Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Dari berbagai macam penyebab infeksi menular seksual, N. gonorrhoeae

menjadi salah satu bakteri yang hangat diperbincangkan sebagai penyebab. Badan

dunia World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa insiden infeksi dari N.

gonorrhoeae cukup tinggi dan telah menjadi masalah global. Di Amerika Serikat

infeksi oleh N. gonorrhoeae telah menjadi penyakit menular ke dua yang paling

sering dilaporkan dan menempati urutan ke dua sebagai penyebab umum infeksi

menular seksual.1 Infeksi yang disebabkan oleh N. gonorrhoeae dapat menyebakan

berbagai macam komplikasi baik secara lokal maupun sistemik menyebabkan

peningkatan beban kesehatan secara global.

Di Amerika Serikat 720.000 kasus infeksi baru dilaporkan terjadi akibat N.

gonorrhoeae, setiap tahunnya2. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa dari 100

orang wanita yang mengalami PRP, 46% nya disebabkan oleh N. gonorrhoeae.3 Pada

tahun 2008 WHO memperkirakan insiden global dari N. gonorrhoeae sebanyak 106

juta kasus, yang merepresentasikan kenaikan sebesar 21% dari tahun 2005. Area

insiden infeksi N. gonorrhoeae tertinggi sendiri berada pada benua Afrika, region

Pasifik Barat (meliputi China dan Australia) 4. Komplikasi infeksi N. gonorrhoeae

pada pria sendiri antara lain dapat berupa epididimitis. Tidak hanya komplikasi pada

urogenital, N. gonorrhoeae juga dapat menyebabkan arthritis septik pada beberapa

kasus dan pada kasus yang jarang dapat menyebabkan bakterimia, serta Disseminated

Gonococcal Infection (DGI).5

Bila diagnosis sudah ditegakkan, ketepatan waktu pengobatan, pemilihan obat

yang benar dengan dosis yang adekuat dapat mengeliminasi infeksi dan mencegah

1
terjadinya komplikasi.6 Komplikasi yang dapat terjadi bila pengobatan tidak segera

dilakukan atau pengobatan sebelumnya tidak adekuat adalah penjalaran infeksi ke

uretra bagian belakang secara ascendent. Pada pria dapat memberi gambaran klinis

antara lain: tysonitis, prostatitis, dan epididimitis. Sedangkan pada wanita, komplikasi

yang dapat terjadi antara lain: penyakit radang panggul (PRP). Selain itu dapat terjadi

DGI (Disseminated Gonococcal Infection) yakni sindroma artritis-dermatitis akut

yang terdiri dari artritis akut, tenosinovitis, dermatitis atau kombinasi dari gejala-

gejala tersebut.7 N. gonorrhoeae yang turut berperan dalam patomekanisme beberapa

penyakit seperti penyakit radang panggul (PRP) yang dimana meliputi cervicitis,

endometritis, salpingitis dan pada akhirnya akan meningkatkan resiko infertilitas.

Infeksi pada tuba fallopi sendiri apabila dibiarkan dapat membentuk komplikasi lain

berupa abses tuboovarian, yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan peritonitis

bahkan kematian.3

Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa penanganan infeksi N. gonorrhoeae

yang tidak tepat dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang terjadi akibat

penyakit ini perlu untuk diketahui sebagai langkah awal untuk menangani dengan

tepat komplikasi yang terjadi agar tidak sampai menimbulkan komplikasi yang berat

maupun kematian. Sehingga pada referat ini akan dibahas komplikasi baik lokal

maupun sistemik yang dapat disebabkan oleh infeksi N. gonorrhoeae.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

N. gonorrhoeae diidentifikasi pada tahun 1879 oleh Albert Neisser dalam

pewarnaan eksudat. Spesies Neisseria adalah kuman aerobik gram negative, non motil

dan tidak menghasilkan spora. Gonokokus sendiri muncul berpasangan sebagai

diplokokus dan memiliki membrane luar, peptidoglikan dan membrane sitoplasma. 7

Kuman gonokokus memiliki kemampuan untuk mempenetrasi sel epitel mukosa, ber-

replikasi di dalam sel dan secara eksositosis dapat keluar ke ruang submukosa. Infeksi

dapat bertahan selama beberapa minggu hingga bulan jika tak di terapi.8

Daerah infeksi N. gonorrhoeae yang paling umum adalah pada traktus urogenital.

Gambaran klinis dan komplikasi infeksi N. gonorrhoeae sangat erat hubungannya dengan

susunan anatomi dan faal genitalia. 11 Berikut ini dicantumkan infeksi pertama dan

komplikasi lokal, baik pada laki-laki maupun perempuan. Infeksi pertama N.

Gonorrhoeae pada laki-laki dapat terjadi uretritis gonokokus yang merupakan peradangan

pada uretra yang disebabkan oleh N. Gonorrhoeae yang ditransmisikan terutama melalui

hubungan seksual dengan partner yang terinfeksi.9 Penularan terjadi melalui kontak

langsung antara mukosa ke mukosa. Bakteri gonokokus akan merusak membrane yang

melapisi selaput lendir terutama uretra. Setelah terinokulasi, infeksi dapat menyebar di

uretra, prostat, vas deferens, epididimis maupun testis. 10 Gejala yang sering ditimbulkan

adalah sekret dari uretra, dysuria, rasa gatal dan panas di bagian distal uretra sekitar

orifisium uretra eksternum, nyeri pada waktu ereksi11 Pada pemeriksaan fisik Orifisium

uretra eksternum tampak kemerahan dan edema, Tampak duh tubuh mukopurulen, Dapat

terjadi pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral atau bilateral.11

Infeksi pertama N. Gonorrhoeae pada wanita adalah servisitis.Gambaran klinis

dapat asimtomatik, kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri pada punggung bawah. Pada

3
pemeriksaan, serviks tampak hiperemis dengan erosi dan sekret mukopurulen. Duh tubuh

akan terlihat lebih banyak, bila terjadi servisitis akut atau disertai vaginitis.11

Apabila dibiarkan tanpa ditangani dengan baik, dapat terjadi infeksi sistemik yang

disebabkan oleh N. gonorrhoeae ke area lain di tubuh yang pada umumnya akan

menyebabkan infeksi pada sinovium dan kulit. Disseminated Gonococcal Infection

muncul sebagai beberapa lesi kulit pada ekstremitas. 12 Tabel di bawah ini adalah

komplikasi lokal dan sistemik pada laki-laki dan perempuan akibat dari infeksi N.

Gonorrhoeae (Tabel 2.1)

Pada laki-laki Pada perempuan


Komplikasi Lokal 1. Tyosonitis 1. P.I.D (Pelvic
2. Prostatitis inflammatory Diseases) /
3. Epididymitis penyakit radang pinggul
(PRP)
Komplikasi Sistemik 1. Disseminated Gonococcal Infection (DGI)

Tabel 1. Komplikasi lokal dan sistemik pada laki-laki dan perempuan


akibat dari infeksi N. Gonorrhoeae

Berikut penjelasan komplikasi lokal infeksi N. Gonorrhoeae pada laki-laki:

2.1 Komplikasi Lokal Infeksi N. gonorrhoeae pada Laki - Laki


2.1.1 Tysonitis
a. Definisi
Tysonitis adalah radang pada kelenjar Tyson. Kelenjar Tyson adalah

kelenjar sebasea yang dilapisi oleh epitel kolumnar yang terletak di tiap sisi

frenulum dan berhubungan langsung dengan sac. Prepucial. Fungsinya adalah

untuk menghasilkan smegma.13


b. Epidemiologi

4
Uretritis gonokokal dengan tysonitis jarang terjadi. Kasus ini bisa

muncul unilateral seperti pada pasien ini atau Tysonitis bilateral seperti yang

dilaporkan oleh Fiumara, Subramanian dan Abdul Gaffoor. Bavidge juga

melaporkan satu kasus tysonitis gonokokal. Tysonitis terjadi sebagai

komplikasi Gonore lokal bersamaan dengan infeksi Chlamydia trachomatis

pada 15-35 % kasus.13


c. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan ditemukannya butir pus atau

pembengkakan pada daerah frenulum yang nyeri tekan.11 Pada gambar 1

tampak secret uretra purulent dengan Tysonitis Unilateral

Gambar 1. Sekret Uretra Purulent dengan Tysonitis Unilateral13

d. Terapi
Terapi standar untuk kasus ini adalah pemberian ceftriaxone 500 mg

intramuskular dan doksisiklin 100 mg per oral 2 kali sehari selama 1minggu.13
2.1.2 Prostatitis
a. Definisi
Prostatitis adalah peradangan pada kelenjar prostat. Terdapat empat

klasifikasi prostatitis diantaranya bacterial akut, bacterial kronis, prostatitis

kronis/ sindroma nyeri panggul kronis dan asimptomatis ( tanpa gejala ).14
b. Epidemiologi

5
Prevalensi kasus prostatitis sekitar 8,2 persen (berkisar antara 2,2

sampai 9,7 persen). Hal ini didapat dari 8 persen kunjungan ke urologis dan

lebih dari 1 persen kunjungan ke dokter layanan primer.14


c. Gambaran Klinis
Prostatitis akut ditandai dengan rasa tidak nyaman di daerah perineum

dan suprapubis,malaise, demam, nyeri saat berkemih hematuri, spasme otot

uretra hingga terjadi retensi urin, tenesmus ani, sulit buang air besar, serta

obstipasi. Pada pemeriksaan teraba pembesaran prostat dengan konsistensi

kenyal, nyeri tekan, dan didapatkan fluktuasi bila telah terjadi abses. Jika

tidak diobati, abses akan pecah, masuk ke uretra posterior atau rektum dan

mengakibatkan proktitis.11
Bila prostatitis berlanjut menjadi kronik. gejalanya ringan dan

intermiten, tetapi kadang- kadang menetap. Terasa tidak nyaman pada

perineum bagian dalam dan bila duduk terlalu lama. Pada pemeriksaan prostat

teraba kenyal, berbentuk nodus, dan sedikit nyeri pada penekanan.11


d. Diagnosis14
Kultur urin : dilakukan pada semua pasien
Urin residual postmiksi: jika ada indikasi
e. Terapi
Terapi empiris sebaiknya dimulai pada masa evaluasi; rata-rata sesuai

dengan organism yang terisolasi pada hasil kultur. Pasien dengan sakit ringan

sampai sedang dapat dirawat jalan; pasien yang sakit parah atau mereka

dengan kemungkinan urosepsis memerlukan rawat inap dan dengan parenteral

antibiotik. Bila pasien sudah tidak demam, dapat diberikan antibiotic oral

sesuai hasil kultur. Durasi pengobatan minimal adalah empat minggu; Namun,

periode optimal adalah 6 minggu, karena terdapat kemungkinan persistensi

dari bakteri.14
Bila demam menetap atau suhu suhu tidak menurun setelah 36 jam,

harus dicurigai adanya abses prostat. Diperlukan konsultasi urologi;

pemeriksaan imaging dengan computed tomography (CT), magnetic

6
resonance imaging (MRI), atau ultrasonografi transrektal. Abses prostat

memerlukan konsultasi urologi untuk dilakukan drainase. 14


1. Pada pasien dengan Prostatitis bakteri akut

a) Dengan sakit ringan sampai sedang :

TMP/SMZ (160mg/ 800mg) Per oral 2 kali sehari selama 6 minggu atau

Ciprofloxacin (Cipro) 500mg oral 2 kali sehari selama 6 minggu.

b) Dengan sakit berat atau ada kemungkinan urosepsis:

ampicillin 2 g IV tiap 6 jam ditambah gentamisin 5mg/kgbb/hari atau 1,5

mg/kgbb tiap 8 jam hingga tidak demam.

2. Pada pasien dengan prostatitis kronis, agen antimikroba oral (Tabel 2) yang

sering digunakan untuk pengobatan Prostatitis Bakteri Kronis12

Nama Obat Dosis

Antibiotic lini pertama


Golongan fluorokuinolon
Ciprofloxacin (Cipro) 500 mg 2 kali sehari
Levofloxacin (Levaquin) 500mg sekali sehari
Norfloxacin (Noroxin) 400mg 2 kali sehari
Trimethoprim/ sulfamethoxazole 160mg / 800mg dua kali
(Bactrim DS, Septra DS) sehari

Antibiotik lini kedua


Doksisiklin 100 mg 2 kali sehari
Azitromycin (Zithromax) 500mg sekali sehari
Clarithromycin (Biaxin) 500mg sekali sehari

Tabel 2. Pengobatan Prostatitis Bakteri Kronis14


2.1.3 Epididymitis
a. Definisi

7
Epididimitis merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi pada

epididimis. Epididimis berbentuk kurva (koil) yang menempel di belakang

testis dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan sperma yang matur.15


b. Epidemiologi
Data terbaru menyatakan bahwa terdapat kurang lebih 600.00 kasus

epididimitis tiap tahunnya di Amerika Serikat. Epididimitis didapatkan pada 1

berbanding 144 pasien rawat jalan pria usia 18-50 tahun. 15


c. Gambaran Klinis
Berdasarkan lama terjadinya, epididymitis terbagi atas akut dan kronis.

Dikatakan Epididimitis akut apabila sindroma klinis yang terdiri dari nyeri,

pembengkakan dan inflamasi dari epididimis terjadi kurang dari 6 minggu.

Sedangkan epididimitis kronis dikarakteristikkan dengan keluhan yang

berlangsung lebih dari 6 minggu atau setidaknya berlangsung dalam 3 bulan.14

Gejala yang timbul tidak hanya berasal dari infeksi lokal namun juga berasal

dari sumber infeksi utama.


1. Gejala yang sering berasal dari sumber infeksi utama seperti15:
a. Duh uretra dan nyeri atau rasa gatal pada uretra (akibat uretritis),
b. Nyeri panggul dan frekuensi miksi yang meningkat, dan
c. Rasa terbakar saat miksi (akibat infeksi pada vesika urinaria yang

disebut cystitis),
d. Demam, nyeri pada daerah perineum,
e. Frekuensi miksi yang meningkat, urgensi, dan rasa perih dan

terbakar saat miksi (akibat infeksi pada prostat yang disebut

prostatitis),
f. Demam dan nyeri pada regio flank (akibat infeksi pada ginjal yang

disebut pielonefritis).
2. Gejala lokal pada epididimitis dapat berupa:
a. Nyeri pada skrotum
Nyeri mulai timbul dari bagian belakang salah satu testis namun

dengan cepat akan menyebar ke seluruh testis, skrotum dan

kadangkala ke daerah inguinal disertai peningkatan suhu badan

yang tinggi. Biasanya hanya mengenai salah satu skrotum saja dan

8
tidak disertai dengan mual dan muntah. Epididimis akut ini kadang

sulit dibedakan dengan torsio testis. Kadang dapat disertai

malaise.15
b. Pria dengan epididimitis biasanya mengeluhkan nyeri testis

posterior yang bertahap dalam onsetnya, biasanya unilateral dan

kadang menjalar ke abdomen bawah.

Pada pemeriksaan fisik Epididimis yang terletak di bagian posterior

dan lateral dari testis saat skrotum di palpasi akan didapatkan nyeri pada

epididimis dan bengkak pada perabaan. Pada pemeriksaan phren sign, ada

penurunan nyeri apabila skrotum diangkat juga dapat menjadi tanda

adanya epididimitis namun temuan ini tidaklah konsisten. Selain itu pada

beberapa kasus pasien juga dapat mengalami pembengkakan pada kelenjar

limfe inguinal.15

d. Diagnosis
1. Pada pria usia >35 tahun serta pada remaja atau anak laki-laki yang

tidak aktif secara seksual, dilakukan pemeriksaan urinalisis

menggunakan urin midstream, serta kultur.


2. Semua pria yang aktif secara seksual harus melakukan pemeriksaan

NAAT untuk deteksi infeksi gonorrhoeae. Tes ini memiliki sensitivitas

yang tinggi dan dapat dilakukan pada swab uretra dan urin pancar

pertama untuk mengevaluasi pasien dengan epididimitis.


3. Ultrasonography dopler berwarna juga bermanfaat dalam

mendiagnosa epididimitis dan dapat mengakses anatomi skrotum dan

perfusi dari testis. Peningkatan aliran darah pada pulsasi gelombang

dopler, dengan pembesaran, dan penebalan epididimis mengarah pada

epididimitis.15
e. Terapi

9
Terapi pada epididimitis dapat diberikan dengan regimen antibiotik

(Tabel 3), beberapa sumber menyebutkan pemberian antibiotik disesuaikan

dengan kultur kuman, dimana infeksi N. gonorrhoeae dapat menggunakan

amoksisilin ditambah probenecid atau ceftriaxone secara intravena yang

dilanjutkan dengan pemberian doksisiklin atau eritromisin secara oral selama

10 hari.15

Faktor Risiko Regimen Antibiotok yang


Direkomendasikan
Risiko adanya infeksi menular Ceftriaxon 250 mg IM + doksisiklin
seksual, terutama gonorrhoea dan 100 mg per oral 2 kali sehari selama
chlamydia 10 hari
Dengan riwayat biopsy prostat, Levofloxacin 500 mg per oral 1 kali
vasektomi, pembedahan traktus sehari selama 10 hari atau ofloxacin
urinary maupun prosedur yang 300mg per oral 1 kali sehari selama
berhubungan dengan organisme 10 hari
usus.
Dengan risiko keduanya baik Ceftriaxone dan levofloxacin atau
infeksi menular seksual maupun ofloxacin sesuai dosis diatas.
prosedur yang berhubungan
dengan organisme usus. (seperti
laki-laki yang melakukan sex anal)

Tabel 3. Regimen antibiotik yang dianjurkan bagi epididimitis 15

Berikut penjelasan komplikasi lokal infeksi N. Gonorrhoeae pada perempuan:

2.2 Komplikasi Lokal infeksi N. gonorrhoeae pada Perempuan


2.2.1Penyakit Radang Panggul/ P.I.D (Pelvic Inflammatory Diseases)
a. Definisi
Penyakit radang panggul merupakan infeksi yang disebabkan oleh

inflamasi berkelanjutan dari serviks ke kavum peritoneal (endocervicitis,

endometritis, salpingitis, peritonitis). 16


b. Epidemiologi

10
Penyakit radang panggul telah didiagnosa pada lebih dari 800.000

wanita tiap tahunnya di United States. Sembilan puluh persen dari wanita yang

menderita PRP dan diterapi sebagai pasien rawat jalan. Kebanyakan dari

wanita ini berusia kurang dari 25 tahun dengan resiko tertinggi pada remaja

yang aktif secara seksual. 16


c. Patofisiologi
Pada keadaan normal, vagina dan serviks merupakan tempat berbagai

macam bakteri baik komensal maupun patogen dimana terdapat vaginosis

bakterial. Walaupun sering terpapar oleh mikroba, infeksi merupakan hal yang

jarang terjadi, dengan kata lain terdapat proses eliminasi patogen yang baik. 16

Gambar 2. Infeksi naik dari serviks ke cavum uteri sampai tuba falopi 16

Bila terjadi infeksi dan inflamasi mencapai tuba falopi, terjadi

degenerasi epitel dan silia disepanjang tuba falopi bersamaan dengan

infiltrasi sel inflamasi pada submukosa yang menyebabkan pembengkakan

pada tuba falopi yang terinfeksi. Keadaan ini menyebabkan tuba falopi

tersumbat baik secara total maupun parsial dan pada akhirnya

menyebabkan infertilitas atau kehamilan ektopik.16

d. Gambaran Klinis

11
Gejala-gejala yang terkait dengan penyakit radang panggul akut

diantaranya: 16
a. Nyeri Perut Bagian Bawah Dengan Keparahan Yang Bervariasi,
b. Keputihan Yang Abnormal,
c. Intermenstrual Atau Perdarahan Postkoitus,
d. Dispareunia,
e. Disuria.
f. Kurang dari sepertiga dari wanita dengan PRP akan memiliki suhu

yang tinggi ketika dievaluasi. Demam dapat terjadi, tetapi manifestasi

sistemik tidak menonjol pada kasus ini.


e. Diagnosis
Diagnosis klinis penyakit radang panggul ini didasarkan atas temuan

nyeri tekan organ panggul, seperti yang ditunjukkan oleh nyeri goyang

serviks, nyeri adneksa, atau nyeri kompresi uterus pada pemeriksaan

bimanual, bersamaan dengan tanda-tanda peradangan saluran genital bawah.

Tanda-tanda peradangan saluran genital bawah diantaranya:


1. lendir serviks, yang terlihat sebagai eksudat dari endoserviks berwarna

kuning atau hijau pada ujung kapas (“tes swab” positif);


2. kerapuhan serviks (perdarahan epitel kolumnar yang mudah

diinduksi); atau peningkatan jumlah sel darah putih yang diamati pada

pemeriksaan mikroskopis sekresi vagina (pada sediaan basah).39,40

Temuan peradangan saluran genital bawah meningkatkan spesifisitas

diagnosis.17
Pemeriksaan mikroskopi dari sekresi vagina harus dilakukan

untuk mencari leukorrhea (lebih dari 1 leukosit per sel epitel), dan

mukopus serviks (eksudat hijau atau kuning) harus diperiksa serta

kerapuhan (perdarahan endoserviks berkelanjutan setelah pengeluaran

lidi kapas pada pemeriksaan tes swab).17


f. Terapi
Pengobatan penyakit radang panggul menitikberatkan pada

penggunaan antibiotic dalam mengeradikasi bakteri penyebab. Berikut

beberapa regimen terapi antibiotic untuk penyakit radang panggul: 16

12
1. Kriteria Rawat Inap pada Wanita Dengan Penyakit Radang Panggul16
a. Kegawatdaruratan bedah (seperti apendisitis) tidak dapat

disingkirkan
b. Pasien hamil
c. Pasien tidak berespon secara klinis pada antibiotik oral
d. Pasien tidak dapat mematuhi regimen terapi oral
e. Pasien dengan sakit berat, mual, muntah atau demam tinggi
f. Pasien dengan abses tuba-ovarium
2. Regimen Antibiotik Pasien Rawat Jalan untuk Penyakit Radang

Panggul Ringan-Sedang16
Cefoxitin 2g IM dosis tunggal dan probenecid 1g per oral

diberikan secara konkuren dengan dosis tunggal. Ditambah :


Doksisiklin 100 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari atau
Azitromisin 500 mg per oral diikuti dosis 250 mg per oral perhari

selama 7 hari.
(*Metronidazol atau klindamisin topikal dapat digunakan untuk

mengatasi vaginosis bakteri konkuren)


3. Regimen Antibiotik Pasien Rawat Inap untuk Terapi Penyakit radang

Panggul Berat serta Abses Tuba-Ovarium16


a. Regimen Rekomendasi
- Klindamisisn 900mg IV tiap 8 jam Ditambah Ceftriaxone 1g

IV tiap 12 jam (Substitusi gentamisin untuk ceftriaxone pada

pasien yang memiliki alergi β-laktam: gentamisin dosis awal

mg/kg IV atau IM diikuti rumatan 1.5mg/kg tiap 8 jam. Dosis

tunggal harian dapat disubstitusi)


b. Regimen alternative
- Cefoxitin 2g IV tiap 6 jam Atau Cefotetan 2g IV tiap 12 jam
Ditambah
Doksisiklin 100mg oral atau IV* tiap 12 jam Atau

Ampisilin/suobaktam 3g IV tiap 6 jam


Ditambah
Doksisiklin 100mg oral atau IV* tiap 12 jam
(*Dapat diinisiasi apabila pasien dapat mentolerir terapi oral

untuk menghindari phlebitis akibat doksisiklin parenteral)

2.3 Komplikasi Sistemik Infeksi N. gonorrhoeae pada Laki – Laki dan Perempuan
a. Definisi

13
Disseminated Gonococcal Infection (DGI) penyakit yang disebabkan oleh

penyebaran hematogen dari N. gonorrhoeae yang dapat memunculkan gejala klinis

seperti tenosinovitis, dermatitis, dan arthritis.18


b. Epidemiologi
Kira-kira, sebanyak 62 juta kasus baru terjadi tiap tahunnya diseluruh dunia.

DGI terjadi pada 0.5 – 3% pasien yang terinfeksi dengan N. gonorrhoeae.18


c. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis dari DGI diklasifikasikan menjadi 2 stadium: stadium

bakteremia, atau stadium local pada sendi dengan arthritis supuratif.


1. Stadium bakterimia
a. Pasien pada stadium bakteremia memiliki demam yang lebih tinggi, biasanya

diikuti dengan kekakuan sendi. Poliatralgia meruapakan hal yang lumrah pada

bakeremia gonokokus diikuti dengan tenosinovitis.


b. Lesi kulit ditemukan pada 75% pasien dengan bakteremia walaupun biasanya

bersifat tidak nyeri dan pasien kadang tidak menyadarinya. Lesi kulit

biasanya muncul pada ekstremitas kadang pada tubuh tetapi jarang pada

wajah. Papul dan macula kecil adalah lesi yang paling umum diikuti pustul

(Gambar 3, A dan B). Beragam manifestasi lesi kulit dapat muncul pada DGI

diantaranya vesikel, bulla, serta lesi imunologis seperti eritema nodusum,

eritema multiformis, dan urtikaria. (Gambar 4, A, B dan C).

Gambar A Gambar B
Gambar 3. Lesi kulit pada DGI19
d. Diagnosis

14
Diagnosis dilakukan melaui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan penunjang untuk mesatikan diagnosis penyakit ini yakni

dengan kultur dari darah atau eksudat lesi.

Gambar A Gambar B Gambar C


Gambar 4. Lesi kulit DGI20
e. Terapi
1. Rawat inap diindikasikan apabila diagnosis DGI tidak jelas, apabila pasien jelas

mengalami arthritis supuratif atau jika pasien tidak mengikuti terapi rawat jalan

yang dianjurkan.
2. DGI memerlukan dosis antibiotic yang lebih tinggi. Ceftriaxone 1g intravena

perhari merupakan terapi utama dari DGI. Cefotaxime atau ceftizoxime, 1g

intravena setiap 8 jam juga dapat disubstitusi sebagai regimen utama. Regimen

utama ini harus dilanjutkan hingga 24 – 48 jam setelah perbaikan klinis muncul.
a. Terapi dapat diganti ke fluoroquinolone (seperti levofloxacin 500mg

tiap hari per oral), yang digunakan sebagai terapi rumatan selama 1

minggu. Akibat berkembangnya resistensi, kini fluoroquinolone tidak

lagi direkomendasikan untuk terapi gonorrhoeae pada pria yang

berhubungan seksual dengan pria


b. Cefixime 400mg dua kali sehari secara oral, juga dapat digunakan

sebagai terapi rumatan.


Drainase tertutup bagi efusi purulen harus dikerjakan satu hingga dua kali.

Nonsteroidal anti-inflamatory (NSAID) diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan

biasanya berguna untuk mencegah efusi sendi rekuren. Drainase terbuka dari sendi

yang supuratif kurang begitu diperlukan, namun mungkin diperlukan untuk sendi

15
yang sulit untuk dilakukan di drainase perkutan seperti panggul. Semua pasien yang

memiliki riwayat DGI sebanyak dua kali harus dievaluasi untuk melihat apakah

terdapat defisiensi komplemen. 20

BAB III

PENUTUP

16
Infeksi yang disebabkan oleh N. gonorrhoeae dapat menyebakan

berbagai macam komplikasi baik secara lokal maupun sistemik menyebabkan

peningkatan beban kesehatan secara global. Ketepatan waktu pengobatan, pemilihan

obat yang benar dengan dosis yang adekuat dapat mengeliminasi infeksi dan

mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi bila pengobatan tidak

segera dilakukan atau pengobatan sebelumnya tidak adekuat adalah penjalaran infeksi

ke uretra bagian belakang secara ascendant. Infeksi pertama N. Gonorrhoeae pada

laki-laki dapat terjadi uretritis gonokokus yang merupakan peradangan pada uretra

yang disebabkan oleh N. Gonorrhoeae yang ditransmisikan terutama melalui

hubungan seksual dengan partner yang terinfeksi. Komplikasi local infeksi N.

gonorrhoeae pada pria dapat memberi gambaran klinis antara lain: tysonitis,

prostatitis, dan epididimitis. Infeksi pertama N. Gonorrhoeae pada wanita adalah

servisitis yang merupakan inflamasi yang terjadi pada serviks uteri. Komplikasi lokal

infeksi N. gonorrhoeae pada wanita, yang dapat terjadi antara lain: penyakit radang

panggul (PRP). Selain itu dapat terjadi komplikasi sistemik pada laki-laki dan

perempuan yaitu DGI (Disseminated Gonococcal Infection).

Gambaran klinis dan komplikasi infeksi N. gonorrhoeae sangat erat

hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. Komplikasi yang terjadi

akibat penyakit ini perlu untuk diketahui sebagai langkah awal untuk menangani

dengan tepat komplikasi yang terjadi agar tidak sampai menimbulkan komplikasi

yang berat maupun kematian.

DAFTAR PUSTAKA

17
1. World Health Organization. Global Action Plan to Control the Spread and Impact of

Antimicrobial Resistance in Neisseria Gonorrhoeae. WHO Library Cataloguing-in-

Publication Data. WHO 2012.

2. Natalie Neu. Sexually Transmited Disease Treatment Guidelines 2006. Update to

CDC’s Sexually Transmited Disease Treatment Guidelines.

3. Ratnam AV, dkk. Gonococcal Infection in Women with Pelvic Inflammatory Disease

in Lusaka, Zambia. National Center for Biotechnology Information, U.S. National

Library of Medicine. US: NCBI. Am J Obstet Gynecol. 1980 Dec 1;138(7 Pt 2):965-

8.

4. M. laga, dkk. Epidemiology and control of gonococcal ophthalmia neonatorum.

World Health Organization. Belgium: Bulletin of the World Health Organization, 67

(5): 471-478 (1989)

5. Li-Luo, dkk. Neisseria Gonorrhoeae Prevalence, Incidence and Associated Risk

Factors Among Female Sex Workers in a High HIV-prevalence area of China.

International Journal of Infectious Diseases. China: 2015

6. Harningtyas, Citra Dwi. 2017. Pemberian Terapi Oral Untuk Pasien Uretritis Gonore

Dengan Komplikasi Lokal Pada Pria: Laporan Kasus. Journal of Agromedicine and

Medical Sciences Universitas Brawijaya.

7. Jawas, Fitri Abdullah. Muriastutik, Dwi. 2008. Penderita Gonore di Divisi Penyakit

Menular Seksual Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Dr.

Soetomo Surabaya Tahun 2002–2006. Dep/SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK

UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya

18
8. Abazi, F., dkk. Ophtalmia Neonatorum. University Clinical Centre of kosovo. Intech

open. Kosovo: 2011

9. Sambonu, 2016. Profil uretritis gonokokus dan non-gonokokus di Poliklinik Kulit dan

Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2012.

Bagian Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

10. Heryani, Amelia Dwi. 2011. Insidensi, Karakteristik, dan Penatalaksanaan Penderita

Gonore di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Bandung

11. Daili F, dkk. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI.
Hal. 443-449

12. Miller, Karl E. Diagnosis and Treatment of Neisseria gonorrhoeae Infection.

American Academy of Family Physicians. Amerika: 2006

13. Wijesekara, K.A.C.R., dkk. 2016. Gonococcal Tysonitis. Sri Lanka Journal of Sexual

Health and HIV Medicine (Sri Lanka JoSHH), Volume 2

14. Victoria, J. Sharp., dkk. Prostatitis : Diagnosis and Treatment. Diakses dari:

https://www.aafp.org/afp/2010/0815/p397.html

15. Taylor, Stephanie. Epididymitis. Clinical Infectious Disease. Oxford: 2015


16. Soper, David E. Pelvic Inflammatory Disease. American College of Obstetricians and

Gynecologysts. Amerika: VOL. 116, NO. 2, PART 1, AUGUST 2010


17. Brunham, dkk. 2018, Pelvic Inflamatory Disease. The New England Journal of

Medicine. Massachusets.
18. Russ dan Wrenn. 2005. Disseminated Gonococcal Infection. The New England

Journal of Medicine
19. Rice, Peter. A. 2005. Gonococcal Arthritis (Disseminated Gonococcal Infection).

Infectious Disease Clinic of North America. Elsevier

19
20. Jian ding, dkk. 2010 Neisseria gonorrhoeae Enhances HIV-1 Infection of Primary

Resting CD4+ T Cells through TLR2 Activation. National Institute of Health. J

Immunol. March 15; 184(6): 2814–2824.

20

Anda mungkin juga menyukai