Dosen Pembimbing :
Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes.
Disusun Oleh :
Kelompok V AJ 2 – B20 :
Sofiyanti Normalinda B. (131711123014)
Siska Nurul Fauziah (131711123020)
Novy Loudoe (131711123034)
Pahlevi Betsytifani (131711123051)
Hasanudin (131711123072)
Miftakhul Janah (131711123075)
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien Dewasa
dengan Gangguan Sistem Perkemihan ” dengan tepat waktu.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes. selaku dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II
2. Teman-teman yang membantu penyelesaian makalah ini secara langsung
maupun tidak langsung
yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Baik
dalam penyajian materi, teknik penulisan, dan lain sebagainya. Kami sebagai
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini, serta kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 3
C. TUJUAN PENULISAN 3
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN 4
B. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) 11
C. KONSEP BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) 34
D. KONSEP INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) 58
BAB 3 : KASUS
A. ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN 78
GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUP FATMAWATI
B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN 98
BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH) DI RSUP
FATMAWATI
BAB 4 : SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN 123
B. SARAN 124
DAFTAR PUSTAKA iii
DAFTAR PUSTAKA
Alam, S., & Hadibroto, I. 2008. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Ilmiah,
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,
Kradjan, W.A., et al. 2013. Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics
The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Pennsylvania, United States of America.
Moeljono, F.L., Ramatillah D.L., Eff, A.R., 2014, Treatment of the Chronic Kidney
Disease (CKD) Patient in the PGI Hospital Cikini Jakarta, International
Journal of Pharmacy Teaching & Practices, 5;1105-1111.
Murphree, D.D. & Thelen, S.M., 2010. Chronic Kidney Disease in Primary Care.
Journal of the American Board of Family Medicine, Vol. 23 No. 4.
Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta :
Salemba Medika.
NKF (National Kidney Fondation). 2013. Diabetes and Chronic Kidney Disease
Stage 1-4, National Kidney Fondation. Inc, New York.
Smeltzer, Suzanne & Bare, Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
“Brunner & Suddarth”. Ed.8. Jakarta: EGC
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem perkemihan merupakan sistem pengeluaran zat-zat metabolisme
tubuh yang tidak berguna lagi bagi tubuh dan harus di keluarkan (dieliminasi)
dari dalam tubuh karena dapat menjadi racun. Sistem perkemihan terdiri dari
ginjal, ureter, vesica urinaria dan uretra yang menyelenggarakan serangkaian
proses untuk tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat, dan urine. Apabila terjadi
gangguan pada sistem perkemihan maka dapat menimbulkan gangguan
kesehatan yang sangat serius dan komplek. Gangguan yang terjadi pada sistem
perkemihan antara lain seperti gagal ginjal kronik, benigna prostat hiperplasia
(BPH) dan infeksi saluran perkemihan (ISK).
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau
yang sering disebut juga dengan gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan
pada ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk
sisa dari darah, dengan ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju
filtrasi glomerulus yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Black &
Hawks, 2009). Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada
prostat yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah
kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan
retensi urin( Aulawi, 2014). Infeksi saluran kemih merupakan suatu infeksi
yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran kemih
manusia. Saluran kemih manusia merupakan organ-organ yang bekerja untuk
mengumpul dan menyimpan urin serta organ yang mengeluarkan urin dari
tubuh, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Infeksi saluran kemih
dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang tua
(Sukandar, 2006).
Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis
berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi
di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti di Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi
Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur
masing-masing 0,3%. Di Indonesia BPH menjadi penyakit urutan ke dua
setelah penyakit batu saluran kemih, Secara umum diperkirakan hampir 50%
pria Indonesia menderita BPH, jika dilihat dari 200 juta lebih rakyat Indonesia
maka dapat di perkirakan sekitar 2,5 juta pria yang berumur lebih dari 60 tahun
menderita BPH (Purnomo, 2008). Infeksi saluran kemih di Indonesia dan
prevalensinya masih cukup tinggi, menurut perkiraan Departemen kesehatan
RI, jumlah penderita ISK di Indonesia adalah 90-100 kasus per 100.000
penduduk pertahunnya atau sekitar 180.000 kasus baru pertahun (Depkes, RI,
2014).
Pasien dengan PGK memiliki berbagai macam komplikasi seiring dengan
meningkatnya derajat (stage) PGK. Komplikasi tersebut antara lain
dislipidemia, hiperkalemia, asidosis metabolik, anemia, dan gangguan tulang
dan mineral (Walt et al., 2015). Selain itu, pasien dengan PGK juga memiliki
beberapa kondisi komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, gagal jantung,
obstruksi saluran kemih, dan lain sebagainya (KDOQI, 2002). Penyakit yang
lebih dari satu pasti akan mengarah pada penggunaan beberapa obat yang
sering disebut dengan polifarmasi (Nobili et al., 2011). Polifarmasi tersebut
dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya drug related problems (DRPs)
(Viktil et al., 2006).
Mengingat akan hal itu, penulis membuat makalah mengenai 3 kasus
tersebut dengan judul “Asuhan keperawatan pada pasien dewasa dengan kasus
gangguan sistem perkemihan”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi fisiologi sistem perkemihan?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal
kronik (GGK)?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat
hiperplasia (BPH)?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan infeksi saluran
perkemihan (ISK)?
5. Bagaimana contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal
kronik?
6. Bagaimana contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien benigna prostat
hiperplasia?
C. TUJUAN
1. Menjelaskan anatomi fisiologi sistem perkemihan.
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik
(GGK).
3. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat
hiperplasia (BPH).
4. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan infeksi saluran
perkemihan (ISK).
5. Menjelaskan contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal
kronik.
6. Menjelaskan contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien benigna prostat
hiperplasia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
a. Ginjal (Renal)
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum
pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3.
Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari
ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.
Fungsi ginjal :
1) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau
racun,
2) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan,
3) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh,
dan
4) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum,
kreatinin dan amoniak.
Fascia Renalis terdiri dari :
1) Fascia (fascia renalis),
2) Jaringan lemak peri renal, dan
3) kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat
dengan erat pada permukaan luar ginjal
Struktur Ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat
gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih
terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang
terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis
renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal.
Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing
akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit
fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal.
Nefron terdiri dari : Glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus
distal dan tubulus urinarius.
4. Mikturisi
Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan
urin. Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu :
a. Kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya
meningkat melampaui nilai ambang batas (hal ini terjadi bila telah
tertimbun 170-230 ml urin), keadaan ini akan mencetuskan tahap kedua.
b. Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan
mengosongkan kandung kemih.
Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang belakang)
Sebagian besar pengosongan di luar kendali tetapi pengontrolan dapat di
pelajari “latih”. Sistem saraf simpatis : impuls menghambat Vesika Urinaria
dan gerak spinchter interna, sehingga otot detrusor relax dan spinchter
interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis: impuls menyebabkan otot
detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi mikturisi
(normal: tidak nyeri).
Ciri-ciri urin normal :
a. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan
jumlah cairan yang masuk.
b. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.
c. Baunya tajam.
d. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
3. Etiologi
National Kidney Foundation (2013) menyatakan, terdapat dua
penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik yaitu diabetes mellitus dan
hipertensi. Kondisi lain yang dapat mempengaruhi terjadinya gagal ginjal
adalah :
a. Glomerulonefritis, sekelompok penyakit yang menyebabkan peradangan
dan kerusakan pada unit penyaringan ginjal.
b. Penyakit keturunan (herediter) , seperti penyakit ginjal polikistik, yang
menyebabkan kista besar terbentuk dalam ginjal dan merusak jaringan
disekitarnya. Malformasi yang terjadi pada bayi berkembang didalam
Rahim ibunya. Misalnya, penyempitan dapat terjadi yang mencegah
aliran normal urine dan menyebabkan urine mengalir kembali ke ginjal.
Hal ini menyebabkan infeksi dan dapat merusak ginjal.
c. Lupus dan penyakit lainnya yang mempengaruhi sistem kekebalan
tubuh.
d. Obstruksi yang disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor, atau
kelenjar prostat membesar pada laki-laki.
e. Infeksi saluran kencing berulang.
Faktor risiko gagal ginjal kronik (National Kidney Foundation 2013)
yaitu pada penderita diabetes atau hipertensi, riwayat penyakit ginjal dalam
keluarga, dan berumur > 50 tahun. Penyebab potensial penyakit gagal ginjal
kronik (Murphree, sarah & Thelen, 2010) adalah: diabetes mellitus,
hipertensi, obat-obatan yang bersifat nefrotoksik, Systemic lupus
erythematous (SLE), nefropati HIV, congestive heart failure (CHF),
sindrom genetic, sindrom hepatorenal, nefrolitiasis, Benign Prostastic
Hypertrophy (BPH), dan glomerulonephritis.
4. Manifestasi Klinik
Pasien akan menunjukkan beberapa tanda dan gejala, keparahan
kondisi bergantung kepada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari, dan usia pasien (Baughman, DC, Hackley, JC, 2000) :
a. Manifestasi Kardiovaskuler: hipertensi, gagal ginjal kongesif, edema
pulmonal, perikarditis.
b. Gejala- gejala dermatologis: xerosis, gatal-gatal hebat (pruritus):
serangan uremik tidak umum karena pengobatan dini dan agresif.
c. Gejala-gejala gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, cegukan,
penurunan saliva dan haus.
d. Gejala-gejala neuromuskular: perubahan tingkat kesadaran, kacau
mental, tidak dapat berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
e. Perubahan hematologis: kecenderungan perdarahan.
f. Keletihan, letargik, sakit kepala, kelemahan umum,
g. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakter pernapasan
menjadi kusmaul, dan terjadi koma.
5. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari,
namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini
menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi,
terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor.
Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga
pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron
progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi
(Suwitra, 2009).
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup
semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM (Wilson, 2005). Mekanisme
peningkatan GFR yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar,
tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like
Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi
mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis
(Hendromartono, 2009).
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditnadai dengan fibrosis
dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran
dari keadaan ini adalah ginjal (Wilson, 2005). Ketika terjadi tekanan darah
tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh darah akan melebar. Namun di
sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah
dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan
air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam
tubuh kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih
meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya
(National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014).
6. WOC
7. Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada penyakit gagal ginjal kronik
menurut Alam & Hadibroto (2008) antara lain :
a. Anemia
Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi
gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas
mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang
dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan
tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi.
Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi,
cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki
dan tangan.
b. Osteodistrofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan
metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah tinggi,
akan terjadi pengendapan garam dan kalsium fosfat di berbagai jaringan
lunak (klasifikasi metastatic) berupa nyeri persendian (artritis), batu
ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah,
gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.
c. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang
memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan
memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada
penderita PGK dimulai dari anemia yang mengakibatkan jantung harus
bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left
ventricular hypertrophy/LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan
melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya
(sindrom kardiorenal).
d. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan
ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan
pasangannya. Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang
memproduksi hormon testosteron untuk merangsang hasrat seksual
(libido), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita
perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Penyebab utama
gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai
darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan
ginjal.
8. Penatalaksanaan
Menurut Renal Resource Centre (2010), terdapat tiga pilihan pengobatan
bagi penderita gagal ginjal, yaitu:
a. Dialisis (hemodialysis atau peritoneal dialysis)
Dialisis menghilangkan produk-produk limbah dan kelebihan cairan dari
darah menggunakan membran semipermeabel. Ini adalah pengobatan
kronis dan tidak menyembuhkan gagal ginjal. Ada dua bentuk dialisis:
hemodialisis dan peritoneal dialisis
1) Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Akses pengobatan sirkulasi melalui dua jarum. Darah mengalir
berkali-kali melalui ginjal buatan. Ini terdiri dari ribuan serat
berongga, terbuat dari membran semi-permeabel. Pengobatan
biasanya dilakukan selama empat sampai enam jam setidaknya tiga
kali per minggu. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah setelah
pelatihan khusus dari durasi setidaknya enam sampai delapan minggu.
2) Peritoneal dialysis
Perawatan ini dilakukan dengan menjalankan cairan melalui tabung
ke dalam dan kemudian keluar dari rongga perut. Selaput rongga perut
(peritoneum) bertindak sebagai membran semi-permeabel untuk
memisahkan cairan yang mengalir dari dari rongga perut. Kotoran
keluar melalui membran dan masuk ke cairan, yang kemudian
dikeringkan setelah sekitar enam jam "waktu tinggal". dengan
peritoneal dialisis, tidak perlu menggunakan jarum untuk mengakses
aliran darah, hal ini dilakukan setiap hari di rumah dan merupakan
pengobatan kronis. dan tidak menyembuhkan gagal ginjal. Hal ini
dapat dilakukan pada siang hari sebagai ambulatory peritoneal
dialysis (CAPD) atau pada malam hari sebagai dialisis peritoneal
otomatis (APD). Pelatihan dialisis peritoneal membutuhkan waktu
satu sampai dua minggu.
b. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal adalah proses dimana ginjal dipindahkan dari donor
hidup ataupun yang sudah meninggal, dan ditransplantasikan ke
penerima yang cocok. Transplantasi kadang-kadang dapat terjadi
sebelum dialysis dimulai (pre emptive) jika donor hidup tersedia.
c. Perawatan konservatif
Perawatan konservatif disebut sebagai manajemen medis atau perawatan
penyakit ginjal stadium akhir. Ini memungkinkan penyakit berjalan
secara alami dan berfokus pada mengobati gejala. Perawatan dialisis
tidak digunakan. Pengobatan bergantung pada manajemen obat dan diit.
seperti dialisis dan transplantasi, tim kesehatan juga akan mengngatasi
masalah psikologis, emosional dan sosial yang berhubungan dengan
penyakit ginjal. Perawatan konservatif bertujuan untuk menjaga fungsi
ginjal selama mungkin tapi tidak dapat menghentikan penurunan fungsi
ginjal. Ini tidak menggantikan fungsi ginjal.
9. Pemeriksaan Penunjang
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak
langsung. Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan
atau pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi :
a. Ultrasonografi
b. Computed Tomography (CT)
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
d. Isotope Scanning
Histopatologi biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit
glomerular yang mendasari (Scottish Intercollegiate Guidelines Network,
2008).
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari
urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan
kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya
hematuria atau proteinuria (Scottish Intercollegiate Guidelines Network,
2008). Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan
mempergunakan rumus Cockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Penggunaan
rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Willems et al., 2013).
Pengukuran GFR dapat juga dilakukan dengan menggunakan rumus
lain, salah satunya adalah CKD-EPI creatinine equation (National Kidney
Foundation, 2015).
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin
C. Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang
disintesis oleh semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh
manusia. Kadarnya dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga
Cystatin C merupakan penanda endogen yang ideal (Yaswir & Maiyesi,
2012).
6) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges
(2000) :
a) Urine
• Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau
urine tidak ada (anuria).
• Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
• Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat)
• Klirens kreatinin, mungkin menurun
• Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsobsi natrium.
• Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus.
b) Darah
• Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb
biasanya kurang dari 7-8 gr
• Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti
azotemia.
• GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk
mengeksresi hydrogen dan ammonia atau hasil akhir
katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
• Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan)
• Magnesium fosfat meningkat
• Kalsium menurun
• Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena kurang asam
amino esensial.
• Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering
sama dengan urin.
7) Pemeriksaan radiologi
a) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan
bladder/KUB): menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung
kemih, dan adanya obstruksi (batu).
b) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa
c) Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluks kedalam ureter dan retensi.
d) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa, kista, obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.
3. Etiologi
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya BPH (Muttaqin dan Sari,
2014), yaitu:
a. Dihydrostestosteron adalah pembesaran pada epitel dan stroma kelenjar
prostat yang disebabkan peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
andorogen.
b. Adanya ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
dimana terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosteron sehingga
mengakibatkan pembesaran pada prostat.
c. Interaksi antara stroma dan epitel. Peningkatan epidermal growth faktor
atau fibroblast growth faktor dan penurunan transforming factor beta
menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
d. Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori sel stem, meningkatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga menyebabkan
proliferasi sel sel prostat (Purnomo, 2008).
4. Manifestasi Klinik
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda
dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah,
gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
1) Gejala obstruksi meliputi: Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi).
2) Gejala iritasi meliputi: Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan
tanda infeksi atau urosepsis.
c. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada
saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun
gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan
prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan
gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang
besar.
5. Patofisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia seiring dengan
pertambahan usia, pada proses penuaan menimbulkan perubahan
keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen keadaan ini dapat
menyebabkan pembesaran prostat, jika terjadi pembesaran prostat maka
dapat meluas ke kandung kemih, sehingga akan mempersempit saluran
uretra prostatica dan akhirnya akan menyumbat aliran urine.
Penyempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan tekanan pada
intravesikal. Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan otot
detrusor dan kandung kemih akan bekerja lebih kuat saat memompa urine,
penegangan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan perubahan
anatomi dari buli buli berupa: pembesaran pada otot detrusor, trabekulasi
terbentuknya selula, sekula, dan diventrivel kandung kemih.
Tekanan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan aliran balik
urine ke ureter dan bila terjadi terus menerus mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, dan kemunduran fungsi ginjal (Muttaqin dan Sari, 2014).
Salah satu upaya pengobatan pada penderita benigna prostat hiperplasi
adalah pembedahan terbuka merupakan tindakan pembedahan pada perut
bagian bawah, kelenjar prostat dibuka dan mengangkat kelenjar prostat
yang mengalami pembesaran, untuk mencegah pembentukan pembekuan
darah dialirkan cairan via selang melalui kandung kemih, selang biasanya
dibiarkan dalam kandung kemih sekitar 5 hari setelah operasi dan kemudian
dikeluarkan jika tidak ada pendarahan (Iskandar, 2009).
6. W0C
Hormon Estrogen dan Faktor Usia Sel prostat umur panjang Polikerasi abnormal sel strem
Progesteron tidak seimbang
Produksi stroma dan
Sel troma pertumbuhan berpacu Sel yang mati kurang epitel berlebih
Prostat membesar
(BPH)
Tempat masuknya
Gate kontrol terbuka mikroorganisme
Hidronefritis
8. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis
dilakukan pada semua penderita. Hal yang dinilai pada colok dubur
adalah ukuran dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya
prostat teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada
perabaan, waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan
evaluasi yang lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific
Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound serta biopsy (Cooperberg dkk,
2013).
Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai dasar dan kriteria
untuk diagnosa BPH. Menurut Terris (2002), pengukuran volume prostat
sangat berguna untuk rencana terapi pada pasien BPH (Terris dkk,2002).
Roehrborn (2002) menyatakan bahwa perkiraan volume prostat
menggunakan colok dubur adalah tidak akurat, sedangkan MRI dan CT
dapat lebih tepat untuk mengukur volume prostat tetapi sayangnya
pemeriksaan ini sangat mahal (Roehrborn dkk, 2002). Digital rectal
examination (DRE) atau colok dubur secara rutin digunakan untuk
mengukur volume prostat, tetapi hasilnya underestimat dibandingkan
dengan transrectal ultrasound (TRUS).
b. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan
hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal.
Insufisiensi renal didapatkan dari 10% penderita dengan prostatism dan
dibutuhkan pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi renal memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
komplikasi pasca operasi. Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan
pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi (Cooperberg dkk,
2013).
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang
tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada
jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum.
Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada
prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak
memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi
penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya
BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013).
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk.,
2013). Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif
dengan nilai PSA (Gui-zhong dkk, 2011). Kultur urin dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya infeksi saluran kemih. Dalam keadaan normal,
urin bersifat steril.
Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan
apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi
misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal.
Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi digunakan
untuk terapi invasif. Pemeriksaan tambahan berupa cystometrogram dan
profil urodinamik dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki
kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post miksi
merupakan pemeriksaan tambahan (Cooperberg dkk, 2013).
9. Penatalaksanaan
a. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang
ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan
minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk
menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat
dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih
(jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien
dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium,
sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011)
dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin :
1) Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat
diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau
ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
2) Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran
urin.
b. Terapi medikamentosa
Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH (Baradero dkk,
2007) adalah :
1) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
2) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
3) Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya:
1) Penghambat adrenergenik alfa
2) Penghambat enzim 5 alfa reduktase
3) Fitofarmaka.
c. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio
urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran
kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk
tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi :
1) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka
yang biasa digunakan adalah :
a) Prostatektomi suprapubik : salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen.
b) Prostatektomi perineal : suatu tindakan dengan mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
c) Prostatektomi retropubik : tindakan lain yang dapat dilakukan,
dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat,
yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih.
2) Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transuretral
dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya :
a) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar
prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah.
b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan
apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic.
c) Terapi invasive minimal
Terapi invasive minimal dilakukan pada pasien dengan risiko
tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal
diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT),
Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle
Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent
uretra atau prostatcatt (Purnomo, 2011).
NIC :
• Kaji skala nyeri
• Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
• Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji
pengalaman nyeri
• Ciptakan lingkunganm yang nyaman (suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan)
• Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (Managemen
Nyeri)
• Kolaborasikan pemberian analgetik (Anti nyeri)
b) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
NOC :
• Immune Status
• Knowledge : Infection control
• Risk control
Kriteria hasil :
• Pasien bebas dari tanda-tanda infeksi
• Mampu mencegah timbulnya infeksi
• Jumlah leukosit dalam jumlah normal
• Menunjukan perilaku hidup sehat
NIC :
• Monitor kerentanan terhadap infeksi
• Batasi pengunjung
• Pertahankan teknik asepsis
• Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah
• Berikan perawatan luka
• Motivasi untuk istirahat
• Motivasi masukan nutrisi yang cukup
• Ajarkan cuci tangan
• Jika terlihat tanda-tanda infeksi colaborasikan dengan dokter
c) Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d
kurangnya paparan informasi.
NOC :
• Mampu menggambarkan diit yang dianjurkan
• Mengetahui makanan-makanan yang boleh dikonsumsi
• Mengetahui tujuan dari diit yang dianjurkan
• Mampu memilih makanan-makanan yang dianjurkan dalam diit
NIC :
• Kaji pengetahuan tentang diit yang dianjurkan
• Berikan penyuluhan diit pada pasien post operasi
d) Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca
operasi
NOC :
• Self Care Status
• Self Care: Dressing
• Activity Tolerance
• Fatigue level
• Mobility : physiocal impaired
• Ambulation
• Activity Intolerance
Kriteria hasil :
• Mampu melakukan ADLs yang paling mendasar dari aktivitas
perawatan diri
• Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
• Menyatakan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
NIC :
• Monitor vital sign
• Ajarkan ambulasi
• Ajarkan ROM
• Ajarkan senam kegel
• Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri
• Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu kebutuhan
ADLs
• Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan
jika diperlukan
c. Implementasi keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi,
penguasaan ketrampilan interpersonal, intelektual dan tehnikal.
d. Evaluasi keperawatan
Evaluasi didasarkan pada rencana yang telah di laksanakan dalam
upaya memodifikasi tindakan selanjutnya, berdasrkan tujuan umum dan
tujuan khusus.
Evaluasi merupakan kegiatan yang membendingkan antara hasil
implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhasil
sebahagian, perlu disusun rencana keparawatan yang baru.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional
dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang
dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi
keparawatan. O adalah keadaan objektif yang dapat didefinisikan oleh
perawat menggunakan pengamatan atau pengamatan yang objektif
setelah implementasi keperawatan. A merupakan analisis perawat
setelah mengetahui respon subjektif dan objekstif keluarga yang
dibandingkan dengan criteria dan standar yang telah ditentukan mengacu
pada pada tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah
perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
2. Klasifikasi
Infeksi saluran kemih terdiri atas dua, yaitu ISK bagian atas dan ISK
bagian bawah.
a. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah pada perempuan dapat berupa
sistitis dan Sindrom Uretra Akut (SUA). Sistitis adalah presentasi klinis
infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna. Sindrom uretra
akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme
(steril), sering dinamakan sistitis abakterialis. Sedangkan ISK bawah
pada lakilaki dapat berupa sistitis, prostatitis, epididimitis, dan uretritis.
b. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Atas meliputi Pielonefritis Akut dan
Pielonefritis Kronis. Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim
ginjal yang disebabkan infeksi bakteri. Pielonefritis kronis mungkin
akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa
kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau
tanpa bakteriuria kronis sering diikuti pembentukkan jaringan ikat
parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronis yang spesifik.
ISK diklasifikasikan menjadi dua macam (Purnomo, 2012) :
a. Infeksi saluran kemih non komplikata adalah ISK yang terjadi pada
orang dewasa, termasuk episode sporadik, episode sporadik yang didapat
dari komunitas, dalam hal ini sistitis akut dan pielonefritis akut pada
individu yang sehat. Fakor risiko yang mendasari ISK jenis ini adalah
faktor risiko yang tidak diketahui, infeksi berulang dan faktor risiko
diluar traktus urogenitalis. ISK ini banyak diderita oleh wanita tanpa
adanya kelainan struktural dan fungsional di dalam saluran kemih,
maupun penyakit ginjal atau faktor lain yang dapat memperberat
penyakit. Pada pria ISK non komplikata hanya terdapat pada sedikit
kasus.
b. Infeksi saluran kemih komplikata adalah sebuah infeksi yang
diasosiasikan dengan suatu kondisi, misalnya abnormalitas struktural
atau fungsional saluran genitourinari atau adanya penyakit dasar yang
mengganggu dengan mekanisme pertahanan diri individu, yang
meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi atau kegagalan terapi.
3. Etiologi
Mikroorganisme yang sering menyebabkan ISK antara lain Escherichia
coli (merupakan mikroorganisme yang paling sering diisolasi dari pasien
dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik), Proteus sp, Klebsiella sp,
Enterobacter sp, Citrobacter sp. Infeksi yang disebabkan Pseudomonas sp
dan mikroorganisme lainnya seperti Staphylococcus jarang dijumpai
kecuali pasca kateterisasi. Mikroorganisme lain yang kadang-kadang
dijumpai sebagai penyebab ISK adalah Chlamydia dan Mycoplasma.
4. Faktor Risiko
Faktor – faktor yang mempengaruhi infeksi saluran kemih (Kasper,
2005):
a. Jenis kelamin dan aktivitas seksual
Secara anatomi, uretra perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm
dan terletak di dekat anus. Hal ini menjadikannya lebih rentan untuk
terkena kolonisasi bakteri basil gram negatif. Karenanya, perempuan
lebih rentan terkena ISK. Berbeda dengan laki-laki yang struktur
uretranya lebih panjang dan memiliki kelenjar prostat yang sekretnya
mampu melawan bakteri, ISK pun lebih jarang ditemukan. Pada wanita
yang aktif seksual, risiko infeksi juga meningkat. Ketika terjadi koitus,
sejumlah besar bakteri dapat terdorong masuk ke vesika urinaria dan
berhubungan dengan onset sistitis. Semakin tinggi frekuensi
berhubungan, makin tinggi risiko sistitis. Oleh karena itu, dikenal istilah
honeymoon cystitis (Sobel, 2005).
Penggunaan spermisida atau kontrasepsi lain seperti diafragma dan
kondom yang diberi spermisida juga dapat meningkatkan risiko infeksi
saluran kemih karena mengganggu keberadaan flora normal introital dan
berhubungan dengan peningkatan kolonisasi E.coli di vagina. Pada
lakilaki, faktor predisposisi bakteriuria adalah obstruksi uretra akibat
hipertrofi prostat. Hal ini menyebabkan terganggunya pengosongan
vesika urinaria yang berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi.
Selain itu, laki-laki yang memiliki riwayat seks anal berisiko lebih tinggi
untuk terkena sistitis, karena sama dengan pada wanita saat melakukan
koitus atau hubungan seksual dapat terjadi introduksi bakteri-bakteri atau
agen infeksi ke dalam vesika urinaria. Tidak dilakukannya sirkumsisi
juga menjadi salah satu faktor risiko infeksi saluran kemih pada laki-laki.
b. Usia
Prevalensi ISK meningkat secara signifikan pada manula.
Bakteriuria meningkat dari 5-10% pada usia 70 tahun menjadi 20% pada
usia 80 tahun. Pada usia tua, seseorang akam mengalami penurunan
sistem imun, hal ini akan memudahkan timbulnya ISK. Wanita yang
telah menopause akan mengalami perubahan lapisan vagina dan
penurunan estrogen, hal ini akan mempermudah timbulnya ISK.
c. Obstruksi
Penyebab obstruksi dapat beraneka ragam diantaranya yaitu tumor,
striktur, batu, dan hipertrofi prostat. Hambatan pada aliran urin dapat
menyebabkan hidronefrosis, pengosongan vesika urinaria yang tidak
sempurna, sehingga meningkatkan risiko ISK.
d. Disfungsi neurogenik vesika urinaria
Gangguan pada inervasi vesika urinaria dapat berhubungan dengan
infeksi saluran kemih. Infeksi dapat diawali akibat penggunaan kateter
atau keberadaan urin di dalam vesika urinaria yang terlalu lama.
e. Vesicoureteral reflux
Refluks urin dari vesika urinaria menuju ureter hingga pelvis renalis
terjadi saat terdapat peningkatan tekanan di dalam vesika urinaria.
Tekanan yang seharusnya menutup akses vesika dan ureter justru
menyebabkan naiknya urin. Adanya hubungan vesika urinaria dan ginjal
melalui cairan ini meningkatkan risiko terjadinya ISK.
f. Faktor virulensi bakteri
Faktor virulensi bakteri mempengaruhi kemungkinan strain tertentu,
begitu dimasukkan ke dalam kandung kemih, akan menyebabkan infeksi
traktus urinarius. Hampir semua strain E.coli yang menyebabkan
pielonefritis pada pasien dengan traktus urinarius normal secara
anatomik mempunyai pilus tertentu yang memperantarai perlekatan pada
bagian digaktosida dan glikosfingolipid yang adadi uroepitel. Strain yang
menimbulkan pielonefritis juga biasanya merupakan penghasil
hemolisin, mempunyai aerobaktin dan resisten terhadap kerja
bakterisidal dari serum manusia.
g. Faktor genetik
Faktor genetik turut berperan dalam risiko terkena ISK. Jumlah dan
tipe reseptor pada sel uroepitel tempat menempelnya bakteri ditentukan
secara genetik.
5. Manifestasi Klinik
a. ISK Non Komplikata
1) Sistitis Nonkomplikata
Sistitis adalah infeksi kandung kemih dengan sindroma klinis yang
terdiri dari disuria, frekuensi, urgensi dan kadang adanya nyeri pada
suprapubik.
Tanda dan gejala : Gejala iritatif berupa disuria, frekuensi, urgensi,
berkemih dengan jumlah urin yang sedikit, dan kadang disertai nyeri
supra pubis. Sistitis ditandai dengan adanya leukosituria, bakteriuria,
nitrit, atau leukosit esterase positif pada urinalisis. Bila dilakukan
pemeriksaan kultur urin positif.
2) Pielonefritis Nonkomplikata
Pielonefritis akut adalah infeksi akut pada parenkim dan pelvis ginjal
dengan sindroma klinis berupa demam, menggigil dan nyeri pinggang
yang berhubungan dengan bakteriuria.
Tanda dan gejala: Pielonefritis akut ditandai oleh menggigil, demam
(>38oC), nyeri pada daerah pinggang yang diikuti dengan bakteriuria
dan piuria yang merupakan kombinasi dari infeksi bakteri akut pada
ginjal.
b. ISK Komplikata
Suatu ISK komplikata diikuti dengan gejala klinis seperti dysuria,
urgensi, frekuensi, nyeri kolik, nyeri sudut kostoverteba, nyeri
suprapubik dan demam. Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS)
dapat disebabkan oleh ISK tapi juga oleh gangguan urologi lainnya,
seperti misalnya benign prostatic hyperplasia (BPH) atau transurethral
resection of the prostate (TURP). Kondisi medis seperti diabetes mellitus
(10%) dan gagal ginjal seringkali ditemukan dalam sebuah ISK
komplikata.
6. Patofisiologi
Pada individu normal, biasanya urin laki-laki maupun perempuan selalu
steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kemihnya. Utero distal
merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious
gram-positive dan gram negative. Hampir semua ISK disebabkan invasi
mikroorganisme ascending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada
beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal.
Proses ini, dipermudah refluks vesikoureter (Sudoyo, 2009).
Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di
klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriema. Ginjal diduga merupakan
lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat
Staphylococcus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis
(Staphylococcus aureus) dikenal Nephritis Lohein. Beberapa penelitian
melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen
(Sukandar, 2006).
7. WOC
Pertumbuhan bakteri ↑
Penimbunan cairan
bertekanan dalam pelvis &
Gangguan Fungsi
Ginjal
Inflamasi Hospitalisasi Obstruksi aliran urine
pada uretra
Secara Hematogen menyebar
keseluruh saluran TU
Perubahan Pola
Nyeri Kurang Eliminasi Urine
Pengetahuan
Akut
8. Penatalaksanaan
Beberapa penatalaksanaan mengenai infeksi saluran kemih (ISK)
(Ikatan Dokter Indonesia, 2011) :
a. Medikamentosa
Penyebab tersering ISK adalah Eschericia colli. Sebelum ada hasil
biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empiric selama
7-10 hari untuk indikasi infeksi akut.
b. Bedah
Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan.
c. Suportif
Selain pemberian antibiotik, penderita ISK mendapat asupan cairan yang
cukup, perawatan hygiene daerah perineum dan periuretra, serta
pencegahan konstipasi.
d. Pemantauan terapi
Pengobatan fase akut dimulai, gejala ISK umumnya menghilang,
diperkirakan untuk mengganti antibiotik yang lain. Pemeriksaan kultur
dan uji resistensi urin ulang dilakukan 3 hari setelah pengobatan fase akut
dihentikan, dan bila memungkinkan setelah 1 bulan dan setiap 3 bulan.
Jika ada ISK berikan antibiotic sesuai hasil uji kepekaan.
e. Pendidikan kesehatan
Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan perineum setelah defekasi
dan berkemih.
9. Pemeriksaan Penunjang
Jenis-jenis pemeriksaan diagnostik pada infeksi saluran kemih (Wong,
2008) :
a. Biopsi ginjal
Pengambilan jaringan ginjal dengan teknik terbuka atau perkutan untuk
pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskop cahaya,
elektron, atau immunofluresen
b. Pemeriksaan USG ginjal atau kandung kemih
Transmisi gelombang ultrasonic melalui parenkim ginjal, di sepanjang
saluran ureter dan di daerah kandung kemih.
c. Computed tomography (CT)
Pemeriksaan dengan sinar-X pancaran sempit dan analisis computer akan
menghasilkan rekontruksi area yang tepat.
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk menentukan dua parameter
penting ISK yaitu leukosit dan bakteri. Pemeriksaan rutin lainnya seperti
deskripsi warna, berat jenis dan pH, konsentrasi glukosa, protein, keton,
darah dan bilirubin tetap dilakukan.
e. Pemeriksaan dipstik
Pemeriksaan dengan dipstik merupakan salah satu alternatif pemeriksaan
leukosit dan bakteri di urin dengan cepat. Untuk mengetahui leukosituri,
dipstik akan bereaksi dengan leucocyte esterase (suatu enzim yang
terdapat dalam granul primer netrofil). Sedangkan untuk mengetahui
bakteri, dipstik akan bereaksi dengan nitrit (yang merupakan hasil
perubahan nitrat oleh enzym nitrate reductase pada bakteri). Penentuan
nitrit sering memberikan hasilegatif palsu karena tidak semua bakteri
patogen memiliki kemampuan mengubah nitrat atau kadar nitrat dalam
urin menurun akibat obat diuretik. Kedua pemeriksaan ini memiliki
angka sensitivitas 60-80% dan spesifisitas 70 – 98 %. Sedangkan nilai
positive predictive value kurang dari 80 % dan negative predictive value
mencapai 95%. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik urin dan kultur urin.
Pemeriksaan dipstik digunakan pada kasus skrining follow up. Apabila
kedua hasil menunjukkan hasil negatif, maka urin tidak perlu dilakukan
kultur.
f. Pemeriksaan mikroskopik urin
Meski konsep ini memperkenalkan mikrobiologi kuantitatif ke dalam
diagnosa penyakit infeksi masih cukup penting, baru-baru ini tampak
jelas bahwa tidak ada hitungan bakteri yang pasti dalam mengindikasikan
adanya bakteriuria yang bisa diterapkan pada semua jenis ISK dan dalam
semua situasi. Berikut interpretasi urin yang secara klinis termasuk
relevan :
1) ≥103 cfu/mL uropatogen dalam sebuah urin sampel tengahdalam
acute unkomplikata cystitis pada wanita
2) ≥104 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU dalam acute
unkomplikata pyelonephritis pada wanita
3) ≥105 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU pada wanita, atau ≥104
cfu/mL uropatogen dalam sebuah MSU pada pria, atau pada straight
catheter urine pada wanita, dalam sebuah komplikata ISK.
4) spesimen pungsi aspirasi suprapubic, hitungan bakteri berapapun
dikatakan bermakna. Bakteriuria asimptomatik didiagnosis jika dua
kultur dari strain bakteri yang sama, diambil dalam rentang waktu ≥
24 jam, menunjukkan bakteriuria ≥105 cfu/mL uropatogen.
10. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan yaitu : gagal ginjal akut, urosepsis, nekrosis
papila ginjal, terbentuknya batu saluran kemih, supurasi atau pembentukan
abses, dan granuloma (Purnomo, 2011).
11. Pencegahan
Sebagian kuman yang berbahaya hanya dapat hidup dalam tubuh
manusia. Untuk melangsungkan kehidupannya, kuman tersebut harus
pindah dari orang yang telah terkena infeksi kepada orang sehat yang belum
kebal terhadap kuman tersebut. Kuman mempunyai banyak cara atau jalan
agar dapat keluar dari orang yang terkena infeksi untuk pindah dan masuk
ke dalam seseorang yang sehat. Kalau kita dapat memotong atau
membendung jalan ini, kita dapat mencegah penyakit menular. Kadang kita
dapat mencegah kuman itu masuk maupun keluar tubuh kita. Kadang kita
dapat pula mencegah kuman tersebut pindah ke orang lain (Irianto &
Waluyo, 2004).
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum,
yaitu pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi
promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua
(secondary prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang
tepat, dan pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi. Ketiga tingkatan
pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga dalam
pelaksanaannya sering dijumpai keadaan tumpang tindih (Noor, 2006).
Beberapa pencegahan infeksi saluran kemih dan mencegah terulang
kembali, yaitu :
a. Jangan menunda buang air kecil, sebab menahan buang air kecil
merupakan sebab terbesar dari infeksi saluran kemih.
b. Perhatikan kebersihan secara baik, misalnya setiap buang air kecil
bersihkanlah dari depan ke belakang. Hal ini akan mengurangi
kemungkinan bakteri masuk ke saluran urin dari rektum.
c. Ganti selalu pakaian dalam setiap hari, karena bila tidak diganti bakteri
akan berkembang biak secara cepat dalam pakaian dalam.
d. Pakailah bahan katun sebagai bahan pakaian dalam, bahan katun dapat
memperlancar sirkulasi udara.
e. Hindari memakai celana ketat yang dapat mengurangi ventilasi udara,
dan dapat mendorong perkembangbiakan bakteri.
f. Minum air yang banyak.
g. Gunakan air yang mengalir untuk membersihkan diri selesai berkemih.
h. Buang air kecil sesudah berhubungan, hal ini membantu menghindari
saluran urin dari bakteri.
5555 5555
Saat ini pasien tidak mampu berjalan jauh karena merasa sesak. Nilai
Braden scale: 18 (risiko sedang), Tingkat kecemasan: 18 (ringan)
14) Interaksi sosial
Pasien memiliki seorang istri dan dua orang anak, kedua anak pasien
sudah menikah dan tinggal terpisah. Saat ini peran dalam keluarga
sebagai ayah, interaksi dengan keluarga baik. Namun selama dirawat
anak perempuannya belum menjenguk dikarenakan sedang hamil dan
akan melahirkan. Bicara jelas dan dapat dimengerti dengan yang
menerima informasi.
c) Hasil lab.
Jenis
Tanggal Nilai Satuan Nilai normal
Pemeriksaan
9/5/2017 ₋Hematologi
Hemoglobin 8,8 g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 28 % 33-45
Lekosit 5,8 Ribu/ul 5,0-10,0
Trombosit 306 Ribu/ul 150-440
Eritrosit 3,24 Juta/ul 3,80-2,0
₋Kimia klinik
SGOT 37 U/l 0-34
SGPT 1 U/l 0-40
9/5/2017 -Fungsi ginjal
Ureum darah 98 mg/dl 20-40
Kreatinin darah 5,6 mg/dl 0,6-1,5
₋Diabetes
Glukosa darah 77 mg/dl 70-140
sewaktu
Glukometer 89 mg/dl
-Analisa gas darah
pH 7,328 mmHg 7,370-7,440
PCO2 26,4 mmHg 35,0-45,0
PO2 128,9 mmol/l 83,0-108,0
HCO3 13,5 21,0-28,0
O2 Saturasi 98,4
BE -10,6
-Elektrolit darah
Natrium 144 mmol/l 135-147
Kalium 4,27 mmol/l 3,10-5,10
Klorida 106 mmol/l 95-108
Calcium ion 1,15 mmol/l 1,5
-Seroimunologi
HBsAg Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
12/5/2017 ₋Hematologi
Hemoglobin 9,0 g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 32 % 33-45
Lekosit 5,6 Ribu/ul 5,0-10,0
Trombosit 308 Ribu/ul 150-440
Eritrosit 3,63 Juta/ul 3,80-,20
-Diabetes
Glukosa puasa 53 mg/dl
HBAIC 5,8 %
13/5/2017 ₋Hematologi
Hemoglobin 10,3 g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 34 % 33-45
Lekosit 6,3 Ribu/ul 5,0-10,0
Trombosit 339 Ribu/ul 150-440
Eritrosit 3,83 Juta/ul 3,80-,20
₋Kimia klinik
Fungsi ginjal
Ureum darah 133 mg/dl 20-40
Kreatinin 7,4 mg/d 0,6-1,5
13/5/2017 -Elektrolit darah
Natrium 143 mmol/l 135-147
Kalium 5,00 mmol/l 3,10-5,10
Klorida 116 mmol/l 95-108
Calcium ion 1,12 mmol/l 1,5
₋Asam urat darah 10,9 mg/dl
₋Fosfor 4,70 mg/dl
₋Magnesium 2,40 mg/dl
19/5/2017 Albumin 2,80 g/dl 3,40-4,80
₋Kimia klinik
Fungsi hati
Protein urin 5,288 mg24/ < 150
kuantitatif jam
Fungsi ginjal
Kreatinin darah 6,4 mg/dl 0,6-1,5
12/5/2017 KGDH
Jam 11.00 (Wib) 89 mg/dl 70-140
Jam 16.00 114
4. Kerusakan integritas kulit b.d toksin Setelah dilakukan Pasien akan Mandiri :
uremik tindakan menunjukkan: 1. Inspeksi kulit terhadap perubahan
DS: Pasien mengatakan kulit terasa keperawatan 1.Mempertahan warna, turgor, vaskularisasi.
kencang selama 3 x 24 jam kan kulit utuh 2. Pantau masukan cairan dan hidrasi
DO: integritas kulit 2.Pasien/ kulit dan membran mukosa.
1. turgor kulit elastis, kelembaban membaik keluarga 3. Inspeksi area tergantung terhadap
kering dan pecah-pecah pada menunjukkan edema.
kedua kaki di bagian bawah. perilaku untuk 4. Berikan perawatan kulit, batasi
2. Terdapat edema pada ekstremitas mencegah penggunaan sabun, berikan salep,
atas kanan dan kiri, edema kerusakan/ krim atau minyak alami.
derajat 2. cedera kulit. 5. Pertahankan linen kering, bebas
3. Terdapat edema pada ekstremitas kerutan, selidiki keluhan gatal.
bawah kanan dan kiri, derajat 3. 6. Anjurkan menggunakan pakaian
4. Scrotum tampak edema dan katun longgar
mengkilap. Nilai Braden scale:
18 (risiko sedang).
5. Ketidakpatuhan terhadap rencana Setelah dilakukan Pasien akan Mandiri:
terapi b.d Regimen pengobatan tindakan menunjukkan: 1. Yakinkan persepsi/pemahaman
dialisis, penolakan dan kurang keperawatan 1.Pengetahuan pasien/orang terdekat terhadap
pengetahuan selama 2 x 24 jam akurat tentang situasi dan konsekuensi perilaku.
DS: Pasien mengatakan tidak mau kepatuhan penyakit dan 2. Tentukan sistem nilai
cuci darah, takut kondisinya meningkat pemahaman 3. Dengarkan dengan aktif pada
memburuk seperti pasien program keluhan/ pernyataan pasien.
sebelumnya terapi, 4. Identifikasi perilaku yang
DO: 2.Berpartisipasi mengindikasikan kegagalan untuk
1. Pasien didiagnosis GGK stage 5, dalam mengikuti program pengobatan
dan disarankan untuk menjalani membuat 5. Kaji tingkat ansietas, kemampuan
hemodialisa. tujuan dan kontrol perasaan tidak berdaya
2. Pasien tampak terlihat cemas rencana 6. Tentukan arti psikologis perilaku
(ringan) pengobatan, 7. Evaluasi sistem pendukung yang
3.Membuat digunakan oleh pasien
pilihan pada 8. Kaji perilaku pemberi perawatan
tingkat kesehatan pasien
kesiapan 9. Terima pilihan/ titik pandang pasien
berdasarkan 10. Buat sistem pengawasan diri:
informasi yang penimbangan BB dan pembatasan
akurat. cairan.
3. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
Hemostasis
Test Hasil Pemeriksaan Nilai normal
PT INR
PT 10,7 10-14 detik
INR 0,90
Control 11,7 10-13,8 detik
APTT
APRR os 35,1 29-40 detik
Control 34,2 28,9-38,3 detik
h) Laporan operasi
1) Pre operasi
• Pengkajian
Pasien dijadwalkan operasi pada tanggal 28 Mei 2013. Pada pukul
24.00 tanggal 27 Mei 2013 atau 8 jam sebelum operasi pasien
diminta untuk puasa. Pasien tidak diperbolehkan makan dan
minum sampai tindakan operasi selesai. Sehari sebelum operasi
atau tanggal 27 Mei 2013, pasien diberikan informasi terkait
tindakan operasi TURP yang akan dijalani. Pasien juga diajarkan
teknik nafas dalam untuk mengurangi ansietas. Pasien diantar ke
ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS) pada pukul 08.00 pagi pada
tanggal 28 Mei 2013. Sebelumnya pasien diberikan premedikasi
dan dilakukan pengecekan checklist pre op yang meliputi tidak
menggunakan gigi palsu, pewarna kuku, maupun perhiasan. Tn. D
diantar ke ruang IBS dengan menggunakan kursi roda.
Sesampainya di ruang IBS, Tn. D dibantu untuk berganti baju
pasien. pasien mengatakan sedikit cemas setelah diantar ke ruang
operasi. Tn. D diingatkan kembali cara melakukan nafas dalam
untuk mengurangi ansietas.
2) Intra operasi
• Pengkajian
Pasien dibawa ke ruang operasi pada pukul 09.15 WIB. Pasien
dipindahkan dari tempat tidur biasa ke tempat tidur operasi. Pasien
berada pada posisi litotomi dengan anestesi spinal. Medikasi yang
digunakan Bupivacain spinal 5% 12,5 gr dam fentanyl 25 mg.
Pasien lalu terpasang O2 liter/menit. Pemantauan TTV pukul
09.30, TD : 140/90 N: 80. Pukul 09.35 operasi TURP dimulai. Alat
sitoskopi dimasukkan dan dokter memantau besarnya ukuran
prostat melalui sebuah monitor. Setelah alat mencapai prostat,
secara perlahan-lahan jaringan prostat yang membesar mulai
dikikis. Jaringan yang telah dikikis di keluarkan dengan
menggunakan cairan irigasi dextrose 5%. TURP dilakukan
secara sistematis dan didapat jaringan prostat sebanyak 30
gr. Setelah jaringan prostat selesai di kikis, pasien lalu dipasang
kateter threeway dengan ukuran 24 fr. Traksi dilakukan dan
dipasang di bagian paha pasien. Irigasi langsung dilakukan dengan
menggunakan cairan NaCl 0,9%. Tanda-tanda vital post op 124/62,
N 60 kali per menit. Operasi selesai pada pukul 10.45. Setelah itu,
pasien dibawa ke ruang pemulihan dengan instruksi pemantauan
TTV post op dan irigasi non stop selama 24 jam.
3) Post Operasi
• Pengkajian
Pada pukul 10.45 WIB, pasien diantar ke Recovery Room (RR)
menggunakan tempat tidur. Kesadaran dalam kondisi CM,
orientasi pasien terhadap waktu, tempat, dan orang baik. Pasien
tidak mengeluh pusing, mual, dan nyeri pada area luka operasi.
TTV pada pukul 10.45 WIB diperoleh hasil TD124/62 mmHg, N
60, SPO2 100%. Pasien terpasang kateter threeway dengan cairan
irigasi Nacl 0,9% dengan tetesan lebih dari 30 tpm. Instruksi post
op diantaranya bedrest selama 24 jam, pantau cairan irigasi jangan
sampai habis, pantau tanda-tanda vital setiap 15 menit sekali pada
2 jam pertama pot operasi, anjurkan makan dan minum sedikit
demi sedikit, berikan kaltopren supp 3x1 jika terasa nyeri. Pada
pukul 11.00 pasien diantar ke ruang rawat anggrek tengah kanan.
Sesampainya di ruangan, pasien diberikan posisi semi fowler.
Mahasiswa menjelaskan terkait cairan irigasi yang harus diganti
dan jangan sampai terputus. Mahasiswa melakukan pemantauan
tanda- tanda vital setiap 15 menit pada 2 jam pertama post operasi.
Saat dilakukan monitoring irigasi, terlihat urine pasien berwarna
merah muda, tidak ada clot, dan lancar. Pasien mengatakan nyeri
pada luka post op. Pasien mengatakan sudah mulai makan dan
minum sedikit demi sedikit.
i) Daftar terapi medis
Jenis Obat Nama Obat Dosis Cara Kerja Obat
Pre Op
Injeksi Ceftizoxim 2 x 1gr Termasuk antibiotika
belaktam golongan
sefalosporin. Mekanisme
kerja dengan menghambat
sintesis dinding sel
mikroba. Indikasi untuk
menghilangkan bakteri
yang menyebabkan
berbagai penyakit pada
paru-paru, kulit, tulang,
sendi,
perut, darah, dan saluran
kencing
Post Op
Injeksi Ceftizoxim 2 x 1 gr Termasuk antibiotika
belaktam golongan
sefalosporin. Mekanisme
kerja dengan menghambat
sintesis dinding sel
mikroba. Indikasi untuk
menghilangkan bakteri
yang menyebabkan
berbagai penyakit pada
paru-paru, kulit, tulang,
sendi,
perut, darah, dan saluran
kencing
Injeksi Vit K 3x1 Meningkatkan biosintesis
beberapa faktor
pembekuan darah yang
berlangsung di hati.
Digunakan untuk
mencegah atau mengatasi
perdarahan akibat
defisiensi
vitamin K
Injeksi Vit C 1 x 400 Berfungsi sebagai
mg antioksidan dan
meningkatkan sistem imun
tubuh
Injeksi Transamin 3x1 Bekerja dengan
menghambat fibrinolisi.
Biasanya digunaka untuk
mengatasi perdarahan pada
kasus paru, THT, interna,
dan
bedah
Supositoria Kaltrofen 3x1 Memiliki efek analgesik
dan antipiretik. Bertindak
dengan cara menghambat
produksi
prostaglandin tubuh
Analisis Data
Pre Op
Masalah
Data Pengkajian
Keperawatan
Ds: Ansietas
- Pasien mengatakan khawatir dengan prosedur
operasi yang akan dilakukan
- Pasien mengatakan tidak mengetahui prosedur
yang akan dilakukan
Do:
- Pasien nampak tegang
- Pasien nampak nervous
Ds: Kurang
- Pasien mengatakan mendapatkan penjelasan pengetahuan
bahwa pasien akan menjalani operasi TURP
- Pasien tidak mengetahui prosedur operasi yang
akan dijalani
- Pasien mengatakan belum mendapatkan
penjelasan tentang anestesi yang akan digunakan
- Pasien mengatakan tidak mengetahui dampak yang
terjadi setelah operasi
Do:
- Melaporkan masalah yang dihadapi
- Pasien tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan
yang diajukan
Post Op
Masalah
Data Pengkajian
Keperawatan
Ds: Nyeri
- Pasien mengeluhkan nyeri saat berkemih
- Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang
terpasang kateter
- Pasien mengatakan skala nyeri yang dirasakannya
adalah 6 dari nilai maksimal 10
- Pasien mengatakan setelah minum obat, nyeri
sedikit berkurang namun tidak hilang
Do:
- Pasien terlihat mengernyitkan wajah
- Pasien nampak menarik nafas panjang beberapa kali
Faktor risiko Risiko
- Kurang pengetahuan perdarahan
- Prosedur pembedahan
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Dx. Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Rencana Tindakan
Ansietas Setelah - Pasien mengungkapkan 1. Diskusikan tentang 1. Dengan mengenal
dilakukan perasaan ansietas, penyebab perasaan pasien saat ansietasnya, pasien akan
asuhan ansietas, dan perilaku akibat sedang menghadapi lebih kooperatif terhadap
kekeperatan ansietas masalah atau tekanan. tindakan keperawatan.
selama 1 x 20 - Pasien mampu 2. Identifikasi situasi 2. Menyamakan persepsi
menit, mendemonstrasikan cara yang membuat pasien bahwa ansietas terjadi
Pasien akan mengatasi ansietas secara ansietas pada pasien
menunjukkan positif 3. Ajarkan pasien 3. Membantu mengurangi
cara koping - Tanda – tanda vital dalam teknik relaksasi ansietas
adaptif batas normal :
terhadap stres TD 100/70-120/90 mmHg
RR 18-20 x/mnt
Suhu 36-37 oC
Nadi 60-100 x/mnt
Kurang Setelah - Memahami tentang prosedur Mandiri Mandiri
pengetahuan b.d dilakukan operasi yang akan dijalani 1. Observasi tanda vital 1. Mengetahui
tidak familiar asuhan - Tanda – tanda vital dalam 2. Dorong pasien perkembangan lebih
dengan sumber keperawatan batas normal : menyatakan rasa takut lanjut terkait kondisi
informasi/ kurang selama 1x30 TD 100/70-120/90 mmHg persaan dan perhatian. pasien
informasi menit pasien RR 18-20 x/mnt 3. Kaji ulang proses 2. Membantu pasien
dapat Suhu 36-37 oC penyakit,pengalaman dalam menyelami
memahami Nadi 60-100 x/mnt pasien perasaan.
Ds: tentang proses
4. Jelaskan terkait prosedur 3. Memberikan dasar
- Pasien tidak penyakit dan
operasi yang akan dijalani pengetahuan dimana
mengetahui prognosisnya. pasien dapat membuat
prosedur pilihan informasi
operasi yang terapi.
akan dijalani 4. Meningkatkan
- Pasien pengetahuan pasien.
mengatakan
tidak
mengetahui
dampak yang
terjadi setelah
operasi
Do:
- Melaporkan
masalah yang
dihadapi.
- Pasien tidak
dapat
menjawab
beberapa
pertanyaan
yang diajukan
A. SIMPULAN
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh
tubuh.
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap-akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah)
(Suzanne & Brenda, 2002).
Cairan rumatan normal saline merupakan cairan yang paling tepat
digunakan utnuk irigasi bladder karena bersifat isotonik sehingga tidak mudah
diabsorbsi oleh area di sekitar prostat yang akan menyebabkan sindrom TUR.
Pemantauan ballance cairan dilakukan untuk mengetahui adanya sindrom
TURP yang disebabkan karena absorbsi cairan irigasi oleh area di sekitar
prostat. Pemantauan warna dan konsistensi urine dilakukan untuk mengetahui
adanya hematuria atau adanya urin dalam darah.
Konsumsi air putih disarankan mencapai tiga liter per hari untuk mencapai
urin output yang baik dan mengurangi risiko terjadinya hematuria. Kecepatan
tetesan dipertahankan 500ml/jam atau diatas 30 tpm untuk mencegah
penumpukan clot.
Infeksi saluran kemih atau ISK merupakan istilah umum yang
menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Ada tiga tingkatan
pencegahan penyakit secara umum, yaitu pencegahan tingkat pertama (primary
prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus,
pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosis dini
serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.
Ketiga tingkatan pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga dalam
pelaksanaannya sering dijumpai keadaan tumpang tindih (Noor, 2006).
B. SARAN
1. Bagi Pasien
Diharapkan pasien dapat menjalani perawatan dan pengobatan yang
berlangsung cukup lama agar pemulihan kesehatan dapat segera membaik.
2. Bagi Keluarga
Diharapkan adanya kerjasama dengan seluruh anggota keluarga
dalam memberikan perhatian kepada anggota keluarga yang sakit dan
sehat agar tidak merasa sendiri dan dapat meningkatkan derajat kesehatan.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Diharapkan agar tenaga kesehatan memberikan dukungan atau
informasi yang jelas mengenai penyakit yang diderita oleh pasien dan
memberikan pelayanan keperawatan yang terbaik.