Anda di halaman 1dari 10

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sebagai sebuah tinjauan pustaka, akan diuraikan beberapa hasil-hasil

penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain yang memiliki hubungan dengan

penelitian yang akan dilakukan dan beberapa literatur yang relevan dalam

membangun landasan teori. Penelitian yang mendekati dengan topik

penelitian ini dilakukan oleh Inggit Sitowati dengan judul “Selera dan Gaya

Konsumsi Musik Klasik di Kalangan Mahasiswa UGM Yogyakarta” (2008).

Penelitian dalam rangka tesis Program Studi Sosiologi dilakukan Inggit untuk

mengetahui motivasi dan latar belakang sosial yang membentuk selera, persepsi dan

gaya konsumsi musik klasik di kalangan mahasiswa. Temuannya menunjukkan

bahwa latar belakang seseorang sangat mempengaruhi kesukaan seseorang akan

musik klasik, dengan tingkat apresiasi yang berbeda. Dengan melakukan penelitian

kualitatif, Inggit memilih sejumlah lima mahasiswa UGM tingkat sarjana dengan

ragam latar belakang pemilihan studi sebagai informannya. Penelitian yang

dilakukan Inggit bisa menjadi sebuah referensi mengenai alasan-alasan seseorang

hadir dalam penyelenggaraan pertunjukan musik.

Selain penelitian Inggit, ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sunyoto

Usman mengenai apresiasi musik, yang berjudul “Apresiasi Masyarakat Yogyakarta

Terhadap Musik Populer”.1 Sunyoto mencoba melihat korelasi antara lapisan sosial

1 Penelitian yang dilakukan oleh Sunyoto Usman merupakan penelitian yang


diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM Yogyakarta.
Penelitian ini dilakukan pada tahun 1980. Dengan ragam topik penelitian, termasuk
penelitian dari Sunyoto, hasil penelitian tersebut telah dibukukan dalam sebuah buku
yang berjudul Ketika Orang Jawa Nyeni.
7

dengan apresiasi terhadap musik populer dan Dagelan Mataram.2 Melalui analisis

variabel, ditemukan bahwa kemampuan ekonomi berkorelasi dengan apresiasi

dengan selera musik. Masyarakat lapis menengah ke bawah dan berumur tua yang

menanggapi secara baik dari Dagelan Mataram, dibanding lapis sosial menengah ke

atas. Kesenian Dagelan Mataram yang tidak lain adalah kesenian tradisional

diapresiasi oleh kalangan menengah ke bawah. Penyelusuran historis Dagelan

Mataram juga menyinggung kesenian modern saat zaman Belanda seperti Komedie

Stamboel yang disukai oleh kalangan elit. Dengan fokus penelitian Sunyoto pada

musik populer dan tradisional Jawa, penelitian ini telah menunjukkan bahwa kelas

sosial telah menciptakan rasa estetis yang berbeda.

Buku yang berjudul “Sociology of Art the Way of Seeing” yang diterbitkan oleh

Palgrave MacMillan mengkaji hubungan sosiologi dan seni. Buku ini menunjukkan

bahwa baik seni rupa maupun seni pertunjukan merupakan kegiatan kolektif dan

secara kontekstual hidup dan eksis dalam masyarakat.

Buku karya Richard Schechner yang berjudul “Performance Studies An

Introduction” yang diterbitkan oleh Routledge memberi gambaran komprehensif

tentang kajian seni pertunjukan. Buku ini merupakan hasil riset Richard Schechner

bertahun-tahun yang dilengkapi dengan foto-foto. Dalam buku ini didapatkan

ragam kutipan dari pendapat ahli lain yang menanggapi kajian seni pertunjukan.

2 Dagelan Mataram adalah sebutan yang menunjuk pada sandiwara komedi yang
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar pokok. Penyebutan Dagelan
Mataram sebagai sebuah genre lawak tidak muncul secara tiba-tiba, namun melalui
riwayat historis cukup panjang.
8

Buku berjudul “Human Communication, A Revision of Approaching

Speech/Communication” menjadi buku acuan dalam memahami komunikasi yang

terjadi dalam pertunjukan. Buku ini menjadi dasar pemahaman adanya komunikasi

verbal dan komunikasi non verbal.

Kajian ini diletakkan pada tataran seni yang berfungsi secara sosial. Dalam

pandangan Heddy Shri Ahimsa Putra, untuk mengkaji fenomena budaya khususnya

seni, bisa disorot dalam dua perspektif, yaitu teks dan konteks.3 Teks menunjuk

pada kajian yang memandang fenomena kesenian sebagai teks yang relatif berdiri

sendiri. Konteks merupakan kajian yang menempatkan fenomena tersebut dalam

konteks yang lebih luas, yaitu konteks sosial-budaya masyarakat tempat fenomena

seni tersebut muncul atau hidup. Tulisan ini menyoroti pada konteks, yaitu

bagaimana keberadaan pertunjukan musik di lingkungan masyarakat

penyangganya. Dalam kajian ini, kajian cultural studies dan performance studies

menjadi perspektif yang penting.

Janet Wolff dalam bukunya “The Social Production of Art” menunjukkan

bahwa seni itu diproduksi bukan karena diasingkan atau terisolasi.4 Produksi seni

menyangkut industri lain seperti industri alat musik, perancang, iklan, masyarakat

pendukungnya. Untuk itu produksi seni adalah kegiatan kolektif.5 Pendapat itu

tidak jauh beda dengan pandangan Arnold Hauser dalam bukunya “The Sociology of

Art”. Hauser menunjukkan bahwa ada hubungan sosial dan ekonomi dengan seni.

Seni bukanlah merefleksikan namun justru seni berinteraksi denga masyarakat

3 Heddy Shri Ahimsa Putra, “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual,
Kontekstual dan Post-Modernistis” dalam Ketika Orang Jawa Nyeni, Heddy Shri Ahimsa
Putra (ed), (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 400.
4 Janet Wolff, Social Production of Art (New York: St. Martin’s Press, 1981), 12.
5 Janet Wolff, 32
9

secara luas.6 Kedua ahli ini seiring dengan pendapat David Inglis yang

menunjukkan bahwa seni selalu menjadi bagian dari kehidupan sosial.

A sociological perspective stresses that ‘art’ is always part of wider social life,

and cannot be treated as if it were a realm wholly cut off from all sorts of social

influences, both manifest and latent.7 (Perspektif sosiologi menunjukkan bahwa

“seni” selalu menjadi bagian dalam kehidupan sosial, dan tidak bisa

diperlakukan terpisah atau dicabut dari seluruh pengaruh sosial baik yang

manifes maupun laten).

Dalam perspektif ini, kesenian tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial,

untuk itu dalam memahami seni selalu terikat dengan konteksnya. Konteks sosial

terjadi dengan pemahaman bahwa seni itu diproduksi oleh orang tertentu

(seniman), dikelola oleh orang tertentu (manajer gedung pertunjukan, pemilik

galeri, dan lain-lain), dan dinikmati oleh orang lain (penonton). Dalam perspektif

tersebut sebuah musik bukan dipandang sebagai bentuk karya musik saja namun

lebih menunjuk pada sebuah aktivitas yang memenuhi kebutuhan dan pandangan

hidup dari manusia.

Hal yang menjadi pertanyaan dalam sosiologi seni adalah dalam cara seperti

apakah hubungan sosial dan kelembagaan bisa mengimplikasi terhadap sebuah

kreasi, distribusi dan apresiasi dari karya seni?8 Berdasarkan hal tersebut, ada tiga

6 Arnold Hauser, The Sociology of Art. Terj. Kenneth J. Northcott (London & Chicago:
The University of Chicago Press, 1982), 116.
7 David Inglis, “Thinking Art Sociologically” dalam The Sociology of Art: Ways of

Seeing, David Inglis dan John Hughson (ed) (Hampshire & New York: Palgrave Macmilan,
2005), 15.
8 David Inglis, 19.
10

hal yang dijadikan sorotan dalam sosiologi seni yaitu (1) kreasi (cultural production),

(2) distribusi (distribution), dan (3) apresiasi (consumption).9

Cultural
Production Distribution Consumption

Gambar 1. Proses Produksi oleh David Inglis

(Sumber : David Inglis dan John Hughson, 2005:24)

Cultural production merupakan bagian yang menjadikan sebuah karya itu ada.

Artis baik sebagai komponis, penyanyi, penulis skenario, dan sutradara

menciptakan karya seni dengan ragam kesenimanannya. Proses distribusi itu

menjadikan produk kesenian dapat dicapai publik, baik melalui museum, galeri

seni, teater, dan juga gedung konser (music hall). Para manajer artis maupun

pengelola gedung kesenian menjadi aktor terpenting dalam distribution. Distribusi

dilakukan dengan menerapkan asas-asas manajemen. Consumption yang merupakan

tahap ketiga merupakan saat publik mengapresiasi dan menerima bentuk kesenian

yang muncul. Tahap apresiasi dilakukan oleh penonton dan peserta kegiatan

pendidikan seni. Hadirnya penonton dan peserta menjadikan sebuah proses

produksi seni itu lengkap. Berangkat hal tersebut, kajian sosiologi seni didudukkan

dalam proses mengamati bagaimana seni itu diproduksi oleh orang khusus

(seniman), dikelola oleh orang khusus (manajer gedung kesenian, manajer artis,

pemilik galeri dan lain-lain), dan diterima oleh orang lain (penonton).

9 David Inglis, 24.


11

Sebuah pertunjukan disadari merupakan aktivitas dialektika, yang terdiri

dari empat pemain, yaitu sourcers, producers, performers, dan paratakers.10 Sourcers

adalah pihak yang menyusun cerita, komposisi musik atau tari, dan skript drama.

Sourcers adalah penulis, komponis, koreografer, dan dramaturgis. Producers

merealisasikan hasil artistik sourcers dalam sebuah pertunjukan yang final. Marvin

Carlson berpendapat bahwa “A play cannot speak for itself, one must conjure its sound

from it ”.11 Sebuah skript, atau komposisi tari dan juga komposisi musik tidak akan

“berbunyi” bila tidak dimainkan atau dipertunjukkan. Untuk itu pihak yang

menyiapkan pertunjukan adalah sutradara, perancang setting, perancang kostum,

para teknisi, dan juga manajer menjadi pemain dalam sourcers. Performers tidak lain

adalah aktor, musisi, dan juga penari dari pertunjukan tersebut. Performers bermain

untuk dipertunjukkan kepada publik, yaitu paratakers. Paratakers adalah pihak yang

menikmati pertunjukan, baik itu penonton, juri, dan pengagum (fans). Paratakers

tidak hanya menerima aksi pertunjukan, bahkan bisa terlibat aktif dalam

pertunjukan. Bila kita cermati, para penonton pertunjukan Tayub di pesisir Jawa

Tengah, khususnya para pria ikut menari saat penari mengundang mereka naik

panggung. Seseorang yang bermain dalam dialektika di atas bisa terlibat bukan

hanya satu kategori. Untuk itu Richard Schechner menyebutkan empat pemain ini

dalam Performance Quadriloque seperti yang tergambar di bawah ini.

10 Richard Schechner, Performance Studies: AnIntroduction (London dan New York:

Routledge, 2002:215)
11 Richard Schechner, 216
12

Sourcers Producers

Performers Paratakers

Gambar 1. Bagan PerformanceQuadriloque

(Sumber : Richard Schechner, 2002: 215)

Walaupun keempat pemain di atas bisa bertautan dalam relasi untuk suatu

pertunjukan, Schechner condong memilih model Z untuk dialog empat pemain.

Sourcers Producers

Performers Paratakers

Gambar 2. Bagan Model Z

(Sumber : Richard Schechner, 2002: 215)

Dalam pertunjukan, umumnya diawali dari sourcers, misalnya komposisi

musik karya komponis tertentu. Sourcers ini ditangkap Producers atau pengelola

gedung pertunjukan untuk merealisasikan sajian musik komposisi tertentu tadi.

Producers atau pengelola menghubungi tim produksi artisitik atau performers yang

terdiri dari pemain musik, penyanyi, perancang set, dan pihak lainnya. Tugas

performers adalah menyajikan sebuah tampilan kepada paratakers, atau penonton.


13

Dalam dialektika itulah memunculkan tanda-tanda yang dapat ditafsirkan sebagai

cerminan komunikasi antar pemain.

Seorang ilmuan, juga seorang antropolog, Gregory Bateston berpendapat

bahwa seni adalah bentuk komunikasi yang khusus. 12 Menurut Bateston, kesenian

memiliki fungsi yang integratif. Untuk itu dapat diamati bahwa melalui seni,

anggota suatu masyarakat melakukan kegiatan seni sehingga bisa terintegral. Lebih

jauh seseorang seniman berkomunikasi melalui presentasi bentuk keseniannya dan

itu memberikan pengalaman, sensasi hidup, imajinasi dan melalui pola itu semua

anggota masyarakat merasa menjadi bagian dari dunia mereka.

Proses produksi kesenian baik yang diungkapkan oleh David Inglis maupun

Richard Schechner, menunjukkan bahwa sebuah produksi kesenian adalah sebuah

proses yang integral dan berkesinambungan. Berkaitan dengan rumusan masalah

dari penelitian ini, maka tahapan yang akan diteliti hanya satu tahap, yaitu tahapan

consumption.

Tahap consumption atau tahap konsumsi merupakan tahapan apresiasi yang

dilakukan oleh penonton. Pada tahapan ini penonton menjadi receiver dari sebuah

message. Hal ini bisa dimengerti bila memahami model komunikasi SMCR oleh

David Berlo.13

12 Thomas Turino, Music as Social Life: The Politics of Participation, Chicago and
London: The University of Chicago Press, 2008: 3.
13 Michael Burgoon dan Michael Ruffner, Human Communication, A Revision of

Approaching Speech/Communication (New York: Holt Rinehard and Winston, 1977), 21-22.
14

Source Message Channel Receiver


(S) (M) (C) (R)

Gambar 2. Model Komunikasi oleh Berlo

(Sumber : Michael Burgoon dan Michael Ruffner, 1977:22)

Berlo menggagas model komunikasi yang meliputi empat elemen yaitu :

source, message, channel, dan receiver. Source atau sumber adalah pencipta dari

message. Message atau pesan adalah terjemahan dari ide dalam tanda-tanda simbolik

seperti bahasa dan gesture. Channel atau saluran adalah medium dari pesan yang

akan disampaikan. Receiver atau penerima adalah target dalam komunikasi.

Penonton pertunjukan dalam konsep SMCR adalah receiver.

Oleh Berlo, proses komunikasi perlu memperhatikan akan membongkar

tanda (encoding dan decoding). Dalam situasi komunikasi secara langsung (tatap

muka) maka fungsi membongkar tanda ditunjukkan dengan bunyi suara,

penampilan, cara berpakaian, yang secara umum dipandang sebagai komunikasi

verbal dan non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilambangkan

dengan bahasa. Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang diwujudkan dalam

ekspresi. Ada tujuh model ekspresi komunikasi non verbal, yaitu proxemic,

chronemics, kinestetics, physical apperance, haptics, paralanguage dan artifacts.14

Proxemic adalah cara bagaimana orang menggunakan wilayah (space) dalam

kehidupan sehari-hari. Chronemics adalah cara orang menggunakan waktu. Kinestics

adalah aspek tampilan (visual) dari perilaku (gesture, raut wajah, dan ekspresi mata).

Physical Apperance adalah bagiamana tampilan secara fisik. Haptics adalah

14
Michael Burgoon dan Michael Ruffner, 130-157.
15

penggunaan sentuhan (touch) dalam komunikasi. Paralangulage adalah penggunaan

suara (voice) dalam komunikasi. Artifacts adalah bagaimana benda fisik di sekitarnya

menunjukan komunikasi yang dilakukan.

Studi ini dilakukan untuk mengungkapkan apa saja tanda komunikasi baik

secara verbal dan non verbal serta penafsiran terhadap bentuk tanda-tanda

komunikasi dalam pertunjukan Konser Rumah, Drama Musikal dan Kirab Budaya.

Kembali pada pendapat Bateston, bahwa melalui studi ini dapat terungkap

pentingnya seni dalam kehidupan manusia. Khususnya bila menggunakan

pendekatan bagaimana seni pertunjukan berkomunikasi dan memberi makna

melalui tanda.

Anda mungkin juga menyukai