Penyusunan hasil evaluasi ini tidak lepas dari berbagai kekurangan.Oleh karena itu,
masukan, kritik, ataupun saran bagi perbaikan tulisan sangat diharapkan.Terima kasih kami
ucapkan pula kepada pihak-pihak yang membantu penyusunan laporan evaluasi LP2B ini
khususnya kepada pihak Bappeda dan Dinas Pertanian di lokasi-lokasi yang menjadi
sampel kegiatan ini.
Nono Rusono
S kerja yang terserap cukup besar, sektor ini juga masih mampu memberikan
kontribusi pendapatan yang cukup besar bagi perekonomian nasional.Akan
tetapi, permasalahan yang paling mendasar dari sektor pertanian ini adalah
semakin menyusutnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan.Lahan merupakan faktor
utama dalam pengembangan pertanian.Oleh karena itu, pada tahun 2009 Pemerintah
bersama-sama dengan DPR mengesahkan lahirnya Undang-Undang No.41/2009 tentang
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).Undang-undang ini diharapkan dapat
menahan laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat
menopang ketahanan pangan nasional dan Indonesia memiliki lahan pertanian abadi.
Adapun tujuan dari kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) adalah untuk:
1. mengidentifikasi perkembangan dan capaian pelaksanaan kebijakan LP2B;
2. mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan LP2B; serta
3. menganalisis dan mengevaluasi capaian pelaksanaan kebijakan LP2B serta
rekomendasi kebijakan yang diperlukan.
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode survey dengan mengambil
beberapa sampel kabupaten yang menjadi sentra pertanian padi di provinsinya masing-
masing, yaitu Aceh Tamiang (NAD), OKU Timur (Sumsel), Lamongan (Jatim), Maros
(Sulsel), Garut (Jabar), Sleman (DIY), Magelang (Jateng), Lombok Tengah (NTB), dan
Tabanan (Bali). Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis ini didasarkan pada
UU No. 41/2009 pasal 4, yaitu:
a. Perencanaan dan Penetapan
b. Pengembangan
c. Penelitian
d. Pemanfaatan
e. Pembinaan
f. Pengendalian
g. Pengawasan
h. Sistem Informasi
i. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
j. Pembiayaan
k. Peranserta Masyarakat
l. Dan ditambah dengan sanksi administrasi.
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan LP2B dapat dikatakan
belum berjalan sebagaimana mestinya.Hal ini disebabkan berbagai kendala yang dihadapi
oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat undang–undang tersebut.Berdasarkan
seluruh aspek yang dikaji, hanya ada dua aspek yang baru dilakukan, yaitu perencanaan
dan penetapan LP2B di dalam RTRW kabupaten, dan penelitian.Aspek perencanaan dan
penetapan pun masih berada pada koridor yang tidak tepat karena ada beberapa kabupaten
menempatkan LP2B di dalam RTRW, seharusnya LP2B dan Lahan Cadangan P2B
ditempatkan di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Adapun rekomendasi yang dapat disarankan atas hasil kajian ini adalah sebagai berikut:
Berbicara mengenai pertanian, tidak terlepas dari lahan. Lahan merupakan faktor utama
dalam pengembangan pertanian. Sebagai negara agraris yang memiliki serapan tenaga
kerja terbanyak dibandingkan sektor ekonomi lainnya, sektor pertanian menjadi salah satu
tumpuan pembangunan nasional, khususnya dalam penyediaan pangan. Pasokan pangan
lokal menjadi tumpuan bagi penyediaan pangan nasional. Namun, seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk, peningkatan aktivitas ekonomi, serta peningkatan
kebutuhan pangan menyebabkan upaya mencapai ketahanan pangan nasional di masa
mendatang menjadi semakin berat. Apalagi ditunjang dengan kenyataan bahwa penyediaan
pangan lokal belum mampu memenuhi permintaan pangan nasional. Hal ini disebabkan
oleh meningkatnya permintaan dan turun naiknya produksi dan produktivitas pangan
nasional. Dengan kata lain, produksi pangan sangat dipengaruhi iklim, apalagi sekarang ini
pertanian dihadapkan pada fenomena iklim yang tidak menentu sebagai akibat terjadinya
perubahan iklim (climate change).
Tantangan berikutnya yang harus dihadapi oleh sektor pertanian adalah semakin
tergerusnya lahan-lahan pertanian oleh aktivitas ekonomi manusia, terutama untuk
permukiman, pembangunan infrastruktur (jalan, bendungan, dan sebagainya), ataupun
industri. Pembangunan yang terus dilaksanakan menyebabkan banyak lahan pertanian
yang harus beralih fungsi menjadi non-pertanian. Alih fungsi lahan semakin masif terjadi
di wilayah perkotaan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa selama periode
Juni 1998-Juni 2003, terjadi konversi lahan sawah menjadi lahan bukan pertanian
mencapai sekitar 12,7 ribu ha, sementara konversi dari lahan pertanian bukan sawah
menjadi lahan non pertanian mencapai sekitar hampir 30 ribu ha. Harga lahan yang cukup
tinggi menjadi salah satu faktor pemicu para petani untuk melepas kepemilikan lahannya
ke investor untuk dialihfungsikan. Artinya, motif ekonomi menjadi penyebab utama dari
alih fungsi lahan. Adapun petaninya itu sendiri memanfaatkan hasil penjualan lahannya
tersebut dalam berbagai keperluan, seperti pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji,
warisan, membeli lahan baru di wilayah yang jauh dari perkotaan, dan sebagainya.
Akibatnya keadaan ini menyebabkan kemampuan lahan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan makanan bagi penduduk semakin berkurang. Apabila hal ini dibiarkan, maka
akan terjadi penurunan produksi pangan, khususnya padi. Akibatnya, kemampuan produksi
pangan lokal semakin tidak mampu memenuhi tekanan demand pangan yang cukup tinggi,
selanjutnya pemerintah akan melakukan impor atas komoditas pangan. Dampak berikutnya
adalah semakin besar anggaran pemerintah untuk pengadaan pangan impor atau terjadinya
pengeluaran sumber daya kapital ke luar negeri (capital flight).
Peraturan perundangan terkait dengan LP2B ini masih dapat dikatakan relevan dengan
prioritas Nawa Cita yang disebutkan di dalam RPJMN Tahun 2015-2019. Pada Nawa Cita
ke-5 disebutkan bahwa “Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia”.
Artinya, salah satu wujud dari peningkatan kualitas hidup adalah dengan peningkatan
kesejahteraan penduduk. Peningkatan kesejahteraan hidup petani lebih dikaitkan pada
penguasaan lahan pertanian. Oleh karena itu, prioritas ini masih memiliki relevansi dengan
upaya perlindungan petani melalui LP2B.
Akan tetapi, seiring perjalanan waktu setelah ditetapkannya UU No. 41/2009 implementasi
dari regulasi tersebut belum mampu mengimbangi alih fungsi lahan yang terus terjadi.
Disisi lain, program pencetakan sawah baru yang menjadi salah satu tupoksi Kementerian
Pertanian acap tidak mencapai target dan masih menyisakan berbagai permasalahan seperti
ketersediaan sarana pendukungnya seperti petani, irigasi, dan juga akses usaha.
Persoalannya adalah apakah informasi LP2B tersebut telah sampai pada masyarakat yang
lahannya terkena LP2B. Apakah pemerintah daerah telah mengeluarkan peraturan
perundangan daerah terkait dengan LP2B dan sebagainya.
Oleh karena itu, diperlukan suatu evaluasi atau assessment untuk melihat implementasi
kebijakan LP2B dikaitkan dengan berbagai regulasi yang telah disusun selama ini.
Evaluasi ini menitikberatkan pada amanat yang ditelah ditetapkan di dalam UU No.
1.2. Tujuan
1.3. Sasaran
Adapun yang menjadi sasaran dari kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah:
1. Teridentifikasinya perkembangan dan capaian pelaksanaan kebijakan LP2B dan
permasalahan yang dihadapi, dan
2. Tersusunnya rekomendasi kebijakan percepatan pelaksanaan LP2B
1.5. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah tersusunnya sebuah laporan Evaluasi Implementasi
Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan termasuk didalamnya rekomendasi
kebijakan yang terkait dengan LP2B
Berdasarkan laporan dari Foley (2014) yang ditulis di dalam National Geographic edisi
Mei 2014 bertopik “Masa Depan Pangan” menyebutkan bahwa lahan tanpa es yang terbagi
atas dua hal, yaitu lahan yang belum tersentuh sebesar 46,5% dan lahan yang telah diubah
manusia sebesar 53,5% dari total area permukaan bumi, termasuk air, seluas 509 triliun
Km2. Luas bumi yang telah diusahakan oleh manusia terbagi atas dua hal, yaitu untuk
pertanian seluas 50 triliun meter persegi (38,6%) dan lainnya seluas 19 triliun meter
persegi (14,9%). Lahan pertanian dimanfaatkan untuk penggembalaan dan lahan tanam,
sedangkan lahan lainnya terdiri dari lahan yang tergerus karena erosi, perumahan dan
bisnis pedesaan, area perkotaan, hutan tanaman, pembalakan, dan pertambangan, tambang
terbuka, jalanan, rel kereta api, penampungan air. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
lahan pertanian mendominasi area bumi saat ini. Artinya, seluruh lahan tersebut
dimanfaatkan untuk penyediaan pangan bagi milyaran penduduk di muka bumi. Data
tersebut dapat menjelaskan bahwa lahan pertanian sangat krusial bagi penghidupan
penduduk dunia.
Seperti diketahui bahwa tanah memiliki dua sisi perspektif, yaitu sebagai barang ekonomi,
dan objek budaya yang memiliki nilai ikatan spiritual (Husein, 2014). Sebagai barang
ekonomi, tanah atau lahan dapat dimanfaatkan secara langsung untuk penghidupan, baik
untuk pertanian, permukiman, usaha, fasilitas publik dan sebagainya. Di sisi lainnya, lahan
dapat dialihkan status kepemilikannya dari satu orang/lembaga ke orang/lembaga lainnya,
atau dengan kata lain, lahan sebagai objek yang dapat diperjualbelikan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Oleh karena lahan sebagai objek yang dapat dialihkan
statusnya atau diperjualbelikan, dan dapat dialihfungsikan dari pertanian ke non-pertanian,
hal ini yang menjadi titik dasar terjadinya permasalahan pertanahan hampir di seluruh
negara di dunia. Permasalahan yang muncul berikutnya adalah kesenjangan dalam
kepemilikan lahan. Orang-orang berkapital melakukan akuisisi atas lahan-lahan yang
dimiliki oleh orang-orang yang tergolong miskin atau berketidakmampuan, sehingga
terjadinya ketimpangan atas distribusi lahan. Hal ini menimbulkan gagasan di dunia untuk
melakukan “Land Reform”.
Sejarah Land Reform pertama kali dilakukan di jaman Yunani Kuno pada pemerintahan
Solon, 594 tahun Sebelum Masehi (Heryanti, 2011). Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak
sejarah: “land reform” berhasil diterapkan di jaman Romawi Kuno (134 SM) oleh Tiberius
Gracchus; gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak di Inggris, selama ±5
abad; dan Revolusi Perancis (1789 – 1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di
Eropa melakukan “land reform”. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, terjadi
pembaharuan pertanahan di dunia. Dalam perkembangannya reforma agraria mengalami
perkembangan dan perubahan dimana ada negara yang berhasil dan membawa perubahan
dalam perkembangan pembangunan dalam negaranya namun ada pula yang gagal.
Pengertian land reform menurut Cohen (1978) adalah redistribusi tanah sebagai upaya
perbaikan struktur penguasaan dan kepemilikan lahan di tengah masyarakat sehingga
kemajuan dapat diraih dan lebih menjamin keadilan. Adapun reformasi agraria adalah
suatu upaya yang sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat dalam jangka
waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta
menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat “baru” yang demokratis dan
berkeadilan yang mulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul oleh sejumlah program
pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan masyarakat pada
umumnya (Bachriadi, 2007). Berdasarkan kedua pengertian tersebut, terjadi perbedaan
pengertian antara land reform dan reformasi agraria yang diterapkan di Indonesia.
Reformasi agraria di Indonesia di mulai pada tahun 1948 dengan dibentuknya Panitia
Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948. Selanjutnya,
perjuangan untuk mensahkan regulasi tentang agraria terus dilakukan, dan akhirnya pada
tahun 1960 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan menjadi Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tanggal 24 September
1960. Baik land reform ataupun reformasi agraria lebih cenderung pada satu konsep, yaitu
redistribusi penguasaan dan pemilikan tanah yang berkeadilan.
Kaitan UUPA dengan pertanian, disebutkan pasal 7 dan 17 UUPA dimana terdapat
pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah, serta batas-batas maksimum pemilikan
tanah. Pasal tersebut mendasari terbentuknya Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah Pertanian dan Pembagian Ganti Rugi. Pada dasarnya undang-undang
tersebut mengatur 3 masalah pokok, yaitu (1) penetapan luas maksimum penguasaan
tanah, (2) gadai tanah, dan (3) luas maksimum tanah pertanian (Mungkasa, 2014). Akan
tetapi, undang-undang landreform ini tidak dapat diterapkan di Pulau Jawa karena luas
lahan yang akan dibagikan tidak cukup. Berdasarkan Heryanti (2001) disebutkan bahwa
sejak tahun 1961 sampai dengan 2002, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hak tanah
obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang
tersebar diseluruh Indonesia. Inti dari reformasi agraria ini adalah dalam rangka
peningkatan produksi pertanian melalui redistribusi tanah dan peningkatan taraf hidup
petani.
Bagaimana halnya kaitan antara UUPA dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang LP2B. Kaitan
keduanya adalah saling melengkapi dimana Reformasi Agraria menetapkan luasan
kepemilikan dan penguasaan lahan, sedangkan UU LP2B lebih kepada upaya
mempertahankan status luasan lahan pertanian produktif agar tidak terjadi konversi lahan
ke non-pertanian, meskipun lahan tersebut dapat dialihkan status kepemilikan dan
kepenguasaannya, namun fungsinya tetap sebagai lahan pertanian. Basisnya adalah bahwa
pemerintah akan memagari lahan-lahan pertanian dan pangan agar tidak terjadi penyusutan
lahan-lahan tersebut sebagai akibat adanya konversi lahan pertanian menjadi non-
pertanian.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa lahan atau tanah memiliki dua
perspektif, yaitu sebagai objek ekonomi dan objek budaya. Sebagai objek ekonomi, lahan
menjadi barang yang dapat dialihkan status kepemilikan dan penguasaannya atau dapat
diperjualbelikan karena memiliki nilai tukar. Tanah seringkali dijadikan sebagai barang
tabungan karena nilai objek tersebut tidak pernah turun bahkan cenderung meningkat dari
tahun ke tahun. Oleh karena itu, perorangan yang memiliki lahan yang cukup luas berarti
orang tersebut dapat dikatakan kaya.
Teori yang berkaitan erat dengan alih fungsi lahan adalah teori lokasi. Dalam laporan ini,
ada dua teori yang diungkap, yaitu teori Weber dan Losch. Kedua teori ini memiliki
prinsip yang sama dalam penentuan lokasi adalah adanya biaya terkecil. Penentuan lokasi
merupakan salah satu aspek penting dalam perencanaan pra- produksi sebab pemilihan
lokasi yang salah akan berdampak pada ketidakberhasilan usaha pertanian bahkan bisa
menimbulkan kebangkrutan pada usaha yang telah diinvestasikan. Untuk usaha agribisnis
yang berskala kecil mungkin saja pemilihan lokasi bukan merupakan prioritas utama
karena umumnya produksi dilakukan di daerah domisili para petani. Akan tetapi, jika
usaha agribisnisnya berskala besar, seperti dalam bentuk perusahaan, yang dikelola oleh
perusahaan dengan modal investasi yang cukup besar, maka aspek lokasi mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan dan kesinambungan usaha.
Pengambilan keputusan tentang penentuan lokasi usaha oleh perusahaan terkait dengan
memaksimalkan keuntungan yang akan diperoleh terutama dalam meminimalisasi biaya
produksi (cost of production) dan biaya transportasi. Ada tiga hal yang menjadi
pertimbangan perusahaan dalam menentukan lokasi, yaitu kemudahan dalam pengumpulan
input produksi, proses produksi, dan pemasaran (Budiharsono, 1988).
Pertama, pertimbangan kemudahan dalam input produksi lebih ditekankan pada kedekatan
lokasi dengan sumber input produksi dan tenaga kerja. Ada dua sumber input produksi,
yaitu input lokal dan input yang dapat ditransfer. Input lokal adalah semua barang dan jasa
yang menjadi potensi sumberdaya dari lokasi tersebut. Input lokal ini tentunya didukung
oleh faktor-faktor lain sehingga potensi sumberdaya tersebut berlimpah di daerah itu,
seperti lahan, iklim, kualitas udara, kualitas air, keadaan lingkungan, infrastruktur jalan,
telekomunikasi, kelistrikan, dan sebagainya. Selanjutnya, input yang dapat ditransfer
adalah input produksi yang dapat ditransfer dari sumber-sumber di luar suatu lokasi atau
dari lokasi tersebut ke luar lokasi. Dengan adanya input yang dapat ditransfer dari dan ke
luar lokasi merupakan pencerminan adanya biaya transfer atau biaya transportasi.
Selain, biaya pembuatan perijinan yang murah, alternatif pemilihan lokasi juga ditentukan
oleh biaya transportasi. Berdasarkan Alfred Weber yang dikutip oleh Budiharsono (1988)
dan Richardson (1972) mengungkapkan bahwa pendekatan biaya terkecil sebagai salah
satu alternatif pemilihan lokasi. Dasar Teori Weber adalah bahwa penentuan lokasi untuk
suatu usaha didasarkan atas biaya transportasi terkecil atau meminimumkan biaya
transportasi. Weber mengemukakan ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi
usaha, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi (terpusatnya
industri yang memproduksi komoditas yang sama). Weber mengasumsikan bahwa biaya
transportasi berbanding lurus dengan jarak yang ditempuh dan berat barang sehingga titik
yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input
dan pendistribusian adalah minimum. Weber menggambarkan teorinya dengan segitiga
lokasi (lihat Gambar 2.1), di mana titik lokasi optimum (T) adalah titik keseimbangan
antara sumber bahan-bahan mentah (M1 dan M2) dengan pasar (Mk). Untuk menunjukkan
bahwa lokasi tersebut optimum terhadap sumber-sumber input produksi dengan pasar,
Weber mengemukakan suatu indeks yang disebut dengan indek bahan (material index)
yang dirumuskan sebagai berikut:
Mk = Pasar
T
b cx,y,z = bobot dari input atau output
Y dengan pasar
Z
Gambar 2.1.
Segitiga Lokasi Weber
Bila indeks bahan lebih dari satu (> 1) artinya bahwa perusahaan tersebut lebih berorientasi
ke bahan mentah (material oriented). Sedangan bila nilai indeks bahannya kurang dari satu
(< 1) berarti perusahaan tersebut lebih berorientasi kepada pasar (market oriented). Teori
Weber tersebut mempunyai kelemahan sebagai berikut:
Harga
Kurva
F
Q
Permintaan
S
R S P
R
P Q
F
O Kuantitas/ Jumlah
Barang (Q)
Gambar 2.2
Kurva Permintaan Losch dan Kerucut Permintaan
Pada kurva permintaan Losch diungkapkan bahwa pusat pasar adalah O sedangkan lokasi
yang berdekatan dengan pasar adalah P. Harga persatuan barang adalah OP dengan
permintaan sebesar PQ. Agak jauh dari pusat pasar, misalkan saja titik R, biaya
pengangkutan menyebabkan harga persatuan barang meningkat menjadi OR dengan
permintaan RS. Jauh dari pusat pasar, misalnya titik F, biaya pengangkutan menyebabkan
harga per satuan barang menjadi sangat tinggi sehingga permintaan sama dengan nol.
Berdasarkan kedua teori di atas dapat ditunjukkan pemilihan lokasi dalam rangka
pengembangan usaha ditentukan berdasarkan kedekatan dengan sumber bahan baku
produksi, pasar, dan biaya transfer. Hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan individu,
kelompok, atau lembaga yang memiliki lahan dalam melepas status lahannya, terutama
jika lahan tersebut memiliki nilai jual yang tinggi.
Pada bagian ini diuraikan beberapa hasil penelitian terkait dengan implemtasi Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Ada tiga fokus pembahasan yang dihasilkan oleh
para peneliti sebelumnya, yaitu Implementasi Kebijakan LP2B, LP2B di dalam RTRW,
pemetaan LP2B, dan tanggapan petani terhadap LP2B. Hasil-hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran pelaksanaan dari kebijakan LP2B seperti yang
diamanatkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Kebijakan LP2B yang telah diundangkan melalui UU No. 41 Tahun 2009 menjadi kajian
menarik untuk diteliti. Salah satu peneliti yang membahas tentang pelaksanaan kebijakan
LP2B di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dilakukan oleh Handari (2012) dan
menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pelaksanaan kebijakan perlindungan LP2B di Kabupaten Magelang baru sebatas
proses identifikasi lahan, dimana ditetapkan luas lahan pertanian berkelanjutan adalah
42.079,00 hektar yang terdiri dari lahan sawah dan lahan kering dan tersebar di 21
kecamatan di dalam Rencana Tata Ruang (RTR) Lahan Pertanian Pangan
Sesuai dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009, kebijakan LP2B harus ditetapkan di dalam
RTRW kabupaten/kota. Berdasarkan hasil kajian dari Direktorat Jenderal Prasarana dan
Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian di tahun 2013 dan 2014 tentang Kajian
Inventarisasi LP2B dihasilkan hal-hal sebagai berikut.
3. Pemetaan LP2B
Kajian Pemetaan LP2B di Kabupaten Purworejo dilakukan oleh Sakti, dkk (2013). Pada
penelitian ini dijelaskan bahwa terjadi alih fungsi lahan sawah ke non sawah dengan rata-
rata sebesar -0,0956% pertahun dari 2007–2011. Luas lahan sawah pada Tahun 2007
adalah 30.621,04 ha, namun di Tahun 2011 menjadi 30.504,02 ha atau terjadi penyusutan
seluas 117,2 ha selama 5 tahun atau rata-rata 24 ha lahan sawah dikonversi per tahun.
Adapun konversi pada lahan kering sebesar -0,0005% pertahun. Luas lahan kering di
Tahun 2007 tecatat seluas 51.598,15 ha, sedangkan pada Tahun 2011 tercatat seluas
51.597,13 ha. Jadi, terjadi konversi lahan 1 hektar selama 5 tahun. Artinya, laju konversi
lahan kering lebih lambat dibandingkan dengan lahan sawah.
Di dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
peta present landuse (2010) (data primer) dengan luas dari Perda Pemkab Purworejo No.
27/2011, BPS (2010) dan BPN (2010). Total luas lahan pertanian hasil analisis peta
present landuse adalah 38.561,82 ha; terdiri dari 27.850,18 ha lahan sawah (lowland) dan
10.711,00 ha lahan kering (upland). Pasal 52 ayat 2 Perda No. 27/2011 menyebutkan
bahwa total kawasan pertanian pangan Purworejo 40.149 ha, terdiri dari 29.891 ha untuk
lahan basah dan 10.258 ha lahan kering; sedangkan BPN Kabupaten Purworejo mencatat
luas lahan sawah Tahun 2010 adalah 30.505,46 ha, dan menurut BPS (2010) seluas
30.626,99 ha. Adapun hasil analisis penentuan luas kawasan pertanian pangan yang
dituangkan dalam bentuk peta LP2B dan LCP2B di Kabupaten Purworejo adalah total luas
kawasan pertanian pangan adalah 38.562 ha terdiri dari lahan basah 27.850 ha dan lahan
Kajian lainnya yang terkait dengan pemetaan LP2B, LCP2B, dan KP2B dengan
menggunakan data citra penginderaan jauh dilakukan oleh Barus, dkk (2012) di Kabupaten
Garut dan Bogor menghasilkan penelitian sebagai berikut:
1. Secara umum Kabupaten Garut termasuk yang surplus lahan sawah, sedangkan
Kabupaten Bogor termasuk daerah yang defisit lahan sawah.
2. Hasil kajian ini berhasil mengidentifikasi bahwa penetapan kawasan pertanian pangan
berkelanjutan hanya mampu menyelamatkan lahan sawah sebesar 25% dari total area
sawah yang teridentifikasi.
3. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian ini adalah:
a. Penyebab lahan pangan belum terlindungi antara lain karena keterbatasan data
yang tersedia untuk pengambilan keputusan. Ketersediaan data lain untuk
penentuan lahan yang dilindungi bervariasi antar wilayah. Selain itu,
keterlambatan penyelamatan lahan pangan juga terkait dengan pertimbangan
ekonomi dan politis yang ada di kabupaten.
b. Variabel yang selama ini digunakan untuk penentuan prioritas lahan pangan yang
dilindungi perlu dijelaskan sampai proksi operasional yang spesifik. Pilihan
proksi operasional harus mempertimbangkan karakteristik lokal wilayah yang
sangat bervariasi. Oleh karena itu proksi ini tidak harus diseragamkan dalam
bentuk aturan di level pusat.
c. Upaya pembangunan basis data spasial harus dilakukan oleh pemerintah daerah
untuk dapat mengidentifikasi secara persis lokasi lahan pangan yang akan
menjamin tercukupinya kebutuhan pangan masa depan. Dukungan teknologi
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis akan mempermudah proses
pemantauan dinamik penggunaan lahan, proses pembaruan dan analisis spasial
yang dibutuhkan secara lebih cepat dan lebih akurat.
Respons petani terhadap implementasi LP2B sangat penting diketahui karena masyarakat
yang terkena LP2B, lahannya tidak dapat dialihfungsikan ke non pertanian pangan, namun
lahannya dapat dijual dengan tetap status lahannya adalah lahan pertanian pangan.
Penelitian tentang tanggapan petani atas kebijakan LP2B dilaksanakan oleh Rantini dan
Prabatmodjo (2014) di Kabupaten Bandung dengan hasil penelitian sebagai berikut:
1. Sebanyak 68,6% responden menyatakan tidak akan pernah mengalihfungsikan lahan
sawah milik, meskipun sistem tumpang sari memungkinkan 52,4 % responden
menanam komoditas selain padi di lahan sawah tersebut.
2. Pandangan responden atas kesediaan untuk memelihara jaringan irigasi,
meningkatkan kesuburan tanah, mencegah kerusakan lahan, dan memelihara jalan
usahatani menunjukkan kesediaan mereka untuk memeliharanya.
3. Pandangan mereka atas insentif terhadap LP2B (walaupun belum ada ketetapan
insentif di lokasi penelitian) menunjukkan bahwa 80% responden membutuhkan
insentif tersebut kecuali insentif yang berbentuk penghargaan terhadap petani
berprestasi tinggi. Hanya 54,3% yang menyatakan memerlukan insentif atas petani
berprestasi.
Penetapan
Identifikasi Lokasi
Peraturan Evaluasi
Perundangan Inventarisasi
LP2B Faktor-Faktor Pengumpulan Evaluasi
Evaluasi terkait Data di Pusat Implementasi
dengan dan Lokasi LP2B
Studi Literatur Pelaksanaan LP2B
tentang LP2B
Analisis Data
dan Informasi
Gambar 3.1
Kerangka Kajian Implementasi Kebijakan LP2B
Ada dua objek kajian yang menjadi bahan bagi evaluasi pelaksanaan kebijakan LP2B
adalah Instansi Pemerintah khususnya Dinas Pertanian/Tanaman Pangan dan Bappeda di
tingkat kabupaten, serta Kelompok Tani.
Adapun lokasi yang menjadi tujuan dari penelitian ini didasarkan pertimbangan sebagai
bahwa lokasi kajian di tingkat kabupaten merupakan sentra-sentra tanaman pangan,
khususnya padi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka disusunlah lokasi kajian seperti pada tabel
berikut ini
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh langsung berdasarkan hasil wawancara ataupun melalui Focus
Group Discussion (FGD). Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari
berbagai instansi yang terkait dengan penelitian, seperti Dinas Tanaman Pangan
Kabupaten, BPS Kabupaten, BPS, dan Kementerian Pertanian.
Aspek-aspek evalusi yang menjadi dasar analisis pada kajian ini didasarkan pada Undang-
Undang No. 41 Tahun 2009. Atas dasar undang-undang tersebut, ada 12 variabel yang
dianalisis pada evaluasi implementasi LP2B, seperti pada Tabel 3.2.
Ke dua belas variabel di atas dianalisis sesuai berdasarkan hasil dan informasi yang
diperoleh dari lapangan dengan menggunakan panduan kuesioner. Selanjutnya, analisis
difokuskan pada terlaksana atau tidak terlaksananya kegiatan terhadap LP2B tersebut di
lapangan, serta hambatan atau permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan LP2B.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan penentuan hubungan antar faktor. Penentuan hubungan
antar faktor ini guna melihat korelasi antara faktor yang satu dengan faktor yang
lainnya. Kekuatan hubungan dinilai dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
a. Nilai 2 : Berpengaruh kuat
Penilaian kekuatan hubungan antar faktor dituangkan dalam bentuk matriks berikut.
Degree of
Active Sum
Faktor A B C D E F G H I Interrel. (AS-
(AS)
PS)
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Pasive Sum (PS)
Active Ratio
(AS/PS)
Cara pengisian kolom dapat dilakukan dua cara, yaitu dengan melihat perbaris atau
perkolom. Misalnya, pada baris ke-1: Faktor A B: Ini berarti bahwa faktor A
berpengaruh terhadap B berapa besar? ATAU pada kolom ke-1: Faktor A B: Ini
berarti bahwa faktor A berpengaruh terhadap B berapa besar?. Tahapan tersebut terus
dilakukan sampai semua kolom atau baris terisi oleh nilai.
3. Setelah itu, kemudian dianalisis untuk mengetahui rasio aktivitas (activity ratio) dan
derajat hubungan antar faktor dengan menjumlahkan untuk setiap baris (Active Sum =
AS) atau kolom (Pasive Sum = PS). Kemudian, untuk menentukan derajat hubungan
antar faktor (degree of interrelation) digunakan AS – PS atau jumlah AS dikurangi PS
pada masing-masing faktor. Sedangkan untuk menentukan Rasio Aktivitas ditentukan
dengan AS/PS atau jumlah AS dibagi PS pada masing-masing faktor. Selanjutnya,
disusun dalam matrik sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4. Berikutnya, hasil penetapan activity ratio dan degree of interrelation digunakan untuk
menentukan faktor-faktor mana yang masuk dalam kuadran Symptom, Buffer, Critical
Elements, dan Motor/Lever. Kuadran Symptom (Gejala) adalah faktor-faktor yang
sangat dipengaruhi oleh faktor lainnya dan tidak mempunyai kekuatan untuk
mengubah sistem. Kuadran Buffer (Penyangga) adalah faktor-faktor yang tidak
mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh faktor lainnya. Kuadran Critical Elements
(Elemen Kritis) adalah faktor-faktor sebagai akselerator dan katalisator terhadap
sistem tetapi faktor ini harus dipahami secara detail karena dapat berubah sewaktu-
waktu tidak sesuai dengan yang diharapkan atau memiliki efek samping. Terakhir,
kuadran Motor/Lever (Pengungkit) adalah faktor-faktor yang diprediksi dapat
mempengaruhi faktor lainnya. Selanjutnya, sebagai contoh dari diagram PSA dapat
dilihat antar kuadran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Buffer Motor/Leverage
Gambar 3.2
Contoh Diagram Participatory Sistem Analisis (PSA)
Menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2009, beberapa hal penting yang menjadi dasar
dari peraturan ini, yaitu:
1. Ruang Lingkup LP2B. Ruang lingkup LP2B berdasarkan pasal 4, UU No. 41 Tahun
2009 terdiri dari:
a. Perencanaan dan Penetapan
b. Pengembangan
c. Penelitian
d. Pemanfaatan
e. Pembinaan
f. Pengendalian
g. Pengawasan
h. Sistem Informasi
i. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
j. Pembiayaan
k. Peranserta Masyarakat
8. Pembinaan LP2B. Pembinaan LP2B wajib dilakukan oleh pemerintah yang meliputi
(Pasal 35 ayat 1 dan 2, UU No. 41/2009):
a. Koordinasi Perlindungan
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi
d. pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat
e. penyebarluasan informasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan;dan/atau
f. peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat
10. Alih Fungsi LP2B. Alih fungsi LP2B adalah sebagai berikut:
a. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dilindungi dan dilarang dialihfungsikan (Pasal 44, UU No. 41/2009). Juga
diperkuat oleh PP No. 1/2011 di dalam Pasal 35 ayat 1
b. Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat
dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Pasal 44, UU No. 41/2009). Selanjutnya, dijelaskan dalam PP No.
1/2011 di dalam Pasal 35 ayat 2, dan Pasal 36 ayat 1 dan 2, yaitu:
Pasal 35, ayat 2: Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya
dapat dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka: a.
pengadaan tanah untuk kepentingan umum; atau terjadi bencana
Pasal 36, ayat 1-2: Ayat 1: Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang dilakukan dalam rangka pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang meliputi: a. jalan umum; b. waduk; c. bendungan;
d. irigasi; e. saluran air minum atau air bersih; f. drainase dan sanitasi; g.
bangunan pengairan; h. pelabuhan; i. bandar udara; j. stasiun dan jalan
kereta api; k. terminal; l. fasilitas keselamatan umum; m. cagar alam;
dan/atau n. pembangkit dan jaringan listrik. Ayat 2: Selain kepentingan
15. Peran Serta Masyarakat LP2B. Peran Serta Masyarakat LP2B terdiri dari:
a. Pada UU No. 41 Tahun 2009, Pasal 67 ayat 3 dijelaskan bahwa peran serta dapat
dilakukan dalam tahapan:
(i) perencanaan;
(ii) pengembangan;
(iii) penelitian;
(iv) pengawasan;
(v) pemberdayaan petani; dan/atau
(vi) pembiayaan.
Analisis atas regulasi UU No. 41 Tahun 2009 ditujukan untuk melihat tidak berjalannya
implementasi undang-undang ini di daerah. Analisis ini hanya sebagai bahan masukan bagi
pemangku kebijakan untuk melihat kembali atau mengevaluasi regulasi tersebut. Oleh
Akan tetapi seiring perjalanan waktu, pelaksanaan atas regulasi ini sangat lambat. Salah
satu yang perlu dievaluasi adalah regulasinya itu sendiri. Asumsi yang digunakan untuk
menganalisis regulasi LP2B adalah meninjau regulasi ini dari sisi petani, yaitu petani yang
lahannya akan menjadi bagian dari LP2B. Jika petani tersebut berpartisipasi dalam
program ini, banyak konsekuensi yang akan diterima petani tersebut, baik itu insentif
maupun disinsentif. Asumsi berikutnya yang digunakan untuk menganalisis regulasi ini
adalah pemerintah itu sendiri sebagai fasilitator dan katalisator. Adapun analisis atas
regulasi ini diuraikan pada tabel di bawah ini.
Kebijakan LP2B merupakan kebijakan yang telah ditetapkan di dalam UU No. 41 Tahun
2009. Regulasi ini telah berjalan selama kurang lebih 6 tahun. Akan tetapi bagaimana
implementasi dari LP2B tersebut, hal inilah yang menarik untuk dievaluasi. Evaluasi ini
ditujukan untuk mengetahui pelaksanaan dari LP2B tersebut di daerah dan permasalahan
dari implementasinya.
Tabel 5.1. Rekapitulasi Perda RTRW yang telah Mencantumkan LP2B di Daerah
Berdasarkan data di atas, hanya 25 provinsi yang telah mengeluarkan Perda RTRW,
namun dari 25 provinsi tersebut hanya ada 4 provinsi yang telah menetapkan LP2B di
dalam RTRW-nya. Di samping itu, hanya 174 kabupaten yang telah menetapkan LP2B di
dalam RTRW-nya sedangkan di tingkat kota baru 18 kota yang telah menetapkan. Ini
berarti, provinsi ataupun kabupaten/kota yang telah menetapkan LP2B di dalam RTRW-
nya kurang dari 50%. Hal ini menunjukkan respons daerah di dalam menetapkan LP2B
masing sangat kurang.
LUAS BAKU
NO. LAHAN LP2B LEBIH
LUAS LP2B
NO PROVINSI KAB/ KABUPATEN/KOTA NO. PERDA SAWAH BESAR
(HA)
KOTA (HASIL (HA)
AUDIT) (HA)
1 Aceh 1 Aceh Barat Perda No. 1 Tahun 2013 22,190.00 11,886.00 10,304.00
2 Bali 2 Jembrana Perda No. 11 Tahun 2012 7,498.12 7,057.00 441.12
3 Karang Asem Perda No 17 Tahun 2012 29,543.00 7,115.00 22,428.00
4 Gianyar Perda No. 16 Tahun 2012 14,667.00 14,540 127.00
3 Banten 5 Pandeglang Perda No. 3 Tahun 2011 53,951.00 47,153.00 6,798.00
4 Bangka Belitung 6 Belitung Timur Perda No. 13 Tahun 2014 3,042.00 931.00 2,111.00
5 Jambi 7 Kerinci Perda No. 24 Tahun 2012 33,022.00 16,064.00 16,958.00
8 Batang Hari Perda No. 16 Tahun 2013 18,103.00 8,256.00 9,847.00
9 Sarolangun Perda No. 2 Tahun 2014 48,145.00 4,918 43,227.00
10 Merangin Perda No. 4 Tahun 2014 43,213.71 11,034 32,179.71
11 Tanjung Jabung Barat Perda No. 12 Tahun 2013 54,879.00 19,197 35,682.00
12 Tebo Perda No. 6 Tahun 2013 36,162.00 4,394 31,768.00
6 Jawa Barat 13 Sukabumi Perda No. 22 Tahun 2012 64,077.00 55,338.00 8,739.00
7 Jawa Tengah 14 Boyolali Perda No. 9 Tahun 2010 45,000.00 36,776.97 8,223.03
15 Kebumen Perda N0. 23 Tahun 2012 44,986.00 42,119.00 2,867.00
16 Banyumas Perda No. 10 Tahun 2011 36,616.00 30,646.53 5,969.47
17 Purworejo Perda No. 27 Tahun 2011 30,092.00 29,794.24 297.76
18 Pekalongan Perda No. 2 Tahun 2011 24,195.00 23,131.49 1,063.51
19 Banjarnegara Perda No. 11 Tahun 2011 12,147.00 12,094.50 52.50
20 Brebes Perda No. 2 Tahun 2011 101,827.00 60,827.79 40,999.21
21 Pemalang Perda No. 3 Tahun 2011 37,615.00 32,109.53 5,505.47
22 Magelang Perda No. 5 Tahun 2011 42,070.00 36,800.45 5,269.55
23 Tegal Perda No. 10 Tahun 2012 41,296.00 39,814.74 1,481.26
24 Pati Perda No. 5 Tahun 2011 85,750.00 69,026.31 16,723.69
25 Purbalingga Perda No. 5 Tahun 2011 22,616.00 18,274.00 4,342.00
26 Kudus Perda N0. 16 Tahun 2012 25,865.00 22,197.26 3,667.74
27 Batang Perda No. 7 Tahun 2011 27,514.00 19,384.00 8,130.00
28 Kota Tegal Perda No. 4 Tahun 2012 1,060.00 753.00 307.00
29 Kota Pekalongan Perda No. 30 Tahun 2011 1,045.00 788.00 257.00
8 Jawa Timur 30 Bayuwangi Perda No. 8 Tahun 2012 61,841.00 50,336.64 11,504.37
31 Bondowoso Perda No. 12 Tahun 2011 47,293.10 42,485.24 4,807.86
32 Kediri Perda No. 14 Tahun 2011 42,291.00 38,928.83 3,362.17
33 Trenggalek Perda No. 15 Tahun 2012 13,056.00 9,629.54 3,426.46
34 Tulungagung Perda No. 11 Tahun 2012 26,000.00 24,612.86 1,387.14
35 Sumenep Perda No. 12 Tahun 2013 20,860.20 20,650.00 210.20
36 Blitar Perda No. 5 Tahun 2009 28,403.32 25,274.00 3,129.32
37 Lumajang Perda No. 2 Tahun 2013 32,323.00 31,929 394.00
9 Kalimantan Selatan 38 Kotabaru Perda No. 11 Tahun 2012 19,513.00 9,860.00 9,653.00
39 Barito Kuala Perda N0. 6 Tahun 2012 120,000.00 99,147.00 20,853.00
10 Kalimantan Tengah 40 Sukamara Perda No. 16 Tahun 2012 2,384.00 1,932.00 452.00
11 Kalimantan Utara 41 Tana Tidung Perda No. 16 Tahun 2012 6,400.00 955.00 5,445.00
42 Nunukan Perda No. 19 Tahun 2013 125,982.00 6,789 119,193.00
43 Bulungan Perda No. 4 Tahun 2013 16,504.00 11,856 4,648.00
12 Kalimantan Timur 44 Kutai Kertanegara Perda No. 9 Tahun 2013 48,110.00 24,068.00 24,042.00
45 Penajam Paser Utara Penajem Paser Utara 12,534.00 11,721 813.00
LUAS BAKU
NO. LAHAN LP2B LEBIH
LUAS LP2B
NO PROVINSI KAB/ KABUPATEN/KOTA NO. PERDA SAWAH BESAR
(HA)
KOTA (HASIL (HA)
AUDIT) (HA)
13 Lampung 46 Lampung Selatan Perda No. 15 Tahun 2012 121,825.00 39,288.00 82,537.00
47 Lampung Tengah Perda No. 1 Tahun 2012 142,755.00 74,284.00 68,471.00
48 Tanggamus Perda No. 16 Tahun 2010 20,000.00 17,956.00 2,044.00
49 Tulang Bawang Barat Perda No. 2 Tahun 2012 17,323.00 10,907.00 6,416.00
14 Maluku 50 Maluku Barat Daya Perda No. 1 Tahun 2013 51,565.00 4.00 51,561.00
15 Maluku Utara 51 Halmahera Tengah Perda No. 1 Tahun 2012 3,609.25 934.00 2,675.25
52 Halmehera Utara Perda No. 12 Tahun 2012 4,034.00 1,238.00 2,796.00
53 Pulau Morotai Perda No. 3 Tahun 2012 24,000.00 358.00 23,642.00
54 Halmahera Barat Perda No. 6 Tahun 2012 16,109.00 572.00 15,537.00
55 Halmahera Selatan Perda No. 7 Tahun 2012 21,789.00 720.00 21,069.00
16 Nusa Tenggara Timur 56 Sumba Tengah Perda No. 8 Tahun 2011 5,100.00 4,099.00 1,001.00
57 Sabu Raijua Perda No. 3 Tahun 2011 15,574.00 589.00 14,985.00
58 Nagekeo Perda No. 1 Tahun 2011 9,936.00 7,707.00 2,229.00
59 Alor Perda No 2 Tahun 2013 9,435.00 482.00 8,953.00
17 Papua 60 Waropen Perda No.1 Tahun 2012 117,849.00 103.00 117,746.00
61 Yahukimo Perda No. 2 Tahun 2011 125.00 - 125.00
18 Papua Barat 62 Fak-fak Perda No. 7 Tahun 2012 450.00 - 450.00
63 Raja Ampat Perda No. 3 Tahun 2012 42,693.00 68.00 42,625.00
64 Teluk Bintuni Perda No. 4 Tahun 2012 496,608.00 818.00 495,790.00
65 Teluk Wondama Perda No. 11 Tahun 2012 49,010.00 - 49,010.00
66 Manokwari Perda No. 19 Tahun 2013 4,500.00 2,105.00 2,395.00
67 Maybrat Perda No. 2 Tahun 2012 55,000.00 - 55,000.00
19 Sulawesi Selatan 68 Sidenreng Rapang Perda No. 5 Tahun 2012 63,671.00 43,934.00 19,737.00
69 Takalar Perda No. 6 Tahun 2012 35,044.00 16,262.00 18,782.00
70 Kepulauan Selayar Perda No. 5 Tahun 2012 3,522.00 3,022.00 500.00
71 Bulukumba Perda No. 21 Tahun 2012 68,628.00 22,617.00 46,011.00
72 Pinrang Perda No. 14 Tahun 2012 49,190.00 48,614.00 576.00
73 Janeponto Perda No. 1 Tahun 2012 27,234.00 17,931.00 9,303.00
74 Bantaeng Perda No. 2 Tahun 2012 15,480.00 7,674.00 7,806.00
75 Bone Perda No. 2 Tahun 2013 119,216.00 89,709.00 29,507.00
20 Sulawesi Tengah 76 Buol Perda No. 4 Tahun 2012 9,196.00 5,443.00 3,753.00
77 Donggala Perda No. 1 Tahun 2012 14,216.00 10,601 3,615.00
78 Tojo Una-Una Perda No. 47 Tahun 2011 5,078.00 1,216.00 3,862.00
79 Banggai Perda No. 10 Tahun 2012 88,055.00 21,859.00 66,196.00
21 Sulawesi Utara 80 Bolaang Mongondow Utara Perda No. 3 Tahun 2013 13,724.00 5,731.00 7,993.00
81 Kepulauan Sangihe Perda No 1 Tahun 2014 500.00 9.00 491.00
82 Minahasa Selatan Perda No. 3 Tahun 2014 11,144.00 5,391.00 5,753.00
22 Sumatera Selatan 83 Muara Enim Perda No. 13 Tahun 2012 36,539.00 28,475 8,064.00
84 Kota Lubuk Linggau Perda No.1 Tahun 2012 2,128.00 1,959.00 169.00
23 Kepulauan Riau 85 Natuna Perda No. 10 Tahun 2012 4,928.00 389.00 4,539.00
86 Lingga Perda No. 2 Tahun 2013 5,205.00 149.00 5,056.00
24 Sulawesi Barat 87 Majene Perda No. 12 Tahun 2012 2,513.00 760.00 1,753.00
25 Sulawesi Tenggara 88 Konawe Utara Perda No 20 Tahun 2012 5,500.00 1,414.00 4,086.00
89 Konawe Selatan Perda No 19 Tahun 2013 45,618.00 16,201.00 29,417.00
90 Kolaka Utara Perda No. 6 Tahun 2012 9,466.69 1,596.00 7,870.69
91 Wakatobi Perda No. 12 Tahun 2012 24,551.00 - 24,551.00
92 Bombana Perda No. 20 Tahun 2013 54,510.00 10,977.00 43,533.00
93 Kolaka Perda No. 16 Tahun 2012 50,318.00 17,921.00 32,397.00
94 Buton Perda No. 1 Tahun 2014 16,618.00 1,426.00 15,192.00
95 Konawe Perda No 9 tahun 2014 35,469.00 26,623.00 8,846.00
26 Sumatera Barat 96 Solok Selatan Perda No. 8 Tahun 2012 9,570.00 9,490.00 80.00
97 Dharmasraya Perda No. 10 Tahun 2012 14,643.00 7,977 6,666.00
27 Sumatera Utara 98 Batubara Perda No. 10 Tahun 2013 17,032.00 14,108 2,924.00
TOTAL 3,719,477.39 1,694,304.91 2,025,172.48
Sumber: Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Ditjen PSP Kementan, 2015
Tabel 5.3. Data LP2B yang kurang dari Luas Baku Lahan Sawah Hasil Audit Lahan
LUAS BAKU
SELISIH
NO. LAHAN
LUAS LP2B SAWAH -
NO PROVINSI KAB/ KABUPATEN/KOTA NO. PERDA SAWAH
(HA) LP2B
KOTA (HASIL
(HA)
AUDIT) (HA)
1 Aceh 1 Aceh Tamiang Perda No. 14 Tahun 2013 4,508.00 17,878.00 13,370.00
2 Aceh Besar Perda No. 4 Tahun 2013 14,202.55 26,785.00 12,582.45
3 Bener Meriah Perda No. 4 Tahun 2013 3,197.50 3,911.00 713.50
4 Aceh Timur Perda No. 10 Tahun 2013 7,475.00 31,861.00 24,386.00
5 Pidie Jaya Perda No. 4 Tahun 2014 7,739.21 8,762.00 1,022.79
2 Bali 6 Tabanan Perda No 11 Tahun 2012 18,831.00 21,432.00 2,601.00
7 Klungkung Perda No. 1 Tahun 2013 3,496.00 4,003 507.00
8 Buleleng Perda No. 9 Tahun 2013 9,250.00 10,930 1,680.00
9 Bangli Perda No. 11 Tahun 2013 2,461.50 2,754 292.50
10 Kota Denpasar Perda No.27 Tahun 2011 1,560.00 2,458.00 898.00
3 Banten 11 Serang Perda No. 10 Tahun 2011 13,121.00 49,543.00 36,422.00
4 D.I Yogyakarta 12 Gunung Kidul Perda No. 6 Tahun 2011 5,500.00 28,071.00 22,571.00
5 Jambi 13 Tanjung Jabung Timur Perda No. 11 Tahun 2012 17,000.00 26,403.00 9,403.00
14 Sumedang Perda No. 2 Tahun 2012 17,317.00 30,358.00 13,041.00
15 Garut Perda No.29 Tahun 2011 44,028.00 45,842.56 1,814.56
16 Ciamis Perda No. 15 Tahun 2012 17,815.00 47,854.89 30,039.89
17 Cirebon Perda No. 17 Tahun 2011 40,000.00 54,271.95 14,271.95
18 Kuningan Perda No. 26 Tahun 2011 11,706.00 29,103.06 17,397.06
19 Indramayu Perda No. 1 Tahun 2012 92,370.00 118,767.22 26,397.22
20 Purwakarta Perda No. 11 Tahun 2012 4,972.00 19,848.01 14,876.01
21 Bekasi Perda No. 3 Tahun 2011 35,244.00 62,901.55 27,657.55
22 Bandung Barat Perda No. 2 Tahun 2012 1,026.00 16,481.02 15,455.02
23 Majalengka Perda No. 11 Tahun 2011 39,190.00 50,962.00 11,772.00
24 Kota Sukabumi Perda No. 11 Tahun 2012 321.00 1,618.45 1,297.45
6 Jawa Tengah 25 Sragen Perda No. 11 Tahun 2011 41,082.00 48,583.00 7,501.00
26 Blora Perda No. 18 Tahun 2011 58,414.00 71,174.85 12,760.85
27 Semarang Perda No. 6 Tahun 2011 22,896.00 23,911.00 1,015.00
28 Kendal Perda No. 20 Tahun 2011 22,666.00 26,177.29 3,511.29
29 Cilacap Perda No. 9 Tahun 2011 65,050.00 65,507.45 457.45
30 Grobogan Perda No. 7 Tahun 2012 71,948.00 90,929.08 18,981.08
31 Karanganyar Perda No. 1 Tahun 2013 23,618.00 26,789.94 3,171.94
32 Klaten Perda No. 11 Tahun 2011 32,541.00 32,800.01 259.01
33 Demak Perda No. 11 Tahun 2011 56,610.00 60,207.04 3,597.04
34 Rembang Perda No. 14 Tahun 2011 39,143.00 40,305.00 1,162.00
35 Sukoharjo Perda No. 14 Tahun 2011 23,742.00 24,185 443.00
36 Kota Semarang Perda No. 14 Tahun 2011 3,056.00 3,281.00 225.00
37 Kota Salatiga Perda No. 4 Tahun 2011 274.00 631.00 357.00
38 Kota Magelang Perda No. 4 Tahun 2012 120.00 213.00 93.00
39 Kota Surakarta Perda No. 1 Tahun 2012 111.00 182.00 71.00
LUAS BAKU
SELISIH
NO. LAHAN
LUAS LP2B SAWAH -
NO PROVINSI KAB/ KABUPATEN/KOTA NO. PERDA SAWAH
(HA) LP2B
KOTA (HASIL
(HA)
AUDIT) (HA)
7 Jawa Timur 40 Bangkalan Perda No. 10 Tahun 2009 12,161.76 43,062.98 30,901.22
41 Bojonegoro Perda No. 26 Tahun 2011 65,351.40 77,390.76 12,039.36
42 Gresik Perda No. 8 Tahun 2011 10,346.00 36,195.70 25,849.70
43 Jombang Perda No. 21 Tahun 2009 31,569.36 42,897.07 11,327.71
44 Lamongan Perda No. 15 Tahun 2011 45,841.00 84,734.66 38,893.66
45 Malang Perda No. 3 Tahun 2010 33,110.30 45,523.93 12,413.63
46 Mojokerto Perda No. 9 Tahun 2012 27,535.00 29,709.79 2,174.79
47 Nganjuk Perda No. 2 Tahun 2011 38,486.00 41,214.61 2,728.61
48 Ngawi Perda No. 10 Tahun 2011 41,523.00 46,029.58 4,506.58
49 Pamekasan Perda No. 16 Tahun 2012 12,306.00 26,003.37 13,697.37
50 Ponorogo Perda No. 1 Tahun 2012 25,000.00 33,816.43 8,816.43
51 Probolinggo Perda No. 3 Tahun 2011 38,692.00 48,784.57 10,092.57
52 Sampang Perda No. 7 Tahun 2012 33,445.00 45,779.81 12,334.81
53 Tuban Perda No. 9 Tahun 2012 23,000.00 52,814.69 29,814.69
54 Situbondo Perda No 9 Tahun 2013 30,032.00 37,171.00 7,139.00
55 Magetan Perda No. 15 Tahun 2012 19,084.00 21,627.00 2,543.00
56 Kota Batu Perda No. 7 Tahun 2011 1,252.00 2,888.82 1,636.82
57 Kota Blitar Perda No. 12 Tahun 2011 677.00 797.35 120.35
58 Kota Kediri Perda No. 1 Tahun 2012 500.00 1,733.06 1,233.06
59 Kota Madiun Perda No. 6 Tahun 2011 444.00 816.08 372.08
60 Kota Pasuruan Perda No. 1 Tahun 2012 605.00 1,336.00 731.00
61 Kota Mojokerto Perda No. 4 Tahun 2012 104.25 376.00 271.75
8 Kalimantan Selatan 62 Banjar Perda No. 3 Tahun 2013 41,828.00 58,548.00 16,720.00
63 Hulu Sungai Utara Perda No. 12 Tahun 2012 23,359.00 27,056 3,697.00
9 Kalimantan Utara 64 Malinau Perda No. 11 Tahun 2012 3,916.00 4,062 146.00
10 Lampung 65 Lampung Timur Perda No. 4 Tahun 2012 50,553.00 56,510.00 5,957.00
66 Way Kanan Perda No. 11 Tahun 2011 8,479.00 17,166.00 8,687.00
67 Pesawaran Perda No. 4 Tahun 2012 8,452.00 13,447.00 4,995.00
68 Mesuji Perda No. 6 tahun 2012 13,169.00 22,558.00 9,389.00
69 Pringsewu Perda No. 2 Tahun 2012 6,494.00 13,255.00 6,761.00
11 Maluku Utara 70 Halmahera Timur Perda No. 11 Tahun 2012 2,128.00 4,936.00 2,808.00
12 Nusa Tenggara Barat 71 Dompu Perda No 48 Tahun 2011 15,985.00 17,987.00 2,002.00
72 Sumbawa Barat Perda No. 2 Tahun 2012 7,750.00 9,141.00 1,391.00
13 Nusa Tenggara Timur 73 Manggarai Timur Perda No. 6 Tahun 2012 4,500.00 12,286.00 7,786.00
74 Manggarai Barat Perda No. 9 Tahun 2012 16,000.00 16,787.00 787.00
14 Sulawesi Selatan 75 Barru Perda No. 4 Tahun 2012 11,448.00 13,498.00 2,050.00
76 Sinjai Perda No. 11 Tahun 2012 13,593.00 14,380.00 787.00
77 Luwu Perda No. 6 Tahun 2011 25,516.00 37,143.00 11,627.00
78 Luwu Utara Perda No. 2 Tahun 2011 20,314.00 20,578.00 264.00
79 Toraja Utara Perda No. 3 Tahun 2012 10,960.00 15,233.00 4,273.00
80 Gowa Perda No. 25 Tahun 2012 22,192.00 36,173.00 13,981.00
81 Enrekang Perda No. 14 Tahun 2011 4,969.71 9,460.00 4,490.29
82 Maros Perda No. 4 Tahun 2012 20,222.00 24,715.00 4,493.00
83 Pangkajene Kepulauan Perda No. 8 Tahun 2012 14,934.00 16,375.00 1,441.00
84 Kota Pare-pare Perda No. 10 Tahun 2011 476.00 834.00 358.00
15 Sulawesi Tengah 85 Morowali Perda No. 2 Tahun 2012 5,278.00 10,948.00 5,670.00
86 Toli-Toli Perda No. 16 Tahun 2012 5,502.00 12,570.00 7,068.00
16 Sulawesi Utara 87 Minahasa Perda No 1 Tahun 2014 2,500.00 7,577.00 5,077.00
17 Sumatera Selatan 88 Ogan Komering Ilir Perda No. 9 Tahun 2013 11,500.00 125,296.00 113,796.00
18 Sulawesi Barat 89 Polewali Mandar Perda No. 12 Tahun 2012 15,870.00 16,611.00 741.00
90 Mamuju Utara Perda No. 1 Tahun 2014 3,030.00 3,226.00 196.00
19 Sumatera Barat 91 Lima Puluh Kota Perda No. 7 Tahun 2012 3,200.00 23,771 20,571.00
92 Tanah Datar Perda No. 2 Tahun 2012 17,809.66 22,260 4,450.34
93 Kota Padang Perda No. 5 Tahun 2012 4,934.00 6,587 1,653.00
94 Kota Pariaman Perda No. 21 Tahun 2012 1,505.00 2,523 1,018.00
TOTAL 1,783,033.20 2,641,876.61 858,843.41
Sumber: Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Ditjen PSP Kementan, 2015
Berdasarkan data di atas, wilayah studi yang menjadi sampel pada kegiatan evaluasi ini
dapat diidentifikasi seperti pada tabel di bawah ini.
Dari sembilan wilayah studi yang dievaluasi, terdapat 4 kabupaten yang belum
teridentifikasi oleh Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Ditjen PSP Kementan,
yaitu Kabupaten OKU Timur, Lombok Tengah, Garut, dan Sleman. Artinya, informasi ini
akan menjadi masukan bagi Kementan untuk menambah informasi terkait dengan
penetapan LP2B di dalam RTRW.
5.2. Gambaran Umum Luasan Sawah dan Produktivitas Padi di Wilayah Studi
Kajian evaluasi pelaksanaan LP2B di daerah merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari program LP2B. Evaluasi LP2B termasuk dalam kategori aspek penelitian
dan pengawasan. Hasil evaluasi ini dapat memberikan masukan atas pelaksanaan LP2B di
daerah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aspek yang dievaluasi adalah
keseluruhan aspek yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, sampai pada
peran serta masyarkat di dalam LP2B. Jadi, tidak hanya melihat bahwa LP2B telah
ditetapkan di dalam RTRW ataupun RDTR namun melihat bagaimana mekanisme
penetapan, pelaksanaan, dan sebagainya. Jika di dalam proses penetapan LP2B hanya
dilakukan secara sepihak oleh pemerintah daerah, berarti perencanaan tersebut dapat
dikatakan benar karena harus disetujui oleh petani yang lahannya masuk dalam kategori
LP2B.
Dari 9 wilayah studi tersebut, Kabupaten OKU Timur memiliki luas lahan sawah yang
terluas, disusul oleh Kabupaten Lamongan dan Lombok Tengah. Sedangkan yang
memiliki luas baku lahan yang terkecil adalah Kabupaten Tabanan. Hal ini wajar
mengingat banyak lahan yang berubah menjadi hotel, restoran ataupun bangunan lainnya
karena wilayah ini masuk dalam kategori wilayah wisata sehingga alih fungsi lahan tidak
dapat dihindari.
Gambar 5.1.
Luasan Baku Sawah Wilayah Studi (Ha)
(Sumber: BPS kabupaten, 2014)
Dilihat dari sisi produktivitas, Kabupaten Maros memiliki rata-rata produktivitas yang
tertinggi dibanding wilayah lainnya, yaitu sebesar 7,1 Ton/Ha (lihat Gambar 5.2).
Kemampuan produktivitas yang tinggi tersebut karena di wilayah ini sungai mengalir
sepanjang tahun sehingga memungkinkan petani untuk menanam padi sampai IP 300. Di
samping itu, pengelolaan usaha tani sawah yang cukup baik yang dilakukan oleh para
petani di Kabupaten Maros menjadi bagian penting dalam peningkatan produktivitas lahan.
Produktivitas rendah diperlihatkan oleh Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu hanya sebesar 4,2
Ton/Ha. Hal ini wajar karena seluruh lahan disana dikategorikan sebagai lahan tadah
hujan. Padahal di kabupaten ini terdapat Sungai Aceh Tamiang yang mengelilingi
persawahan, namun tidak adanya irigasi teknis menyebabkan para petani rata-rata hanya
menanam padi di musim hujan saja.
Penetapan Kawasan P2B dan LP2B. Sebagaimana dalam amanat UU No. 41 Tahun
2009, penetapan kawasan pertanian berkelanjutan harus ditetapkan di dalam RTRW
kabupaten (UU No. 41/2009, pasal 18-19), sedangkan penetapan LP2B dan lahan
cadangan pertanian pangan berkelanjutan ditetapkan dalam rencana rinci/detail tata ruang
(RDTR) kabupaten (UU No. 41/2009, pasal 20-21). Adapun uraian dari penetapan
Kawasan P2B, LP2B dan Cadangan P2B pada beberapa lokasi kajian seperti pada Tabel
6.2.
Adapun wilayah lainnya belum mencantumkan kawasan P2B ataupun LP2B di dalam
RTRW-nya memiliki alasan sebagai berikut:
1. Belum jelasnya aturan detail dari pelaksanaan LP2B
2. Tidak adanya pedoman dalam penerapan LP2B
1. Pencetakan LP2B
2. Penetapan lahan pertanian pangan menjadi LP2B
3. Pengalihan fungsi lahan non pertanian menjadi LP2B
Pemanfaatan teknologi
Pengembangan inovasi
penanggulangan HPT
Pencetakan LP2B
No Kabupaten Keterangan
Pencegahan dan
pertanian
pertanian
pangan
tanah
LP2B
Aceh Tamiang, Program intensifikasi sebagai
Provinsi program rutin dan bukan dalam
1. x x x x x x x x x x x x
Nanggroe Aceh konteks Pengan Pertanian
Darussalam Berkelanjutan
Program intensifikasi sebagai
OKU Timur,
program rutin dan bukan dalam
2. Provinsi x x x x x x x x x x x x
konteks Pengan Pertanian
Sumatera Selatan
Berkelanjutan
Program intensifikasi sebagai
Lamongan,
program rutin dan bukan dalam
3. Provinsi Jawa x x x x x x x x x x x x
konteks Pengan Pertanian
Timur
Berkelanjutan
Program intensifikasi sebagai
Tabanan, program rutin dan bukan dalam
4. x x x x x x x x x x x x
Provinsi Bali konteks Pengan Pertanian
Berkelanjutan
Program intensifikasi sebagai
Sleman, Provinsi
5. x x x x x x x x x x x x program rutin dan bukan dalam
Yogyakarta
konteks Pengan Pertanian
Pemanfaatan teknologi
Pengembangan inovasi
penanggulangan HPT
Pencetakan LP2B
No Kabupaten Keterangan
Pencegahan dan
pertanian
pertanian
pangan
tanah
LP2B
Berkelanjutan
Magelang, Program tersebut merupakan program
6. Provinsi Jawa x x x x x x x x x x x x rutin, dan belum diterapkan secara
Tengah spesifik untuk LP2B
Program tersebut merupakan program
Lombok Tengah,
rutin, dan belum diterapkan secara
7. Provinsi Nusa x x x x x x x x x x x x
spesifik untuk LP2B
Tenggara Barat
Maros, Provinsi Tidak ada program pengembangan
8. x x x x x x x x x x x x
Sulawesi Selatan yang dikhususkan untuk LP2B
Program tersebut merupakan program
Garut, Provinsi
9. x x x x x x x x x x x x rutin, dan belum diterapkan secara
Jawa Barat
spesifik untuk LP2B
Keterangan: x = tidak ada kegiatan khusus untuk Kawasan P2B dan LP2B
Penelitian merupakan salah satu aspek yang ditetapkan di dalam Undang-undang No. 41
Tahun 2009. Penelitian menjadi salah satu dukungan bagi pangan pertanian berkelanjutan.
Beberapa kriteria penilaian dari aspek penilitian adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan penganekaragaman pangan
2. Identifikasi dan pemetaan kesesuaian lahan
3. Pemetaan zonasi lahan pertanian pangan berkelanjutan
4. Inovasi pertanian
5. Fungsi agroklimatologi dan hidrologi
6. Fungsi ekosistem
7. Sosial budaya dan kearifan lokal
Kriteria penilaian tersebut nantinya akan dijadikan sebagai sumber informasi bagi
penetapan lahan-lahan mana yang akan dijadikan kawasan P2B, LP2B, dan Cadangan
P2B. Selain penetapan lahan, penelitian tersebut dapat juga merekomendasikan pemilik
lahan yang mana lahannya akan dijadikan sebagai LP2B. Adapun Aspek Penelitian P2B
yang dilakukan oleh wilayah-wilayah studi seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel di atas menunjukkan bahwa hanya beberapa wilayah saja yang melakukan penelitian
P2B dalam rangka mendukung kegiatan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Wilayah-
wilayah yang melakukan penelitian LP2B adalah Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten
Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Garut dengan dana yang
disediakan berasal dari APBD. Akan tetapi, wilayah yang melakukan penelitian LP2B
Pada aspek pemanfaatan ini dititikberatkan pada jaminan konservasi tanah dan air. Ada
dua pelaku yang dinilai pada aspek ini, yaitu pemerintah dan pemilik lahan. Pemerintah
berkewajiban untuk melindungi, melestarikan, dan mengelola sumber daya lahan dan air,
serta mengendalikan pencemaran. Sedangkan pemilik lahan harus memanfaatkan lahan
sesuai peruntukannya, mencegah kerusakan irigasi, menjaga kesuburan, mencegah
kerusakan lahan, dan melestarikan lingkungan. Adapun hasil evaluasi atas aspek
pemanfaatan untuk kegiatan LP2B dapat dilihat pada tabel berikut ini.
1. Memanfaatkan lahan sesuai peruntukannya, baik untuk lahan padi ataupun tanaman
pangan lainnya. Namun, pada kondisi tertentu di mana pemilik lahan tidak memiliki
modal untuk usaha ataupun hal lainnya, ataupun hak bagi waris bagi keluarganya,
maka kondisi pemanfaatan lahan tidak dapat dipertahankan karena setelah beralih
kepemilikan akan sangat ditentukan oleh pemilik lahan baru.
2. Petani ataupun kelompok tani memiliki tanggung jawab yang besar dalam
memelihara irigasi karena irigasi merupakan bagian penting di dalam sistem
pertanian. Berdasarkan hasil survey disebutkan bahwa para petani membentuk
kelompok tani untuk pengaturan air, seperti di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur,
dan Kabupaten Tabanan Bali. Bahkan, di Bali dikenal dengan sebutan Subak yaitu
kelompok pengatur air.
3. Secara otomatis karena penghidupan petani berasal dari lahan, maka para petani
akan menjaga kesuburan tanahnya dan mencegah kerusakan lahan, baik dengan
pemupukan, pengapuran ataupun kegiatan lainnya dalam menjaga kesuburan dan
menjaga kerusakan tanah
4. Menjaga kelestarian lingkungan menjadi salah satu kriteria kewajiban dari pemilik
lahan. Menjaga kelestarian lingkungan ini sangat sulit dikontrol karena banyak
faktor yang mempengaruhinya. Fokus dari kelestarian lingkungan ini adalah
konservasi sumber daya lahan dan air. Khusus untuk menjaga sumber daya air,
sangat sulit dikontrol terutama mencegah penebangan hutan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. Atau mungkin juga banyak petani yang mencari kayu bakar di
hutan tanpa mengindahkan kondisi kedepan, sehingga banyak sungai-sungai dan
sumber mata air menjadi berkurang akibat gundulnya hutan akibat penebangan
tersebut.
Sebagian besar petani akan mempertahankan lahan mereka untuk kegiatan pertanian,
khususnya bagi petani yang mata pencaharian pokoknya adalah pertanian. Upaya
pembinaan atas petani telah banyak dilakukan dan menjadi tugas rutin dari Dinas
Pertanian/Tanaman Pangan di daerah. Khusus untuk kegiatan LP2B, pemerintah
memberikan porsi yang berbeda bagi pembinaan para petani yang masuk dalam LP2B.
Pembinaan yang dimaksud disini lebih pada upaya pengembangan LP2B. Hasil evaluasi
atas aspek pembinaan LP2B di daerah menunjukkan sebagai berikut, seperti pada Tabel
6.6.
Berdasarkan tabel tersebut sangat jelas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah belum
pernah melakukan sosialisasi atas LP2B. Koordinasi perlindungan P2B pun jarang
dilakukan. Koordinasi terkait LP2B cenderung dibicarakan di tingkat Badan Koordinasi
Tata Ruang (BKTR) dalam rangka penetapan ruang pertanian.
Dalam rangka pengendalian LP2B, pemerintah memberikan poin khusus didalam aspek
pengendalian. Aspek pengendalian dibagi atas 3 hal, yaitu insentif, disinsentif, dan alih
fungsi. Insentif yang diberikan pemerintah kepada para petani yang lahannya masuk
kategori LP2B, yaitu perbaikan infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian benih dan
varietas unggul, kemudahan akses informasi dan teknologi, penyediaan prasarana dan
sarana produksi, bantuan penerbitan sertifikat tanah, penghargaan bagi petani berprestasi,
dan keringanan pajak bumi dan bangunan. Adapun disinsentif diberikan jika petani
melanggar aturan LP2B, dan alih fungsi LP2B. Hasil evaluasi atas aspek ini adalah seperti
pada tabel di bawah ini.
Insentif
Alih
benih dan varietas unggul
fungsi
No Kabupaten Disintensif
LP2B
atas tanah pada LP2B
dan teknologi
pertanian
Aceh Tamiang,
1. Provinsi Nanggroe x x x x x x x x x
Aceh Darussalam
OKU Timur, Provinsi
2. x x x x x x x x √
Sumatera Selatan
Lamongan, Provinsi
3. x x x x x x x x x
Jawa Timur
Tabanan, Provinsi
4. x x x x x x x x x
Bali
Sleman, Provinsi
5. x x x x x x √ x x
Yogyakarta
Magelang, Provinsi
6. x x x x x x x x x
Jawa Tengah
Lombok Tengah,
7. Provinsi Nusa x x x x x x x x x
Tenggara Barat
Garut, Provinsi Jawa
8. x x x x x x x x x
Barat
Maros, Provinsi
9. x x x x x x x x x
Sulawesi Selatan
Hasil survey juga menunjukkan bahwa Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur telah
menetapkan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Alih Fungsi Lahan Sawah ke
Non Pertanian. Berdasarkan Perda tersebut disebutkan bahwa alih fungsi lahan sawah
irigasi dan non irigasi dapat dilakukan, namun harus mendapatkan izin dari Bupati.
Apabila izin tersebut telah diterbitkan, maka pada proses alih fungsi tersebut dikenakan
biaya retribusi. Alih fungsi lahan sawah dapat diberikan untuk usaha jasa, industri/pabrik,
rumah walet, dan perdagangan dengan biaya retribusi ditetapkan sebesar Rp 10 juta,
sedangkan untuk permukiman dan fasilitas umum ditetapkan sebesar Rp 7,5 juta. Adapun
untuk alih fungsi lahan non irigasi untuk kepentingan usaha jasa, industri/pabrik, rumah
walet, dan perdagangan ditetapkan retribusi sebesar Rp 7,5 juta, dan untuk permukiman
dan fasilitas umum ditetapkan sebesar Rp 5 juta. Perda alih fungsi ini berarti tidak sejalan
dengan UU No. 41 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa tidak boleh alih fungsi lahan bagi
LP2B. Oleh sebab itu, perlu menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah
setempat untuk merevisi Perda tersebut.
Khusus untuk Kabupaten Sleman, pemerintah daerah telah mengeluarkan Perda No. 11
Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Berdasarkan
Pasal 8 ditetapkan bahwa:
1. Tarif pajak untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan sebesar 0,01% dari nilai
NJOP
2. Tarif pajak untuk lahan pertanian non berkelanjutan adalah: a) luas lahan sampai
1000 m2 ditetapkan sebesar 0,01% dari nilai NJOP; b) 1000 m2 sampai 5000 m2
ditetapkan sebesar 0,02% dari nilai NJOP; dan c) di atas 5000m2 ditetapkan sebesar
0,03% dari nilai NJOP.
Perda ini merupakan salah satu insentif yang diberikan oleh Pemda Kabupaten Sleman jika
LP2B telah ditetapkan di dalam peraturan daerah. Namun, sampai saat ini Perda tentang
LP2B belum dikeluarkan.
Pengawasan merupakan salah satu aspek dari manajemen. Pengawasan dilakukan untuk
mengevaluasi atas apa yang sedang atau telah dilaksanakan agar program/kegiatan yang
sedang atau telah dilaksanakan dapat diperbaiki dengan segera. Berkaitan dengan Aspek
Pengawasan LP2B, pengawasan dalam hal ini dititikberatkan pada pelaksanaan LP2B di
daerah. Namun dari hasil survey menunjukkan bahwa kegiatan ini belum dilaksanakan
mengingat banyak daerah yang belum menerapkan LP2B di dalam peraturan daerah.
Aspek Pengawasan
No Kabupaten Mekanisme Pemantauan
Evaluasi LP2B
pelaporan LP2B LP2B
Aceh Tamiang, Provinsi
1. x x x
Nanggroe Aceh Darussalam
OKU Timur, Provinsi Sumatera
2. x x x
Selatan
Lamongan, Provinsi Jawa
3. x x x
Timur
4. Tabanan, Provinsi Bali x x x
5. Sleman, Provinsi Yogyakarta x x x
Magelang, Provinsi Jawa
6. x x x
Tengah
Lombok Tengah, Provinsi Nusa
7. x x x
Tenggara Barat
8. Garut, Provinsi Jawa Barat x x x
Maros, Provinsi Sulawesi
9. x x x
Selatan
Sistem informasi merupakan salah satu paket di dalam UU No. 41 Tahun 2009 yang
ditujukan untuk memberikan gambaran yang seluas-luasnya terkait dengan LP2B. Di
dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa di dalam sistem informasi harus meliputi
informasi terkait dengan kawasan P2B, LP2B, Cadangan P2B, tanah terlantar dan
subjeknya, fisik alamiah, fisik buatan, kondisi SDM dan sosial ekonomi, status
kepemilikan dan penguasaan lahan, lahan dan lokasi lahan, serta jenis komoditasnya. Hasil
survey di beberapa daerah seperti diperlihatkan pada tabel di bawah ini.
Pada aspek pemanfaatan ini dititikberatkan pada jaminan konservasi tanah dan air. Ada
dua pelaku yang dinilai pada aspek ini, yaitu pemerintah dan pemilik lahan. Pemerintah
berkewajiban untuk melindungi, melestarikan, dan mengelola sumber daya lahan dan air,
serta mengendalikan pencemaran. Sedangkan pemilik lahan harus memanfaatkan lahan
sesuai peruntukannya, mencegah kerusakan irigasi, menjaga kesuburan, mencegah
kerusakan lahan, dan melestarikan lingkungan. Adapun hasil evaluasi atas aspek
pemanfaatan untuk kegiatan LP2B dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Pelibatan masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan merupakan salah satu ciri dari
penerapan good governance. Partisipasi masyarakat di dalam pembangunan sangat perlu
dilakukan mengingat yang menjadi objek pembangunan adalah masyarakat itu sendiri. Hal
ini serupa juga dilakukan pada kegiatan LP2B ini, dimana di dalam UU No. 41 Tahun
2009 diamanatkan untuk melibatkan masyarakat di dalam LP2B. Hasil evaluasi atas aspek
peran serta masyarakat dalam LP2B dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Pengembangan
Pemberdayaan
Perencanaan
Pengawasan
Pembiayaan
Penelitian
petani
No Kabupaten
Didalam UU No. 41 Tahun 2009 dirumuskan juga pasal-pasal yang berkenaan dengan
sanksi. Yang dimaksud dalam sanksi disini adalah sanksi administrasi. Sanksi menjadi
salah satu aspek di dalam kegiatan LP2B. Sanksi diberikan kepada orang yang melanggar
ketentuan LP2B, baik itu petani LP2B ataupun pejabat pemerintah. Sanksi yang paling
ringan diberikan adalah sanksi administrasi. Sanksi yang lebih berat adalah sanksi jika
permasalahan LP2B telah masuk dalam ranah pidana. Didalam UU No. 41 Tahun 2009
dijelaskan dengan rinci yang dimulai dari pasal 72-74 bahwa pidana penjara dan denda.
Pidana penjara dan denda minimal yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut adalah
Hasil evaluasi atas keseluruhan aspek LP2B yang diamanatkan didalam UU No.41 Tahun
2009 terhadap kabupaten yang menjadi target lokasi kajian adalah seperti pada tabel di
bawah ini.
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan LP2B dapat dikatakan
belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan berbagai kendala yang dihadapi
oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat undang–undang tersebut.
Berdasarkan seluruh aspek yang dikaji, hanya ada dua aspek yang baru dilakukan, yaitu
meregulasi LP2B di dalam RTRW kabupaten, dan melakukan penelitian.
Catatan atas penempatan LP2B di dalam RTRW kabupaten, saat ini masih pada tingkatan
luasannya saja (numerik). Detail dari luasan tersebut yang berupa data spasial belum
terakomodasi sehingga hal ini bisa membawa permasalahan berikutnya, yaitu jika aturan
tersebut diterapkan. Perbedaan data luasan lahan sawah antara citra satelit yang
dikembangkan oleh Kementerian Pertanian, Kementerian PU, BPS, dan Bappeda
kabupaten/kota menjadi salah satu kendala tersendiri atas penetapan luasan lahan tersebut.
Oleh karena itu, hal yang penting dilakukan adalah melakukan internalisasi baik di tingkat
pusat ataupun daerah atas data luasan tersebut sehingga diperoleh luasan lahan sawah yang
sama untuk seluruh instansi. Program pendataan petani by name by address menjadi salah
satu solusi untuk mengidentifikasi dan memetakan luasan lahan pertanian dari masing-
masing petani ditingkat daerah. Dengan adanya data tersebut, pemerintah dapat
merencanakan program dengan target yang jelas karena informasi atas by name by address
telah menggambarkan kondisi yang terjadi dengan luasan lahan pertanian di Indonesia.
Selanjutnya adalah ada beberapa daerah yang telah melakukan penelitian atas LP2B
dengan dana yang dianggarkan dari APBD. Hal ini telah menjadi salah satu bukti nyata
atas dukungan daerah dalam pelaksanaan LP2B. Akan tetapi, hasil penelitian ini belum
dapat diterapkan karena mengingat aspek lain yang belum dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah, misalnya insentif, disinsentif, dan sebagainya karena ketidakjelasan pedoman
ataupun petunjuk pelaksanaan.
Kegiatan evaluasi LP2B di beberapa wilayah kajian telah menghasilkan banyak informasi
yang penting sebagai bahan kebijakan. Informasi yang diperoleh salah satunya adalah
bagaimana proses penetapan LP2B di dalam RTRW ataupun di dalam Perda Kabupaten.
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pelaku di daerah, seperti Bappeda
kabupaten, Dinas Pertanian/Tanaman Pangan di kabupaten, dan kelompok tani, maka
diidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul. Secara umum, permasalahan lebih
didominasi dari proses perencanaan dan penetapan LP2B di dalam RTRW ataupun Perda.
Adapun beberapa permasalahan spesifik dari masing-masing wilayah dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
No Kabupaten Permasalahan
bangunan
Bahan untuk sosialisasi masih kurang terutama masalah insentif
yang akan diberikan
Tidak ada anggaran sosialisasi LP2B
Belum dilaksanakannya sosialisasi LP2B karena belum dapat
menjawab insentif dan jaminan pemerintah
3 Lamongan
Kesulitan dalam mengendalikan alih fungsi lahan
Terdapat perbedaan data baku lahan sawah antara Dinas Pertanian
dan Kehutanan dengan Dinas PU
Terjadi kegamangan atas pelaksanaan LP2B karena tidak jelasnya
SKPD yang menjadi leader dalam LP2B
Belum memiliki RDTR
LP2B tidak menjadi bahasan pokok dalam BKPRD namun hanya
4 Tabanan merupakan bagian dari pembahasan utama di BKPRD
Terjadi perbedaan data baku lahan sawah antara dinas pertanian
dan PU
Belum memiliki benchmark atas pelaksanaan LP2B sehingga
tidak ada yang dapat dijadikan contoh
Sosialisasi LP2B dari pusat dilakukan tidak secara terus menerus
dan berkesinambungan
Banyak petani yang memiliki lahan sempit sehingga sulit untuk
5 Lombok Tengah
pelaksanaan LP2B
Lombok Tengah sedang berkembang sehingga alih fungsi lahan
sulit dihindarkan
Zonasi lahan pertanian yang tersebar menyebabkan sulitnya
mendeteksi alih fungsi lahan
Lahan-lahan pertanian yang produktif dan subur berada di
perkotaan karena adanya Sungai Cimanuk yang melintasi kota.
Alih fungsi lahan sawah tidak dapat dihindarkan terutama sawah-
sawah yang berada di kota
Penetapan LP2B dalam Perda perlu waktu karena harus
6 Garut berkoordinasi dengan lintas sektoral dan masyarakat
Pembangunan infrastruktur jalan tol yang rencananya akan
dibangun pemerintah, banyak yang mengorbankan lahan sawah
Anggaran terbatas termasuk tidak adanya anggaran untuk petugas
yang bekerja dilapangan untuk sosialisasi ataupun diseminasi
program LP2B
Koordinasi antar SKPD yang kurang terutama tidak adanya
informasi LP2B ke pihak Bappeda
Sosialisasi LP2B diperoleh berdasarkan informasi sepihak, tidak
secara utuh
Belum adanya sosialisasi LP2B, baik dari pusat maupun provinsi
7 Maros Anggaran terbatas terutama untuk mendanai petugas pelaksana
Alih fungsi lahan tidak dapat dihindari karena Kabupaten Maros
sebagai penyangga bagi Kota Makasar, terlebih wilayah ini telah
terdapat Bandara Internasional Hasanudin dan telah terhubungnya
Kota Makasar dan Kabupaten Maros dengan Jalan Tol
tersebut
Jika petani seluruhnya setuju dengan LP2B, maka diperkirakan
harus disediakan materai sebesar Rp 2 milyar yang akan
dibubuhkan di dalam perjanjian. Penyediaan dana tersebut tidak
dapat disediakan dalam APBD karena terbatas
Belum jelasnya insentif dan disinsentif dan tidak memiliki
anggaran untuk pemberian insentif ke petani LP2B
Kejelasan fungsi dan tanggung jawab pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota terhadapa LP2B
Banyak petani di Sleman berlahan sempit dan berpendapatan
rendah dan lahan dijadikan sebagai aset jika terjadi kondisi
tertentu di keluarganya
Data lahan dan peruntukkan tidak sama antara BPN dan Pemda
Kesulitan dalam penentuan insentif dan disinsentif
Penerapan Perda RTRW tidak konsisten dan banyak yang tidak
9 Magelang diindahkan, seperti membangun rumah di wilayah hijau namun
masih memperoleh ijin
Alih fungsi lahan sulit dideteksi dan dikontrol
Perijinan sebagai pengendali tidak berfungsi dengan baik
Hasil FGD atas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap LP2B di Kabupaten Aceh
Tamiang, terdapat 7 (tujuh) faktor yang berpengaruh, seperti terlihat pada tabel di bawah
ini.
Adapun hasil analisis PSA atas faktor-faktor di atas dapat dilihat di bawah ini.
Buffer Motor/Lever
Gambar 7.1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten Aceh Tamiang
Selanjutnya, tabel di atas dianalisis dengan menggunakan PSA, hasilnya dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
4
5
Buffer Motor/Lever
Gambar 7.2. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten OKU Timur
Kabupaten Lamongan
Hasil FGD atas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap LP2B di Kabupaten Lamongan,
terdapat 5 (lima) faktor yang berpengaruh, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
3 1
2 5
Buffer Motor/Lever
Gambar 7.3. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten Lamongan
Kabupaten Tabanan
Adapun hasil analisis faktor dengan menggunakan PSA dapat dilihat pada gambar berikut.
3
1 2
5
Buffer Motor/Lever
Gambar 7.4. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten Tabanan
Hasil FGD atas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap LP2B di Kabupaten Lombok
Tengah, terdapat 7 (tujuh) faktor yang berpengaruh, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 7.6. Faktor-faktor Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Lombok Tengah
Adapun hasil analisis PSA dengan menggunakan diagram 4 kuadran yang menggambarkan
masing-masing kriteria faktor dapat dilihat pada gambar berikutnya.
6 3 5
2
Motor/Lever
Buffer
Gambar 7.5. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten Lombok Tengah
Kabupaten Garut
Hasil identifikasi atas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap LP2B di Kabupaten Garut,
terdapat 5 (lima) faktor yang berpengaruh, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Adapun hasil analisis PSA dengan menggunakan 4 kuadran yang mencerminkan kriteria
dari masing-masing faktor dapat dilihat pada gambar berikutnya.
1
2
4
5 Motor/Lever
Buffer
Gambar 7.6. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten Garut
Kabupaten Maros
Hasil FGD atas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap LP2B di Kabupaten Maros,
terdapat 4 (empat) faktor yang berpengaruh, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Selanjutnya, tabel di atas dianalisis dengan menggunakan PSA yang menghasilkan gambar
sebagai berikut.
2
4
3
Buffer Motor/Lever
Gambar 7.7. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten Maros
Kabupaten Sleman
Hasil FGD atas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap LP2B di Kabupaten Sleman,
terdapat 5 (lima) faktor yang berpengaruh, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Adapun hasil analisis PSA yang memetakan posisi masing-masing dari faktor-faktor di
atas di dalam kuadran PSA dapat dilihat pada gambar berikutnya.
Buffer Motor/Lever
Gambar 7.8. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten Sleman
Kabupaten Magelang
Buffer Motor/Lever
Gambar 7.9. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di
Kabupaten Magelang
Hasil-hasil penentuan faktor di atas, selanjutnya direkapitulasi dalam tabel di bawah ini.
Berdasarkan hasil uraian dari bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Secara keseluruhan, perencanaan dan penetapan LP2B di dalam RTRW dilakukan
secara sepihak oleh pemerintah, tidak didasarkan pada pendapat atau usulan dari
masyarakat. Alasannya belum memiliki informasi yang cukup untuk mensosialisasikan
LP2B ke masyarakat.
2. Luasan lahan LP2B yang ditetapkan masih pada luasan kabupaten dan paling kecil
sampai pada tingkat kecamatan karena lebih aman jika terjadi perubahan lahan
dikemudian hari
3. Ada satu wilayah telah menetapkan Peraturan Bupati tentang LP2B, yaitu Kabupaten
Tabanan, dan Kabupaten Garut dan Maros sedang menyusun peraturan tersebut.
4. Ada 6 kabupaten telah melakukan penelitian terkait dengan LP2B dengan dana APBD
yang mana hasil penelitian tersebut digunakan untuk penyusunan perencanaan LP2B
5. Aspek pengembangan, pemanfaatan, pembinaan, sampai dengan aspek sanksi belum
diterapkan karena semua wilayah masih terfokus pada proses perencanaan dan
penetapan LP2B
6. Permasalahan yang muncul terkait dengan LP2B adalah kurangnya sosialisasi LP2B
baik dari pusat maupun provinsi, dan ketidakmampuan pihak kabupaten dalam
mengontrol alih fungsi lahan dan alih fungsi komoditas
8.2. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat disarankan atas hasil kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya, Pemda penyusunan rencana LP2B terlebih dahulu sebelum ditetapkan di
dalam Perda
2. Sebaiknya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan LP2B. Kendala utama
penyebab tidak jalannya pelaksanaan LP2B harus menjadi focus perhatian sehingga
permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan.
3. Evaluasi pasal-pasal yang ambigu dalam UU No. 41 Tahun 2009 beserta turunannya,
terutama untuk membedakan perlakuan antara kegiatan reguler dengan kegiatan LP2B.
4. Sebaiknya dilakukan koordinasi kembali terkait LP2B, terutama di tingkat pusat, yang
dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional untuk melakukan reposisi kembali atas tugas dan
fungsi masing-masing pada program LP2B
5. Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait kegiatan LP2B
antara lain:
Peraturan Perundangan
Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Kabupaten Aceh Tamiang merupakan pemekaran dari Kabupaten Langsa pada Tahun
2002. Kabupaten ini sebagai pintu gerbang pertama karena langsung berbatasan dengan
Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten ini terdiri dari 12 kecamatan (Bandar Mulia, Bandar
Pusaka, Kejuruan Muda, Kota Kualasimpang, Rantau, Sekerak, Seruay, Tamiang Hulu,
Tenggulung, Mayak Payed, Bendahara, dan Karang Baru). Wilayah kabupaten ini
memiliki luas 1.957,02 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 286.226 jiwa.
Gambar 1 Gambar 2
Luas Tanam dan Produksi Padi di Kabupaten Provitas Padi di Kabupaten Aceh
Aceh Tamiang Tahun 2013 Tamiang Tahun 2013
Sumber: BPS Kabupaten Aceh Tamiang, 2014
Adapun luas lahan untuk komoditas pangan lainnya, seperti jangung dan sayur-sayuran
masing-masing memiliki luas tanam seluas 5.023 hektar dan 1.125 hektar (lihat Tabel 1).
Dibandingkan dengan tanaman padi dan sayur-sayuran, tingkat produktivitas tanaman
jagung lebih produktif dibandingkan dengan kedua tanaman tersebut. Hal ini menunjukkan
Tabel 1. Luas Tanam, Produksi, dan Provitas Tanaman Jagung dan Sayur-sayuran Tahun
2013
Seiring dengan perkembangan pembangunan yang dilaksanakan oleh kabupaten ini, hal
sangat kentara yang terjadi dengan lahan pertanian, khususnya tanaman padi adalah adanya
alih fungsi lahan dan komoditas. Khusus untuk alih komoditas, para petani di kabupaten ini
dapat mengalihfungsikan lahan mereka dari padi ke sawit ataupun ke komoditas yang
menguntungkan lainnya. Di sisi lain, alih fungsi lahan tanaman padi menjadi lahan untuk
penggunaan selain sektor pertanian menjadi tidak terelakkan lagi seiring dengan proses
pembangunan di Aceh Tamiang. Berdasarkan data BPS Aceh Tamiang menunjukkan
terjadinya alih fungsi lahan pertanian seluas 1.216 ha dari tahun 2010 ke 2013 (lihat Tabel
2). Dengan kata lain, alih fungsi lahan yang terjadi pada setiap tahunnya seluas 405 ha.
Berdasarkan pengamatan, lahan pertanian tanaman padi berubah menjadi kedai ataupun
hotel terutama yang berada di sepanjang jalan nasional
Tabel 2. Luasan Alih Fungsi Lahan Tanaman Padi dari 2010 ke 2013
Sebagai wilayah yang dijadikan Benchmark bagi pelaksanaan LP2B didasarkan pada hasil
kajian LP2B yang dilaksanakan oleh Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Ditjen
Prasarana dan Sarana Pertanian (2013), maka wilayah ini menjadi tujuan awal dari evaluasi
ini. Adapun hasil evaluasi dari direktorat tersebut secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 3.
Dibandingkan dengan wilayah kajian lainnya, Kabupaten Aceh Tamiang telah menetapkan
luas lahan LP2B sampai ke tingkat kampung dengan luasan yang telah ditetapkan.
Akan tetapi, hasil evaluasi lapangan yang didasarkan pada 11 variabel yang telah
ditetapkan sesuai dengan Undang-undang No. 41 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Aceh Tamiang, maka dapat diidentifikasi faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah seperti pada Tabel 5.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
hubungan dilakukan oleh key informan yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi. Adapun
hasil penentuan nilai hubungan dapat dilihat pada Tabel 6.
Activive Degree
No Elements 1 2 3 4 5 6 7 Sum of Interr
(AS) (PS*AS)
1 Regulasi Daerah 1,0 1,0 0,1 2,0 0,5 2,0 6,6 53,5
2 Petunjuk Teknis LP2B 2,0 1,0 0,1 0,1 1,0 0,5 4,7 24,4
3 Sosialisasi LP2B 1,0 2,0 0,5 0,5 2,0 1,0 9,0 90,0
4 Data Base Lahan 0,1 0,1 1,0 2,0 0,5 0,1 3,8 42,0
5 Data Pemilik Lahan 1,0 1,0 2,0 2,0 2,0 2,0 10,0 61,0
Rendahnya kesadaran
6 2,0 0,1 1,0 0,5 0,5 1,0 5,1 40,8
pelaku
7 Kerjasama instansi 2,0 1,0 2,0 1,0 1,0 2,0 9,0 59,4
Passive sum (PS) 8,1 5,2 10,0 4,2 6,1 8,0 6,6
Activity ratio (AS/PS) 0,8 0,9 0,9 0,9 1,6 0,6 1,4
Langkah selanjutnya dari analisis PSA ini adalah penentuan posisi faktor di dalam
diagram. Penentuan posisi faktor di dalam akan menentukan sejauh mana faktor tersebut
berpengaruh di masa yang akan datang. Penentuan posisi faktor ditentukan dengan
menghitung derajat hubungan dan rasio aktivitas. Kedua hasil analisis tersebut akan
membentuk titik koordinat satu sama lainnya, di mana titik koordinat tersebut akan
menentukan posisi dari faktor tersebut. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada
Gambar 3.
Buffer Motor/Lever
Gambar 3. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten
Aceh Tamiang
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur beribu kota di Martapura dan memiliki wilayah
seluas 341.015 ha atau 3,41 km2. Kabupaten ini merupakan salah satu lumbung beras bagi
Provinsi Sumatera Selatan. Produksi tanaman pangan khususnya padi dan perkebunan
menjadi komoditas unggulan bagi Kabupaten OKU Timur. Hal ini didukung dengan
adanya Bendungan Belitang (peninggalan kolonial Belanda) dan Bendungan Perjaya yang
dibangun oleh pemerintah. Kedua bendungan ini memiliki peran yang cukup penting di
dalam pengembangan pertanian.
Luasan lahan sawah, produksi dan produktivitas dari tanaman padi di Kabupaten OKU
Timur dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Berdasarkan tabel tersebut diperlihatkan
bahwa luas lahan sebesesar 122.864 ha dengan luas tanam 144.586 ha. Dengan demikian,
sistem pertanian sawah di kabupaten ini hanya memiliki IP = 1,2. Artinya, tanaman padi
hanya dilakukan penanaman satu kali dalam satu tahun, padahal wilayah ini memiliki
bendungan yang cukup baik untuk mengaliri sawah sepanjang tahun.
Tabel 1. Luasan, Produksi, dan Provitas Tanaman Padi di Kabupaten OKU Timur
Sebagai salah satu wilayah kajian evaluasi pelaksanaan LP2B, Kabupaten Oku Timur
merupakan sentra produksi beras bagi Sumatera Selatan. Pentingnya LP2B pada daerah
sentra-sentra padi agar lahan-lahan pertanian tidak tergerus oleh alih fungsi lahan pertanian
yang terus meningkat sepanjang tahun. Adapun hasil evaluasi LP2B di Kabupaten OKU
Timur dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kabupaten Oku Timur, maka dapat diidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah seperti pada Tabel 3.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
hubungan dilakukan oleh key informan yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi. Adapun
hasil penentuan nilai hubungan dapat dilihat pada Tabel 4.
Activive Degree of
No Elements 1 2 3 4 5 Sum Interr
(AS) (PS*AS)
1 Payung Hukum/Regulasi 2,0 1,0 1,0 2,0 6,0 42,0
2 Kepemilikan Lahan 2,0 1,0 1,0 2,0 6,0 42,0
3 Perkebunan rakyat 2,0 2,0 2,0 1,0 9,0 63,0
4 Sosialisasi 2,0 2,0 2,0 1,0 7,0 20,0
Sarana dan prasarana usaha
5
tani 1,0 1,0 1,0 1,0 4,0 24,0
Passive sum (PS) 7,0 7,0 7,0 5,0 6,0
Activity ratio (AS/PS) 0,9 0,9 1,3 1,4 0,7
Langkah selanjutnya dari analisis PSA ini adalah penentuan posisi faktor di dalam
diagram. Penentuan posisi faktor di dalam akan menentukan sejauh mana faktor tersebut
berpengaruh di masa yang akan datang. Penentuan posisi faktor ditentukan dengan
menghitung derajat hubungan dan rasio aktivitas. Kedua hasil analisis tersebut akan
membentuk titik koordinat satu sama lainnya, di mana titik koordinat tersebut akan
menentukan posisi dari faktor tersebut. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
4
5
Buffer Motor/Lever
Gambar 1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten
OKU Timur
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi Jawa Timur.
Kabupaten Lamongan terdiri dari 27 kecamatan yang terbagi menjadi 3 karakteristik
daratan berdasarkan aliran sungai bengawan solo yaitu bagian tengah selatan merupakan
daratan rendah yang relatif agak subur yang membentang dari Kecamatan Kedungpring,
Babat, Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung, Sugio, Maduran, Sarirejo dan
Kembangbahu, kemudian bagian utara dan selatan yang merupakan pegunungan kapur
berbatu-batu dengan kesuburan sedang meliputi Kecamatan Mantup, Sambeng, Ngimbang,
Bluluk, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro serta bagian tengah utara yang
merupakan daerah rawan banjir meliputi Kecamatan Sekaran, Laren, Karanggeneng,
Kalitengah, Turi, Karangbinangun, Glagah.
Kabupaten Lamongan dikenal sebagai salah satu lumbung padi bagi Provinsi Jawa Timur,
di mana kabupaten ini mampu memproduksi padi sebesar 967.497 ton Gabah Kering
Giling di tahun 2014. Dengan kata lain, (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Kabupaten
Tabahan, 2014).
Tabel 1. Luasan, Produksi, dan Provitas Tanaman Padi di Kabupaten Lamongan Jawa
Timur
Kabupaten Lamongan sebagai salah satu wilayah kajian evaluasi pelaksanaan LP2B karena
wilayah ini merupakan salah satu wilayah sentra padi sehingga diharapkan pelaksanaan
LP2B menjadi salah satu prioritas pembangunan di daerah ini. Adapun hasil evaluasi LP2B
di Kabupaten Lamongan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Pertanian dan Kehutanan, Kabupaten Lamongan Jawa Timur, maka dapat diidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah seperti pada Tabel 3.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
hubungan dilakukan oleh key informan yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi. Adapun
hasil penentuan nilai hubungan dapat dilihat pada Tabel 4.
Activive Degree of
No Elements 1 2 3 4 5 Sum Interr
(AS) (PS*AS)
1 Sumber Air Baku 1.0 2.0 2.0 0.5 5.5 27.5
2 Jaringan Irigasi 1.0 2.0 2.0 0.5 5.5 27.5
3 Alih fungsi lahan 1.0 1.0 2.0 1.0 0.5 5.5 49.5
4 Tataniaga pupuk 1.0 1.0 1.0 0.5 3.5 56.0
5 Harga jual panen 2.0 2.0 2.0 2.0 8.0 16.0
Passive sum (PS) 5.0 5.0 9.0 7.0 2.0
Activity ratio (AS/PS) 1.1 1.1 0.6 0.5 4.0
Langkah selanjutnya dari analisis PSA ini adalah penentuan posisi faktor di dalam
diagram. Penentuan posisi faktor di dalam akan menentukan sejauh mana faktor tersebut
berpengaruh di masa yang akan datang. Penentuan posisi faktor ditentukan dengan
menghitung derajat hubungan dan rasio aktivitas. Kedua hasil analisis tersebut akan
membentuk titik koordinat satu sama lainnya, di mana titik koordinat tersebut akan
menentukan posisi dari faktor tersebut. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
3 1
2 5
Buffer Motor/Lever
Gambar 1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten
Lamongan
Kabupaten Tabanan, salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang berbatasan dengan
Kabupaten Buleleng di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Badung,
sebelah selatan Samudera Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Jembrana dan Buleleng. Kabupaten Tabanan terletak pada ketinggian 0 – 2.276 m di atas
permukaan laut (dpl), dimana lahan tertinggi berada di puncak Gunung Batukaru.
Topografi wilayah Kabupaten Tabanan memiliki tiga karakteristik yang berbeda. Bagian
selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia merupakan dataran rendah dengan
topografi yang relatif datar, di bagian tengah bergelombang, dan di bagian utara
merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dimana terdapat beberapa gunung yaitu Gn.
Batukaru (2.276 m), Gn. Sangiyang (2.097 m), Gn. Pohen (2.055 m) dan Gn. Adeng (1.811
m).
Kabupaten Tabanan dikenal sebagai salah satu lumbung padi bagi Provinsi Bali, di mana
kabupaten ini mampu memproduksi padi sebesar 214.203 ton Gabah Kering Giling di
tahun 2014. Dengan kata lain, Kabupaten Tabanan sebagai wilayah surplus beras dimana
produksi beras di tahun 2014 sebesar 111.394 ton sedangkan kebutuhan berasnya sebesar
56.322 ton, sehingga surplus berasnya sebanyak 49.440 ton (Dinas Pertanian dan Tanaman
Pangan, Kabupaten Tabahan, 2014).
Tabel 1. Luasan, Produksi, dan Provitas Tanaman Padi di Kabupaten Tabanan Bali
Kabupaten Tabanan sebagai salah satu wilayah kajian evaluasi pelaksanaan LP2B karena
memiliki sistem yang dikenal ke seluruh dunia, yaitu sistem subak. Sistem ini telah
ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia dan hal ini sejalan dengan
program LP2B Pemerintah. Adapun hasil evaluasi LP2B di Kabupaten Tabanan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Pertanian dan Tanaman Pangan, Kabupaten Tabanan Bali, maka dapat diidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah seperti pada Tabel 3.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
hubungan dilakukan oleh key informan yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi. Adapun
hasil penentuan nilai hubungan dapat dilihat pada Tabel 4.
Activive Degree of
No Elements 1 2 3 4 5 Sum Interr
(AS) (PS*AS)
1 Alih fungsi lahan 0,1 0,5 0,1 2,0 2,7 16,2
2 Sikap para petani 2,0 1,0 1,0 1,0 5,0 15,5
3 Dampak Perubahan Iklim 1,0 1,0 1,0 0,1 5,1 20,9
4 Serangan hama penyakit 1,0 1,0 0,1 1,0 3,1 7,9
5 Kondisi Sosial Ekonomi 2,0 1,0 0,5 0,1 3,6 14,8
Passive sum (PS) 6,0 3,1 4,1 2,2 4,1
Activity ratio (AS/PS) 0,5 1,6 1,2 1,4 0,9
Langkah selanjutnya dari analisis PSA ini adalah penentuan posisi faktor di dalam
diagram. Penentuan posisi faktor di dalam akan menentukan sejauh mana faktor tersebut
berpengaruh di masa yang akan datang. Penentuan posisi faktor ditentukan dengan
menghitung derajat hubungan dan rasio aktivitas. Kedua hasil analisis tersebut akan
membentuk titik koordinat satu sama lainnya, di mana titik koordinat tersebut akan
menentukan posisi dari faktor tersebut. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
3
1 2
5
Buffer Motor/Lever
Gambar 1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten
Tabanan
Kabupaten Lombok merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Kabupaten ini memiliki posisi koordinat bumi antara 116°05’
sampai 116°24’ Bujur Timur dan 8°24’ sampai 8°57’ Lintang Selatan. Luas wilayah
Kabupaten Lombok Tengah mencapai 1.208,39 km² (120.839 ha). Dari segi letak
geografis, Kabupaten Lombok Tengah diapit oleh dua kabupaten lain yakni Kabupaten
Lombok Barat di sebelah barat dan utara serta Kabupaten Lombok Timur di sebelah timur
dan utara, sedangkan di bagian selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
Kabupaten Lombok Tengah dikenal sebagai salah satu lumbung padi bagi Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Kabupaten ini mampu surplus beras dan menjadi salah satu lumbung padi.
Adapun luasa dan produksi padi dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Luasan, Produksi, dan Provitas Tanaman Padi di Kabupaten Lombok Tengah
Nusa Tenggara Barat
Kabupaten Lombok Tengah sebagai salah satu wilayah kajian evaluasi pelaksanaan LP2B
karena sebagai sentra padi di Provisi NTB Adapun hasil evaluasi LP2B di Kabupaten
Lombok Tengah dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Pertanian dan Tanaman Pangan, Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, maka
dapat diidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah
seperti pada Tabel 3.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
Activive Degree of
No Elements 1 2 3 4 5 6 7 Sum Interr
(AS) (PS*AS)
Peran serta masyarakat
1
dalam LP2B 0,5 1,0 0,5 1,0 1,0 2,0 6,0 25,2
2 Regulasi LP2B 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,6 1,7
Perkembangan
3
pembangunan 0,5 1,0 0,1 0,1 1,0 2,0 4,7 21,6
Rendahnya kepemilikan
4
lahan 0,5 0,1 0,5 0,5 1,0 2,0 4,6 26,9
Hamparan lahan sawah
5
tersebar 1,0 0,1 1,0 2,0 0,5 1,0 5,6 12,9
6 Teknologi Alternatif 0,1 0,1 1,0 0,1 0,1 1,0 2,4 11,0
7 Nilai ekonomi pertanian 2,0 1,0 1,0 2,0 0,5 1,0 7,5 60,8
Passive sum (PS) 4,2 2,8 4,6 4,8 2,3 4,6 8,1
Activity ratio (AS/PS) 1,4 0,2 1,0 1,0 2,4 0,5 0,9
Langkah selanjutnya dari analisis PSA ini adalah penentuan posisi faktor di dalam
diagram. Penentuan posisi faktor di dalam akan menentukan sejauh mana faktor tersebut
berpengaruh di masa yang akan datang. Penentuan posisi faktor ditentukan dengan
menghitung derajat hubungan dan rasio aktivitas. Kedua hasil analisis tersebut akan
membentuk titik koordinat satu sama lainnya, di mana titik koordinat tersebut akan
menentukan posisi dari faktor tersebut. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
6 3 5
2
Motor/Lever
Buffer
Gambar 1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten
Lombok Tengah
Kabupaten Garut merupakan salah satu sentra pertanian di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten
Garut memiliki karakteristik wilayah yang unik dari sisi geografi. Daerah sebelah Utara,
Timur dan Barat secara umum merupakan daerah dataran tinggi dengan kondisi alam
berbukit-bukit dan pegunungan, sedangkan kondisi alam daerah sebelah Selatan, sebagian
besar permukaan tanahnya memiliki kemiringan yang relatif cukup curam. Corak alam di
daerah sebelah Selatan ini diwarnai oleh iklim Samudra Indonesia dengan segenap potensi
alam dan keindahan pantainya. Kabupaten Garut dengan memiliki iklim tropis, curah hujan
yang cukup tinggi, hari hujan yang banyak dan lahan yang subur serta ditunjang dengan
banyaknya aliran sungai baik yang bermuara ke pantai selatan maupun ke pantai utara jawa
hal ini menyebabkan sebagian besar dari luas wilayahnya dipergunakan untuk lahan
pertanian.
Adapun luasan lahan sawah di Kabupaten Garut, seperti terlihat pada Tabel di bawah ini
Tabel 1. Luasan, Produksi, dan Provitas Tanaman Padi di Kabupaten Garut Jawa Barat
Kabupaten Garut sebagai salah satu wilayah kajian evaluasi pelaksanaan LP2B karena
wilayah ini merupakan salah satu wilayah sentra pertanian sehingga diharapkan
pelaksanaan LP2B menjadi salah satu prioritas pembangunan di daerah ini. Sejak tahun
2014, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura dengan serius memetakan lahan-lahan
sawah di Kabupaten Garut. Kemudian, keseriusan untuk memetakan lahan-lahan yang
akan di LP2B kan dilanjutkan di tahun 2015, yaitu dengan melibatkan seluruh SKPD,
kepala desa/lurah, penyuluh dan petugas lapang untuk mendata by name by address para
pemilik lahan sawah dan menanyakan keikutannya jika lahannya di-LP2B-kan. Adapun
hasil evaluasi LP2B di Kabupaten Garut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kabupaten Garut Jawa Barat, maka dapat diidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah seperti pada Tabel 3.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
hubungan dilakukan oleh key informan yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi. Adapun
hasil penentuan nilai hubungan dapat dilihat pada Tabel 4.
Activive Degree of
No Elements 1 2 3 4 5 Sum Interr
(AS) (PS*AS)
1 SDM dinas terbatas 2,0 0,5 0,1 0,5 3,1 8,4
2 Anggaran Terbatas 2,0 0,1 0,1 1,0 3,2 7,4
3 Alih Fungsi 0,1 0,1 2,0 0,1 2,3 6,2
4 Investor Melirik Garut 0,1 0,1 2,0 0,1 2,3 1,8
5 Tidak ada wilayah acuan 0,5 0,1 0,1 0,1 0,8 1,4
Passive sum (PS) 2,7 2,3 2,7 2,3 1,7
Activity ratio (AS/PS) 1,1 1,4 0,9 1,0 0,5
Langkah selanjutnya dari analisis PSA ini adalah penentuan posisi faktor di dalam
diagram. Penentuan posisi faktor di dalam akan menentukan sejauh mana faktor tersebut
berpengaruh di masa yang akan datang. Penentuan posisi faktor ditentukan dengan
menghitung derajat hubungan dan rasio aktivitas. Kedua hasil analisis tersebut akan
membentuk titik koordinat satu sama lainnya, di mana titik koordinat tersebut akan
menentukan posisi dari faktor tersebut. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
1
2
4
5 Motor/Lever
Buffer
Gambar 1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten
Garut
Kabupaten Maros merupakan salah satu sentra pertanian di Provinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten Maros memiliki karakteristik wilayah yang unik dari sisi geografi karena
wilayah ini ada dataran tinggi dan dataran rendah. Di samping itu, dengan adanya jalan tol
yang menghubungkan Kota Makasar dengan Kabupaten Maros serta adanya Bandara
Internasional Hasanudin membuat kabupaten ini telah bermetamorfosa menjadi wilayah
pertumbuhan. Dengan menggeliatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
infrastruktur maka akan tumbuh permukiman-permukiman baru. Tentunya, dengan
pertumbuhan tersebut akan semakin mempersempit lahan-lahan terutama pertanian. Alih
fungsi lahan pertanian menjadi bangunan sudah tidak dapat dielakkan lagi. Walaupun
Kabupaten Maros sebagai lumbuh padi Sulawesi Selatan
Adapun luasan lahan sawah di Kabupaten Maros, seperti terlihat pada Tabel di bawah ini
Tabel 1. Luasan, Produksi, dan Provitas Tanaman Padi di Kabupaten Maros Sulawesi
Selatan
Kabupaten Maros dijadikan sebagai salah satu wilayah kajian evaluasi pelaksanaan LP2B
karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah sentra pertanian di Sulawesi Selatan
sehingga diharapkan pelaksanaan LP2B menjadi salah satu prioritas pembangunan di
daerah ini. Adapun hasil evaluasi LP2B di Kabupaten Maros dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Pertanian, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, maka dapat diidentifikasi faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah seperti pada Tabel 3.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
hubungan dilakukan oleh key informan yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi. Adapun
hasil penentuan nilai hubungan dapat dilihat pada Tabel 4.
Degree of
Activive Sum
No Elements 1 2 3 4 Interr
(AS) (PS*AS)
1 SDM dinas 1.0 2.0 2.0 5.0 15.0
2 Anggaran 2.0 2.0 2.0 6.0 9.6
3 Sosialisasi LP2B 0.5 0.1 0.1 0.7 3.5
4 Koordinasi LP2B 0.5 0.5 1.0 2.0 8.2
Passive sum (PS) 3.0 1.6 5.0 4.1
Activity ratio (AS/PS) 1.7 3.8 0.1 0.5
Langkah selanjutnya dari analisis PSA ini adalah penentuan posisi faktor di dalam
diagram. Penentuan posisi faktor di dalam akan menentukan sejauh mana faktor tersebut
berpengaruh di masa yang akan datang. Penentuan posisi faktor ditentukan dengan
menghitung derajat hubungan dan rasio aktivitas. Kedua hasil analisis tersebut akan
membentuk titik koordinat satu sama lainnya, di mana titik koordinat tersebut akan
menentukan posisi dari faktor tersebut. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
2
4
3
Buffer Motor/Lever
Adapun luasan lahan sawah di Kabupaten Sleman, seperti terlihat pada Tabel di bawah ini
Tabel 1. Luasan, Produksi, dan Provitas Tanaman Padi di Kabupaten Sleman Yogyakarta
Kabupaten Sleman dijadikan sebagai salah satu wilayah kajian evaluasi pelaksanaan LP2B
karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah sentra pertanian di Yogyakarta sehingga
diharapkan pelaksanaan LP2B menjadi salah satu prioritas pembangunan di daerah ini.
Adapun hasil evaluasi LP2B di Kabupaten Sleman dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Pertanian, Kabupaten Sleman Yogyakarta, maka dapat diidentifikasi faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah seperti pada Tabel 3.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
hubungan dilakukan oleh key informan yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi. Adapun
hasil penentuan nilai hubungan dapat dilihat pada Tabel 4.
Activive Degree of
No Elements 1 2 3 4 Sum Interr
(AS) (PS*AS)
1 Sumber air baku 1.0 2.0 2.0 5.0 15.0
2 Jaringan irigasi 2.0 2.0 2.0 6.0 9.6
3 Alih fungsi lahan 0.5 0.1 0.1 0.7 3.5
4 Tataniaga pupuk 0.5 0.5 1.0 2.0 8.2
5. Harga jual panen
Passive sum (PS) 3.0 1.6 5.0 4.1
Activity ratio (AS/PS) 1.7 3.8 0.1 0.5
Buffer Motor/Lever
Gambar 1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten
Sleman
Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah administrasi
Provinsi Jawa Tengah. Walaupun bukan sebagai kabupaten yang memberikan produksi
padi yang besar, tetapi kabupaten ini sebagai salah satu penghasil beras di Jawa Tengah.
Dilihat dari peta orientasi Provinsi Jawa Tengah, wilayah Kabupaten Magelang memiliki
posisi yang strategis karena keberadaannya terletak di tengah-tengah, sehingga mudah
dicapai dari berbagai arah. Secara geoekonomis, Kabupaten Magelang merupakan daerah
perlintasan, jalur kegiatan ekonomi, yaitu Semarang-Magelang-Purworejo dan Semarang-
Magelang-Yogyakarta-Solo. Wilayah Kabupaten Magelang terletak ditengah-tengah
Provinsi Jawa Tengah, dan apabila dilihat dari titik koordinatnya, Kabupaten Magelang
terletak diantara 1100 01’ 51” sampai dengan 1100 26’ 28” Timur dan antara 70 19’ 13”
sampai dengan 70 42’ 16” Lintang Selatan. Dengan batas administrasi wilayah Kabupaten
Magelang adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Kab. Temanggung dan Kab. Semarang
2. Sebelah Timur : Kab. Semarang dan Kab. Boyolali
3. Sebelah Selatan : Kab. Purworejo dan D.I Yogyakarta
4. Sebelah Barat : Kab. Temanggung dan Kab. Wonosobo
5. Di Tengah wilayah Kabupaten Magelang terdapat Kota Magelang
Penggunaan lahan di Kabupaten Magelang berdasarkan interpretasi citra satelit terdiri dari
penggunaan lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun/perkebunan, hutan, semak
belukar, tegal/lading, rumput/tanah kosong, pemukiman, tubuh air dan jalan. Penggunaan
lahan terluas berupa kebun/perkebunan sebesar 35.854,47 Ha yang tersebar merata di
setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang. Sedangkan penggunaan lahan terkecil
berupa tubuh air seluas 916,50 Ha yang tersebar disetiap kecamatan di Kabupaten
magelang kecuali di Kecamatan Tempuran. Adapun luasan lahan sawah di Kabupaten
Magelang, seperti terlihat pada Tabel di bawah ini
Tabel 1. Luasan, Produksi, dan Provitas Tanaman Padi di Kabupaten Magelang Jawa
Tengah
Kabupaten Magelang dijadikan sebagai salah satu wilayah kajian evaluasi pelaksanaan
LP2B karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah pertanian di Jawa Tengah sehingga
diharapkan pelaksanaan LP2B menjadi salah satu prioritas pembangunan di daerah ini.
Adapun hasil evaluasi LP2B di Kabupaten Magelang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Berdasarkan hasil diskusi dengan key informan, baik dari Bappeda maupun Dinas
Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Magelang Jawa Tengah, maka
dapat diidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan LP2B di daerah
seperti pada Tabel 3.
Guna mengetahui hubungan antar faktor, maka disusunlah matrik hubungan antar faktor
yang menjelaskan kausal loop yang saling pengaruh-mempengaruhi. Penetapan angka di
dalam matrik ditentukan oleh derajat antar hubungan. Penentuan penilaian kekuatan
hubungan dilakukan oleh key informan yang dilakukan berdasarkan hasil diskusi. Adapun
hasil penentuan nilai hubungan dapat dilihat pada Tabel 4.
Activive Degree of
No Elements 1 2 3 4 5 6 Sum Interr
(AS) (PS*AS)
1 Pedoman LP2B 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 10.0 100.0
Insentif dan
2
Disinsentif 2.0 0.1 2.0 1.0 1.0 6.1 40.3
3 Peta Dasar 2.0 0.1 2.0 1.0 2.0 1.0 8.1 69.7
4 Sosialisasi LP2B 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 10.0 80.0
5. Koordinasi LP2B 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 10.0 80.0
6. Kelembagaan LP2B 2.0 0.5 0.5 1.0 1.0 5.0 6.3
Passive sum (PS) 10.0 6.6 8.6 8.0 8.0 8.0
Activity ratio (AS/PS) 1.0 0.9 0.9 1.3 1.3 10.0
Langkah selanjutnya dari analisis PSA ini adalah penentuan posisi faktor di dalam
diagram. Penentuan posisi faktor di dalam akan menentukan sejauh mana faktor tersebut
berpengaruh di masa yang akan datang. Penentuan posisi faktor ditentukan dengan
menghitung derajat hubungan dan rasio aktivitas. Kedua hasil analisis tersebut akan
membentuk titik koordinat satu sama lainnya, di mana titik koordinat tersebut akan
menentukan posisi dari faktor tersebut. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
1
Sympton 3 5 Critical Element
4
Buffer Motor/Lever
Gambar 1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten
Magelang