Anda di halaman 1dari 53

BAB I

HAKIKAT KURIKULUM

A. Pengertian Kurikulum
Hakikat dari kurikulum ialah kegiatan yang mencakup berbagai rencana
kegiatan peserta didik yang mencakup berbagai rencana kegiatan peserta didik yang
terperinci berupa bentuk-bentuk bahan pendidikan, saran-saran strategi belajar
mengajar, pengaturan-pengaturan program agar dapat diterapkan, dan hal-hal yang
mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan.
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latin “curir”
yang artinya pelari, dan “currere” yang artinya tempat berlari. Pengertian awal
kurikulum adalah suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start
sampai garis finish. Dengan demikian, istilah awal kurikulum diadopsi dari bidang
olahraga pada zaman romawi kuno di Yunani, baru kemudian diadopsi ke dalam
dunia pendidikan. Yang diartikan sebagai rencana dan pengaturan tentang belajar
peserta didik di suatu lembaga pendidikan. Sedangkan dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan kata Manhaj (kurikulum) yang bermakna jalan yang terang
yang dilalui manusia di berbagai bidang kehidupannya.
Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan pelajaran yang
harus disampaikan oleh guru dan dipelajari oleh peserta didik, seperti dikemukakan
oleh Menurut J. Galen Sailor dan William M Alexander (1974: 74) mengatakan
bahwa “curriculum is defined reflects volume judgments regarding the nature of
education”. The definition used also influences haw curriculum will be planned and
untilized. Kurikulum merupakan nilai-nilai keadilan dalam inti pendidikan. Istilah
tersebut mempengaruhi terhadap kurikulum yang akan direncanakan dan
dimanfaatkan.
“The curriculum is that of subjects and subyek matter therein to be thought by
teachers and learned by students” (Galen). Kurikulum merupakan subyek dan bahan
pelajaran di mana diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa. Secara terminologi,
kurikulum berarti suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan
pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara

1
sistematika atas dasar norma-norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam
proses pembelajaran bagi pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan (Dakir, 2004:
3). Kurikulum itu memuat semua program yang dijalankan untuk menunjang proses
pembelajaran. Program yang dituangkan tidak terpancang dari segi administrasi saja
tetapi menyangkut keseluruhan yang digunakan untuk proses pembelajaran.
Menurut Suryobroto dalam bukunya “Manajemen pendidikan di Sekolah”
(2002: 13), menerangkan, bahwa kurikulum adalah segala pengalaman pendidikan
yang diberikan oleh sekolah kepada seluruh anak didiknya, baik dilakukan di dalam
sekolah maupun di luar sekolah (Suryobroto, 2004: 32). Nampaknya Suryobroto
memandang semua sarana prasarana dalam pendidikan yang berguna untuk anak
didik merupakan kurikulum.
Menurut pendapat Ali Al-Khouly kurikulum di artikan sebagai perangkat
perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam
mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan (Ali Al-Khouly).
Kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan.
Kurikulum dan pendidikan adalah dua hal yang sangat erat kaitannya, tidak dapat
dipisahkan satu sama yang lain (Nurgiantoro, 1988: 2). Nurgiantoro
menggarisbawahi bahwa relasi antara pendidikan dan kurikulum adalah relasi tujuan
dan isi pendidikan. Karena ada tujuan, maka harus ada alat yang sama untuk
mencapainya, dan cara untuk menempuh adalah kurikulum.
Awal sejarahnya, istilah kurikulum bisa dipergunakan dalam dunia atletik
curere yang berarti “berlari”. Istilah ini erat hubungannya dengan kata curier atau
kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu
kepada orang lain. Seseorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk
mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai suatu
jarak yang harus ditempuh (Nasution, 1989: 5). Istilah tersebut di atas mengalami
perpindahan arti ke dunia pendidikan. Sebagai contoh Nasution mengemukakan
bahwa pengertian kurikulum yang sebagaimana tercantum dalam Webter’s
International dictionary; Curriculum course a specified fixed course of study, as in a
school or college, as one leading to a degree. Maksudnya, kurikulum diartikan dua
macam, yaitu pertama sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari

2
siswa di sekolah atau di perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua,
sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh sesuatu lembaga pendidikan atau
jurusan.
Secara singkat menurut Nasution kurikulum adalah suatu rencana yang disusun
untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung
jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya (Nasution, 1989: 5).
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan di sana dijelaskan, bahwa kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (BSNP, 2008: 6).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka penulis dapat simpulkan bahwa
kurikulum adalah seperangkat isi, bahan ajar, tujuan yang akan ditempuh sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan.

B. Kedudukan Kurikulum Dalam Pendidikan


Kedudukan kurikulum dalam pendidikan – Kurikulum memegang peranan
yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Kurikulum dianggap sebagai ruh dan
proses pembelajaran dianggap sebagai tubuh. Kurikulum mempunyai kedudukan
yang sangat sentral dalam proses pendidikan, bahkan kurikulum menjadi tempat
kembali seluruh kebijakan-kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pihak
menejemen sekolah atau pemerintah.
Kedudukan Kurikulum dalam Proses Pendidikan, setelah kita membahas
tentang pengertian kurikulum, fungsi kurikulum, komponen kurikulum serta
pengertian pendidikan, disini akan kita bahas bagaimana kedudukan kurikulum
tersebut dalam proses pendidikan. Dalam sistem pendidikan nasional, kita mengenal
tiga komponen utama, yakni (1) peserta didik, (2) guru, dan (3) kurikulum (Agus,
2012).

3
Dalam proses belajar mengajar, ketiga komponen tersebut terdapat hubungan
yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Tanpa peserta didik, guru
tidak akan dapat melaksanakan proses pembelajaran. Tanpa guru para siswa juga
tidak akan dapat secara optimal belajar. Tanpa kurikulum, guru pun tidak akan
mempunyai bahan ajar yang akan diajarkan kepada peserta didik.
Selanjutnya Syaodih (1988) dalam Ghufron (2008) mengatakan bahwa pada
hakekanya pendidikan berintikan interaksi edukatif antara pendidik dengan peserta
didik. Interaksi edukatif tersebut bertujuan untuk mewujudkan aspek-aspek
kurikulum yang berlaku menuju pada tercapainya tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan. Interaksi edukatif tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan, dimana
kegiatan pendidikan terjadi.
Berdasarkan paparan diatas, kurikulum dapat dikatakan sebagai jantungnya
kegiatan pendidikan. Artinya, aktivitas edukasi antar pendidik dengan peserta didik
sangat dipengaruhi oleh muatan-muatan yang ada dalam kurikulum. Tanpa ada
kurikulum kegiatan pendidikan mustahil tejadi. Dengan posisi tersebut kurikulum
yang berlaku disuatu sekolah tentu saja sangat dipengaruhi oleh teori-teori
pendidikan yang dipakai.
Pendidikan di lingkungan sekolah lebih terencana dan sistematis. Guru sebagai
pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan
guru, ia telah mempelajari ilmu, keterampilan dan seni sebagai guru. Ia juga telah
dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Mereka dibekali dengan
berbagai kompetensi seperti kompetensi: kepribadian, sosial, profesional, dan
pedagogis yang memang sangat diperlukan oleh seorang guru.
Di sekolah guru melaksanakan fungsi sebagai pendidik secara sadar dan
terencana berdasarkan kurikulum yang telah disusun sebelumnya. Guru
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang
matang. Mereka mengejar dengan tujuan yang jelas, bahan-bahan yang disusun
secara sistematis dan rinci, dengan cara dan alat-alat tang telah dipilih dan dirancang
secara cermat. Dalam lingkungan masyarakat pun terjadi proses pendidikan dengan
berbagai bentuk. Ada yang dilakukan secara formal seperti kursus atau pelatihan; dan
ada pula yang tidak formal seperti ceramah-ceramah, sarasehan, atau pergaulan

4
hidup sehari-hari. Gurunya juga bervariasi mulai dari yang berpendidikan formal
guru sampai dengan mereka yang menjadi guru hanya karena pengalaman.
Dari perbandingan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal
mempunyai beberapa karakteristik. Pertama, memiliki kurikulum tertulis yang
tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci. Kedua, pelaksana kegiatan pendidikan
telah dipersiap-kan secara formal sebagai pendidik yang telah dibekali dengan
berbagai macam kompetensi. Ketiga, kegiatan pendidikan dilaksanakan secara
formal, terencana, dan diakhiri dengan kegiatan penilaian untuk mengukur tingkat
keberhasilannya. Keempat, interaksi berlangsung dalam situasi dan lingkungan
tertentu dengan dukungan berbagai fasilitas yang diperlukan.
Adanya rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupakan ciri utama
pendidikan disekolah. Dengan kata lain, kurikulum merupakan syarat mutlak bagi
pendidikan sekolah (Mustofa). Kalau kurikulum merupakan syarat mutlak, hal itu
berarti bahwa kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan
atau pengajaran. Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan
tertentu, apakah berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi,
kemampuan sosial ataupun kemampuan bekerja. Untuk menyampaikan bahan
pelajaran, ataupun mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut diperlukan
metode penyampaian serta alat-alat bantu tertentu. Untuk menilai hasil dan proses
pendidikan, juga diperlukan cara dan alat-alat penilaian tertentu pula. Keempat hal
tersebut, yaitu tujuan, bahan ajar, metode dan alat, serta penilaian merupakan
komponen-komponen utama kurikulum. Dengan berpedoman pada kurikulum,
interaksi pendidikan antara guru dan siswa berlangsung. Interaksi ini selalu terjadi
dalam lingkungan fisik, alam, social budaya, ekonomi, politik dan religi.
Kurikulum dalam pendidikan formal menempati posisi yang sangat strategis
karena tanpa kurikulum pendidikan akan kehilangan jati diri, serta arah dan tujuan
yang hendak diraihnya. Dalam pendidikan formal kedudukan kurikulum dapat
digambarkan sebagai berikut.
1. Evaluasi
2. Kegiatan
3. Rencana Kegiatan (Kurikulum)

5
Gambar tersebut menunjukkan bahwa kurikulum bukanlah kegiatan,
melainkan sebuah program yang didesain, direncanakan, dikembangkan, dan
dilaksanakan dalam situasi belajar mengajar yang sengaja diciptakan disekolah.
Berkaitan dengan hal itu, kurikulum merupakan sesuatu yang dijadikan pedoman
dalam segala kegiatan pendidikan yang dilakukan, termasuk kegiatan belajar
mengajar di kelas.
Sejalan dengan Syaodih (1988) dalam Hasibuan (2010:21) mengemukakan
bahwa kurikulum merupakan sesuatu yang sangat strategis untuk mengendalikan
jalannya proses pendidikan. Berkaitan dengan posisi kurikulum yang demikian akan
menjadi semakin dipandang penting apabila kurikulum itu dikembalikan kepada
pengertiannya disebut bahwa kurikulum itu adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan aktivitas sekolah yang dapat merangsang berkembangnya kegiatan
pembelajaran siswa.
Hal ini menunjukkan berarti kurikulum menjadi tempat kembali dari semua
kebijakan-kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pihak manajemen sekolah atau
pemerintah. Jika batasan yang seperti ini digunakan, maka dengan sendirinya
kedudukan atau posisi kurikulum di dalam keseluruhan proses pendidikan
menempati posisi yang sangat sentral.
Dalam posisi yang sangat sentral, maka posisi kurikulum dapat dicontohkan
seperti halnya posisi pemerintah pusat ditengah-tengah pemerintah daerah dalam
suatu wilayah negara kesatuan. Pemerintah pusat dalam hal ini disebut menempati
posisi yang sangat sentral, dimana setiap pemerintah daerah di negara kesatuan
tersebut selalu berhubungan dan tergantung dengan pemerintah pusat, dan tidak akan
ada satu daerah pun yang dapat melepaskan diri dari kebijakan pemerintah pusat.
Dengan perbandingan seperti ini, posisi kurikulum dalam proses pendidikan dapat
juga disebut menempati posisi inti, dimana semua kebijakan pendidikan yang
diambil mulai dari tingkat yang paling makro sampai ke tingkat meso (menengah)
dan mikro (sekolah) haruslah selalu mencerminkan kepentingan-kepentinga
kurikulum (Hasibuan, 2010:21).
Atas dasar kepentingan kurikulum, maka jika dipandang perlu membangun
gedung, hal itu harus dilakukan. Demikian pula aspek lain seperti; pengangkatan

6
kepala sekolah, tenaga pengajar, karyawan, pengadaan media pendidikan, prasarana
dan sarana pendidikan lainnya harus direncanakan dan diupayakan sejalan dengan
tuntunan dan kebutuhan kurikulum.
Posisi sentral kurikulum dalam proses pendidikan dapat juga dilihat dari
posisi kurikulum dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan. Dalam posisi ini
kurikulum dapat disebut sebagai “kontrak kerja” untuk transaksi pendidikan yang
berlangsung diruan kelas. Sebagai kontrak kerja atau suatu “transaksi” pendidikan
yang dilaksanakan diruang kelas, maka kurikulum dapat diibaratkan sebagai sebuah
kendaraan (media) yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang
diinginkan. Karena itu “kendaraan” yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan ,
mendorong kurikulum harus dapat diwujudkan dalam “suatu transaksi” dengan
berbagai aspek dan komponen lainnya yang terdiri antara lain seperti; tenaga
pendidik, anak didik, alat dan situasi pendidikan. Tenaga pengajar dan anak didik
menjadi “motor” penggerak utama kurikulum. Sedangkan alat-alat dan situasi
pendidikan menjadi faktor pendukung untuk kepentingan pencapaian keberhasilan
dan pelaksanaan kurikulum.
Sejalan dengan itu Muliani (2012) mengemukakan bahwa kurikulum
mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum
mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu
rencana pendidikan memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan
urutan isi, serta proses pendidikan. Disamping kedua fungsi itu, kurikulum juga
merupakan suatu bidang studi, yang ditekuni para ahli atau spesialis kurikulum, yang
menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan-landasan teoritis bagi
pengembang kurikulum berbagai instusi pendidikan.

C. Fungsi Kurikulum
Secara umum fungsi kurikulum adalah sebagai alat untuk membantu peserta
didik untuk mengembangkan pribadinya ke arah tujuan pendidikan. Kurikulum itu
segala aspek yang mempengaruhi peserta didik di sekolah, termasuk guru dan sarana
serta prasarana lainnya. Kurikulum sebagai program belajar bagi siswa, disusun
secara sistematis dan logis,diberikan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan.

7
Sebagai program belajar, kurikulum adalah niat, rencana dan harapan.Menurut
Alexander Inglis, fungsi kurikulum meliputi :
1. Fungsi Penyesuaian, karena individu hidup dalam lingkungan , sedangkan
lingkungan tersebut senantiasa berubah dan dinamis, maka setiap individu
harus mampu menyesuaikan diri secara dinamis. Dan di balik lingkungan pun
harus disesuaikan dengan kondisi perorangan, disinilah letak fungsi
kurikulum sebagai alat pendidikan menuju individu yang well adjusted.
2. Fungsi Integrasi, kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang
terintegrasi. Oleh karena individu itu sendiri merupakan bagian integral dari
masyarakat, maka pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan
dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.
3. Fungsi Deferensiasi, kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap
perbedaan- perbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada dasarnya
deferensiasi akan mendorong orang berpikir kritis dankreatif, dan ini akan
mendorong kemajuan sosial dalam masyarakat.
4. Fungsi Persiapan, kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu
melanjutkan studi lebih lanjut untuk jangkauan yang lebih jauh atau terjun ke
masyarakat. Mempersiapkan kemampuan sangat perlu, karena sekolah tidak
mungkin memberikan semua apa yang diperlukan atau semua apa yang
menarik minat mereka.
5. Fungsi Pemilihan, antara keperbedaan dan pemilihan mempunyai hubungan
yang erat.Pengakuan atas perbedaan berarti pula diberikan kesempatan bagi
seseorang untuk memilih apa yang dinginkan dan menarik minatnya. Ini
merupakan kebutuhan yang sangat ideal bagi masyarakat yang demokratis,
sehingga kurikulum perlu diprogram secara fleksibel.
6. Fungsi Diagnostik, salah satu segi pelayanan pendidikan adalah membantu
dan mengarahkan para siswa agar mereka mampu memahami dan menerima
dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimiliki.Ini
dapat dilakukan bila mereka menyadari semua kelemahan dan kekuatan yang
dimiliki melalui eksplorasi dan prognosa. Fungsi kurikulum dalam

8
mendiagnosa dan membimbing siswa agar dapat mengembangkan potensi
siswa secara optimal.
Sedangkan fungsi praksis dari kurikulum adalah meliputi :
1. Fungsi Kurikulum Bagi Sekolah yang Bersangkutan Kurikulum Bagi Sekolah
yang Bersangkutan mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) Sebagai alat
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan 2) Sebagai pedoman mengatur
segala kegiatan sehari-hari di sekolah tersebut, fungsi ini meliputi: a. Jenis
program pendidikan yang harus dilaksanakan b. Cara menyelenggarakan
setiap jenis program pendidikan c. Orang yang bertanggung jawab dan
melaksanakan program pendidikan.
2. Fungsi Kurikulum Bagi Guru Guru tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana
kurikulum sesuai dengan kurikulum yang berlaku, tetapi juga sebagai
pengembanga kurikulum dalam rangaka pelaksanaan kurikulum tersebut
3. Fungsi Kurikulum Bagi Kepala Sekolah Bagi kepala sekolah, kurikulum
merupakan barometer atau alat pengukur keberhasilanprogram pendidikan di
sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah dituntut untuk menguasai dan
mengontrol, apakah kcegiatan proses pendidikan yang dilaksanakan itu
berpijak pada kurikulum yang berlaku
4. Fungsi Kurikulum Bagi Pengawas (supervisor) Bagi para pengawas, fungsi
kurikulum dapat dijadikan sebagai pedoman, patokan, atau ukuran dan
menetapkan bagaimana yang memerlukan penyempurnaan atau perbaikan
dalam usaha pelaksanaan kurikulum dan peningkatan mutu pendidikan.
5. Fungsi Kurikulum Bagi Masyarakat Melalui kurikulum sekolah yang
bersangkutan, masyarakat bisa mengetahui apakah pengetahuan, sikap, dan
nilaiserta keterampilan yang dibutuhkannya relevan atau tidak dengan kuri-
kulum suatu sekolah.
6. Fungsi Kurikulum Bagi Pemakai Lulusan Instansi atau perusahaan yang
memper-gunakan tenaga kerja yang baik dalamarti kuantitas dan kualitas agar
dapat meningkatkan produk-tivitas.

9
BAB II
TEORI PENDIDIKAN DAN MODEL – MODEL KURIKULUM

A. Teori Pendidikan
Kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan.
Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum
dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S.
Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan yang berhubungan
dengan kurikulum, yaitu : (1) pendidikan klasik; (2) pendidikan pribadi; (3)
teknologi pendidikan dan (4) teori pendidikan interaksional.
1. Pendidikan Klasik (classical education)
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti
Perenialisme, Essensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa
pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan
warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari
pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan
yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara
logis dan sistematis. Dalam praktiknya, pendidik mempunyai peranan besar dan
lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima
informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek
akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid
serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui
metode ekspositori dan inkuiri.
2. Pendidikan Pribadi (personalized education).
Teori pendidikan pribadi bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak
telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan
potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat
peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan,
sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai
pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.

10
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik.
pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey –
memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi
pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat
dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam
kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi
kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu
perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-
masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau
tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,–
memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum
humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri
dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses
aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih
menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis),
3. Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai
persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam
menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam
tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan
kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan
pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan
dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data obyektif
dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational .
Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan
dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar
secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan
pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya
segera digunakan dalam masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar

11
(director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian
dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model
kurikulum teknologis, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan
penguasaan kompetensi bagi para peserta didik, melalui metode pembelajaran
individual, media buku atau pun elektronik, sehingga mereka dapat menguasai
keterampilan-keterampilan dasar tertentu.
4. Pendidikan Interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak
dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan
bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk
kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional
menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik
kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan
materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan
lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam
pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik
mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan
interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan.
Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model
kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama
menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan
atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak
(crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.
B. Model Konsep Kurikulum
Pengembangan kurikulum berkenaan dengan model kurikulum yan dikembangkan.
Minimal ada empat model kurikulum yang banyak diacu dalam pengembangan
kurikulum yaitu:

12
1. Kurikulum Subjek Akademis
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme
dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu, semua ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan
memelihara dan mewariskan hasil-hasil budayamasa lalu tersebut. Kurikulum ini
lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai ilmu
sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang
menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan
oleh guru.
Kurikulum subjek akademis tidak berarti hanya menekankan pada materi
yamg disampaikan, dalam perkembangannya secara berangsur memperhatiakan
proses belajar yang dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat beruntung
pada segi apa yang dipentingkan dalam materi pelajaran tersebut.
Beberapa kegiatan belajar memungkinkan untuk mengadakan generalisasi,
suatu pengetahuan dapat digunakan dalam konteks lain, daripada sekedar yang
dipelajarinya, dapat merangsang ingatan apabila siswa diminta untuk
menghubungkannya dengan masalah lain. seorang siswa yang belajar fisika,
umpamanya, harus melakukan kegiatan belajar sebagaimana seorang ahli fisika
melakukannya. Hal seperti itu akan mempermudah proses belajar fisika bagi siswa.
Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan dalam perkembangan kurikulum
subjek akademis.
a. Melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Murid-murid belajar
bagaimana memperoleh dan mengurai fakta-fakta dan bukan sekedar
mengingat-ingatnya.
b. Studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini merupakan respons terhadap
perkembangan masyarakat yang menuntut model-model pengetahuan yang
lebih komprehensif-terpadu. Pelajaran tersusun atas satuan-satuan pelajaran,
dalam satuan-satuan pelajaran tersebut batas-batas ilmu menjadi hilang.
Pengorganisasian tema-tema pengajaran didasarkan atas fenomena-fenomena
alam, proses kerja ilmiah dan problema-problema yang ada. Mereka

13
mengembangkan suatu model kurikulum yang terintegrasi (integrated
curriculum). Ada beberapa ciri model kurikulum yang dikembangkan.
1) Menentukan tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme).
2) Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu.
3) Menyatukan berbagai cara /metode belajar.
c. Pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah pada fundamentalis.
Mereka tetap mengajar berdasarkan mata-mata pelajaran dengan menekankan
membaca, menulis, dan memecahkan masalah-masalah matematis. Pelajaran-
pelajaran lain seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, dan lain-lain dipelajari
tanpa dihubungkan dengan kebutuhan praktis pemecahan masalah dalam
kehidupan.
a. Ciri-ciri kurikulum subjek akademis
Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan
dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Tujuan kurikulum subjek
akademis adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa
menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”. Dengan berpengetahuan dalam
berbagai disiplin ilmu, para siswa diharapkan memilik konsep-konsep dan
cara-cara yang dapat terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas.
Para siswa harus belajar menggunakan pemikiran dan dapat mengontrol
dorongan-dorongannya. Sekolah harus memberikan kesempatan kepada para
siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka menguasai warisan budaya
dan jika mungkin memperkayanya.
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek
akademis adalah metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru
kemudian dielaborasi (dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Konsep
utama disusun secara sistematis, dengan ilustrasi yang jelas untuk selanjutnya
dikaji. Dalam materi disiplin ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah
penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara pemecahannya.
Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan, bahwa
kemampuan berpikir dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika
digunakan dalam matematika, bentuk dan perasaan digunakan dalam seni dan

14
koherensi dalam sejarah. Mereka mempelajari buku-buku standar untuk
memperkaya pengetahuan, dan untuk memahami budaya masa lalu dan
mengeti keadaan masa kini.
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek
akademis. Pola-pola organisasi yang terpenting di antaranya:
1) Correlated curriculum
2) Unified atau Concentrated curriculum
3) Integrated curriculum
4) Problem Solving curriculum
Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan
bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata
pelajaran. Dalam bidang study humaniora lebih banyak digunakan bentuk
uraian (essay test) daripada tes objektif. Bidang studi tersebut membutuhkan
jawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara
menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi membutuhkan penilaian
subjektif yang jujur, di samping standar keindahan dan cita rasa. Lain halnya
dengan matematika, nilai tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan
aksioma serta cara perhitungannya benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan
tertinggi bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga pada
proses berpikir yang digunakan siswa.
Para ahli disiplin ilmu sering memiliki sifat ambivalen terhadap
evaluasi, satu pihak melihatnya sebagai suatu kegiatan yang sangat berharga,
yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Pada pihak lain mereka
mengkhawatirkan kegiatan evaluasi dapat mempengaruhi hubungan antara
guru dan siswa. Evaluasi yang dilakukan dalam waktu singkat tidak akan
memberikan gambaran yang benar tentang perkembangan dan penguasaan
siswa. Kekhawatiran mereka dapat sedikit dikurangi dengan dikembangknnya
model evaluasi formatif dan sumatif.
b. Pemilihan disiplin ilmu
Masalah besar yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum subjek
akademis adalah bagaimana memilih materi pelajaran dari sekian banyak

15
disiplin ilmu yang ada. Apabila ingin memiliki penguasaan ynag cukup
mendalam maka jumlah disiplin ilmunya harus sedikit. Apabila hanya
mempeljari sedikit disiplin ilmu maka penguasaan para siswa akan sangat
terbatas, sukar menerapkannya dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Apabila disiplin ilmunya cukup banyak, maka tahap penguasaannya akan
mendangkal, Anak-anak akan tahu banyak tetapi pengetahuannya hanya
sedikit-sedikit (tidak mendalam).
Ada beberapa saran untuk mengatasi masalah tesebut, yaitu :
1) Mengusahakan adanya penguasaan yang menyeluruh
(comprehensiveness) dengan menekankan pada bagaimana cara menguji
kebenaran atau mendapatkan pengetahuan.
2) Mengutamakan kebutuhan masyarakat (sosial utility), memilih dan
menentukan aspek-aspek dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan dalam
kehidupan masyarakat.
3) Menekankan pengetahuan dasar, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang
menjadi dasar (prerequisite) bagi penguasaan disiplin-disipln ilmu yang
lainnya.
c. Penyesuaian mata pelajaran dengan perkembangan anak
Para pengembang kurikulum subjek akademis, lebih mengutamakan
penyusunan bahan secara logis dan sistematis daripada menyelaraskan urutan
bahan dengan kemampuan berpikir anak. Mereka umumnya kurang
memperhatikan bagaimana siswa belajar dan lebih mengutamakan susunan
isi, yaitu apa yang akan diajarkan. Proses belajar yang ditempuh oleh siswa
sama pentingnya sama dengan penguasaan konsep, prinsip-prinsip, dan
generalisasi. Para ahli kurikulum subjek akademis juga memandang materi
yang akan diajarkan bersifat universal, mereka mengabaikan karakteristik
siswa dan kebutuhan masyarakat setempat.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dalam perkembangan
selanjutnya dilakukan beberapa penyempurnaan.
1) Untuk mengimbangi penekanannya pada proses berpikir, mereka mulai
mendorong penggunaan intuisi dan tebak-tebakan.

16
2) Adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan
individu dan kebutuhan setempat.
3) Pemanfaatan fasilitas dan sumber yang ada pada masyarakat.

2. Kurikulum Humanistik
a. Konsep dasar
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik.
Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized
education) yaitu John Dewey (progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic
Education). Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka
bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam
pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka
percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk
berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Getsalt, bahwa
individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan
kepada membina manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga
segi sosial dan efektif (emosi, sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang
lebih menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru.
Pendidikan humanistik menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu
upaya untuk menciptakansituasi yang permisif, rileks, akrab. Berkat situasi tersebut
anak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa
(mendorong siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu.
Tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk
dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan Konfluen, Kritikisme Radikal, dan
Mitikisme modern.
Pendidikan konfluen menekankan kebutuhan pribadi, individu harus
merespons secara utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap
kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan.

17
Kritikisme Radikal bersumber dari aliran naturalisme atau romantisme
Rousseau. Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak
menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya.
Pendidikan merupakan upaya untuk menciptakan situasi yang memungkinkan anak
berkembang optimal. Pendidik adalah ibarat petani yang berusaha menciptakan tanah
yang gembur, air dan dan udara yang cukup, terhindar dari berbagai hama, untuk
tumbuhnya tanaman yang penuh dengan berbagai potensi. Dalam pendidikan tidak
ada pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan rangsangan untuk berkembang.
Mitikisme modern adalah aliran yang menekankan latihan dan pengembangan
kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity training, yoga,
meditasi, dan sebagainya.
b.Kurikulum konfluen
Kurikulum konfluen dikembangkan oleh para pendidikan konfluen, yang
ingin menyatukan segi-segi afektif (sikap, perasaan, nilai) dengan segi-segi kognitif
(kemampuan intelektual). Pendidikan konfluen kurang menekankan pengetahuan
yang mengandung segi afektif). Menurut mereka kurikulum tidak menyiapkan
pendidikan tentang sikap, perasaan, dan nilai yang harus dimiliki murid-murid.
Kurikulum hendaknya mempersiapkan berbagai alternatif yang dapat dipilih murid-
murid dalam proses bersikap, berperasaan dan member pertimbangan nilai. Murid-
murid hendaknya diajak untuk menyatakan pilihan dan mempertanggungjawabkan
sikap-sikap, perasaan-perasaan, dan pertimbangan-pertimbangan nilai yang telah
dipilihnya.
c. Beberapa ciri kurikulum konfluen
Kurikulum konfluen mempunyai beberapa cirri utama yaitu :
1) Partisipasi
2) Integrasi
3) Relevansi,
4) Pribadi anak
5) Tujuan
Dasar dari kurikulum konfluen adalah Psikologi Gestalt yang menekankan
keutuhan, kesatuan, keseluruhan. Teori yang mendukung pandangan ini adalah

18
Eksistensialisme yang memusatkan perhatiannya pada apa yang terjadi sekarang di
tempat ini. Apa yang menjadi isi kurikulum diukur oleh apakah hal itu bermanfaat
bagi kita sekarang? Apakah hal itu akan memperbaiki kehidupan kita sekarang.
Prinsip pengajarannya menerapkan prinsip terapi Gestalt, yang menekankan
keterbukaan, kesadaran, keunikan, dan tanggung jawab pribadi. Hal-hal di atas
sangat esensial dalam perkembangan individu yang sehat, yang matang. Pengajaran
lebih menekankan kepada tanggung jawab pribadi daripadi kompetisi. Tidak ada
jawaban yang salah atau benar dalam pengajaran konfluen. Melalui latihan
kesadaran/kepekaan perkembangan yang sehat akan tercapai, karena dengan cara itu
ia lebih sadar akan eksistensinya dan kemungkinannya untuk berkembang.
Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan objektif dan subjektif,
berhubungan dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun
masyarakat. Hal itu sesuai dengan konsep Gestalt bahwa sesuatu itu dikatakan berarti
(penting-red) apabila bermanfaat bagi keseluruhan. Pendidikan konfluen sangat
mengutamakan kesatuan dari keseluruhan.
d. Metode-metode belajar konfluen
Para pengembang kurikulum konfluen telah menyusun kurikulum untuk
berbagai bidang pengajaran. Kurikulum tersebut mencakup tujuan, topik-topik yang
akan dipelajari, alat-alat pelajaran, dan buku teks. Pengajaran konfluen juga telah
tersusun dalam bentuk rencana-rencana pelajaran, unit-unit pelajaran yang telah
diujicobakan. Kebanyakan bahan tersebut diajarkan dengan teknik afektif. George
Issac Brown telah memberikan sekitar 40 macam teknik pengajaran konfluen,
diantaranya dyads yang merupakan latihan komunikasi afektif antara dua orang,
fantasy body trips merupakan pemahaman tentang badan dan diri individu, rituals
yaitu suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan, kegiatan atau ritual baru.
Berbeda dengan pengembang kurikulum yang lain, para penyusun kurikulum
konfluen tidak menuntut para guru melaksanakn pengajaran seperti yang mereka
kerjakan. Mereka mengharapkan setiap guru mengembangkan kreasi sendiri. Dalam
menciptakan kreasi ini, yang terpenting mereka memahami tujuan dan keguanaan
kegiatan yang mereka ciptakan.

19
Dalam memilih kegiatan belajar beberapa cara dapat di tempuh. Pertama,
mengindentifikasikan tema-tema atau topik-topik yang mengandung self judgment.
Untuk setiap tema atau topik hendaknya dipilih prosedur atau bentuk-bentuk
kegiatan yang atau teknik yang sesuai. Kedua, materi disajikan dalam bentuk yang
belum selesai (open ended), tema atau issue-issue diharapkan muncul secara spontan
dari prosedur serta perlengkapan pengajaran yang ada. Cara yang kedua ini menuntut
keterbukaan dari siswa tetapi juga guru perlu mengusahakan kerahasiaan.
Pengajaran humanistik memfokuskan prosesa aktualisasi diri (self
actualization). Setiap orang mempunyai self (aku = diri) yang tidak selalu disadari,
tersembunyi atau tertutup. Aku atau diri ini perlu dibuka, atau dibangunkan melalui
pendidikan.
Kurikulum perlu merencanakan program untuk membantu para siswa
menemukan dan menampakan dirinya. Kurikulum humanistik dapat membantu
mereka memperlancar proses aktualisasi diri ini. Melalui berbagai kegiatan
pengajaran model humanistik para siswa dapat menyatakan diri, berekspresi,
bereksprimen, berbuat, memperoleh umpan balik dan menemukan dirinya. Menurut
Abraham Maslow, kita dapat belajar lebih banyak tentang diri kita melalui pengujian
respons-respons menuju puncak pengalaman (peak experiences). Puncak pengalaman
adalah penglaman-pengalaman yang membangkitkan rasa sayang, benci, cemas,
duka, senang dsb. Menurut Maslow puncak pengalaman ini merupakan awal dan
juga akhir dari pendidikan.
Menurut Philip H. Phenix, kurikulum harus dapat mengembangkan kesadaran
dan mendorong kreativitas murid-murid. Bagi Phenix kesadaran merupakan kunci
perkembangan diri dalam membina hubungan dan penyesesuain diri dengan orang
lain, kelompok, budaya, dan lain-lain.
e. Karakteristik kurikulum humanistik
Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan dengan
tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para humanis, kurikulum
berfungsi menyediakan pengalaman (pengetahuan-red) berharga untuk membantu
memperlancar perkembangan pribadi murid. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah
proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan,

20
integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang
lain, dan belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia
yang teraktualisasi (self actualizing person). Seseorang yang telah mampu
mengaktualisasikan diri adalah orang yang telah mencapai keseimbangan (harmoni)
perkembangan seluruh aspek pribadinya baik aspek kognitif, estetika, maupun moral.
Seorang dapat bekerja dengan baik bila memiliki karakter yang baik pula.
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru
dan murid. Guru selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan
murid, juga mampu menjadi sumber. Ia harus mampu memberikan materi yang
menarik dan mampu menciptakan situasi yang memperlancar proses belajar. Guru
harus memberikan dorongan kepada murid atas dasar saling percaya. Peran mengajar
bukan saja dilakukan oleh guru tetapi juga oleh murid. Guru tidak memaksakan
sesuatu yang tidak di sengani murid.
Sesuai dengan prinsip yang dianut, kurikulum humanistik menekankan
integrasi, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga
emosional dan tindakan. Kurikulum humanistik juga menekankan keseluruhan.
Kurikulum harus mampu memberikn pengalaman yang menyeluruh, bukan
pengalaman yang terpenggal-penggal.kurikulum ini kurang menekankan sekuens,
karena dengan sekuens murid-murid kurang mempunyai kesempatan untuk
memperluas dan memperdalam aspek-aspek perkembangannya. Penyusunan sekuens
dalam pengajaran yang sifatnya afektif, dilakukan oleh Shiflett.
1) Menyusun kegiatan yang dapat memunculkan sikap, minat atau perhatian
tertentu.
2) Memperkenalkan bahan-bahan yang akan dibahasdalam setiap kegiatan. Di
dalamnya tercakup topik-topik, bahan ajar serta kegiatan belajar yang akan
membantu siswa dalam merumuskan apa yang ingin merek pelajari. Kegiatan
yang diutamakan adalah yang akan membangkitkan rasa ingin tahu dari
pemahaman.
3) Pelaksanaan kegiatan, para siswa diberi pengalaman yang menyenangkan
baik yang berupa gerakan-gerakan maupun penghayatan.

21
4) Penyempurnaan, pembahasan hasil-hasil yang telah dicapai, penyempurnaan
hasil serta upaya tindak lanjutnya.
Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model
lebih mengutamakan proses daripada hasil.kalau kurikulum yang biasa terutama
subjek akademis mempunyai criteria pencapaian,maka dalam kurikulum humanistik
tidak ada criteria.sasaran mereka adalah perkembangan anak supaya menjadi
manusia yang lebih terbuka, lebih berdiri sendiri. Kegiatan yang mereka lakukan
hendaknya bermanfaat bagi siswa. Kegiatan belajar yang baik adalah yang
memberikan pengalamanyang akan membantu para siswa memperluas kesadaran
akan dirinya dan orang lain dan dapat mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Penilaiannya bersifat subjekif baik dari guru maupun para siswa.
3. Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekontruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum
lainnya. Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang
dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan
interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan
bersama, interaksi, kerja sama. Kerja sama atau interaksi bukan hanya terjadi antara
siswa dengan guru, tetapi juga antara siswa dengan siswa, siswadengan orang-orang
dilingkungannya, dan dengan sumber belajar lainnya. Melalui interaksi dan kerja
samaini siswa berusaha memecahakan problema-problema yang dihadapinya dalam
masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun
1920-an. Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya bahwa
selama ini terjadi keseimbangan antara kurikulum dengan masyarakat. Ia
menginginkan para siswa dengan pengetahuan dan konsep-konsep baru yang
diperolehnya dapat mengidentifikasikan dan memecahkan masalah-masalah sosial.
Setelah diharapkan dapat menciptakan masyarakat baru yang lebih stabil.
Para rekonstruksi sosial tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu.
Mereka ingin meyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat warganya
seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi
warganya melalui consensus sosial. Brameld juga ingin memberikan keyakinan

22
tentang pentingnya perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui
prosedur demokrasi. Para rekonstruksionis sosial menentang intimidasi, menakut-
nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial)
dan kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.
a. Desain kurikulum rekontruksi sosial
Ada beberapa ciri dari desan kurikulum ini.
1) Asumsi
2) Masalah-masalah sosial yang mendesak
3) Pola-pola organisasi
b. Komponen-komponen kurikulum
1) Tujuan dan isi kurikulum
2) Metode
3) Evaluasi
c. Pelaksanaan pengajaran rekontruksi sosial
Pengajaran rekontruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang
tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan
pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai
dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi
tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintahan sekolah berusaha mengembangkan
potensi tersebut. Di daerah pertanian umpamanya sekolah mengembangkan bidang
pertanian dan peternakan, di daerah industri mengembangkan bidang-bidang industri.
4. Teknologi dan Kurikulum
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan
berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan
pendidikan klasik, yaitu menekan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada
pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi.
Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih
sempit/khusus dan akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati atau
diukur.

23
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah
dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras
(hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai
teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak
disebut juga teknologi sistem (system technology).
a. Beberapa ciri kurikulum teknologis
Kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan, memiliki
beberapa ciri khusus, yaitu:
1) Tujuan. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan
dalam bentuk perilaku.
2) Metode. Metode yang merupakan kegiaatn pembelajaran sering dipandang
sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan
apabila terjadi respons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat.
Pelaksanaan pengajaran mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
a) Penegasan tujuan
b) Pelaksanaan pengajaran
c) Pengetahuan tentang hasil
3) Organisasi bahan ajar
4) Evaluasi
b. Pengembangan kurikulum teknologi
Pengembangan kurikulum teknologi berpegang pada beberapa kriteria, yaitu:
1) Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh
pengembang kurikulum yang lain,
2) Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang
bisa diuji coba ulang, dan hendaknya memberikan hasil yang sama.
Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada
kompetensi. Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan hanya
sebagai alat bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan pada
penguasaan kompetensi tertentu.

24
BAB III
LANDASAN-LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

Landasan pengembangan kurikulum memiliki peranan yang sangat


signifikan, sehingga apabila kurikulum diibaratkan sebagai sebuah bangunan gedung
atau rumah yang tidak menggunakan landasan atau pondasi yang kuat, maka ketika
diterpa angin atau terjadi goncangan yang kencang, bangunan tersebut akan mudah
roboh. Demikian pula dengan halnya kurikulum, apabila tidak memiliki dasar
pijakan yang kuat, maka kurikulum terebut akan mudah terombang-ambing dan yang
menjadi taruhannya adalah manusia sebagai peserta didik yang dihasilkan oleh
pendidik itu sendiri.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum
diantaranya Robert S. zais mengemukakan empat landasan pengembangan
kurikulum, yaitu : Philosopy and nature of knowledge, society and culture, the
individual dan learning theory. Sedangkan S. Nasution berpendapat dalam bukunya
“ Pengembangan Kurikulum” yaitu asas filosofis yang pada hakikatnya menentukan
tujuan umum pendidikan, asas sosiologis yang memberikan dasar untuk menentukan
apa yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, dan
perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi, asas organisatoris yang memberikan
dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas
dan urutannya dan asas psikologis yang memberikan prinsip-prinsip tentang
perkembangan anak dalam berbagai aspek serta caranya belajar agar bahan yang
disediakan dapat dicernakan dan dikuasai oleh anak sesuai dengan taraf
perkembangnnya. Serta Nana Syaodih Sukmadinata berpendapat dalam bukunya “
Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktik” bahwa keempat landasan itu yaitu
landasan filosofis, psikologis, sosial budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Terlepas dari itu semua bahwa pada intinya semua sama. Dapat
disederhanakan bahwa ketiga pendapat diatas semuanya berpendapat sama sehingga
dapat saling melengkapi. Untuk itu empat landasan tersebut dapat dijadikan landasan
utama dalam pengembangn kurikulum yaitu landasan filosofis, psikologis,

25
sosiologis, budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan
landasan organisatoris.

A. Landasan Filosofis
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan
peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat
isi yang diinteraksikan serta bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang
menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan peserta didik, apa isi pendidikan dan
bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan
yang membutuhkan jawaban yag mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban
filosofis.
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijaksanaan” (love of
wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat
secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu
atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu
berfikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam
berfilsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-
akarnya (radic berarti akar). Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia,
berusaha melihat segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan
mencoba mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Sering dikatakan dan sudah
menjadi terkenal dalam dunia keilmuan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala
ilmu, pada hakikatnya filsafat jugalah yang menentukan tujuan umum pendidikan.
Berdasarkan luas lingkup yng menjadi objek kajiannya, filsafat dapat dibagi
dalam dua cabang besar, yaitu filsafat umum atau filsafat murni dan filsafat khusus
atau terapan, sedangkan filsafat umum juga terbagi menjadi tiga bagian lagi yaitu :
Metafisika, membahas hakikat kenyataan atau realitas yang meliputi metafisika
umum atau ontology, dan metafisika khusus yang meliputi kosmologi (hakikat alam
semesta), teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat manusia).
Epistemologi dan logika, membahas hakikat pengetahuan (sumber
pengetahuan, metode mencari pengetahuan, kesahihan pengetahuan, dan batas-batas
pengetahuan) dan hakikat penalaran (deduktif dan induktif).

26
Aksiologi, membahas hakikat nilai dengan cabang-cabangnya etika (hakikat
kebaikan), dan estetika (hakikat keindahan).
Adapun cabang – cabang filsafat khusus atau terapan, pembagiannya
didasarkan pada kekhususan objeknya antara lain : filsafat hukum, filsafat sejarah,
filsafat ilmu, filsafat religi, filsafat moral, dan filsafat pendidikan.
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup sutu
bangsa, maka kurikulum yang dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau
pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut. Oleh karena itu, terdapat
hubungan yang sangat erat antara kurikulum pendidikan di suatu Negara dengan
filasafat Negara yang dianutnya. Sebagai contoh, pada waktu Indonesia dijajah oleh
Belanda, maka kurikulum yang dianut pada masa itu sangat berorientasi pada
kepentingan politik Belanda. Demikian pula pada saat Negara kita dijajah oleh
Jepang, maka kurikulum yang dianutnya juga berorientasi kepada kepentingan dan
sistem nilai yang dianut oleh Jepang tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada
tanggal 17 agustus 1945, Indonesia menggunakan pancasila sebagai dasar dan
falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa dn bernegara, maka kurikulum pendidikan
pun disesuaikan dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Perumusan tujuan
pendidikan, penyususnan program pendidikan, pemilihan dan penggunaan
pendekatan atau strategi pendidikan, peranan yang harus dilakukan pendidik/peserta
didik juga harus sesuai dengan falsafah bangsa ini yaitu pancasila.
1) Aliran-aliran filsafat pendidikan
Pengembangan kurikulum membutuhkan filsafat sebagai landasan berfikir.
Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab pemasalahan-
permasalahan sekitar bagaimana seharusnya tujuan pendidikan itu dirumuskan, isi
atau materi pendidikan yang bagaimana yang seharusnya disajikan kepada peserta
didik, metode apa yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan,
dan bagaimana peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik.
Jawaban atas permasalahan – permasalahan tersebut akan sangat bergantung
pada landasan filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak
pengembangan kurikulum. Landasan filsafat tertentu beserta konsep-konsepnya yang

27
meliputi konsep metafisika, epistemologi, logika, dan aksiologi berimplikasi
terhadap konsep-konsep pendidikan yang meliputi rumusan tujuan pendidikan, isi
pendidikan, metode pendidikan,peran pendidik dan peserta didik. Konsep metafisika
berimplikasi terhadap perumusan tujuan pendidikan terutama tujuan umum
pendidikan yang rumusannya ideal dan umum, konsep hakikat manusia berimplikasi
khususnya terhadap peranan pendidik dan peserta didik, konsep hakikat pengetahuan
berimplikasi terhadap isi dan metode pendidikan, dan konsep aksiologi berimplikasi
terutama terhadap perumusan tujuan umum pendidikan.
Keberadan aliran-aliran filsafat dalam pengembangan kurikulum di Indonesia
dapat digunakan sebagai acuan, akan tetapi hendaknya dipertimbangkan dan dikaji
terlebih dahulu kesesuaiannya dengan nilai-nilai falsafah hidup bangsa Indonesia,
karena tidak semua konsep aliran filsafat dapat diadopsi dan diterapkan dalam sistem
pendidikan di Indonesia. Di antara aliran-aliran tersebut yaitu :
a) Aliran Progresivisme dan pragmatisme
Aliran progresevisme mengakui dan berusaha mengembangkan asasnya
dalam semua realita kehidupan, dengan tujuan agar semua manusia dapat bertahan
menghadapi semua tantangan hidup. Sedangkan menurut aliran pragmatisme, suatu
keterangan itu baru dikatakan benar jika sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan
akan dikatakan benar kalau sesuai dengan kenyataannya.
Kedua aliran ini dipelopori oleh William james dan John Dewey, salah satu
sumbangan besar yang mereka berikan dalam perkembangan pendidikan di abad
modern ini khususnya kurikulum yaitu, menurut aliran progresivisme tentang
kurikulum mengehendaki sekolah yang memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel
(tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat oleh doktrin tertentu, luas
dan terbuka). Dengan berpijak pada prinsip ini, kurikulum dapat direvisi dan
dievaluasi setiap saat, sesuai dengan kebutuhan. Sifat kurikulumnya adalah
eksperimental atau tipe core curriculum, yaitu kurikulum yang dipusatkan pada
pengalaman yang didasarkan atas kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan
lingkungan yang kompleks.

28
b) Aliran Esensialisme
Aliran ini didasarkan oleh nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban manusia. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan
nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Nilai-nilai yang dimaksud ialah
yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif selama empat abad
belakangan, yaitu sejak zaman renaissance, sebagai pangkal timbulnya pandangan
esensialisme adat.
Aliran ini menghendaki adanya kurikulum yang memuat mata pelajaran yang
dapat menghantarkan manusia agar dapat menghayati nilai-nilai kebenaran yang
berasal dari tuhan. Kurikulum menurut aliran ini berpangkal pada landasan ideal dan
organisasi yang kuat. Herman Harrel Home, salah satu tokoh dari aliran ini
berpendapat bahwa kurikulum hendaknya bersendikan atas fundamental tunggal,
yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam
pendidikan perlu disesuaikan dan ditunjukan kepada yang serba baik.
c) Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan
lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Pandangan tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang menjadi dasar bagi
pengembangan konsep kurikulum yaitu, dari segi ontologi, mereka berpendapat
bahwa realita itu bersifat universal, ada dimana-mana dan sama setiap tempat. Dari
segi epistemologi, untuk memahami realita memerlukan asas tahu, maksudnya kita
tidak mungkin memahami realita tanpa terlebih dahulu melalui proses pengalaman
dan hubungan dengan realitas terlebih dahulu melalui penemuan ilmu pengetahuan.
Sedangkan dari segi aksiologinya, bahwa dalam proses interaksi sesama manusia
diperlukan nilai-nilai. Begitu juga dalam hubungan manusia dengan alam semesta,
prosesnya tidak mungkin dilakukan dengan sikap netral.
d) Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan paham yang berpusat pada manusia individu
yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas/kreatif , seseorang
eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu bersifat relative, dan karenanya itu masing –

29
masing individu bebas menetukan mana yang benar atau salah . Eksistensialisme
menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna.
Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan: Bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
e) Aliran Perenialisme
Perenial berarti “abadi” , aliran ini beranggapan bahwa beberapa gagasan
telah bertahan selama berabad – abad dan masih relevan saat ini seperti pada saat
gagasan tersebut baru ditemukan. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian,
keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial
tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan
sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran
absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini
lebih berorientasi ke masa lalu.

B. Landasan Psikologis
Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar-individu, yaitu antara peserta
didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan orang-orang yang
lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya seperti binatang, benda dan
tumbuhan karena salah satunya yaitu kondisi psikologis yang dimilikinya. Benda dan
tanaman tidak mempunyai aspek psikologis. Sedangkan binatang tidak memiliki
taraf psikologis yang lebih tinggi dibanding manusia yang juga memiliki akal sebagai
titik pembeda di antara keduanya
Kondisi psikologis merupakan “karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai
individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk prilaku dalam interaksi dengan
lingkungan”. Perilaku-perilakunya merupakan manifestasi dari ciri-ciri
kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal
dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan
peserta didik, serta bagaimana peserta didik belajar. Atas dasar itu terdapat dua

30
cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan dan besar kaitannya dalam
pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
1. Psikologi Perkembangan
Menurut J.P. Chaplin Psikologi perkembangan dapat diartikan sebagai
“…that branch of psychology which studies processes of pra and post natal growth
and the maturation of behavior.” Artinya, “psikologi perkembangan merupakan
cabang dari psikologi-psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu,
baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan prilaku”. Melalui kajian
tentang perkembangan peserta didik diharapkan pendidikan dapat berjalan sesuai
dengan karakteristik peserta didik serta kemampuannya, materi atau bahan pelajaran
apa saja yang sesuai dengan umur, bakat serta kemampuan daya tangkap peserta
didik begitu juga dengan cara penyampainnya dengan berbagai metode yang dapat
diterima dilihat dari sisi psikologis tiap peserta didik.
Dikenal ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu
pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (differential
approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan
pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap – tahap perkembangan.
Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan
tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki
persamaan dan perbedaan. Atas dasar perbedaan dan persamaan tersebut individu
dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Seperti pengelompokan atas
dasar jenis kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi dan lain sebagainya. Kedua
pendekatan itu berusaha untuk menarik atau membuat generalisasi yang berlaku
untuk semua individu. Dalam kenyataannya seringkali ditemukan adanya sifat-sifat
individual, yang hanya dimiliki oleh seorang individu dan tidak dimiliki oleh yang
lainnya. Pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah
yang dikelompokan sebagai pendekatan isaptif.
Dalam pendekatan pentahapan dikenal dua variasi. Pertama, bersifat
menyeluruh mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik, dan
gerakan motorik, social, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya. Kedua,
pendekatan yang bersifat khusus mendekripsikan salah satu segi atau aspek

31
perkembangan saja. Dalam pendekatan secara menyeluruh di kenal tahap-tahap
perkembangan, banyak ilmuan yang mengadakan penilitian akan tahap-tahap
perkembangan manusia dari segi psikologinya, diantaranya ialah Roussea yang
membagi seluruh masa perkembangan anak atas empat tahap perkembangan.

Tahap Usia Keterangan


I (infacy) 0-2 th Tahap perkembangan fisik

II (childhood) 2-12 th Perkembangan manusia primitive


III 12-15 th Perkembangan intelektual dan
(pubescence) kemampuan nalar
IV 15-25 th Masa hidup sebagai manusia yang
(adolescence) beradab, pertumbuhan seksual, social,
moral, dan kata hati

Tahap perkembangan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum


sebaiknya bersifat efektif, artinya tidak terpaku pada satu pendapat tentang tahapan
saja, tetapi bersifat luas untuk meramu dari berbagai pendapat yang mempunyai
hubungan yang sangat erat.
2. Psikologi Belajar
Psikologi belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar, yang
secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui
pengalaman. Segala perubaha tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif
maupun psikomotorik terjadi karena proses pengalaman yang selanjutnya dapat
dikatakan sebagai perilaku belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi
karena instink atau karena kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi
tidak termasuk belajar. Intinya adalah, bahwa psikologi sangat membantu para guru
dalam merancang sebuah kegiatan pembelajaran khusunya untuk pengembangan
kurikulum.
Menurut P. Hunt, ada tiga keluarga atau rumpunan teori belajar yang dibahas
dalam psikologi belajar, yaitu teori disiplin mental, teori behaviourisme dan teori
cognitif Gestald Field.

32
a) Teori disiplin mental
Menurut teori ini bahwa dari sejak kelahirannya atau secara herediter, seorang
anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Menurut teori ini belajar adalah
merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
b) Teori behaviorisme
Teori ini berpijak pada sebuah asumsi bahwa anak atau individu tidak
memiliki atau tidak membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan
anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan, seperti lingkungan
sekolah, masyarakat, keluarga, alam, budaya, religi, dan sebagainya.
c) Teori kognitif gestald field
Menurut teori ini, belajar adalah proses pengembangan insight atau
pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman tersebut terjadi
apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada
dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa
belajar, merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif.
Pemahaman atau insight merupakan citra dari perasaan tentang pola-pola atau
hubungan.

C. Landasan Sosisologis dan Budaya


Landasan sosiologis kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari
sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa
kurikulum harus berlandaskan kepada landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari
masyarakat, mendapat pendidikan baik informal, formal, maupun nonformal dalam
lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan
bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala
karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan
pendidikan. Oleh karena itu tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan
dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut.
Sosiologi dalam pembahasannya mencakup secara garis besar akan
perkembagan masyarakat dan budaya yang ada pada setiap ragam masyarakat yang
da di Indonesia ini. Karena beraneka ragamnya budaya masyarakat yang ada di

33
negeri ini, sehingga kurikulum dalam perumusannya juga harus menyesuaikan pada
budaya masyarakat yanga akan menjadi objek pendidikan dan penerima dari hasil
pendidikan tersebut. Tidak bisa kita menggunakan kurikulum pendidikan untuk
orang – orang pedalaman untuk diajarkan kepada orang-orang maju seperti di kota
dan pendidikan luar wilayah tersebut yang lebih maju.
Menurut Daud Yusuf, terdapat tiga sumber nilai yang ada dalam masyarakat
untuk dikembangkan melalui proses pendidikan, yaitu : logika, estetika, dan etika.
Logika adalah aspek pengetahuan dan penalaran, estetika berkaitan dengan aspek
emosi atau perasaan, dan etika berkaitan dengan aspek nilai atau norma-norma yang
ada dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah nilai-nilai yang
bersumber pada logika. Sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia, maka kehidupan manusia
semakin luas, semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi.
Daud Yusuf mendefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan
keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika), serta perasaan (estetika)
manusia, dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, perkembangan
hubungan dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhannya.
Ada faktor yang mendasari bahwa kebudayaan merupakan bagian penting dalam
pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
a. Individu lahir tidak berbudaya, baik hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi
dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah. Oleh karena
itu sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para
peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.
b. Kurikulum pada dasarnya harus mengokomodasikan aspek-aspek sosial dn
budaya. Aspek sosiologis ialah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat
yang sangat beragam, aspek budayanya yaitu kurikulum sebagai alat harus
berimplikasi untuk mencapai tujuan pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang
bersifat umum seperti : nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.

34
BAB 4
PRINSIP, MODEL, DAN MANAJEMEN PENGEMBANGAN
KURIKULUM
A. Prinsip Pengembangan Kurikulum
1. Prinsip umum
a. Prinsip Relevansi
Prinsip ini merupakan prinsip yang paling dasar dalam sebuah kurikulum.
Prinsip ini juga bisa dikatakan sebagai rohnya kurikulum, artinya apabila prinsip ini
tidak tepenuhi dalam sebuah kurikulum, maka kurikulum tersebut tidak ada lagi
artinya tidak kurikulum menjadi tdak bermakna. Prinsip relevansi mengandung arti
bahwa sebuah kurikulum harus relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sehingga para siswa mempelajari iptek yang benar-benar terbaru yang
memungkinkan mereka memiliki wawasan dan pemikiran yang sejalan dengan
perkembangan zaman.
b. Prinsip Fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas terkait dengan keluwesan dalam tahap implementasi
kurikulum. Penerapan prinsip fleksibiltas dalam kurikulum adalah bahwa suatu
kurikulum harus dirancang secara fleksibel sehingga pada saat diimplementasikan
memungkinkan untuk dilakukan perubahan untuk disesuaikan dengan kondisi yang
ada yang tidak terpediksi saat kurikulum saat kurikulum itu dirancang.
c. Prinsip Kontinuitas
Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara
berkesinambungan, tidak terputus-putus artinya bagian-bagian, aspek-aspek, materi,
dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan satu sama
lain memiliki hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang
pendidikan, struktur dalam satuan pendidikan, dan tingkat perkembangan siswa.
Pengalaman-pengalaman yang disediakan kurikulum juga hendaknya
berkesinambungan antara satu tingkat kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan
dengan jenjang pendidikan, struktur dalam satuan pendidikan, dan tingkat
perkembangan siswa.

35
d. Prinsip Efisiensi
Prinsip ini kurikulum mudah dilaksanakan karena menggunakan alat-alat
sederhana dan memerlukan biaya yang murah. Prinsip ini tidak menutut untuk
memaksakan keadaan, karena jika dana terbatas hars digunakan sedemikian rupa
dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran. Artinya segala sesuatu
hendaknya didayagunakan secara efisien untuk melaksanakan proses pembelajaran.
e. Prinsip efektifitas
Walaupun prinsip kurikulum itu mudah, sederhana, dan murah,
keberhasilannya harus diperhatikan secara kuantitas dan kualitas karena
pengembangan kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran dari
perencanaan pendidikan. Misalnya, keterbatasan fasilitas ruangan, peralatan dan
sumber keterbacaan, harus digunakan secara tepat guna oleh siswa dalam rangka
pembelajaran, demi untuk meningkatkan evektivitas atau keberhasilan.
2. Prinsip Khusus.
Prinsip khusus dalam pengembangan kurikulum yaitu :
a) Tujuan pendidikan mencakup tujuan jangka panjang (umum), menengah, dan
yang pendek (khusus).
b) Pemilihan isi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan pendidikan.
c) Pemilihan proses pembelajaran.
d) Pemilhan media dan alat pembelajaran yang tepat artinya untuk mendukung
proses pembelajaran agar efektif.
e) Pemilihan kegiatan penilaian.
B. Model-Model Pengembangan Kurikulum
Terdapat beberapa model pengembangan kurikulum. Sanjaya (2011)
mengidentifikasi model-model pengembangan kurikulum antara lain :
1. Model Tyler
Langkah-langkah pengembangan kurikulum menurut Tyler adalah :
a) Merumuskan tujuan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan
karena tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan.
b) Merumuskan pengalaman belajar. Pengalaman belajar adalah segala aktivitas
peserta didik dalam berinteraksi dengan lingkungan.

36
c) Mengelolah pengalaman belajar peserta didik dalam hal ini adalah baik dalam
bentuk unit mata pelajaran maupun dalam bentuk program. Dua jenis
pengelolaan pengalaman belajar yaitu secara vertical dan horizontal.
d) Mengevaluasi dimaksud untuk mengetahui apakah kurikulum yang
diimplementasikan sudah sesuai dengan tujuan dengan tujuan yang ingin
dicapai atau belum.
2. Model Taba
Menurut Taba kurikulum dikembangkan dengan pendekatan induktif, dengan
langkah-langkah berikut :
a) Menghasilkan unit eksperimen.
b) Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka
menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya.
c) Merevisi dan mengonsolidasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data yang
diperoleh dalam uji coba.
d) Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum.
e) Mengimplementasikan dan desiminasi kurikulum yang telah teruji.
3. Model Oliva
Menurut Oliva (1997) model kurikulum harus sederhana, komprehensif, dan
sistematis, yang langkah-langkah sebagai berikut :
a) Menetapkan landasan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan
yang bersumber dari analisis kebutuhan peserta didik, dan analisis kebutuhan
masyarakat.
b) Menganalisis kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada,kebutuhan
peserta didik, dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh
sekolah.
c) Merumuskan tujuan umum.
d) Merumuskan tujuan khusus, yang merupakan penjabaran dari tujuan umum.
e) Mengolah rancangan implementasikan kurikulum.
f) Menjabarkan kurikulum daam bentuk perumusan tuuan umum pembelajaran.
g) Menjabarkan perumusan tujuan umum dalam bentuk khusus pembelajaran.
h) Menyeleksi dan menetapkan strategi pembelajajarn.

37
i) Menyeleksi dan menetapkan strategi/teknik penilaian yang digunakan.
j) Mengimplementasikan strategi pembelajaran.
k) Mengevaluasi pembelajaran mengevaluasi kurikulum.
4. Model Beauchamp
Beauchamp (1975) mengemukakan lima langkah pengembangan kurikulum
yaitu:
a) Menetapkan wilayah yang akan menyempurnakan kurikulum.
b) Menentukan orang-orang yang akan terlibat dalam penyempurnaan
kurikulum.
c) Menetapkan prosedur yang akan ditempuh dalam merumuskan tujuan baik
umum maupun khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta
menetapkan evaluasi
d) Mengimplementasikan kurikulum.
e) Melaksanakan evaluasi pembelajaran.
5. Model Wheleer
Wheeler ( dalam Sanjaya, 2011) berpendapat bahwa pengembangan kurikulum
meliputi :
a) Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus.
b) Menentukan pengalaman belajar yang dapat dilakukan peserta didik untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
c) Menetukan isi pembelajaran sesuai dengan pengalaman belajar yang
diinginkan
d) Mengelolah pengalaman belajar dengan isi pembelajaran.
e) Melakukan evaluasi setiap langkah.
6. Model Nichoolls
Model Nicoolls (1978) digunakan apabila ingin menyusun kurikulum baru
yang diakibatkan karena terjadinya perubahan situasi, yang langkah
pengembangannya, antara lain :
a) Menganalisis situasi.
b) Menentukan tujuan khusus.
c) Menentukan dan mengelolah isi pelajaran.

38
d) Menentukan dan mengelolah metode pembelajaran.
e) Melakukan evaluasi.
7. Model Dynamic Skillbeck
Model pengembangan kurikulum ini adalah model pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, yang langkah-langkahnya, antara lain
( Skillbeck, 1976) :
a) Menganalisis situasi.
b) Merumuskan tujuan.
c) Menyusun program.
d) Mengimplementsikan.
e) Monitoring,umpan balik, penilaian, dan rekontruksi.
C. Manajemen Pengembangan Kurikulum
Manajemen pengembangan kurikulum berkenaan dengan bagaimana
kurikulum dirancang, diimplementasikan ( dilaksanakan ), dikendalikan (dievaluasi
dan disempurnakan), oleh siapa, kapan, dalam lingkup mana, dan seterusnya.
Manajemen kurikulum juga menyangkut kebijakan, siapa yang diberi tugas,
wewenang dan tanggung jawab dalam merancang, melaksanakan, dan
mengendalikan kurikulum.
Menurut pendapat Kemp menegaskan bahwa kurikulum (desain kurikulum)
dapat bervariasi mulai dari yang sepenuhnya standar (seluruh komponen dirumuskan
secara tuntas oleh pusat), sebagian besar komponen (dasar dan utama), sebagian
komponen dirumuskan oleh tim pusat, sedang komponen lainnya (penjabarannya)
dikembangkan oleh daerah atau satuan pendidikan, sampai dengan yang seluruh
komponennya dikembangkan oleh satuan pendidikan.
Ada beberapa komponen dalam kurikulum yaitu :
1. Manajemen Pengembangan Kurikulum Sentralistik
Dalam manajemen pengembangan kurikulum yang terpusat (sentralistik),
tugas, wewenang, dan tanggung jawab pengembangan kurikulum dipegang oleh
pejabat pusat. Manajemen kurikulum sentralistik mengahasilkan kurikulum nasional,
satu kurikulum yang berlaku di seluruh wilayah negara.

39
Sukmadinata (2007) mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan
manajemen kurikulum sentaralistik, yaitu :
a) Kelebihannya :
Kurikulum diseragamkan untuk seluruh daerah dan sekolah sehingga dapat
dikembangkan standar kemampuan dan tingkat pencapaian yang bersifat nasional.
Karena kurikulumnya seragam,lebih mudah dalam pengendalian, atau
pengawasan dan evaluasi.
Pembinaan para pelaksana kurikulum lebih mudah karena pengetahuan dan
keterampilan yang dituntut untuk melaksanakannya hampir sama.
Penyediaan media dan sumber belajar lebih mudah karena jenisnya sama untuk
setiap daerah dan satuan pendidikan.
Memungkinkan diadakan penilaian hasil belajar yang bersifat nasional karena
desain atau rancangan kurikulum dan sasaran belajarnya sama untuk seluruh daerah
dan satuan pendidikan.
b) Kelemahannya :
Wilayah yang cukup luas memiliki keragaman dalam kondisi, kebutuhan, dan
tingkat kemajuan. Kurikulum yang bersifat nasional tidak dapat mengakomodasi
keragaman kondisi tersebut.
Pemahaman dan penguasaan kurikulum nasional para pelaksana diseluruh
wilayah tanah air membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
Penerapan satu jenis kurikulum untuk wilayah yang cukup luas dapat
menghadapi banyak hambatan dan kemungkinan penyimpangan.
2. Manajemen Pengembangan Kurikulum Desentralistik
Dalam manajemen kurikulum desentralistik, penyusunan desain, pelaksanaan
dan pengendalian kurikulum (evaluasi dan penyempurnaan), dilakukan secara lokal
oleh satuan pendidikan. Pengembangan kurikulum ini disebut pengembangan
kurikulum berbasis sekolah atau disebut juga kurikulum satuan pendidikan (KTSP).
Pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan akan menghasilkan desain
kurikulum yiang beragam, tetapi lebih mudah dipahami, dikuasai dan dilaksanakan
oleh guru sebab mereka merek sendiri yang mengembangkannya, minimal ikut serta
dalam pengembangannya.

40
Sukmadinata (2007) mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan manajemen
pengembangan kurikulum oleh KTSP adalah :
a) Kelebihannya yaitu :
Kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan, kondisi, karakterisntik, dan
perkembangan satuan pendidikan dan masyarakat setempat sehingga satuan
pendidikan secara langsung atau tidak langsung dapat membantu perkembangan
masyarakat.
Lebih mudah dilaksanakan karena desain kurikulum disusun oleh guru-guru
sendiri dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendukung pelaksanaannya yang
ada di sekolah dan masyarakat sekitar.
b) Kekurangannya yaitu :
Tidak semua guru memiliki keahlian atau kecakapan dalam pengembangan
kurikulum, atau tidak semua satuan pendidikan/daerah memiliki guru atau orang
yang ahli atau cakap dalam pengembangan kurikulum.
Kurikulum dapat bersifat lokal. Lulusannya kurang memiiki kemampuan
kemampuan atau daya saing secara nasional.
Desain kurikulum sangat beragam, dapat menimbulkan kesulitan dalam
pengawasan dan evaluasi kurikulum dan evaluasi hasil belajar secara nasional.
Kepindahan peserta didik dari satu sekolah atau daerah ke sekolah atau daerah
lain dapat menimbulkan kesulitan.

41
BAB 5
PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA

Sejarah kurikulum pendidikan di indonesia kerap berubah setiap ada


pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan di indonesia hingga kini
belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah
sejak tahun 1945, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006.Perubahan
tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial
budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.Sebab,
kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua
kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan
Undang-Undang 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan
serta pendekatan dalam merealisasikannya. Perubahan kurikulum didunia pendidikan
indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurikulum 1947
Kurikulum pertama di masa kemerdekaan namanya rencana pelajaran
1947.Ketika itu penyebutan lebih populer menggunakan Leer Plan (Rencana
pelajaran) ketimbang istilah Curriculum dalam bahasa inggris.Rencana pelajaran
1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih
menerapkan kurikulum belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya di
tujukan untuk kepentingan kolonialis belanda. Rencana pelajaran 1947 ini lebih
mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan masyarakat
daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran duhubungkan dengan kejadian sehari-
hari, perhatiaan terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Pada masa itu juga di
bentuk kelas Masyarakat yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak
melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti
pertanian, pertukangan, dan perikanan.Tujuannya, agar anak yang tak mampu
sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.

42
2. Kurikulum 1952
Pada tahun 1952 ini di beri nama Rentjana Pelajaran terurai 1952. Kurikulum
ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol
dan sekaligus ciri dari kurukulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-
hari.Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral
(pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi
: moral, kecerdasan, emosional, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.
Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional
praktis.
3. Kurikulum 1964
Kali ini beri nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran
kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah
mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk
pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan
moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi : moral,
kecerdasan, emosional, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar
lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
4. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964, yaitu
dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari pancawardhana menjadi
pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.Kurikulum
1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum 1968 bertujuan
bahwa pendidikan di tekankan pada upaya untuk membentuk manusia pancasila
sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,
moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat
dan kuat.

43
5. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, aagar pendidikan lebih efisien dan
efektif. “yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manajemen, yaitu
MBO (management by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan
pengajaran di rinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional
(PPSI).Zaman ini di kenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusu (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar
mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis
rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
Pada kurikulum kegiatan ini juga menekankan pada pentingnya pelajaran matematika
sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
6. Kurikulum 1984 (kurikulum CBSA)
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan
pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut
“kurikulum 1975 yang disempurnakan”.Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek
belajar.Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga
melaporkan.Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Aktive
Learning (SAL).
Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada tujtuan interaksional.Didasari oleh
pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar
yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh
karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang petama harus
dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
7. Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan
dilaksanakan sesuai UU no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal
ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari
sistem semester ke sistem caturwulan.Tujuan pengajaran lebih menekankan pada
pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan maslah.

44
8. Kurikulum 2004 (KBK)
Kurikulum ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK).Pendidikan berbasis kopetensi menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan
standar performance yang telah ditetapkan.Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan
mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat
kompetensi yang telah ditentukan.Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu
kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran. Kurikulum ini
berorientasi pada hasil dan dampak dari proses pendidikan serta keberagaman
individu dalam menguasai semua kopetensi.
9. Kurikulum 2006 (KTSP)
Kurikulum 2006 ini dikenal dengan sebutan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP).Awal 2006 uji coba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Tinjauan
dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga
teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan kurikulum 2004. Perbedaan yang
paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan
pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi sekolah berada.Hal ini dapat
disebabkan kerangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar
kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan
pendidikan telah ditetapkan oleh Depertemen Pendidikan Nasional.Jadi
pengembangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian
merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan
sepervisi pemerintah Kabupatena/kota.
10. Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi yang pernah
digagas dalam rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum
terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Selain itu penataan kurikulum pada kurikulum
2013 dilakukan sebagai amanah dari UU No.20 tahun 2003 tentang pendidikan
nasional dan peraturan presiden N0. 5 tahun 2010 tentang rencana pembangunan
jangka menengah nasional.

45
Kurikulum 2013 dikembangkan untuk meningkatkan capaian pendidikan
dengan dua strategi utama, yaitu peningkatan efektifitas pembelajaran pada satuan
pendidikan dan penambahan waktu pembelajaran di sekolah.
A. Efektifitas pembelajaran dicapai melalui tiga tahap, yaitu:
1) Efektifitas interaksi, akan tercipta dengan adanya harmonisasi iklim akademi
dan budaya sekolah. Efektifitas interaksi dapat terjaga
apabila kesinambungan manajemen dan kepemimpinan pada satuan
pendidikan.
2) Efektifitas pemahaman, menjadi bagian penting dalam pencapaian efektifitas
pembelajaran. Efektifitas tersebut dapat dicapai apabila pembelajaran yang
mengedepankan pengalaman personal siswa melalui observasi, asosiasi,
bertanya, menyimpulkan dan mengkomunikasikan.
3) Efektivitas penyerapan, dapat tercipta manakala adanya kesinambungan
pembelajaran horizonta dan vertikal.
Penerapan kurikulum 2013 diimplementasikan adanya penambahan jam
pelajaran, hal tersebut sebagai akibat dari adanya perubahan proses pembelajaran
yang semula dari siswa diberi tahu menjadi siswa yang mencari tahu. Selain itu, akan
merubah pula proses penialaiayang semula berbasis output menjadi berbasis proses
dan output.
Orientasi kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan
antara kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan. Hal itu sejalan dengan
amanat UU no.20 tahun 2003 sebagai mana tersurat dalam penjelasan pasal 35:
“kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar yang telah disepakati”.
Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang
telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencangkup kompetensi sikap, pengetahuan,
dan keterampilan secara terpadu.

46
B. Faktor Adanya Pengembangan Kurikulum
Tiga faktor yang menjadi alasan pengembangan kurikulum 2013:
1. Tantangan masa depan diantaranya meliputi arus globalisasi, masalah
lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, kovergensi ilmu dan
teknologi, dan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.
2. Kompetensi masa depan yang diantaranya meliputi kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berfikir jernih dan kritis, kemampuan
mempertimbangkan segi moral, kemampuan menjadi kewarganegaraan yang
efektif, dan kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap
pandangan yang berbeda.
3. Fenomena sosial yang mengemuka, seperti perkelahian pelajar, narkoba,
korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak
sosial (social unrest).
4. Persepsi publik yang menilai pendidikan selama ini terlalu menitik beratkan
pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan
karakter.
C. Pokok-Pokok Perubahan Dalam Kurikulum 2013
Terdapat beberapa perubahan mendasar dari kurikulum 2006 ke kurikulum
2013 yaitu:
a) Penataan pola pikir.
b) Pendalaman dan perluasan materi.
c) Penguatan proses
d) Penyesuaian beban
Sedangkan elemen yang berubah antara lain:
a) Standar kompetensi Lulusan
b) Standar isi
c) Standar proses
d) Standar penilaian
Kurikulum 2013 lebih menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam
pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.Pendekatan ilmiah tersebut
meliputi, mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring.Secara

47
konseptual kurikulum 2013 jelas ada perubahan signifikan.Perubahan itu tentunya di
maksudkan untuk menjadikan pendidikan menjadi lebih baik.
D. Prinsip Penyusunan RPP Kurikulum 2013
Prinsip-prinsip penusunan RPP sebagai berikut:
1) Memperhatikan perbedaan individu peserta didik RPP disusun dengan
memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat
intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi,
gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya,
norma, nilai, dan lingkungan peserta didik.
2) Mendorong partisipasi aktif peserta didik proses pembelajaran dirancang
dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat,
kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian dan semangat belajar.
3) Mengembangkan budaya membaca dan menulis proses pembelajaran
dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman
beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.
4) Memberikan umpan balik dan tindak lanjut RPP memuat rancangan program
pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedial.
5) Keterkaitan dan keterpaduan RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan
dan keterpaduan SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu
kebutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan
pembelajaran tematik,keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar,
dan keragaman budaya.
6) Penerapan teknologi informasi dan komunikasi RPP disusun dengan
mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara
terintegrasi, sistematis dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.
E. Perbedaan Kurikulum 2013 dengan KTSP
Kurikulum 2013 sudah di implementasikan pada tahun pelajaran 2013/2014
pada sekolah-sekolah tertentu (terbatas).Kurikulum 2013 diluncurkan secara resmi
pada tanggal 15 juli 2013. Perbedaan kurikulum 2013 dengan KTSP, sebagai berikut:

48
No Kurikulum 2013 KTSP
1. 1. SKL (Standar Kompetensi Lulusan)
Standar isi ditentukan terlebih
ditentukan terlebih dahulu, melalui
dahulu melalui
permendikbud No.54 Tahun 2013. Setelah
permendiknas No. 22 tahun
itu baru ditentukan Standar isi, yang
2006. Setelah itu ditentukan SKL
berbentuk kerangka dasar kurikulum, yang
melalui permendiknas No. 23
dituangkan dalam permendikbud No. 67, 68,
Tahun 2006.
69, dan 70 tahun 2013.
2. Aspek kompetensi lulusan ada
2. keseimbangan soft skill dan hard skill yang Lebih menekankan pada aspek
meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan
keterampilan, dan pengetahuan.
3. 3. Dijenjang SD tematik terpadu untuk Di jenjang SD tematik terpadu
kelas I-IV untuk kelas I-III
4. Jumlah jam pelajaran lebih
4. Jumlah jam pelajaran perminggu lebih sedikit dan jumlah mata
banyak dan jumlah mata pelajaran lebih pelajaraan lebih banyak
sedikit dibanding KTSP dibanding dengan kurikulum
2013
5. 5. Proses pembelajaran setiap tema di jenjang
SD dan semua mata pelajaran di jenjang
Standar proses dalam
SMP/SMA/SMK di lakukan dengan
pembelajaran terdiri dari
pendekatan ilmiah (saintific approach), yaitu
Eksplorasi, Elaborasi, dan
standar proses dalam pembelajaran terdiri
Konfirmasi.
dari mengamati, menanya, mengolah,
menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
6. 6. TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi)
bukan sebagai mata pelajaran, melainkan TIK sebagai mata pelajaran
sebagai media pembelajaran
7. 7. Standar penilaian menggunakan penilaian Penilaian lebih dominan pada

49
otentik, yaitu mengukur semua kompetensi aspek pengetahuan
sikap, keterampilan, dan pengetahuan
berdasarkan proses dan hasil
8. 8. Pramuka bukan ekstra kulikuler
Pramuka menjadi ekstra kulikuler wajib
wajib
9. 9. Permintaan (penjurusan) mulai kelas X
Penjurusan mulai kelas IX
untuk jenjang SMA/MA
10. 10. BK lebih menekankan pengembangan BK lebih pada menyelesaikan
potens siswa masalah siswa

Itulah beberapa perbedaan kurikulum 2013 dan KTSP. Walaupun keliatannya


terdapat perbedaan yang sangat jauh antara kurikulum 2013 dengan KTSP, namun
sebenarnya terdapat kesamaan ESENSI kurikulum 2013 dengan KTSP. Misalnya
pendekatan ilmiah (saintific approach) yang pada hakikatnya adalah pembelajaran
berpusatnya pada siswa.Siswa mencari pengetahuan bukan menerima pengetahuan.
Pendekatan ini mempunyai esensi yang sama dengan pendekatan keterampilan
proses (PKP). Masalah pendekatan sebenarnya bukan bukan masalah kurikulum,
tetapi masalah implementasi yang tidak jalan di kelas. Bisa jadi pendekatan ilmiah
yang diperkenalkan dikurikulum 2013 akan bernasip sama dengan pendekatan-
pendekatan kurikulum terdahulu bila seorang guru tidak paham dan tidak bisa
menerapkan dalam pembelajaran di kelas.

50
F. Problematika Kurikulum 2013
Berbagai wacana berkembang di masyarakat terkait kurikulum 2013 sangat
marak, tentunya berdasarkan pada sudut pandang mereka. Banyak persepsi yang
perlu dihargai sebagai bagian dari proses pematangan kurikulum yang sedang
disusun. Kurikulum ini merupakan terobosan baru dari kurikulum sebelumnya yaitu
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Alasan perubahan kurikulum KTSP
menjadi kurikulum 2013 banyak berbagai alasan. Menteri pendidikan dan
kebudayaan, Moh Nuh menemukan pasalnya, hasil studi lembaga survei pendidikan
internasional, TIMSS dan PIRLS 2011 tidak menunjukkan perkembangan yang
signifikan terhadap kemampuan siswa di indonesia. Selain itu evaluasi kurikulum
pendidikan saat ini terlalu membebani siswa.“Dari evaluassi nanti di harapkan bisa
ditemukan formulasi sesuai standar kompetensi”. Katanya (Dikutip dari :
edukasi.kompas.com).
Dengan adanya hal tersebut yang menyebabkan kementrian pendidikan dan
kebudayaan semakin memantapkan langkah untuk mengganti KTSP dengan
kurikulum baru pada tahun 2013. Kurikulum 2013 ini rencananya diterapkan mulai
tahun ajaran 2013/2014 pada berbagai jenjang.Mulai dari tingkat SD, SMP, SMA,
dan SMK. Untuk jenjang solah dasar sederajat, akan diamputasi 2 mata pelajaran
yakni mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS), jadi nantinya untuk SD sederajat hanya ada mata pelajaran atau bidang studi,
yakni:
1. Pendidikan agama
2. Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan atau PKN
3. Bahasa indonesia
4. Matematika
5. Seni budaya
6. Pendidikan jasmani dan kesehatan.
Pengurangan mata pelajaran untuk tingkat atau jenjang SD sederajat ini
dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan agar peserta didik atau para siswa tidak
terlalu terjejali oleh banyaknya mata pelajaran yang mereka dapatkan di bangku
sekolah. Di harapkan dengan pengurangan ini, kecerdasan para siswa akan terasah

51
tanpa disertai beban dengan banyaknya mata pelajaran yang mereka terima di
sekolah.
Saat ini yang ramai diperbincangkan di media massa terkait perubahan
kurikulum adalah masalah pengurangan mata pelajaran dan penambahan jam belajar,
secara mendasar, ada empat elemen perubahan dalam kurikulum 2013, yakni standar
kompetensi lulusan, standar isi (kompetensi inti dan kompetensi dasar), standar
proses, dan standar penilaian. Penyempurnaan standar kompetensi lulusan
memperhatikan pengembangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan.Secra terpadu
dengan fokus pada pencapaian kompetensi.
Dalam bahasan kurikulum yang akan dicanangkan tersebut masih menuai
banyak perdebatan. Dikalangan praktisi pendidikan masih menimbulkan pro dan
kontra. Pihak yang mendukung kurikulum baru menyatakan bahwa kurikulum 2013
nantinya akan memadatkan pelajaran sehingga tidak membebani siswa. Selain itu
kurikulum ini akan memfokuskan pada tantangan masa depan bangsa, dan tidak
memberatkan guru dalam penyusunan KTSP. Sedangkan pihak yang kontra
menyatakan bahwa, kurikulum justru kurang fokus karena menggabungkan mata
pelajaran IPA dengan bahasa indonesia di SD. Padahal kedua mata pelajaran
memiliki substansi pokok yang berbeda. Akan tetapi hampir semua orang setuju atas
alasan di balik perubahan kurikulum.Hal ini dipertegas lagi bahwa kementrian
pendidikan dan kebudayaan berupaya kembali pada tujuan mulia pendidikan; tak
hanya mencecoki siswa dengan pengetahuan, tapi juga membentuk karakter mereka.
Dari pihak kontra memberikan argumen kembali bahwa, memang nantinya
mata pelajaran yang akan diajarkan tersebut dibuat lebih simpel. Akan tetapi tingkat
pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa akan semakin berkurang
akibat berpaduan mata pelajaran tersebut.

52
DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar. 1990. Pengambangan Kurikulum. Bandung: Mandar Maju

Nasution, 1991. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditya Bakti

Nasution, 1999. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara

Sukmadinata, Nana Syaodih . (2002), Landasan Psikologi Proses Pendidikan,


Bandung: Remaja Rosdakarya

Susilana, Rudi. (2006), Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung: Jurusan Kurikulum


dan Teknologi Pendidikan FIP UP

53

Anda mungkin juga menyukai