Anda di halaman 1dari 4

BLU: Bukan Korporasi Tapi Memberi Kontribusi Demi Pelayanan Yang Bernilai

Oleh Mangappu Pasaribu, pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan*

Badan Layanan Umum dibentuk sebagai pengejawantahan teori agensifikasi, yang secara
umum berarti adanya pemisahan antara fungsi kebijakan (regulator) dengan fungsi
pelayanan publik dalam struktur organisasi pemerintah. Fungsi pertama dilakukan oleh
kantor pusat kebijakan sedangkan yang kedua adalah kantor-kantor yang melaksanakan
tugas pelayanan. Menurut teori tersebut, idealnya Menteri/Pimpinan Lembaga memberi
mandat dalam sebuah bentuk kontrak kinerja kepada kepala eksekutif badan pelayanan
umum dalam melaksanakan satu program atau beberapa program sejenis yang akan
dikelola secara professional. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah/PP Nomor 23
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum secara explisit
menjelaskan, BLU tidak hanya sebagai format baru dalam pengelolaan keuangan Negara
namun juga sebagai wadah baru bagi pembaruan manajemen keuangan sektor publik
(public sector reform in financial managements). Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana
strategi pemerintah pusat dalam mereformasi organisasi sektor publik melalui pembentukan
Badan Layanan Umum serta tantangan dan isu-isu strategisnya.

Maksud Pembentukan Badan Layanan Umum

Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas (Pasal 1 ayat 23 UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara). Selanjutnya pasal 68 ayat (1) menyatakan tujuan
pembentukan BLU yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain
pemerintah ingin menjadikan BLU sebagai organisasi yang costumer-oriented, not-for-profit
oriented dan outcome-oriented. Costomer oriented adalah suatu organisasi yang peka atas
kebutuhan pelanggan sehingga produk dan atau jasa yang dijual selalu ditujukan untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan. Organisasi not-for-profit-oriented yaitu organisasi yang
dikelola bukan dalam rangka mencari laba dimana pendapatan yang diperoleh semata-mata
untuk peningkatan mutu pelayanan sehingga bermanfaat bagi pengguna akhir layanan.
Sedangkan outcome-oritented adalah suatu pengelolaan organisasi yang dikelola yang lebih
mengutamakan pencapaian hasil yang diharapkan. Secara konsep, pembentukan BLU telah
dilandasi prinsip yang tepat untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.

Fitur-fitur BLU

Beberapa fitur unik BLU yang membedakannya dari satuan kerja instansi pemerintah
adalah: Pertama, aspek pengelolaan keuangan, dimana pemerintah pusat secara khusus
mengatur pola pengelolaan keuangan BLU. Asas utama pengelolaan keuangan BLU ialah
(a) fleksibilitas, dimana BLU diharapkan menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat
(best practice) dalam penyelenggaraan fungsi organisasi. Lebih jauh, BLU dapat memungut
biaya atas bisnisnya kepada pengguna layanan; (b) BLU dikelola dengan memperhitungkan
efisiensi biaya dalam setiap kegitan operasionalnya. Artinya, BLU wajib melakukan
perhitungan akuntansi biaya atas setiap unit produk yang dihasilkan; (c) BLU dikelola untuk
meningkatkan layanan yang bermutu sebagai sumber pendapatan operasional. Ketiga
prinsip utama tersebut didukung dengan pendelegasian wewenang yang luas melalui
paradigma ‘let the managers manage’. Dengan privilese tersebut, diharapkan para manajer
BLU dengan diskresinya mampu mengelola sumber-sumber daya baik keuangan maupun
non-keuangan secara sinergi untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Aspek kedua ialah aspek manajemen organisasi, dimana BLU dalam melaksanakan
praktek-praktek bisnis yang sehat perlu melakukan pengelolaan dan pengukuran kinerja.
Semua output kinerja BLU perlu diukur untuk melihat bagaimana organisasi telah bekerja
dalam mencapai targetnya. Selain itu, pengelolaan BLU dilakukan secara professional
melalui alat pengedalian managemen meskipun bisnisnya tidak mengutamakan mencari
keuntungan. Sehingga dalam hal ini sangat diharapkan BLU mengadopsi alat perencanaan
management yang diterapkan oleh sektor swasta dalam mengelola kinerjanya dalam
pengukuran kinerja yang lebih komprehensif. Dengan pengelolaan kinerja yang
komprehensif, selain meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan
kompetensi utama para pegawainya, BLU juga akan mampu mencapai sasaran jangka
pendek dan dapat bersaing untuk mencapai tujuan jangka panjangnya. Sehingga dalam hal
ini, kepala eksekutif BLU perlu memiliki tingkat manajerial yang tinggi yang bertanggung
jawab atas pencapain hasil yang tertuang dalam kontrak kinerja.

Aspek ketiga, penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting) yaitu BLU


diharapkan menjadi prototype satuan kerja instansi pemerintah lainnya dengan model
rencana bisnis anggaran yang dilaksanakan dalam proses penganggaran dan pelaksanaan
anggaran. Hal ini didasari pemikiran bahwa BLU akan mampu mendefinisikan visi dan misi
organisasi ke dalam sasaran dan tujuan organisasi yang akan dicapai dalam target
kinerjanya. Sehingga dalam melakukan penganggaran, BLU dapat lebih baik dalam
menghubungkan jumlah anggaran yang akan dialokasikan untuk mencapai target sasaran
yang akan dicapai. Selain itu dalam proses penganggaran, BLU perlu menyediakan
informasi kinerja sebagai salah satu penilaian dalam penetapan program BLU pada tahun
berikutnya yang akan dijadikan dasar penilaian oleh penyedia anggaran. Dengan adanya
informasi kinerja (performance information) yang lengkap diharapkan penetapan anggaran
akan lebih rasional.

Tantangan BLU

Untuk menjadi BLU yang memiliki kontribusi kepada keuangan Negara serta menyediakan
pelayanan yang bermutu, BLU dihadapkan pada beberapa tantangan berikut. Pertama,
perlu dilakukan peningkatan kemampuan manajerial para pimpinan eksekutif BLU agar
mampu membawa BLU menjadi organisasi sektor publik dengan kinerja sektor swasta. Hal
ini sangat penting mengingat adanya perubahan budaya kerja dari yang sebelumnya
sebagai administrator menjadi manajer. Profesi yang pertama lebih mengutamakan ketaatan
pada aturan dan prosedur kerja (process oriented) sementara yang kedua mengutamakan
pencapaian hasil (outcome oriented) dengan skill dan kepemimpinan yang mumpuni. Peran
kepemimpinan menjadi sangat penting untuk mengkomunikasikan sasaran dan tujuan
organisasi kepada seluruh anggota agar semua elemen organisasi dapat bersinergi secara
aktif dalam pencapaian tujuan organisasi. Dengan budaya kinerja, para manajer tidak lagi
menunggu perintah dari atasan karena semua urusan teknis operasional organisasi adalah
merupakan tanggung jawab pribadinya. Dengan kata lain, akuntabilitas seorang manajer
diukur dari seberapa cakap dia memimpin organisasi dalam memenuhi target yang
ditetapkan.

Di satu sisi, diskresi yang diberikan dapat menjadi sebuah dilema bagi eksistensi BLU.
Apabila manager memiliki integritas yang tinggi, maka dia akan mampu menggerakkan
mesin organisasi dan mengelola sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang
diharapkan, namun jika sebaliknya pemimpin BLU memanfaatkan kekuasaanya untuk
kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu, maka kemungkinan besar organisasi BLU
tidak jauh berbeda dengan organisasi birokratif dan hierarkis yang lambat dalam
pengambilan keputusan tanpa inovasi dan kreativitas. Oleh karena itu, kementerian terkait
perlu menetapkan sistem pengendalian yang tepat agar para manager bekerja pada koridor
yang diharapkan.

Kemudian terdapat beberapa isu strategis yang perlu dikelola dalam penyempurnaan
kelembagaan. Yang pertama nomenklatur kelembagaan BLU perlu ditetapkan lebih jelas
posisinya agar tidak terjadi kebingungan dan kesalahpahaman baik oleh masyarakat
sebagai pengguna layanan maupun oleh para stakeholder yang terkait dalam pembinaan
BLU. Tanpa identitas yang jelas, BLU akan terperangkap dengan sistem pengelolaan yang
birokratis, hierarkis dan lambat serta jauh dari aspek professionalitas. Konsekuensinya, BLU
akan terpengaruh dengan politik organisasi yang biasanya mewabah dalam organisasi
pemerintah sehingga secara langsung akan mempengaruhi kelincahan (agility) manajemen
BLU. Dalam hal ini, kementerian terkait perlu melepaskan ke-egoannya sehingga rela
memberikan kewenangan yang lebih luas dan proporsional bagi para manajer BLU. Apabila
isu-isu dimaksud tidak dapat ditangani secara arif, pelayanan publik yang bernilai tinggi akan
sangat sulit dicapai. Yang kedua, perlunya pengaturan kompensasi atas kinerja BLU dalam
bentuk remunerasi yang tepat sesuai dengan keahlian dan resiko yang ditanggung. Karena
secara akal sehat, tidak mungkin mengharapkan individu bekerja secara profesional tanpa
memberi kompensasi yang sesuai dengan tingkat keahliannya.

Penutup

Sejauh apa visi yang ditetapkan atas pembentukan BLU sangat menentukan sejauh mana
kiprah penyedia layanan ini di masa mendatang. Jika pembuat kebijakan menganggap
bahwa BLU tidak jauh berbeda dengan satuan kerja instansi pemerintah pada umumnya,
maka akan sejauh itulah pula lah kemampuan kinerja BLU di masa depan. Namun jika para
pembuat kebijakan mempunyai keyakinan akan suatu pelayanan publik yang bernilai tanpa
komersialisasi pelayanan, maka BLU harus diberdayakan agar sesuai dengan posisinya
sebagai badan yang independen namun tidak terlepas dan menjadi bagian integral dari
kementerian terkait. BLU tidak hanya sebatas satuan kerja yang diberi kewenangan dalam
memungut biaya atas pelayanannya, atau sebagai instrumen pemerintah yang tugasnya
ditekankan pada peningkatan pendapatan negara, namun sebagai penyedia layanan umum
yang berkontribusi bagi peningkatan pelayanan bernilai tinggi.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi
dimana penulis bekerja.

Anda mungkin juga menyukai