasi perdagangan, disadari bahwa hubungan antarnegara
dapat menjadi sangat kompleks. Banyak kesepakatan WTO yang mendorong kompetisi yang adil dalam
bidang pertanian, jasa, dan kekayaan intelektual, mengurangi subsidi, dan membuang prosuk pada harga
dibawah biaya produksi mereka.

Mendorong reformasi pembangunan dan ekonomi. Sebuah keputusan yang diterapkan diakhir Uruguay
Round mengusulkan agar Negara-negara maju memberi akses pasar untu Negara-negara yang paling
tidak maju dan meningkatkan bantuan teknis untuk mereka. Negara-negara maju telah mulai menizinkan
impor bebas bea masuk dan bebas kuota untuk banyak produksi dari Negara-negara yang paling tidak
maju, tetapi pertanian tetap menjadi bidang yang sulit untuk membangun kesepakatan.

G. Peran Indonesia dalam Diplomasi Mulitilateral di WTO

Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan antarnegara diatur di dalam kerangka World Trade
Organization (WTO). Namun, dalam proses perumusan peraturan perdagangan WTO, seringkali negara
berkembang harus berhadapan dengan negara maju. Posisi negara berkembang dan negara maju
seringkali tidak setara. Bidang pertanian pun tidak luput dari agenda globalisasi, termasuk pertanian
negara berkembang. Konsekuensinya adalah sektor pertanian negara berkembang harus bersaing
dengan negara maju. Menyikapi realitas tersebut, strategi diplomasi ekonomi negara berkembang harus
dapat meningkatkan posisi mereka di dalam setiap perundingan perjanjian perdagangan di WTO, pada
khususnya dalam persoalan perjanjian yang mengatur sektor pertanian karena sektor pertanian negara
berkembang merupakan salah satu sektor vital. Salah satu upaya meningkatkan posisi runding tersebut,
Indonesia dan negara berkembang lain bergabung ke dalam Group 33 (G-33) untuk memperjuangkan
kepentingan nasional negara-negara G-33, terutama dalam bidang pertanian dengan agenda
mengupayakan pada khususnya Special Products (SP) dan Special Safeguard Mechanism agar dapat
menjadi kesepakatan WTO dan diatur di dalam Agreement on Agriculture (AoA). Dalam pertemuan
tingkat menteri atau Konferensi Tingkat Menteri (KTM) organisasi perdagangan dunia WTO yang paling
akhir diadakan, yaitu KTM X Nairobi di Kenya, negara-negara berkembang yang tergabung di dalam G- 33
tetap mengupayakan agar proposal G-33 mengenai SP dan SSM dapat diterima oleh negara-negara
anggota WTO dan dapat mencapai kesepakatan, sehingga proposal SP dapat diterapkan dalam
perdagangan multilateral di WTO. Sehari sebelum pertemuan KTM X Nairobi dilaksanakan, Indonesia
memimpin sidang para menteri G-33 untuk konsolidasi dan memperbaharui komitmen bersama anggota
G-33,

11

sehingga tercapailah Komunike Bersama (G-33 Ministerial Communique), di mana salah satu poin
utamanya adalah mendesakkan SP dan SSM agar dapat disepakati dan masuk ke dalam peraturan
perjanjian pertanian WTO (Agreement on Agriculture). Akan tetapi, hasil dari KTM X Nairobi tersebut
belum juga dapat menjadikan SP dan SSM sebagai sebuah kesepakatan di WTO karena selalu dipatahkan
oleh negara-negara maju. Meskipun demikian, SP dan SSM tetap dijadikan bagian dari agenda WTO yang
akan terus dipantau kemajuannya. Berdasarkan hasil KTM X Nairobi tersebut, perjuangan Indonesia dan
negara berkembang lainnya anggota G-33 masih harus melalui jalan panjang. Indonesia sebagai ketua G-
33 harus mampu memainkan perannya secara aktif dan cerdas. Indonesia harus dapat membina
kesatuan dan menjaga kekompakan di dalam G-33 itu sendiri. Selain itu, Indonesia harus mampu terus
mempromosikan proposal SP dan SSM ini ke negara-negara di luar G-33 agar negara-negara di luar
keanggotaan G-33 dapat menerima dan bahkan ikut memperjuangkan proposal SP dan SSM tersebut
yang pada intinya bertujuan untuk melindungi produk sensitif hasil pertanian negara berkembang.
Penelitian ini berupaya mengkaji strategi diplomasi Indonesia di WTO melalui G-33 dalam
memperjuangkan SP dan SSM. Bidang pertania sebagai salah satu sektor vital bagi negara Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya harus dapat diperjuangkan agar dapat meminimalisasi dampak dari
globalisasi sektor pertanian melalui perdagangan antarnegara di WTO. Sektor pertanian negara
berkembang berkaitan langsung dengan keberlangsungan hidup para petani skala kecil. Maka,
pertanyaan penelitian ini adalah Mengapa G-33 memperjuangkan Special Products (SP) dan Special
Safeguard Mechanism (SSM) agar dapat dimasukkan ke dalam AoA WTO? dan Bagaimana strategi
diplomasi ekonomi Indonesia pada era globalisasi dalam kerangka WTO untuk memperjuangkan SP dan
SSM?

H. Diplomasi Ekonomi

Pada saat ini, dalam hubungan kerjasama antarnegara, kerjasama ekonomi dan perdagangan
mendapatkan porsi yang meningkat dibandingkan pada masa lalu. Hubungan antarnegara tidak saja
didominasi dengan kerjasam pertahanan dan keamanan, kerjasama ekonomi sudah menjadi salah satu
bidang kerjasama yang mendapatkan perhatian yang khusus dalam kegiatan diplomasi. Bahkan, saat ini
dapat dikatakan diplomasi ekonomi mendapat perhatian lebih dibandingkan diplomasi konvensional
yaitu diplomasi yang fokus kepada isu-isu politik dan militer (Sukawarsini Djelantik, 2008). Perubahan
paradigma ini dapat disebabkan karena isu-isu ekonomi, yang dianggap sebagai politik tingkat rendah
atau low politics telah menjadi bahasan dalam agenda politik internasional tingkat tinggi atau high
politics (Mohtar Masoed, 2008). Diplomasi ekonomi disebut juga shop keeper diplomacy adalah
formulating and advancing policies relating to production, movement or exchange of goods, services,
labors, and investment in other countries. Menurut G.R Berridge dan Alan James (G.R. Berridge dan Alan
James, 2003), diplomasi ekonomi dijelaskan sebagai berikut: Economic diplomacy is concerned with
economic policy issues, e.g work of delegations at standard setting organizations such as WTO and BIS.
Economic diplomats also monitor and report on economic policies in foreign countries and advise the
home government on how to best influence them. Economic diplomacy employs economic resources,
either as rewards or sanctions, in pursuit of a particular foreign policy objective. This is sometimes called
economy statecraft.

Diplomasi ekonomi pada intinya menekankan pentingnya upaya-upaya untuk memformulasikan dan
mengatur kebijakan yang terkait dengan produksi, pergerakan dan pertukaran barang dan jasa, tenaga
kerja, dan sumber daya produksi lainnya dalam konteks hubungan internasional. Dalam era yang
dinamakan dengan globalisasi ini, Indonesia harus dapat menyikapi globalisasi dengan cerdas, sehingga
mampu mendapatkan keuntungan dan menjadi salah satu negara yang mampu meraih kepentingan
nasionalnya. Globalisasi menurut Joseph Stiglitz (Joseph Stiglitz, 2007) didefinisikan sebagai berikut:

Globalization encompasses many things, the international flow of ideas and knowledge, the sharing of
cultures, global civil society, and the global environmental movement. The economic globalization, which
entails the closer economic integration of the countries of the world through the increased flow of goods
and services, capital, and even labor. The great hope of globalization is that it will raise living standards
throughout the world: give poor countries access to overseas markets so that they can sell their goods,
allow in foreign investment that will make new products at cheaper prices, and open borders so that
people can travel abroad to be educated, work, and send home earnings to help their families and fund
new businesses. Globalisasi dewasa ini terjadi di berbagai bidang, seperti globalisasi ekonomi, globalisasi
kebudayaan, politik, ekonomi, dan sosial yang melintasi batas-batas teritorial negara bangsa (Budi
Winarno, 2007). Globalisasi ekonomi secara sederhana dapat dikatakan sebagai proses penyebaran dan
intensifikasi bidang ekonomi lintas batas internasional. Globalisasi ekonomi tidak lagi berdasar otonomi
perekonomian nasional, tetapi lebih berdasarkan pasar global yang terkonsolidasi dalam hal produksi,
distribusi, dan konsumsi (Robert Jackson dan Georg Sorenson,2014).

Mengglobalnya perekonomian dunia ditandai dengan peningkatan perdagangan internasional dan


kemunculan salah satu aktor globalisasi ekonomi yang signifikan, yaitu MNCs atau Multinational
Corporations (Yanuar Ikbar, 2006). MNCs ini jumlahnya semakin meningkat dan memiliki posisi yang kuat
karena didukung oleh kekuatan modalnya yang besar. Globalisasi ekonomi juga selalu terkait dengan
konteks pembukaan pasar domestik terhadap produk dan jasa dari pasar internasional atau yang biasa
dikenal dengan liberalisasi pasar. Kerjasama ekonomi antarnegara banyak terjalin pada khususnya dalam
bidang kerjasama perdagangan. Sebagai contoh dalam perdagangan Indonesia dan Cina. Akan tetapi,
dewasa ini kita juga memasuki bentuk kerjasama perdagangan yang baru. Sekarang ini kita mengenal
dan memasuki era perdagangan multilateral. Perdagangan multilateral pada masa kini terjadi dalam
kerangka WTO. Dalam era globalisasi ekonomi, perdagangan yang diatur dalam kerangka WTO tersebut
dilakukan melalui forum-forum pertemuan WTO dan menjadi monopoli negara-negara maju. Negara
berkembang dan negara maju memiliki posisi yang tidak sama atau timpang (asimetris) dalam
perundingan-perundingan (Ica Wulansari, 2015).
Perdagangan Multilateral World Trade Organization

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdagangan multilateral merupakan perdagangan yang
melibatkan atau mengikutsertakan lebih dari dua bangsa (pihak dan sebagainya). Jadi, dalam
perdagangan multilateral, suatu negara dapat melakukan kerjasama perdagangan dengan dua atau lebih
negara sekaligus dalam satu waktu. Sistem perdagangan multilateral ini dimungkinkan terjadi di dalam
kerangka organisasi perdagangan dunia WTO. WTO inilah merupakan satu-satunya organisasi yang
mengatur terjadinya perdagangan antarnegara anggotanya dengan memakai sistem perdagangan
multilateral. Negara anggota WTO pada saat ini sebanyak 162 negara anggota dan sebagian besar
merupakan negara berkembang (developing countries) dan terbelakang (least developed countries).

WTO merupakan organisasi kelanjutan dari General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) yang
dibentuk pada 1947. Salah satu hasil perjanjian terpenting dalam Putaran Uruguay adalah perjanjian
pembentukan WTO yang berdiri pada 1 januari 1995 (Hata, 2006). Tujuan pendirian WTO tercantum
dalam mukadimahnya (Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization) antara lain
hubungan perdagangan dan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan standar hidup, lapangan pekerjaan,
peningkatan penghasilan nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan
penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Mukadimah tersebut juga mengatur mengenai perlindungan terhadap lingkungan hidup. Mukadimah
juga mengatur dan menjamin negara berkembang dan terbelakang untuk ikut ambil bagian dalam
pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya. Sejak
terbentuknya WTO, negara berkembang dan terbelakang idealnya harus mendapatkan keuntungan dari
perdagangan internasional dan hal tersebut diatur dalam Mukadimah sebagaimana dijelaskan di atas.
Akan tetapi, dalam praktiknya, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Negara berkembang seringkali harus
berhadapan dengan negara maju dalam berbagai isu dan agenda kesepakatan di WTO. Seringkali dalam
praktik perdagangan multilateral di WTO, negara berkembang banyak merasakan ketimpangan.
Ketimpangan negara-negara berkembang, terlebih negara terbelakang dengan negara maju terutama
adalah berupa ketimpangan dalam kekuasaan, teknologi, dan modal yang pada akhirnya menyebabkan
negara berkembang dan terbelakang berada di posisi yang tidak setara dengan negara maju. Posisi yang
tidak setara ini juga berdampak dalam setiap proses perundingan untuk mencapai sebuah perjanjian
perdagangan di WTO. Salah satu hasil kesepakatan dalam Putaran Uruguay yang justru merugikan
negara-negara berkembang adalah penerapan penghapusan subsidi ekspor produk-produk andalan
negara berkembang. Sejarah pembentukan WTO pada saat itu terkait (Dodi Mantra, 2011) dengan
konteks defisit perdagangan Amerika Serikat sekitar tahun 1980-an. Apabila ditilik dari sejarah
pembentukan WTO tersebut, maka tidak mengherankan jika dapat dikatakan bahwa ada agenda untuk
perluasan pasar Amerika Serikat untuk mengatasi defisit perdagangannya. Pertanian Indonesia dan
Negara Berkembang di Bawah Peraturan WTO Dengan diratifikasinya keanggotaan Indonesia di WTO
melalui Undang- Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade
Organization, maka segala ketentuan penjanjian WTO berlaku di Indonesia, tidak terkecuali perjanjian di
bidang pertanian. Dalam bidang pertanian, Indonesia harus menerima perjanjian bidang pertanian
(Agreement on Agriculture), meratifikasi produk pertanian seperti yang tertuang dalam skedul nasional
(the National Schedule of Commitments) masing-masing negara anggota (M. Husein Sawit, 2007).
Konsekuensinya adalah produk pertanian impor bebas masuk dengan tarif yang telah dikurangi atau
bahkan ditiadakan. Sedangkan, terdapat perbedaan yang mencolok antara kondisi bidang pertanian
negara maju dengan negara berkembang, pada khususnya Indonesia. Sebagai contoh, dalam hal skala
kepemilikan lahan, skala kepemilikan lahan pertanian di Indonesia rata-rata diatas 20 Ha. Di Indonesia,
kepemilikan lahan petani tidak sebesar petani negara maju, bersifat subsistem, biasanya dimiliki secara
bersama dalam sebuah keluarga (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Departemen Pertanian, 2004). Belum lagi keberadaan buruh tani. Di Negara maju, skala kepemilikan di
bawah 20 Ha dan di atas 10 Ha dikategorikan sebagai petani skala kecil. Sebagai tambahan, bidang
pertanian di negara berkembang, pada khususnya Indonesia tidak terlepas dengan isu ketahanan pangan
(food security), isu pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), dan pembangunan pedesaan (rural
development). Sektor pertanian di negara berkembang, pada khususnya Indonesia lekat dengan isu
pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan karena hampir sebagian besar masyarakat di
pedesaan menggantungkan hidup mereka di sektor pertanian, pertanian adalah sumber penghidupan
mereka dan lahan pertanian dimiliki dan dikelola secara kekeluargaan (pertanian subsistem). Dari
penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa sektor pertanian di negara berkembang, pada khususnya
Indonesia menjadi sektor yang penting. Dengan perbedaan kondisi sektor pertanian antara negara maju
dan berkembang seperti yang dijelaskan di atas, pertanian negara-negara berkembang harus
mendapatkan perhatian yang serius dan harus diperjuangkan dalam setiap perundingan WTO untuk
meminimalisasi dampak yang merugikan bagi sektor pertanian negara-negara berkembang, pada
khususnya Indonesia.

Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia dan Negara Berkembang melalui G- 33 untuk Memperjuangkan
Special Products dan Special Safeguard Mechanism di WTO Group 33 atau G-33 adalah kelompok
kepentingan negara-negara berkembang yang dibentuk sebagai upaya negara-negara berkembang untuk
mempromosikan proposal Special Products dan Special Safeguard Mechanism (SP/SSM). Sebagai koalisi
negara-negara berkembang yang pada awal pendiriannya negara anggotanya berjumlah 33 negara, G-33
berkembang menjadi kelompok yang memiliki pengaruh dalam perundingan pertanian, anggotanya saat
ini ada 43 negara anggota. Negara anggota G-33 adalah Antigua dan Barbuda, Barbados, Belize, Benin,
Bolivia, Botswana, Cina, Kongo, Cote dIvoire, Kuba, Republik Dominika, Ekuador, El Savador, Grenada,
Guetemala, Guyana, Haiti, Honduras, India, Indonesia, Jamaika, Kenya, Korea, Madagaskar, Mauritius,
Mongolia, Mozambik, Nikaragua, Nigeria, Pakistan, Panama, Peru, Filipina, Saint Kitts dan Nevis, Santa
Lucia, Santa Vincent dan Grenadine, Senegal, Sri Lanka, Suriname, Cina Taipei, Tanzania, Trinidad dan
Tobago, Turki, Uganda, Venezuela, Bolivaria, Zambia, dan Zimbabwe (World Trade Organization, Groups
in the Agriculture Negotiations).

Indonesia dan negara berkembang menyatukan aspirasi dan kepentingan nasional bersama di dalam G-
33. Indonesia dan negara berkembang anggota G-33 merasa perlu untuk membentuk sebuah kelompok
kepentingan bersama di dalam kerangka WTO untuk memperjuangkan kepentingan nasional mereka,
terutama dalam bidang pertanian dengan memperjuangkan proposal Special Products dan Special
Safeguard Mechanism untuk dikecualikan dari agenda negosiasi selanjutnya dan agar dapat diatur di
dalam Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture) WTO. Special Products dan Special Safeguard
Mechanism (SP/SSM) menjadi agenda perjuangan G-33. Special Products adalah produk-produk
pertanian yang strategis, produk pertanian ini sangat penting bagi keberlangsungan hidup orang banyak,
baik dari segi lapangan pekerjaan, jaminan perolehan pangan yang cukup, perlindungan dan dinamisasi
kehidupan desa secara berkelanjutan, serta preservasi dan stabilisasi sosial politik yang sesungguhnya
(Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian, 2004).

Sedangkan, Special Safeguard Mechanism adalah instrumen yang memungkinkan negara berkembang
melindungi sektor pertanian domestiknya dengan melakukan tindakan darurat berupa penaikkan tarif
masuk terhadap produk pertanian impor yang menyebabkan ancaman kerugian serius bagi produk
pertanian dalam negeri atau apabila terjadi serangan impor atau banjir impor produk pertanian dari luar
negeri atau import surge (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Departemen Pertanian, 2004). SP dan SSM biasanya berupa produk-produk pertanian sensitif yang
terkait erat dengan isu food security, poverty alleviation, rural development and rural employment.
Pengajuan proposal SP dan SSM dalam negosiasi bidang pertanian WTO dimaksudkan untuk
memberikan fleksibilitas bagi negara- negara berkembang dalam menetapkan kebijakan perdagangan
dan pembangunannya untuk melindungi dan memberdayakan sejumlah produk strategis yang penting
bagi negara berkembang dan terkait dengan keberlangsungan hidup orang banyak sebagai respon wajar
dan antisipasi terhadap persaingan tidak adil. Dengan demikian, SP dan SSM dapat dianggap sebagai
perlindungan khusus yang fleksibel dan permanen. Dengan berbagai alasan logis tersebut, Indonesia
sangat gigih memperjuangkan proposal SP dan SSM untuk dikecualikan dari agenda negosiasi selanjutnya
sebagai bentuk liberalisasi dan deregulasi perdagangan produk pertanian (Bonnie Setiawan, 2002)
Konsep SP dan SSM telah mendapatkan dukungan dari negara-negara berkembang lainnya, sehingga
mereka tergerak untuk ikut bergabung ke dalam kelompok G-33 di WTO. Konsep ini telah berkembang
menjadi senjata diplomasi yang ampuh bagi kelompok negara berkembang (Direktorat Jenderal Bina
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian, 2004). Strategi diplomasi negara
berkembang, pada khususnya Indonesia melalui G-33 adalah ditujukan untuk menyatukan suara dan
meningkatkan posisi runding di dalam negosiasi-negosiasi proses pembuatan perjanjian ekonomi,
khususnya perdagangan (www.kemlu.org). Hal ini terkait dengan alotnya proses negosiasi perjanjian
dalam WTO. Belum lagi di dalam WTO, banyak lobi-lobi yang dilakukan secara ekslusif yang hanya
dihadiri oleh perwakilan negara-negara maju, yaitu apa yang dinamakan dengan Green Room. Indonesia
selaku koordinator G-33 terus berupaya untuk melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya
dengan menyelenggarakan berbagai pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar (Head of
Delegations), Senior Official Meeting, dan Pertemuan Tingkat Menteri yang dilakukan secara rutin, di
Jenewa maupun di luar Jenewa. Tujuannya adalah untuk mencapai kesepakatan yang mengakomodasi
kepentingan Indonesia dan negara berkembang anggota G-33 lainnya, pada khususnya untuk melindungi
kepentingan petani kecil dan miskin. Indonesia dalam melaksanakan diplomasi ekonomi, pada khususnya
di WTO melalui G-33 memiliki Tim Nasional yang sangat aktif dalam melaksanakan fungsinya, tidak
terkecuali dalam perundingan Doha Development Agenda (DDA) di WTO (Herry Soetanto, 2016)
Sejauhmana efektifitas G-33 dalam menggoalkan SP dan SSM dapat dilihat dari dimasukkannya proposal
SP dan SSM ke dalam draft Harbinson dan draft Ministerial Cancun (Derbez Text). Meskipun, Amerika
Serikat dan Cairns Group (CG) melihat konsep SP dan SSM sebagai konsep yang bertentangan dengan
mandat Doha. Akan tetapi, setelah kegagalan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Cancun, Uni Eropa
mengambil sikap dapat memahami terhadap proposal SP dan SSM ini, walaupun tidak menyatakan
dukungannya secara langsung (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Departemen Pertanian, 2004). AS dan negara-negara maju tetap berargumen bahwa peningkatan akses
pasar, penurunan domestic support, dan subsidi ekspor harus berlaku bagi setiap produk pertanian.
Indonesia dan negara berkembang lainnya menganggap bahwa argumen tersebut bertentangan dengan
Semangat Doha. Diplomasi negara berkembang dalam WTO, terutama melalui G-33 dalam
memperjuangkan SP dan SSM semakin intensif. Pada sidang Committee on Agriculture (CoA) bulan
Maret 2004, konsep SP dan SSM telah diakui sebagai konsep yang perlu diakomodasi di dalam
framework agreement baru sebagai bentuk Special and Different Treatments (S&D) bagi negara-negara
berkembang (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen
Pertanian, 2004). Pertentangan antara negara maju dan negara berkembang mengenai konsep SP dan
SSM terletak dalam indikator dan kriteria objektif. Menurut negara maju, kriteria yang diajukan dalam
(Hymn Sheet) G-33 didasarkan kepada penetapan sendiri (self-declared), di mana menurut negara maju
hal tersebut dinilai sangat subjektif dan tidak berlaku umum bagi semua negara. Sedangkan, menurut
negara berkembang, metode self-declared sangat sesuai diterapkan karena setiap negara berkembang
memiliki komoditas SP dan SSM yang berbeda (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian Departemen Pertanian, 2004).

Pada pertemuan KTM X Nairobi, di Kenya, G-33 tetap memperjuangkan kepentingan dan agendanya,
yaitu pada khususnya SP dan SSM. Sehari sebelum KTM X berlangsung, Kelompok G-33 mengadakan
pertemuan konsolidasi (Bastanul Siregar, 2016). Menteri Perdagangan Indonesia, Thomas Lembong,
memimpin pertemuan tingkat menteri Kelompok G-33 pada 14 Desember 2015. Pertemuan tersebut
menghasilkan Komunike Bersama (G-33 Ministerial Communique), salah satu poinnya adalah
mendesakkan proposal SP dan SSM. Hasil dari KTM X Nairobi adalah proposal G-33 ditetapkan sebagai
bagian agenda WTO yang akan terus dipantau kemajuannya (tertulis dalam dokumen deklarasi: the
General Council shall regularly review progress in these negotiations), artinya keinginan G-33 agar SP dan
SSM menjadi kesepakatan di WTO tetap dapat diperjuangkan sampai menjadi kesepakatan akhir yang
harus ditaati dan tidak dapat ditarik kembali (Muhammad Firdaus, 2016). Melihat hasil dari KTM X
Nairobi, tampaknya perjuangan Indonesia dan negara berkembang yang tergabung di dalam kelompok
G-33 masih harus melalui jalan yang panjang untuk memasukkan proposal SP dan SSM ke dalam
perjanjian bidang pertanian WTO (AoA WTO). Poin yang harus dperhatikan terkait strategi yang telah
dikembangkan sejak pertengahan tahun 1950-an oleh negara-negara berkembang dan terbelakang
dalam WTO ataupun forum-forum perundingan internasional lainnya, yaitu strategi collective self-
reliance dan collective bargaining adalah bahwa pada saat ini strategi tersebut mendapat tantangan dan
bahkan dianggap tidak efektif lagi (Mohtar Masoed, 2008). Padahal strategi tersebut pada tahun 1964
berhasil membentuk UNCTAD yang dikuasai mayoritas oleh negara-negara berkembang dan pada tahun
1974 berhasil membuat Majelis Umum PBB untuk membentuk Deklarasi menuju Tata Ekonomi
Internasional Baru.

Faktor-faktor penyebabnya yang pertama adalah terjadinya diferensiasi negara berkembang, yaitu ada
negara berkembang yang bertumbuh dan bahkan menjadi negara maju, tetapi ada negara berkembang
yang tetap atau bahkan menurun. Faktor kedua adalah perubahan yang terjadi dalam pasar keuangan
internasional yang terkait erat dengan konteks petrodollar. Faktor yang ketiga adalah perubahan dalam
produksi dunia yang terkait dengan kemunculan MNCs (Mohtar Masoed, 2008). Kekompakan dan
kesatupaduan koalisi atau kelompok kepentingan WTO bergantung kepada lima faktor (Amrita Narlikar
dan John S. Odell, 2006). Pertama, persoalan free-rider. Kedua, pihak luar akan mencoba untuk
memecah koalisi, di mana hal ini terkait akan kredibilitas koalisi itu sendiri. Ketiga, kekompakan
tergantung dari bagaimana anggota koalisi merespon upaya pihak lain dalam persoalan divide-and-rule.
Di sini diperlukan upaya- upaya diplomasi yang persuasif untuk meyakinkan anggota koalisi bahwa koalisi
ini menguntungkan mereka. Keempat, kemajemukan kepentingan perdagangan di antara negara-negara
anggota koalisi akan membuka kesempatan pihak luar untuk memecahbelah dengan memberikan
berbagai penawaran kerjasama perdagangan atau bantuan, misalkan. Selain itu, upaya memecah
kekompakan koalisi oleh kelompok lain juga dapat dengan menyerang isu yang lebih penting bagi suatu
negara dibandingkan negara anggota lain dalam koalisi tersebut. Keberagaman koalisi juga mempersulit
anggota untuk mencapai kesepakatan apabila koalisi tersebut harus mempertimbangkan tawaran pihak
luar pada akhirnya. Kelima, semakin miskin sebuah negara anggota dalam sebuah koalisi, semakin sulit
bagi negara tersebut untuk bertahan apabila terjadi fragmentasi. Apabila ada pihak luar menawarkan
kerjasama yang menguntungkan dan atau memberikan bantuan yang sangat diperlukan dapat membuat
negara anggota tersebut mudah berbalik arah. Berbagai faktor sebagaimana dijelaskan di atas harus
diperhatikan oleh negara-negara anggota G-33. Setiap negara anggota G-33 harus menjaga kekompakan
dan kesolidan dalam memperjuangkan kepentingan negara- negara berkembang, pada khususnya dalam
konsep SP dan SSM. Negara anggota G-33 diharapkan tidak mudah terprovokasi atau tergiur dengan
berbagai tawaran yang mungkin diberikan oleh negara lain di luar G-33, yang dapat menciptakan gap
bahkan friction di dalam G-33 itu sendiri, yang pada kelanjutannya dapat membuat kekompakan G-33
lenyap dan bahkan dapat membubarkan kelompok G-33. Di sinilah peran Indonesia sebagai ketua G-33
harus lebih aktif dan antisipatif. Indonesia sebagai leader G-33 harus mampu menjaga kekompakan
tersebut dan tetap berupaya untuk mempromosikan proposal SP dan SSM kepada negara-negara
anggota WTO lainnya, sehingga negara anggota WTO lainnya dapat ikut mendukung dan bahkan
bergabung ke dalam G-33 untuk bersama-sama memperjuangkan SP dan SSM, sehingga hal tersebut
dapat menambah kekuatan (bargaining position) G-33 dalam setiap perundingan bidang pertanian di
WTO. Selain itu, Indonesia juga harus mampu mengakomodasi kepentingan dan aspirasi negara-negara
anggota G-33. Sebagai ketua G-33, Indonesia dan tentunya bersama negara anggota G-33 lainnya harus
mampu mengawal konsep SP dan SSM agar dapat diatur dan disepakati masuk ke dalam perjanjian
pertanian (AoA) WTO dengan tujuan untuk melindungi pertanian negara berkembang dan petani miskin.
18

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Strategi diplomasi ekonomi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya yang tergabung di dalam
G-33 untuk memperjuangkan proposal Special Products dan Special Safeguard Mechanism agar dapat
dikecualikan dari perdagangan bebas dalam kerangka WTO masih panjang. Dengan belum diterimanya
SP dan SSM oleh semua anggota WTO, terutama oleh negara-negara maju, maka SP dan SSM belum
dapat diatur dalam ketentuan Agreement on Agriculture (AoA), padahal SP dan SSM merupakan
mekanisme perlindungan bagi pertanian negara-negara berkembang dan petani miskin di negara-negara
berkembang. Oleh sebab itu, globalisasi, dalam hal ini pada khususnya WTO belum mampu memberikan
keuntungan bagi negara-negara berkembang. Indonesia sebagai ketua G-33 harus dapat menjaga
kekompakan dan kesatupaduan G-33 dalam mengusung dan mengawal proposal SP dan SSM agar dapat
diterima dan disepakati oleh negara-negara anggota WTO, pada khususnya agar negara-negara maju
dapat mengakui dan menerima proposal SP dan SSM, sehingga dapat diatur dan dimasukkan ke dalam
ketentuan peraturan bidang pertanian (AoA).

Anda mungkin juga menyukai