Anda di halaman 1dari 128

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEWASA
DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN

Dosen Pembimbing :
Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes.

Disusun Oleh :
Kelompok V AJ 2 – B20 :
Sofiyanti Normalinda B. (131711123014)
Siska Nurul Fauziah (131711123020)
Novy Loudoe (131711123034)
Pahlevi Betsytifani (131711123051)
Hasanudin (131711123072)
Miftakhul Janah (131711123075)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien Dewasa
dengan Gangguan Sistem Perkemihan ” dengan tepat waktu.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes. selaku dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II
2. Teman-teman yang membantu penyelesaian makalah ini secara langsung
maupun tidak langsung
yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Baik
dalam penyajian materi, teknik penulisan, dan lain sebagainya. Kami sebagai
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini, serta kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Surabaya, 13 April 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 3
C. TUJUAN PENULISAN 3
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN 4
B. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) 11
C. KONSEP BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) 34
D. KONSEP INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) 58
BAB 3 : KASUS
A. ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN 78
GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUP FATMAWATI
B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN 98
BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH) DI RSUP
FATMAWATI
BAB 4 : SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN 123
B. SARAN 124
DAFTAR PUSTAKA iii
DAFTAR PUSTAKA

Alam, S., & Hadibroto, I. 2008. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Ilmiah,

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,
Kradjan, W.A., et al. 2013. Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics
The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Pennsylvania, United States of America.

Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi ketiga).
Jakarta: EGC.

Moeljono, F.L., Ramatillah D.L., Eff, A.R., 2014, Treatment of the Chronic Kidney
Disease (CKD) Patient in the PGI Hospital Cikini Jakarta, International
Journal of Pharmacy Teaching & Practices, 5;1105-1111.

Murphree, D.D. & Thelen, S.M., 2010. Chronic Kidney Disease in Primary Care.
Journal of the American Board of Family Medicine, Vol. 23 No. 4.

Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta :
Salemba Medika.

NKF (National Kidney Fondation). 2013. Diabetes and Chronic Kidney Disease
Stage 1-4, National Kidney Fondation. Inc, New York.

Schwinghammer, T.L., 2012a, Dyslipidemia, dalam Wells, B.G., Dipiro, J.T.,


Schwinghammer, T.L., DiPiro, C.V., Pharmacotherapy Handbook, 8th
edition, 356-413, McGraw-Hill, New York.

Smeltzer, Suzanne & Bare, Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
“Brunner & Suddarth”. Ed.8. Jakarta: EGC
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sistem perkemihan merupakan sistem pengeluaran zat-zat metabolisme
tubuh yang tidak berguna lagi bagi tubuh dan harus di keluarkan (dieliminasi)
dari dalam tubuh karena dapat menjadi racun. Sistem perkemihan terdiri dari
ginjal, ureter, vesica urinaria dan uretra yang menyelenggarakan serangkaian
proses untuk tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat, dan urine. Apabila terjadi
gangguan pada sistem perkemihan maka dapat menimbulkan gangguan
kesehatan yang sangat serius dan komplek. Gangguan yang terjadi pada sistem
perkemihan antara lain seperti gagal ginjal kronik, benigna prostat hiperplasia
(BPH) dan infeksi saluran perkemihan (ISK).
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau
yang sering disebut juga dengan gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan
pada ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk
sisa dari darah, dengan ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju
filtrasi glomerulus yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Black &
Hawks, 2009). Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada
prostat yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah
kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan
retensi urin( Aulawi, 2014). Infeksi saluran kemih merupakan suatu infeksi
yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran kemih
manusia. Saluran kemih manusia merupakan organ-organ yang bekerja untuk
mengumpul dan menyimpan urin serta organ yang mengeluarkan urin dari
tubuh, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Infeksi saluran kemih
dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang tua
(Sukandar, 2006).
Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis
berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi
di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti di Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi
Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur
masing-masing 0,3%. Di Indonesia BPH menjadi penyakit urutan ke dua
setelah penyakit batu saluran kemih, Secara umum diperkirakan hampir 50%
pria Indonesia menderita BPH, jika dilihat dari 200 juta lebih rakyat Indonesia
maka dapat di perkirakan sekitar 2,5 juta pria yang berumur lebih dari 60 tahun
menderita BPH (Purnomo, 2008). Infeksi saluran kemih di Indonesia dan
prevalensinya masih cukup tinggi, menurut perkiraan Departemen kesehatan
RI, jumlah penderita ISK di Indonesia adalah 90-100 kasus per 100.000
penduduk pertahunnya atau sekitar 180.000 kasus baru pertahun (Depkes, RI,
2014).
Pasien dengan PGK memiliki berbagai macam komplikasi seiring dengan
meningkatnya derajat (stage) PGK. Komplikasi tersebut antara lain
dislipidemia, hiperkalemia, asidosis metabolik, anemia, dan gangguan tulang
dan mineral (Walt et al., 2015). Selain itu, pasien dengan PGK juga memiliki
beberapa kondisi komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, gagal jantung,
obstruksi saluran kemih, dan lain sebagainya (KDOQI, 2002). Penyakit yang
lebih dari satu pasti akan mengarah pada penggunaan beberapa obat yang
sering disebut dengan polifarmasi (Nobili et al., 2011). Polifarmasi tersebut
dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya drug related problems (DRPs)
(Viktil et al., 2006).
Mengingat akan hal itu, penulis membuat makalah mengenai 3 kasus
tersebut dengan judul “Asuhan keperawatan pada pasien dewasa dengan kasus
gangguan sistem perkemihan”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi fisiologi sistem perkemihan?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal
kronik (GGK)?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat
hiperplasia (BPH)?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan infeksi saluran
perkemihan (ISK)?
5. Bagaimana contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal
kronik?
6. Bagaimana contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien benigna prostat
hiperplasia?

C. TUJUAN
1. Menjelaskan anatomi fisiologi sistem perkemihan.
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik
(GGK).
3. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat
hiperplasia (BPH).
4. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan infeksi saluran
perkemihan (ISK).
5. Menjelaskan contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal
kronik.
6. Menjelaskan contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien benigna prostat
hiperplasia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN


1. Definisi
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan
oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air
dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).

2. Susunan Sistem Perkemihan


Sistem perkemihan terdiri dari: dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, dua
ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih),
satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan satu urethra, urin
dikeluarkan dari vesika urinaria.

a. Ginjal (Renal)
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum
pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3.
Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari
ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.
Fungsi ginjal :
1) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau
racun,
2) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan,
3) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh,
dan
4) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum,
kreatinin dan amoniak.
Fascia Renalis terdiri dari :
1) Fascia (fascia renalis),
2) Jaringan lemak peri renal, dan
3) kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat
dengan erat pada permukaan luar ginjal
Struktur Ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat
gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih
terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang
terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis
renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal.
Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing
akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.

Potongan membujur ginjal Jaringan ginjal, warna biru menunjukkan


satu tubulus

Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit
fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal.
Nefron terdiri dari : Glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus
distal dan tubulus urinarius.

Proses Pembentukan Urin


Tahap pembentukan urin :
1) Proses Filtrasi di glomerulus
Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah
kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen
yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll,
diteruskan ke tubulus ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate
gromerulus.
2) Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glikosa,
sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi
secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. sedangkan pada
tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat
bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi
fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.
3) Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke
papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.
Pendarahan
Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai
percabangan arteria renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri
renalis bercabang menjadi arteria interlobularis kemudian menjadi arteri
akuarta. Arteri interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi
arteriolae aferen glomerulus yang masuk ke gromerulus. Kapiler darah
yang meninggalkan gromerulus disebut arteriolae eferen gromerulus yang
kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava inferior.
Persarafan Ginjal
Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis(vasomotor). Saraf
ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal,
saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke
ginjal.
b. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke
vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm.
Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak
pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari :
1) Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
2) Lapisan tengah lapisan otot polos
3) Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic yang
mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih.
c. Vesika Urinaria (Kandung Kemih)
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk
seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam
rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis
seperti balon karet.

Dinding kandung kemih terdiri dari:


1) Lapisan sebelah luar (peritoneum).
2) Tunika muskularis (lapisan berotot).
3) Tunika submukosa.
4) Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).
d. Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang
berfungsi menyalurkan air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari :
1) Urethra pars Prostatica
2) Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa)
3) Urethra pars spongiosa.
Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm
(Lewis). Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris
dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai saluran ekskresi.

Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:


1) Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika
urinaria. Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter urethra
menjaga agar urethra tetap tertutup.
2) Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan
saraf.
3) Lapisan mukosa.
3. Urin (Air Kemih)
a. Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
1) Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari pemasukan
(intake) cairan dan faktor lainnya.
2) Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
3) Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diit obat-obatan dan
sebagainya.
4) Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
5) Berat jenis 1,015-1,020.
6) Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari
pada diit (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi
reaksi asam).
b. Komposisi air kemih, terdiri dari:
1) Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
2) Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea,
amoniak dan kreatinin.
3) Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat.
4) Pagmen (bilirubin dan urobilin).
5) Toksin.
6) Hormon.

4. Mikturisi
Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan
urin. Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu :
a. Kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya
meningkat melampaui nilai ambang batas (hal ini terjadi bila telah
tertimbun 170-230 ml urin), keadaan ini akan mencetuskan tahap kedua.
b. Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan
mengosongkan kandung kemih.
Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang belakang)
Sebagian besar pengosongan di luar kendali tetapi pengontrolan dapat di
pelajari “latih”. Sistem saraf simpatis : impuls menghambat Vesika Urinaria
dan gerak spinchter interna, sehingga otot detrusor relax dan spinchter
interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis: impuls menyebabkan otot
detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi mikturisi
(normal: tidak nyeri).
Ciri-ciri urin normal :
a. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan
jumlah cairan yang masuk.
b. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.
c. Baunya tajam.
d. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.

B. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)


1. Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun) dengan
defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan kombinasi gangguan
sehingga ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume
dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal (Price
& Wilson, 2005).
Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang
progresif dimana laju filtrasi glomerulus < 60 ml/ min/ 1,73 m² dan atau
kerusakan ginjal meliputi albuminuria persisten dengan ditemukannya
kadar albumin urin >30 mg/ gram pada kreatinin urin ( Levey, 2005 &
National Kidney Disease Education Program (NKDEP), 2011).

2. Tahapan Penyakit GGK


National Kidney Foundation (2013) mengembangkan kriteria gagal ginjal
kronik sebagai berikut :
a. Tahap 1: normal GFR ≥ 90 ml/ menit/ 1,73 m² dan albuminuria persisten
b. Tahap 2: GFR antara 60-89 ml/ menit/ 1.73 m²
c. Tahap 3: GFR antara 30-59 ml/ menit/ 1,73 m²
d. Tahap 4: GFR antara 15-29 ml/ menit/ 1,73 m²
e. Tahap 5: GFR < 15 ml/ menit/ 1,73 m² atau stadium akhir penyakit gagal
ginjal.

3. Etiologi
National Kidney Foundation (2013) menyatakan, terdapat dua
penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik yaitu diabetes mellitus dan
hipertensi. Kondisi lain yang dapat mempengaruhi terjadinya gagal ginjal
adalah :
a. Glomerulonefritis, sekelompok penyakit yang menyebabkan peradangan
dan kerusakan pada unit penyaringan ginjal.
b. Penyakit keturunan (herediter) , seperti penyakit ginjal polikistik, yang
menyebabkan kista besar terbentuk dalam ginjal dan merusak jaringan
disekitarnya. Malformasi yang terjadi pada bayi berkembang didalam
Rahim ibunya. Misalnya, penyempitan dapat terjadi yang mencegah
aliran normal urine dan menyebabkan urine mengalir kembali ke ginjal.
Hal ini menyebabkan infeksi dan dapat merusak ginjal.
c. Lupus dan penyakit lainnya yang mempengaruhi sistem kekebalan
tubuh.
d. Obstruksi yang disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor, atau
kelenjar prostat membesar pada laki-laki.
e. Infeksi saluran kencing berulang.
Faktor risiko gagal ginjal kronik (National Kidney Foundation 2013)
yaitu pada penderita diabetes atau hipertensi, riwayat penyakit ginjal dalam
keluarga, dan berumur > 50 tahun. Penyebab potensial penyakit gagal ginjal
kronik (Murphree, sarah & Thelen, 2010) adalah: diabetes mellitus,
hipertensi, obat-obatan yang bersifat nefrotoksik, Systemic lupus
erythematous (SLE), nefropati HIV, congestive heart failure (CHF),
sindrom genetic, sindrom hepatorenal, nefrolitiasis, Benign Prostastic
Hypertrophy (BPH), dan glomerulonephritis.
4. Manifestasi Klinik
Pasien akan menunjukkan beberapa tanda dan gejala, keparahan
kondisi bergantung kepada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari, dan usia pasien (Baughman, DC, Hackley, JC, 2000) :
a. Manifestasi Kardiovaskuler: hipertensi, gagal ginjal kongesif, edema
pulmonal, perikarditis.
b. Gejala- gejala dermatologis: xerosis, gatal-gatal hebat (pruritus):
serangan uremik tidak umum karena pengobatan dini dan agresif.
c. Gejala-gejala gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, cegukan,
penurunan saliva dan haus.
d. Gejala-gejala neuromuskular: perubahan tingkat kesadaran, kacau
mental, tidak dapat berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
e. Perubahan hematologis: kecenderungan perdarahan.
f. Keletihan, letargik, sakit kepala, kelemahan umum,
g. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakter pernapasan
menjadi kusmaul, dan terjadi koma.

5. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari,
namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini
menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi,
terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor.
Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga
pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron
progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi
(Suwitra, 2009).
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup
semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM (Wilson, 2005). Mekanisme
peningkatan GFR yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar,
tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like
Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi
mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis
(Hendromartono, 2009).
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditnadai dengan fibrosis
dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran
dari keadaan ini adalah ginjal (Wilson, 2005). Ketika terjadi tekanan darah
tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh darah akan melebar. Namun di
sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah
dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan
air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam
tubuh kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih
meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya
(National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014).
6. WOC
7. Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada penyakit gagal ginjal kronik
menurut Alam & Hadibroto (2008) antara lain :
a. Anemia
Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi
gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas
mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang
dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan
tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi.
Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi,
cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki
dan tangan.
b. Osteodistrofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan
metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah tinggi,
akan terjadi pengendapan garam dan kalsium fosfat di berbagai jaringan
lunak (klasifikasi metastatic) berupa nyeri persendian (artritis), batu
ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah,
gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.
c. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang
memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan
memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada
penderita PGK dimulai dari anemia yang mengakibatkan jantung harus
bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left
ventricular hypertrophy/LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan
melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya
(sindrom kardiorenal).
d. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan
ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan
pasangannya. Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang
memproduksi hormon testosteron untuk merangsang hasrat seksual
(libido), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita
perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Penyebab utama
gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai
darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan
ginjal.

8. Penatalaksanaan
Menurut Renal Resource Centre (2010), terdapat tiga pilihan pengobatan
bagi penderita gagal ginjal, yaitu:
a. Dialisis (hemodialysis atau peritoneal dialysis)
Dialisis menghilangkan produk-produk limbah dan kelebihan cairan dari
darah menggunakan membran semipermeabel. Ini adalah pengobatan
kronis dan tidak menyembuhkan gagal ginjal. Ada dua bentuk dialisis:
hemodialisis dan peritoneal dialisis
1) Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Akses pengobatan sirkulasi melalui dua jarum. Darah mengalir
berkali-kali melalui ginjal buatan. Ini terdiri dari ribuan serat
berongga, terbuat dari membran semi-permeabel. Pengobatan
biasanya dilakukan selama empat sampai enam jam setidaknya tiga
kali per minggu. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah setelah
pelatihan khusus dari durasi setidaknya enam sampai delapan minggu.
2) Peritoneal dialysis
Perawatan ini dilakukan dengan menjalankan cairan melalui tabung
ke dalam dan kemudian keluar dari rongga perut. Selaput rongga perut
(peritoneum) bertindak sebagai membran semi-permeabel untuk
memisahkan cairan yang mengalir dari dari rongga perut. Kotoran
keluar melalui membran dan masuk ke cairan, yang kemudian
dikeringkan setelah sekitar enam jam "waktu tinggal". dengan
peritoneal dialisis, tidak perlu menggunakan jarum untuk mengakses
aliran darah, hal ini dilakukan setiap hari di rumah dan merupakan
pengobatan kronis. dan tidak menyembuhkan gagal ginjal. Hal ini
dapat dilakukan pada siang hari sebagai ambulatory peritoneal
dialysis (CAPD) atau pada malam hari sebagai dialisis peritoneal
otomatis (APD). Pelatihan dialisis peritoneal membutuhkan waktu
satu sampai dua minggu.
b. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal adalah proses dimana ginjal dipindahkan dari donor
hidup ataupun yang sudah meninggal, dan ditransplantasikan ke
penerima yang cocok. Transplantasi kadang-kadang dapat terjadi
sebelum dialysis dimulai (pre emptive) jika donor hidup tersedia.
c. Perawatan konservatif
Perawatan konservatif disebut sebagai manajemen medis atau perawatan
penyakit ginjal stadium akhir. Ini memungkinkan penyakit berjalan
secara alami dan berfokus pada mengobati gejala. Perawatan dialisis
tidak digunakan. Pengobatan bergantung pada manajemen obat dan diit.
seperti dialisis dan transplantasi, tim kesehatan juga akan mengngatasi
masalah psikologis, emosional dan sosial yang berhubungan dengan
penyakit ginjal. Perawatan konservatif bertujuan untuk menjaga fungsi
ginjal selama mungkin tapi tidak dapat menghentikan penurunan fungsi
ginjal. Ini tidak menggantikan fungsi ginjal.

9. Pemeriksaan Penunjang
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak
langsung. Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan
atau pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi :
a. Ultrasonografi
b. Computed Tomography (CT)
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
d. Isotope Scanning
Histopatologi biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit
glomerular yang mendasari (Scottish Intercollegiate Guidelines Network,
2008).
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari
urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan
kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya
hematuria atau proteinuria (Scottish Intercollegiate Guidelines Network,
2008). Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan
mempergunakan rumus Cockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Penggunaan
rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Willems et al., 2013).
Pengukuran GFR dapat juga dilakukan dengan menggunakan rumus
lain, salah satunya adalah CKD-EPI creatinine equation (National Kidney
Foundation, 2015).
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin
C. Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang
disintesis oleh semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh
manusia. Kadarnya dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga
Cystatin C merupakan penanda endogen yang ideal (Yaswir & Maiyesi,
2012).

10. Konsep Teori Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Fokus pengkajian keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
gagal ginjal kronik menurut Doeges (2000), dan Smeltzer dan Bare
(2002) ada berbagai macam, meliputi :
1) Demografi
Lingkungan yang tercemar, sumber air tinggi kalsium berisiko untuk
gagal ginjal kronik, kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis
kelamin lebih banyak perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
2) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler
hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital
dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan neropati
obstruktif.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.
4) Pola kesehatan fungsional
a) Pemeliharaan kesehatan
Personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan
tinggi kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum
suplemen, kontrol tekanan darah dan gula darah tidak teratur pada
penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.
b) Pola nutrisi dan metabolik
Kaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat,
peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada mulut
(pernafasan amonia), penggunanan diuretic, demam karena sepsis
dan dehidrasi.
c) Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
d) Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
e) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
f) Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan
otot, perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala,
kram/nyeri kaki (memburuk pada malam hari), perilaku berhati-
hati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki
gelisah”, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan khusussnya
ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status mental,
contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
g) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian, kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu
bekerja, mempertahankan fungsi peran.
h) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi
testikuler.
5) Pengkajian fisik
a) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
b) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
c) Pengukuran antropometri : beratbadan menurun, lingkar lengan
atas (LILA) menurun.
d) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi
lemah, disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
e) Kepala
• Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan
kabur, edema periorbital.
• Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
• Hidung : pernapasan cuping hidung
• Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia,
mual,muntah serta cegukan, peradangan gusi.
f) Leher : pembesaran vena leher.
g) Dada : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan
kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema
pulmoner, friction rub pericardial.
h) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
i) Genital : atropi testikuler, amenore.
j) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam
serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,
foot drop, kekuatan otot.
k) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan
rapuh, memar (purpura), edema.

6) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges
(2000) :
a) Urine
• Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau
urine tidak ada (anuria).
• Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
• Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat)
• Klirens kreatinin, mungkin menurun
• Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsobsi natrium.
• Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus.
b) Darah
• Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb
biasanya kurang dari 7-8 gr
• Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti
azotemia.
• GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk
mengeksresi hydrogen dan ammonia atau hasil akhir
katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
• Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan)
• Magnesium fosfat meningkat
• Kalsium menurun
• Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena kurang asam
amino esensial.
• Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering
sama dengan urin.
7) Pemeriksaan radiologi
a) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan
bladder/KUB): menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung
kemih, dan adanya obstruksi (batu).
b) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa
c) Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluks kedalam ureter dan retensi.
d) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa, kista, obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.

e) Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk


menentukan seljaringan untuk diagnosis hostologis.
f) Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan
pelis ginjal (keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif).
g) Elektrokardiografi (EKG): mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
h) Fotokaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat
menunjukkan demineralisasi, kalsifikasi.
i) Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan posisi
ginjal, ukuran dan bentuk ginjal.
j) CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti
penyebararn tumor).
k) Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendeteksi struktur
ginjal, luasnya lesi invasif ginjal
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut
Doeges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) adalah :
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diit berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diit dan
penurunan membrane mukosa mulut.
3) Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis
seperti akumulasi toksin (urea, amonia)
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialisis.
5) Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit
gagal ginjal kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah
interpretasi informasi dan kurangnya informasi.
6) Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial
dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi
jantung, akumulasi toksik, kalsifikasi jaringan lunak.
7) Risiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi
toksik dalam kulit dan gangguan turgor kulit, gangguan status
metabolik.
c. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut
Doenges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) adalah:
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diit berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan
cairan.
Kriteria hasil :
• Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.
• Mempertahankan pembatasan diit dan cairan.
• Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema.
• Menunjukkan tanda-tanda vital normal.
• Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher.
• Melaporkan adanya kemudahan dalam bernafas atau tidak terjadi
nafas pendek.
• Melakukan hygiene oral dengan sering.
• Melaporkan penurunan rasa haus.
• Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membrane mukosa
mulut.
Intervensi:
• Kaji status cairan
✓ Timbang berat badan harian
✓ Keseimbangan masukan dan haluaran
✓ Turgor kulit dan adanya edema
✓ Distensi vena leher

✓ Tekanan darah, denyut dan irama nadi.


Rasional: Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
• Batasi masukan cairan
Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal,
haluaran urine dan respons terhadap terapi.
• Identifikasi sumber potensial cairan
✓ Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan, oral
dan intravena
✓ Makanan
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi
• Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan
keluarga dalam pembatasan cairan.
• Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat
pembatasan cairan.
Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap
pembatasan diit.
• Tingkatkan dan dorong hygiene oral dengan sering.
Rasional : Hygiene oral mengurangi kekeringan membran mukosa
mulut.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diit dan
penurunan membrane mukosa mulut.
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil :
• Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi
• Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam
pembatasan diit
• Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan
tidak menimbulkan rasa kenyang
• Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatsan diit dan
hubungannya dengan kadar kreatinin dan urea
• Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima
• Melaporkan peningkatan nafsu makan
• Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat
badan yang cepat
• Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema, kadar
albumin plasma dapat diterima
Intervensi :
• Kaji status nutrisi
✓ Perubahan berat badan
✓ Pengukuran antropometrik
✓ Nilai laboratorium (elektrolit serum, bun, kreatinin, protein,
transferin dan kadar besi).
Rasional : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan
dan mengevaluasi intervensi.
• Kaji pola diit dan nutrisi pasien
✓ Riwayat diit
✓ Makanan kesukaan
✓ Hitung kalori.
Rasional : Pola diit sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan
dalam menyusun menu.
• Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi:
✓ Anoreksia, mual dan muntah
✓ Diit yang tidak menyenangkan bagi pasien
✓ Depresi
✓ Kurang memahami diit
Rasional : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang
dapat diubah atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diit.
• Sediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diit.
Rasional : Mendorong peningkatan masukan diit.
• Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis
tinggi: telur, produk susu, daging.
Rasional : Protein lengkap diberikan untuk mencapai
keseimbangan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
penyembuhan.
• Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium,
diantara waktu makan.
Rasional : Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan
menyediakan kalori untuk energi, membagi protein untuk
pertumbuhan dan penyembuhan jaringan.
• Ubah jadwal medikasi sehingga medikasi ini tidak segera
diberikan sebelum makan.
Rasional : Ingesti medikasi sebelum makan menyebabkan
anoreksia dan rasa kenyang.
• Jelaskan rasional pembatasan diit dan hubungannya dengan
penyakit ginjal dan peningkatan urea dan kadar kreatinin.
Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan
antara diit, urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.
• Sediakan jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan
anjurkan untuk memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium
atau kalium.
Rasional : Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif
terhadap pembatasan diit dan merupakan referensi untuk pasien
dan keluarga yang dapat digunakan dirumah.
• Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
Rasional : Faktor yang tidak menyenangkan yang berperan dalam
menimbulkan anoreksia
• Timbang berat badan harian.
Rasional : Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
• Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat :
✓ Pembentukan edema
✓ Penyembuhan yang lambat
✓ Penurunan kadar albumin
Rasional : Masukan protein yang tidak adekuat dapat
menyebabkan penurunan albumin dan protein lain, pembentukan
edema dan perlambatan penyembuhan.
3) Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial
dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi
jantung (ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia), akumulasi
toksik(urea), kalsifikasi jaringan lunak(deposit Ca+ fosfat)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat
dipertahankan
Kriteria hasil :
• Tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan darah: 90/60-
130/90 mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur.
• Akral hangat

• Capillary refill kurang dari 3 detik


• Nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L,
urea 15-39 mg/dl)
Intervensi :
• Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer
atau kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah,
perhatikan postural misalnya: duduk, berbaring dan berdiri.
Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea,
gemerisik, mengi dan edema.
• Evaluasi bunyi jantung akan terjadi friction rub, tekanan darah,
nadi perifer, pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan
mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
• Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.
Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi
jantung.
• Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.
4) Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis
seperti akumulasi toksin (urea, amonia)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat
mempertahankan tingkat mental atau terjadi peningkatan tingkat
mental
Kriteria hasil :
• Tidak terjadi disorientasi terhadap orang, tempat dan waktu
• Tidak mengalami gangguan kemampuan dalam mengambil
keputusan
• Tidak terjadi perubahan perilaku misalnya peka, menarik diri,
depresi ataupun psikosis
• Tidak terjadi gangguan lapang perhatian misalnya, penurunan
kemampuan untuk mengemukakan pendapat
• Nilai laboratorium dalam batas normal (ureum) 15-39 mg/dl,
kreatinin 0,6-1,3 mg/dl)
Intervensi :
• Kaji luasnya gangguan kemampuan berfikir, memori dan
orientasi serta perhatikan lapang pandang.
Rasional : Memberikan perbandingan untuk mengevaluasi
perkembangan atau perbaikan gangguan.
• Pastikan dari orang terdekat tingkat mental pasien biasa.
Rasional : Beberapa perbaikan dalam mental, mungkin
diharapkan dengan perbaikan kadar urea, kreatinin, elektrolit dan
pH serum yang lebih normal.
• Berikan orang terdekat informasi tentang status pasien.
Rasional : Dapat membantu menurunkan kekacauan dan
meningkatkan kemungkinan komunikasi dapat dipahami.
• Komunikasikan informasi dengan kalimat pendek dan sederhana.
Rasional : Perbaikan peningkatan atau keseimbangan dapat
mempengaruhi kognitif atau mental.
• Tingkatkan istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur.
Rasional : Gangguan tidur dapat menganggu kemampuan kognitif
lebih lanjut.
• Awasi pemeriksaan labolatorium misalnya urea dan kreatinin.
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
• Berikan tambahan O2 sesuai indikasi
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
5) Risiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi
toksik dalam kulit dan gangguan turgor kulit (edema, dehidrasi),
gangguan status metabolic, sirkulasi (anemia dengan iskemia
jaringan), neuropati perifer.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi
integritas kulit
Kriteria hasil :
• Pasien menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah
kerusakan atau cidera kulit
• Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
• Tidak terjadi edema
• Gejala neuropati perifer berkurang
Intervensi :
• Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan
adanya kemerahan, ekimosis, purpura.
Rasional : Mengetahui adanya sirkulasi atau kerusakan yang
dapat menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi.
• Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa.
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan
yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat
seluler.
• Inspeksi area tubuh terhadap edema.
Rasional : Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
• Ubah posisi dengan sering menggerakkan pasien dengan
perlahan, beri bantalan pada tonjolan tulang.
Rasional : Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan
peninggian aliran balik statis vena sebagai pembentukan edema.
• Pertahankan linen kering, dan selidiki keluhan gatal.
Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit.
• Pertahankan kuku pendek
Rasional : Menurunkan risiko cedera dermal.
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialysis.
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil :
• Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
• Berpartisipasi dalam program pengobatan.
• Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi :
• Kaji faktor yang menyebabkan keletihan :
✓ Anemia
✓ Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
✓ Retensi produk sampah
✓ Depresi
Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat
keletihan
• Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang
dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.
Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki
harga diri.
• Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional : Mendorong latitan dan aktivitas dalam batas-batas yang
dapat ditoleransi dan istirahat yang adekuat.
• Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis.
Rasional : Dianjurkan setelah dialysis, yang bagi banyak pasien
sangat melelahkan.
7) Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit
gagal ginjal kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah
interpretasi informasi dan kurangnya informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien
menyatakan pemahaman tentang kondisi atau proses penyakit dan
pengobatan.
Kriteria hasil :
• Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
• Berpartisipasi dalam program pengobatan.
• Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi :
• Diskusikan tentang manifestasi klinik yang mungkin muncul pada
pasien dan cara perawatannya.
Rasional : Mengurangi kecemasan pasien dan membeikan
pemahaman dalam perawatannya
• Kaji ulang tentang tindakan untuk mencegah perdarahan dan
informasikan pada pasien misalnya penggunaan sikat gigi yang
halus, memakai alas kaki atau sandal jika berjalan-jalan,
menghindari konstipasi, olah raga atau aktivitas yang berlebihan.
Rasional : Menurunkan risiko cedera sehubungan dengan
perubahan faktor pembekuan atau penurunan jumlah trombosit.
• Kaji ulang pembatasan diit, termasuk fosfat (contoh : produk susu,
unggas, jagung, kacang) dan magnesium (contoh : produk
gandum, polong-polongan).
Rasional : Pembatasan fosfat merangsang kelenjar paratiroid
untuk pergeseran kalsium dari tulang (osteodistrofi ginjal) dan
akumulasi magnesium dapat mengganggu fungsi neurologis dan
mental.
• Diskusikan tentang terapi pengobatan yang diberikan.
Rasional : Memberikan pemahaman tentang fungsi obat dan
memotivasi pasien untuk menggunakannya
• Identifikasi keadaan yang memerlukan evaluasi medik segera.
Rasional : Memberi penanganan segera tentang kondisi-kondisi
yang memerlukan penanganan medik.
d. Implementasi keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi,
penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan teknikal.
e. Evaluasi keperawatan
Evaluasi didasarkan pada rencana yang telah di laksanakan dalam
upaya memodifikasi tindakan selanjutnya, berdasarkan tujuan umum dan
tujuan khusus.
Evaluasi merupakan kegiatan yang membendingkan antara hasil
implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhasil
sebahagian, perlu disusun rencana keparawatan yang baru.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional
dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang
dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi
keparawatan. O adalah keadaan objektif yang dapat didefinisikan oleh
perawat menggunakan pengamatan atau pengamatan yang objektif
setelah implementasi keperawatan. A merupakan analisis perawat
setelah mengetahui respon subjektif dan objekstif keluarga yang
dibandingkan dengan criteria dan standar yang telah ditentukan mengacu
pada pada tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah
perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

C. KONSEP BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)


1. Definisi
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare,
2002).
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya ukuran prostat
biasanya diiringi dengan bertambahnya usia pada laki laki, membesarnya
prostat menyebabkan fungsi uretra pars prostatika menjadi terganggu,
menimbulkan gangguan pada saluran keluar kandung kemih (Iskandar,
2009).
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat
yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah
kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan
retensi urin (Aulawi, 2014).

2. Tahapan Perkembangan BPH


Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De
jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa
urin kurang dari 50 ml.
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan
batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat
tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total.

3. Etiologi
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya BPH (Muttaqin dan Sari,
2014), yaitu:
a. Dihydrostestosteron adalah pembesaran pada epitel dan stroma kelenjar
prostat yang disebabkan peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
andorogen.
b. Adanya ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
dimana terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosteron sehingga
mengakibatkan pembesaran pada prostat.
c. Interaksi antara stroma dan epitel. Peningkatan epidermal growth faktor
atau fibroblast growth faktor dan penurunan transforming factor beta
menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
d. Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori sel stem, meningkatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga menyebabkan
proliferasi sel sel prostat (Purnomo, 2008).

4. Manifestasi Klinik
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda
dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah,
gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
1) Gejala obstruksi meliputi: Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi).
2) Gejala iritasi meliputi: Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan
tanda infeksi atau urosepsis.
c. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada
saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun
gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan
prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan
gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang
besar.

5. Patofisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia seiring dengan
pertambahan usia, pada proses penuaan menimbulkan perubahan
keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen keadaan ini dapat
menyebabkan pembesaran prostat, jika terjadi pembesaran prostat maka
dapat meluas ke kandung kemih, sehingga akan mempersempit saluran
uretra prostatica dan akhirnya akan menyumbat aliran urine.
Penyempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan tekanan pada
intravesikal. Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan otot
detrusor dan kandung kemih akan bekerja lebih kuat saat memompa urine,
penegangan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan perubahan
anatomi dari buli buli berupa: pembesaran pada otot detrusor, trabekulasi
terbentuknya selula, sekula, dan diventrivel kandung kemih.
Tekanan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan aliran balik
urine ke ureter dan bila terjadi terus menerus mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, dan kemunduran fungsi ginjal (Muttaqin dan Sari, 2014).
Salah satu upaya pengobatan pada penderita benigna prostat hiperplasi
adalah pembedahan terbuka merupakan tindakan pembedahan pada perut
bagian bawah, kelenjar prostat dibuka dan mengangkat kelenjar prostat
yang mengalami pembesaran, untuk mencegah pembentukan pembekuan
darah dialirkan cairan via selang melalui kandung kemih, selang biasanya
dibiarkan dalam kandung kemih sekitar 5 hari setelah operasi dan kemudian
dikeluarkan jika tidak ada pendarahan (Iskandar, 2009).
6. W0C
Hormon Estrogen dan Faktor Usia Sel prostat umur panjang Polikerasi abnormal sel strem
Progesteron tidak seimbang
Produksi stroma dan
Sel troma pertumbuhan berpacu Sel yang mati kurang epitel berlebih

Prostat membesar
(BPH)

Penyempitan lumen Resiko perdarahan TURP


ureter prostatika

Obstruksi Iritasi mukosa kandung Pemasangan Kurangnya informasi


kemih, terputusnya DC terhadap pembedahan
jaringan
Retensi urin Nyeri akut
Ansietas

Rangsangan syaraf Luka


Hidroureter diameter kecil

Tempat masuknya
Gate kontrol terbuka mikroorganisme
Hidronefritis

Resiko ketidakefektifan Gangguan eliminasi Resiko Infeksi


perfusi ginjal urin
7. Komplikasi
Komplikasi BPH (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2005) adalah:
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan
iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi
refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien
harus mengedan.

8. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis
dilakukan pada semua penderita. Hal yang dinilai pada colok dubur
adalah ukuran dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya
prostat teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada
perabaan, waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan
evaluasi yang lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific
Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound serta biopsy (Cooperberg dkk,
2013).
Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai dasar dan kriteria
untuk diagnosa BPH. Menurut Terris (2002), pengukuran volume prostat
sangat berguna untuk rencana terapi pada pasien BPH (Terris dkk,2002).
Roehrborn (2002) menyatakan bahwa perkiraan volume prostat
menggunakan colok dubur adalah tidak akurat, sedangkan MRI dan CT
dapat lebih tepat untuk mengukur volume prostat tetapi sayangnya
pemeriksaan ini sangat mahal (Roehrborn dkk, 2002). Digital rectal
examination (DRE) atau colok dubur secara rutin digunakan untuk
mengukur volume prostat, tetapi hasilnya underestimat dibandingkan
dengan transrectal ultrasound (TRUS).
b. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan
hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal.
Insufisiensi renal didapatkan dari 10% penderita dengan prostatism dan
dibutuhkan pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi renal memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
komplikasi pasca operasi. Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan
pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi (Cooperberg dkk,
2013).
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang
tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada
jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum.
Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada
prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak
memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi
penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya
BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013).
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk.,
2013). Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif
dengan nilai PSA (Gui-zhong dkk, 2011). Kultur urin dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya infeksi saluran kemih. Dalam keadaan normal,
urin bersifat steril.
Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan
apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi
misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal.
Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi digunakan
untuk terapi invasif. Pemeriksaan tambahan berupa cystometrogram dan
profil urodinamik dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki
kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post miksi
merupakan pemeriksaan tambahan (Cooperberg dkk, 2013).

9. Penatalaksanaan
a. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang
ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan
minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk
menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat
dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih
(jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien
dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium,
sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011)
dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin :
1) Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat
diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau
ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
2) Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran
urin.
b. Terapi medikamentosa
Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH (Baradero dkk,
2007) adalah :
1) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
2) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
3) Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya:
1) Penghambat adrenergenik alfa
2) Penghambat enzim 5 alfa reduktase
3) Fitofarmaka.
c. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio
urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran
kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk
tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi :
1) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka
yang biasa digunakan adalah :
a) Prostatektomi suprapubik : salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen.
b) Prostatektomi perineal : suatu tindakan dengan mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
c) Prostatektomi retropubik : tindakan lain yang dapat dilakukan,
dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat,
yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih.
2) Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transuretral
dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya :
a) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar
prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah.
b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan
apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic.
c) Terapi invasive minimal
Terapi invasive minimal dilakukan pada pasien dengan risiko
tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal
diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT),
Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle
Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent
uretra atau prostatcatt (Purnomo, 2011).

10. Konsep Teori Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan basic dari tahap berikutnya. Pengkajian perlu dilakukan
secara sistematis mulai dari pengumpulan data, mengidentifikasi
evaluasi status dan kesehatan pasien. (Nursalam, 2001, hal. 17, dikutip
dari Iyer, et. al, 1996).
Pada pengkajian dilakukan pengumpulan data yang dari dua tipe
yaitu data subjektif dan data objektif. Data subjektif adalah data yang
didapat dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap situasi dan kejadian.
Sedangkan data objektif adalah data yang didapat dari observasi dan
diukur, (Nursalam, 2001, hal. 19, dikutip dari Iyer, et. al, 1996).
Pengumpulan data pada pengkajian pasien memiliki karakteristik
yaitu lengkap, akurat, nyata dan relevan (Nursalam, 2001, hal. 23).
Sumber data sangat penting dimana dalam pengkajian sumber data
diperoleh dari pasien, yang menjadi data primer adalah orang terdekat
misalnya suami, istri, orang tua, anak dan temannya, catatam pasien,
riwayat penyakit, konsultasi, hasil pemeriksanaan diagnostik, cataan
mesi dan anggota kesehatan lainnya, perawat lain dan kepustakaan
(Nursalam, 2001, hal.24 – 25).
Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada
tahap pengkajian: komunikasi yang efektif, observasi dan pemeriksaan
fisik. Teknik tersebut sangat bermanfaat bagi perawat dalam pendekatan
pad pasien secara rasional, sistematika dalam pengumpulan data,
merumuskan diagnosa keperawatan dan merencanakannya.
Adapun data dasar pengkajian pada BPH adalah sebagai berikut :
Sebelum Operasi (Pre Operasi)
1) Data Subyektif
a) Pasien mengatakan nyeri saat berkemih
b) Sulit kencing
c) Frekuensi berkemih meningkat
d) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
e) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
f) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
g) Pancaran urin melemah
h) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik, merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
i) Pasien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
2) Data Obyektif
a) Ekspresi wajah tampak menhan nyeri
b) Terpasang kateter
Sesudah Operasi (Post Operasi)
1) Data Subyektif
a) Pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi
b) Pasien mengatakan tidak tahu tentang diit dan pengobatan setelah
operasi
2) Data Obyektif
a) Ekspresi tampak menahan nyeri
b) Ada luka post operasi tertutup balutan
c) Tampak lemah
d) Terpasang selang irigasi, kateter, infus
▪ Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya
hidup, apakah masalah urinari yang dialami pasien.
▪ Pengkajian fisik :
1) Gangguan dalam berkemih seperti : Sering berkemih, terbangun
pada malam hari untuk berkemih, perasaan ingin miksi yang sangat
mendesak, Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah, rasa tidak
puas sehabis miksi, jumlah air kencing menurun dan harus mengedan
saat berkemih, aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus
menetes setelah berkemih, ada darah dalam urin, kandung kemih
terasa penuh, nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di
perut, urin tertahan di kandung kencing, terjadi distensi kandung
kemih
2) Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik
3) Kaji status emosi : cemas, takut
4) Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
5) Kaji tanda vital
6) Sirkulasi
Tanda : Peninggian Tekanan Darah (efek pembesaran ginjal)
7) Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine; tetesan, keragu-
raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan
kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih,
nokturi, disuria, hematuria, riwayat batu (statis urinaria), konstipasi
(prostrusi prostat ke dalam rektum).
Tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung,
kemih), nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemorrhoid
(mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan
pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
8) Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia: mual, muntah, penurunan berat badan
Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung; tajam, kuat (pada
prostatitis akut) nyeri punggung bawah
9) Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan
seksual, penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi
Tanda : Pembesaran, nyeri tekan prostat
10) Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal;
penggunaan antibiotik uranaria atau agen antibiotik, penggunaan anti
hipertendif atau anti depresan. (Doenges, 2000, hal. 671-672)
▪ Kaji pemeriksaan diagnostik :
1) Pemeriksaan radiografi
2) Urinalisa
3) Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urine
▪ Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan pasien dan keluarga
tentang keadaan dan proses penyakit, pengobatan dan cara
perawatan di rumah.
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi
darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera
dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam
dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam
kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.
Jenis pengobatan pada BPH antara lain :
1) Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang
diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan,
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol
agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol
keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur
2) Terapi medikamentosa
a) Penghambat adrenergik (prazosin, tetrazosin) : menghambat
reseptor pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi
relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala
berkurang.
b) Penghambat enzim 5- -reduktase, menghambat pembentukan
DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
3) Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut
untuk terapi bedah yaitu :
a) Retensi urin berulang
b) Hematuri
c) Tanda penurunan fungsi ginjal
d) Infeksi saluran kemih berulang
e) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f) Ada batu saluran kemih.
4) Tindakan Pembedahan
a) Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup.
Instrumen bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui
uretra ke dalam prostat yang kemudian dapat dilihat secara
langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop
pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan
disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard
karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih
dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke
dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
b) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada
prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada
uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan
ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gram/kurang) dan
efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat
dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi
lebih rendah di banding cara lainnya.
c) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat)

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat


lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop
merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan
uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan
invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas
minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak
mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan.
Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran
antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi
digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama
prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan
granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK
UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran
no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar
pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi
kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak
keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam
sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah
operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah
gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang
dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.
Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan
komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi
retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan
tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan
timbul kembali 8-10 tahun kemudian. Terapi invasif minimal,
seperti dilatasi balon tranuretral, ablasi jarum transurethral.
Pengelolaan pasien secara umum di Ruang Rawat :
1) Pre operasi
a) Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan
Darah, CT, BT, AL).
b) Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan
lansia
c) Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Ronten thorax
d) Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.
Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diit bubur kecap 2
hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk
meminimalkan masuknya udara
2) Post operasi
a) Irigasi/Spoling dengan Nacl
• Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
• Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
• Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
• Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
• Hari ke 4 post operasi diklem
• Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada
masalah (urin dalam kateter bening)
b) Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
c) Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum
dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
d) Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
e) Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post
oprasi dengan betadin
f) Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
g) DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
h) Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
i) Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
j) Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan
dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada
kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar kateter.
Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu
mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat
membantu menghilangkan spasme.
k) Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-
jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan
tekanan abdomen, perdarahan
l) Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali
kontrol berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai
passien mencapai kontrol berkemih.
m) Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
n) Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah
vena tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena
diatasi dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang
menahan kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada
fossa prostatik.
b. Diagnosa dan intervensi keperawatan
1) Pre operasi
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
NOC :
• Pain level
• Pain control
• Comfort level
Kriteria hasil :
• Mampu mengontrol nyeri
• Rasa nyeri berkurang
• Mampu mengenal nyeri (skala, intensitas, frekuensi)
NIC :
• Kaji skala Nyeri
• Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan
• Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji
pengalaman nyeri
• Ciptakan lingkungan yang nyaman (suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan)
• Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (managemen
nyeri)
• Kolaborasikan pemberian analgetik (anti nyeri)
b) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi proses bedah.
NOC :
• Anxiety self
• Control
• Anxiety level
• Coping
Kriteria hasil :
• Mampu mengidentifikasi cemas
• Mampu mengontrol cemas
• Vital sign dalam batas normal
• Menunjukkan berkurangnya kecemasan
NIC :
• Gunakan pendekatan yang menenangkan
• Jelaskan prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
• Pahami perspektif pasien terhadap situasi stres
• Motivasi keluarga untuk menemani
• Identifikasi tingkat kecemasan
• Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya

• Intruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi


c) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan factor biologi
NOC :
• Nutrisitional status
• Nutrisitional status : food and Fluid intake
• Nutrisitional status : Nutrien intake
• Weight control
Kriteria hasil :
• Berat badan (BB) ideal sesuai tinggi badan
• Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
• Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
• Peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
• Tidak ada penurunan BB yang berarti
NIC :
• Kaji adanya alergi makanan
• Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
• Monitor intake dan output pasien
• Informasikan pentingnya nutrisi bagi pasien
d) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung
kemih
NOC :
• Urinary elimination
• Urinary Contiunence
Kriteria hasil :
• Kandung kemih kosongkan secara penuh
• Tidak ada residu urine > 100-200 cc
• Intake cairan dalam rentang normal
• Bebas dari ISK
• Tidak ada spasme bladder
• Balance cairan seimbang
NIC :
• Observasi output urine
• Masukkan kateter kemih
• Anjurkan pasien atau keluarga merekam output urine
2) Post operasi
a) Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik
NOC :
• Pain level
• Pain control
• Comfort level
Kriteria hasil :
• Mampu mengontrol nyeri
• Rasa nyeri berkurang
• Mampu mengenal nyeri (skala, intensitas, frekuensi)

NIC :
• Kaji skala nyeri
• Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
• Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji
pengalaman nyeri
• Ciptakan lingkunganm yang nyaman (suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan)
• Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (Managemen
Nyeri)
• Kolaborasikan pemberian analgetik (Anti nyeri)
b) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
NOC :
• Immune Status
• Knowledge : Infection control
• Risk control
Kriteria hasil :
• Pasien bebas dari tanda-tanda infeksi
• Mampu mencegah timbulnya infeksi
• Jumlah leukosit dalam jumlah normal
• Menunjukan perilaku hidup sehat
NIC :
• Monitor kerentanan terhadap infeksi
• Batasi pengunjung
• Pertahankan teknik asepsis
• Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah
• Berikan perawatan luka
• Motivasi untuk istirahat
• Motivasi masukan nutrisi yang cukup
• Ajarkan cuci tangan
• Jika terlihat tanda-tanda infeksi colaborasikan dengan dokter
c) Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d
kurangnya paparan informasi.
NOC :
• Mampu menggambarkan diit yang dianjurkan
• Mengetahui makanan-makanan yang boleh dikonsumsi
• Mengetahui tujuan dari diit yang dianjurkan
• Mampu memilih makanan-makanan yang dianjurkan dalam diit
NIC :
• Kaji pengetahuan tentang diit yang dianjurkan
• Berikan penyuluhan diit pada pasien post operasi
d) Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca
operasi
NOC :
• Self Care Status
• Self Care: Dressing
• Activity Tolerance
• Fatigue level
• Mobility : physiocal impaired
• Ambulation
• Activity Intolerance
Kriteria hasil :
• Mampu melakukan ADLs yang paling mendasar dari aktivitas
perawatan diri
• Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
• Menyatakan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
NIC :
• Monitor vital sign
• Ajarkan ambulasi
• Ajarkan ROM
• Ajarkan senam kegel
• Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri
• Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu kebutuhan
ADLs
• Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan
jika diperlukan
c. Implementasi keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi,
penguasaan ketrampilan interpersonal, intelektual dan tehnikal.
d. Evaluasi keperawatan
Evaluasi didasarkan pada rencana yang telah di laksanakan dalam
upaya memodifikasi tindakan selanjutnya, berdasrkan tujuan umum dan
tujuan khusus.
Evaluasi merupakan kegiatan yang membendingkan antara hasil
implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhasil
sebahagian, perlu disusun rencana keparawatan yang baru.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional
dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang
dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi
keparawatan. O adalah keadaan objektif yang dapat didefinisikan oleh
perawat menggunakan pengamatan atau pengamatan yang objektif
setelah implementasi keperawatan. A merupakan analisis perawat
setelah mengetahui respon subjektif dan objekstif keluarga yang
dibandingkan dengan criteria dan standar yang telah ditentukan mengacu
pada pada tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah
perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

D. KONSEP INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)


1. Definisi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembangbiaknya
mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal urine
tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain. ISK merupakan
suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, vesika urinaria dan uretra.
Infeksi saluran kemih dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan dari
semua umur. Angka kejadiannya lebih tinggi pada perempuan dibandingan
laki-laki (Sudoyo Aru, dkk. 2009).
ISK merupakan faktor risiko yang penting pada terjadinya insufisiensi
ginjal atau stadium terminal sakit ginjal. Infeksi saluran kemih terjadi secara
asending oleh sistitis karena kuman berasal dari flora fekal yang
menimbulkan koloni perineum lalu kuman masuk melalui uretra (Widagdo,
2012).
ISK adalah istilah umum untuk menyatakan adanya pertumbuhan
bakteri di dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai
infeksi di kandung kemih. Pertumbuhan bakteri yang mencapai > 100.000
unit koloni per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) pagi hari,
digunakan sebagai batasan diagnosa ISK (IDI, 2011).

2. Klasifikasi
Infeksi saluran kemih terdiri atas dua, yaitu ISK bagian atas dan ISK
bagian bawah.
a. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah pada perempuan dapat berupa
sistitis dan Sindrom Uretra Akut (SUA). Sistitis adalah presentasi klinis
infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna. Sindrom uretra
akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme
(steril), sering dinamakan sistitis abakterialis. Sedangkan ISK bawah
pada lakilaki dapat berupa sistitis, prostatitis, epididimitis, dan uretritis.
b. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Atas meliputi Pielonefritis Akut dan
Pielonefritis Kronis. Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim
ginjal yang disebabkan infeksi bakteri. Pielonefritis kronis mungkin
akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa
kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau
tanpa bakteriuria kronis sering diikuti pembentukkan jaringan ikat
parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronis yang spesifik.
ISK diklasifikasikan menjadi dua macam (Purnomo, 2012) :
a. Infeksi saluran kemih non komplikata adalah ISK yang terjadi pada
orang dewasa, termasuk episode sporadik, episode sporadik yang didapat
dari komunitas, dalam hal ini sistitis akut dan pielonefritis akut pada
individu yang sehat. Fakor risiko yang mendasari ISK jenis ini adalah
faktor risiko yang tidak diketahui, infeksi berulang dan faktor risiko
diluar traktus urogenitalis. ISK ini banyak diderita oleh wanita tanpa
adanya kelainan struktural dan fungsional di dalam saluran kemih,
maupun penyakit ginjal atau faktor lain yang dapat memperberat
penyakit. Pada pria ISK non komplikata hanya terdapat pada sedikit
kasus.
b. Infeksi saluran kemih komplikata adalah sebuah infeksi yang
diasosiasikan dengan suatu kondisi, misalnya abnormalitas struktural
atau fungsional saluran genitourinari atau adanya penyakit dasar yang
mengganggu dengan mekanisme pertahanan diri individu, yang
meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi atau kegagalan terapi.

3. Etiologi
Mikroorganisme yang sering menyebabkan ISK antara lain Escherichia
coli (merupakan mikroorganisme yang paling sering diisolasi dari pasien
dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik), Proteus sp, Klebsiella sp,
Enterobacter sp, Citrobacter sp. Infeksi yang disebabkan Pseudomonas sp
dan mikroorganisme lainnya seperti Staphylococcus jarang dijumpai
kecuali pasca kateterisasi. Mikroorganisme lain yang kadang-kadang
dijumpai sebagai penyebab ISK adalah Chlamydia dan Mycoplasma.

4. Faktor Risiko
Faktor – faktor yang mempengaruhi infeksi saluran kemih (Kasper,
2005):
a. Jenis kelamin dan aktivitas seksual
Secara anatomi, uretra perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm
dan terletak di dekat anus. Hal ini menjadikannya lebih rentan untuk
terkena kolonisasi bakteri basil gram negatif. Karenanya, perempuan
lebih rentan terkena ISK. Berbeda dengan laki-laki yang struktur
uretranya lebih panjang dan memiliki kelenjar prostat yang sekretnya
mampu melawan bakteri, ISK pun lebih jarang ditemukan. Pada wanita
yang aktif seksual, risiko infeksi juga meningkat. Ketika terjadi koitus,
sejumlah besar bakteri dapat terdorong masuk ke vesika urinaria dan
berhubungan dengan onset sistitis. Semakin tinggi frekuensi
berhubungan, makin tinggi risiko sistitis. Oleh karena itu, dikenal istilah
honeymoon cystitis (Sobel, 2005).
Penggunaan spermisida atau kontrasepsi lain seperti diafragma dan
kondom yang diberi spermisida juga dapat meningkatkan risiko infeksi
saluran kemih karena mengganggu keberadaan flora normal introital dan
berhubungan dengan peningkatan kolonisasi E.coli di vagina. Pada
lakilaki, faktor predisposisi bakteriuria adalah obstruksi uretra akibat
hipertrofi prostat. Hal ini menyebabkan terganggunya pengosongan
vesika urinaria yang berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi.
Selain itu, laki-laki yang memiliki riwayat seks anal berisiko lebih tinggi
untuk terkena sistitis, karena sama dengan pada wanita saat melakukan
koitus atau hubungan seksual dapat terjadi introduksi bakteri-bakteri atau
agen infeksi ke dalam vesika urinaria. Tidak dilakukannya sirkumsisi
juga menjadi salah satu faktor risiko infeksi saluran kemih pada laki-laki.
b. Usia
Prevalensi ISK meningkat secara signifikan pada manula.
Bakteriuria meningkat dari 5-10% pada usia 70 tahun menjadi 20% pada
usia 80 tahun. Pada usia tua, seseorang akam mengalami penurunan
sistem imun, hal ini akan memudahkan timbulnya ISK. Wanita yang
telah menopause akan mengalami perubahan lapisan vagina dan
penurunan estrogen, hal ini akan mempermudah timbulnya ISK.
c. Obstruksi
Penyebab obstruksi dapat beraneka ragam diantaranya yaitu tumor,
striktur, batu, dan hipertrofi prostat. Hambatan pada aliran urin dapat
menyebabkan hidronefrosis, pengosongan vesika urinaria yang tidak
sempurna, sehingga meningkatkan risiko ISK.
d. Disfungsi neurogenik vesika urinaria
Gangguan pada inervasi vesika urinaria dapat berhubungan dengan
infeksi saluran kemih. Infeksi dapat diawali akibat penggunaan kateter
atau keberadaan urin di dalam vesika urinaria yang terlalu lama.
e. Vesicoureteral reflux
Refluks urin dari vesika urinaria menuju ureter hingga pelvis renalis
terjadi saat terdapat peningkatan tekanan di dalam vesika urinaria.
Tekanan yang seharusnya menutup akses vesika dan ureter justru
menyebabkan naiknya urin. Adanya hubungan vesika urinaria dan ginjal
melalui cairan ini meningkatkan risiko terjadinya ISK.
f. Faktor virulensi bakteri
Faktor virulensi bakteri mempengaruhi kemungkinan strain tertentu,
begitu dimasukkan ke dalam kandung kemih, akan menyebabkan infeksi
traktus urinarius. Hampir semua strain E.coli yang menyebabkan
pielonefritis pada pasien dengan traktus urinarius normal secara
anatomik mempunyai pilus tertentu yang memperantarai perlekatan pada
bagian digaktosida dan glikosfingolipid yang adadi uroepitel. Strain yang
menimbulkan pielonefritis juga biasanya merupakan penghasil
hemolisin, mempunyai aerobaktin dan resisten terhadap kerja
bakterisidal dari serum manusia.
g. Faktor genetik
Faktor genetik turut berperan dalam risiko terkena ISK. Jumlah dan
tipe reseptor pada sel uroepitel tempat menempelnya bakteri ditentukan
secara genetik.

5. Manifestasi Klinik
a. ISK Non Komplikata
1) Sistitis Nonkomplikata
Sistitis adalah infeksi kandung kemih dengan sindroma klinis yang
terdiri dari disuria, frekuensi, urgensi dan kadang adanya nyeri pada
suprapubik.
Tanda dan gejala : Gejala iritatif berupa disuria, frekuensi, urgensi,
berkemih dengan jumlah urin yang sedikit, dan kadang disertai nyeri
supra pubis. Sistitis ditandai dengan adanya leukosituria, bakteriuria,
nitrit, atau leukosit esterase positif pada urinalisis. Bila dilakukan
pemeriksaan kultur urin positif.
2) Pielonefritis Nonkomplikata
Pielonefritis akut adalah infeksi akut pada parenkim dan pelvis ginjal
dengan sindroma klinis berupa demam, menggigil dan nyeri pinggang
yang berhubungan dengan bakteriuria.
Tanda dan gejala: Pielonefritis akut ditandai oleh menggigil, demam
(>38oC), nyeri pada daerah pinggang yang diikuti dengan bakteriuria
dan piuria yang merupakan kombinasi dari infeksi bakteri akut pada
ginjal.
b. ISK Komplikata
Suatu ISK komplikata diikuti dengan gejala klinis seperti dysuria,
urgensi, frekuensi, nyeri kolik, nyeri sudut kostoverteba, nyeri
suprapubik dan demam. Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS)
dapat disebabkan oleh ISK tapi juga oleh gangguan urologi lainnya,
seperti misalnya benign prostatic hyperplasia (BPH) atau transurethral
resection of the prostate (TURP). Kondisi medis seperti diabetes mellitus
(10%) dan gagal ginjal seringkali ditemukan dalam sebuah ISK
komplikata.

6. Patofisiologi
Pada individu normal, biasanya urin laki-laki maupun perempuan selalu
steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kemihnya. Utero distal
merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious
gram-positive dan gram negative. Hampir semua ISK disebabkan invasi
mikroorganisme ascending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada
beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal.
Proses ini, dipermudah refluks vesikoureter (Sudoyo, 2009).
Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di
klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriema. Ginjal diduga merupakan
lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat
Staphylococcus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis
(Staphylococcus aureus) dikenal Nephritis Lohein. Beberapa penelitian
melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen
(Sukandar, 2006).
7. WOC

MIkoorganisme Pathogenik Sistoskopik,


Usia Lanjut,
(E. Coli, Proteus, Klebsiella, Dekubitus terinfeksi,
Pengosongan kandung
Pseudomonas) Kontaminasi Fekal
kemih tidak efektif

Dstensi Kandung kemih Berkoloniasi di vulva Perawatan Tidak


Efektif

Resistensi kandung kemih ↓


Masuk ke V. Urinaria
melalui uretra

Pertumbuhan bakteri ↑
Penimbunan cairan
bertekanan dalam pelvis &

ISK Ureter/ Hidronetrosis

Gangguan Fungsi
Ginjal
Inflamasi Hospitalisasi Obstruksi aliran urine
pada uretra
Secara Hematogen menyebar
keseluruh saluran TU

Perubahan Pola
Nyeri Kurang Eliminasi Urine
Pengetahuan
Akut
8. Penatalaksanaan
Beberapa penatalaksanaan mengenai infeksi saluran kemih (ISK)
(Ikatan Dokter Indonesia, 2011) :
a. Medikamentosa
Penyebab tersering ISK adalah Eschericia colli. Sebelum ada hasil
biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empiric selama
7-10 hari untuk indikasi infeksi akut.
b. Bedah
Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan.
c. Suportif
Selain pemberian antibiotik, penderita ISK mendapat asupan cairan yang
cukup, perawatan hygiene daerah perineum dan periuretra, serta
pencegahan konstipasi.
d. Pemantauan terapi
Pengobatan fase akut dimulai, gejala ISK umumnya menghilang,
diperkirakan untuk mengganti antibiotik yang lain. Pemeriksaan kultur
dan uji resistensi urin ulang dilakukan 3 hari setelah pengobatan fase akut
dihentikan, dan bila memungkinkan setelah 1 bulan dan setiap 3 bulan.
Jika ada ISK berikan antibiotic sesuai hasil uji kepekaan.
e. Pendidikan kesehatan
Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan perineum setelah defekasi
dan berkemih.

9. Pemeriksaan Penunjang
Jenis-jenis pemeriksaan diagnostik pada infeksi saluran kemih (Wong,
2008) :
a. Biopsi ginjal
Pengambilan jaringan ginjal dengan teknik terbuka atau perkutan untuk
pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskop cahaya,
elektron, atau immunofluresen
b. Pemeriksaan USG ginjal atau kandung kemih
Transmisi gelombang ultrasonic melalui parenkim ginjal, di sepanjang
saluran ureter dan di daerah kandung kemih.
c. Computed tomography (CT)
Pemeriksaan dengan sinar-X pancaran sempit dan analisis computer akan
menghasilkan rekontruksi area yang tepat.
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk menentukan dua parameter
penting ISK yaitu leukosit dan bakteri. Pemeriksaan rutin lainnya seperti
deskripsi warna, berat jenis dan pH, konsentrasi glukosa, protein, keton,
darah dan bilirubin tetap dilakukan.
e. Pemeriksaan dipstik
Pemeriksaan dengan dipstik merupakan salah satu alternatif pemeriksaan
leukosit dan bakteri di urin dengan cepat. Untuk mengetahui leukosituri,
dipstik akan bereaksi dengan leucocyte esterase (suatu enzim yang
terdapat dalam granul primer netrofil). Sedangkan untuk mengetahui
bakteri, dipstik akan bereaksi dengan nitrit (yang merupakan hasil
perubahan nitrat oleh enzym nitrate reductase pada bakteri). Penentuan
nitrit sering memberikan hasilegatif palsu karena tidak semua bakteri
patogen memiliki kemampuan mengubah nitrat atau kadar nitrat dalam
urin menurun akibat obat diuretik. Kedua pemeriksaan ini memiliki
angka sensitivitas 60-80% dan spesifisitas 70 – 98 %. Sedangkan nilai
positive predictive value kurang dari 80 % dan negative predictive value
mencapai 95%. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik urin dan kultur urin.
Pemeriksaan dipstik digunakan pada kasus skrining follow up. Apabila
kedua hasil menunjukkan hasil negatif, maka urin tidak perlu dilakukan
kultur.
f. Pemeriksaan mikroskopik urin
Meski konsep ini memperkenalkan mikrobiologi kuantitatif ke dalam
diagnosa penyakit infeksi masih cukup penting, baru-baru ini tampak
jelas bahwa tidak ada hitungan bakteri yang pasti dalam mengindikasikan
adanya bakteriuria yang bisa diterapkan pada semua jenis ISK dan dalam
semua situasi. Berikut interpretasi urin yang secara klinis termasuk
relevan :
1) ≥103 cfu/mL uropatogen dalam sebuah urin sampel tengahdalam
acute unkomplikata cystitis pada wanita
2) ≥104 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU dalam acute
unkomplikata pyelonephritis pada wanita
3) ≥105 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU pada wanita, atau ≥104
cfu/mL uropatogen dalam sebuah MSU pada pria, atau pada straight
catheter urine pada wanita, dalam sebuah komplikata ISK.
4) spesimen pungsi aspirasi suprapubic, hitungan bakteri berapapun
dikatakan bermakna. Bakteriuria asimptomatik didiagnosis jika dua
kultur dari strain bakteri yang sama, diambil dalam rentang waktu ≥
24 jam, menunjukkan bakteriuria ≥105 cfu/mL uropatogen.

10. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan yaitu : gagal ginjal akut, urosepsis, nekrosis
papila ginjal, terbentuknya batu saluran kemih, supurasi atau pembentukan
abses, dan granuloma (Purnomo, 2011).

11. Pencegahan
Sebagian kuman yang berbahaya hanya dapat hidup dalam tubuh
manusia. Untuk melangsungkan kehidupannya, kuman tersebut harus
pindah dari orang yang telah terkena infeksi kepada orang sehat yang belum
kebal terhadap kuman tersebut. Kuman mempunyai banyak cara atau jalan
agar dapat keluar dari orang yang terkena infeksi untuk pindah dan masuk
ke dalam seseorang yang sehat. Kalau kita dapat memotong atau
membendung jalan ini, kita dapat mencegah penyakit menular. Kadang kita
dapat mencegah kuman itu masuk maupun keluar tubuh kita. Kadang kita
dapat pula mencegah kuman tersebut pindah ke orang lain (Irianto &
Waluyo, 2004).
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum,
yaitu pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi
promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua
(secondary prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang
tepat, dan pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi. Ketiga tingkatan
pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga dalam
pelaksanaannya sering dijumpai keadaan tumpang tindih (Noor, 2006).
Beberapa pencegahan infeksi saluran kemih dan mencegah terulang
kembali, yaitu :
a. Jangan menunda buang air kecil, sebab menahan buang air kecil
merupakan sebab terbesar dari infeksi saluran kemih.
b. Perhatikan kebersihan secara baik, misalnya setiap buang air kecil
bersihkanlah dari depan ke belakang. Hal ini akan mengurangi
kemungkinan bakteri masuk ke saluran urin dari rektum.
c. Ganti selalu pakaian dalam setiap hari, karena bila tidak diganti bakteri
akan berkembang biak secara cepat dalam pakaian dalam.
d. Pakailah bahan katun sebagai bahan pakaian dalam, bahan katun dapat
memperlancar sirkulasi udara.
e. Hindari memakai celana ketat yang dapat mengurangi ventilasi udara,
dan dapat mendorong perkembangbiakan bakteri.
f. Minum air yang banyak.
g. Gunakan air yang mengalir untuk membersihkan diri selesai berkemih.
h. Buang air kecil sesudah berhubungan, hal ini membantu menghindari
saluran urin dari bakteri.

12. Konsep Teori Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Pengkajian yang dilaksanakan pada pasien dengan gangguan/ penyakit
urogenital meliputi :
1) Identitas pasien, meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama,
pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, alamat, dll.
2) Riwayat kesehatan meliputi berbagai gangguan/ penyakit yang lalu,
berhubungan dengan atau yang dapat mempengaruhi penyakit
sekarang.
3) Riwayat kesehatan keluarga
4) Riwayat kesehatan pasien
5) Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/ gangguan yang
berhubungan dengan gangguan/ penyakit yang dirasakan saat ini.
6) Bagaimana frekuensi miksinya, apakah terdapat : poliuri, oliguri,
miksi keluar sedikit-sedikit tapi sering, urgency, nocturi, tempo
berhentinya arus urin selama miksi, pasien mengalami keraguan/
kesukaran sewaktu melalui miksi, urine keluar secara menetes,
incontinentia urine.
7) Adakah kelainan waktu miksi seperti : disuri, ada rasa panas,
hematuri, piuri, lithuri
8) Apakah rasa sakit terdapat pada daerah setempat atau secara umum
9) Apakah penyakit timbul setalah adanya penyakit yang lain
10) Apakah terdapat mual, muntah
11) Apakah terdapat oedem
12) Bagaimana keadaan urinnya (volume, warna, bau, berat jenis, jumlah
urine selama 24 jam)
13) Adakah secret atau darah yang keluar
14) Adakah hambatan seksual
15) Bagaimana riwayat haid (menarche, abortus, pemakaian alat
kontrsepsi)
16) Rasa nyeri (lokasi, identitas, saat timbulnya nyeri)
17) Riwayat persalinan
18) Riwaya perdarahan
19) Data fisik
Inspeksi : Secara umum da secara khusus pada daerah genetalia
Palpasi : Pada daerah abdomen, buli-buli, lipat paha
Auskultasi : daerah abdomen
Perkusi : daerah abdomen, ginjal
Keadaan umum pasien :
a) Tingkat kesadaran
b) Tinggi badan/ berat badan
c) Tanda-tanda vital meliputi tensi, nadi, suhu, pernafasan
20) Data psikologis:
a) Keluhan dan reaksi pasien terhadap penyakit
b) Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit
c) Persepsi pasien terhadap pasien
d) Penanggulangan masalah
21) Data sosial, budaya, spiritual
a) Umum
Hubungan dengan orang lain, kepercayaan yang dianut dan
keaktifannya, kegiatan dan kebutuhan sehari-hari
• Nutrisi (kebiasaan makan, jenis makanan, makanan pantangan,
kebiasaan minum, jenis minuman)
• Eliminasi/ kebiasaan BAB dan BAK (konsistensi, warna, bau,
jumlah)
• Olahraga (jenis, teratur atau tidak)
• Istarah/ tidur (waktu, lamanya)
• Personal hygiene (mandi, gosok gigi, cuci rambut, ganti pakaian,
kebersihan kuku, kebersihan genetalia)
• Ketergantungan (rokok, makanan, minuman, obat)
b) Khusus
Hal-hal yang berhubungan dengan panyakit yang diderita oleh
pasien (keluarga dan lingkungannya).
c) Data khusus meliputi :
Hasil-hasil pemeriksaan, program medis (pengobatan, tindakan
medis).
b. Diagnosa keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
2) Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan akibat adanya infeksi.
3) Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya
sehubungan dengan kuranganya informasi
4) Potensial terjadinya infeksi sekunder sehubungan dengan keluarnya
cairan terus menerus dari kemaluan
5) Gangguan istrahat tidur sehubungan dengan nyeri yang hebat.
6) Perubahan pola eliminasi urine ; disuria, sehubungan dengan adanya
akibat peradangan.
c. Intervensi keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan: Rasa nyaman pasien meningkat ditandai dengan :
• Rasa nyeri berkurang
• Pasien tenang
• Ekspresi wajah relaks
• Pasien dapat menyebutkan penyebab dan cara mengatasi nyeri
Intervensi dan rasional :
• Beri penjelasan tentang penyebab rasa nyeri
Rasional : Penjelasan tentang penyebab rasa nyeri dapat
memberikan informasi positif kepada pasien dan keluarga sehingga
dapat menurunkan kecemasan dan turut aktif dalam tindakan
pengobatan
• Mengatur posisi tidur yang menyenangkan
Rasional : Akan mengurangi nyeri dan meningkatkan keinginan
tidur pasien.
• Mengajarkan cara mengurangi rasa nyeri (relaksasi) dan
memberikan kegiatan positif
Rasional : Teknik relaksasi dapat megalihkan perhatian pasien dari
perasaan nyeri sehingga pasien merasa nyaman
• Memberikan kompres hangat pada daerah yang terasa nyeri dan
Menganjurkan untuk meminum air hangat
Rasional : Kompres hangat dapat meningkatkan vasodilatasi
pembuluh darah
• Massage daerah pinggang untuk mengurangi nyeri
Rasional : Untuk mengurangi impuls nyeri melalui medulla
spinalis sehingga nyeri yang dirasakan berkurang.
• Ciptakan lingkungan terapiutik yang nyaman
Rasional : Lingkungan terapeutik yang tenang dan nyaman dapat
mengurangi stress sehingga hormone cortisol tidak disekresikan
yang mana jika cortisol tersekresi maka akan meningkatkannyeri
• Melaksanakn program terapi : Analgetik dan antibiotic
Rasional : Analgetik dapat mengurangi nyeri dan antibiotic
mengurangi dan menghilangkan factor penyebab.
2) Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan akibat adanya infeksi.
Tujuan :
• Suhu tubuh pasien normal (36 – 37oc)
• Pasien tenang
Intervensi dan rasional :
• Memonitor tanda-tanda vital
Rasional : Untuk mengetahui tindakan selanjutnya
• Beri penjelasan tentang penyebab peningkatan suhu tubuh
Rasional : Penjelasan tentang penyebab rasa nyeri dapat
memberikan informasi positif kepada pasien dan keluarga sehingga
dapat menurunkan kecemasan dan turut aktif dalam tindakan
pengobatan
• Kaji peningkatan suhu tubuh melalui pemeriksaan laboratorium
Rasional : Untuk mengetahui factor penyebab peningkatan suhu
tubuh dan untuk menetapkan program terapi selanjutnya
• Beri pasien banyak minum 3 – 4 liter sehari, tidak ada kontra
indikasi
Rasional : Minum bayak akan merangsang peningkatan sekresi
urin sehingga pada saat BAK bakteri akan terbawa oleh urin.
• Lakukan kompres dingin atau hangan pada tubuh sampai suhu
normal
Rasional : Kompres hangat dapat meningkatkan vasodilatasi
pembuluh darah sedangkan kompres dingin meningkatkan
vasokontriksi pembuluh darah.
• Melaksanakan program terapi : Penatalaksanaan antipiretik sesuai
indikasi
Rasional : Antipiretik menurunkan demam
• Monitor intake dan output cairan
Rasional : Intake dan out put yang kurang dapat merangsang
perkembangan bakteri dalam vesica urinaria
3) Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya
sehubungan dengan kuranganya informasi
Tujuan : Pengetahuan pasien tentang penyakitnya meningkat
Intervensi dan rasional :
• Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit yang di derita
Rasional :Untuk mengetahui kesiapan pasien dan keluarga serta
untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang
penyakit yang diderita
• Jelaskan secara singkat tentang penyakit, perawatan dan
pengobatan
Rasional: Untuk menambah pengetahuan pasien dan keluarga
tentang penyakit, perawatan dan pengobatan sehingga dapat
berpartisipasi dalam pengobatan
4) Potensial terjadinya infeksi sekunder sehubungan dengan keluarnya
cairan terus menerus dari kemaluan
Tujuan :
• Tidak terjadi infeksi sekunder
• Tidak ditemukan tanda-tanda radang
Intervensi dan rasional :
• Kaji tanda-tanda radang
Rasional : Untuk mengetahu adanya infeksi serta mempermudah
dalam pemberian tindakan selanjutnya
• Monitor suhu tubuh
Rasional : Infeksi dapat menunjukan peningkatan suhu tubuh
• Beri penjelasan tentang kebersihan diri/ genetalia
Rasional : Mencegah penyebaran infeksi dan perkembangan debris
bakteri
• Bekerjalah dengan prinsip aseptic dan antiseptic
Rasional : Untuk mencegah terjadinya infeksi nasokomial
• Laksanakan program pengobatan
Rasional : Untuk mengurangi penyebaran kuman penyakit
5) Gangguan istrahat tidur sehubungan dengan nyeri yang hebat.
Tujuan : Kebutuhan istrahat tidur terpenuhi
Intervensi dan rasional :
• Kaji waktu dan lamanya tidur
Rasional : Mengetahui jumlah kebutuhan tidur pasien sehingga
dapat meningkatkan kesehatan dan daya tahan tubuh
• Kaji kebiasaan tidur pasien
Rasinal : Dapat membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan
tidur pasien
• Ciptakan lingkungan yang tenang
Rasional : Meningkatkan istirahat pasien
• Jelaskan pentingnya istrahat dan tidur bagi kesehatan
Rasional : Untuk menambah pegetahuan pasien mengenai penyakit
dan berpartisipasi dalm tindakan pengobatan
• Anjurkan pasien untuk tidur pada saat – saat yang tenang
Rasional : Mengurangi gangguan pada saat tidur, sehingga
kebutuhan tidur terpenuhi
6) Perubahan pola eliminasi urine ; disuria, sehubungan dengan adanya
akibat peradangan .
Tujuan :
• Pola eliminasi urine kembali normal
• Keluhan bak tidak ada lagi
Intervensi dan rasional :
• Kaji keluhan buang air kacil
Rasional : Untuk mengetahui masalah eliminasi dan menentukan
tindakan yang tepat
• Jelaskan penyebab perubahan pola eliminasi
Rasional : Mengurangi kecemasan pasien
• Anjurkan pasien untuk minum cukup bila tidak ada kontra indikasi
Rasional : Untuk rehidrasi cairan dan untuk pengeluaran bakteri
dan mikroorganisme lainnya
• Kosongkan kandung kemih tiap 2-3 jam
Rasional : Mencegah perkembangan bakteri
• Tampung urine 24 jam untuk pemeriksaan dan kaji pengeluaran
urine (jumlah, waran, bau)
Rasional : Untuk mengetahui agen penyebab gangguan ISK
• Observasi sedini mungkun tanda-tanda gagal ginjal
Rasional : Mencegah terjadinya komplikasi
d. Implementasi keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi,
penguasaan ketrampilan interpersonal, intelektual dan tehnikal.
e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi didasarkan pada rencana yang telah di laksanakan dalam
upaya memodifikasi tindakan selanjutnya, berdasrkan tujuan umum dan
tujuan khusus.
Evaluasi merupakan kegiatan yang membendingkan antara hasil
implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhasil
sebahagian, perlu disusun rencana keparawatan yang baru.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional
dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang
dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi
keparawatan. O adalah keadaan objektif yang dapat didefinisikan oleh
perawat menggunakan pengamatan atau pengamatan yang objektif
setelah implementasi keperawatan. A merupakan analisis perawat
setelah mengetahui respon subjektif dan objekstif keluarga yang
dibandingkan dengan criteria dan standar yang telah ditentukan mengacu
pada pada tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah
perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
BAB 3
KASUS

A. ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN GAGAL GINJAL


KRONIK DI RSUP FATMAWATI
1. Pengkajian
a) Identitas pasien
Pasien dengan nama Tn. A (53 tahun 2 bulan) datang ke IGD RSUP
Fatmawati pada tanggal 9 juni 2014. Dilakukan pengkajian pada tanggal
12 juni 2014. Pasien mengeluh napas terasa sesak, pasien memiliki
seorang istri dan dua orang anak. Agama pasien islam. Pasien saat ini
sudah tidak bekerja. Saat ini pasien tinggal bersama istrinya.
b) Anamnesis
1) Keluhan utama pada saat dirawat
Pasien mengeluh sesak napas, sesak mulai terasa sejak 4 bulan
sebelum masuk rumah sakit (SMRS), sesak terasa meskipun sedang
beristirahat. Kaki dan tangan bengkak sejak dua minggu yang lalu.
2) Riwayat kesehatan yang lalu
Pasien mengatakan pernah dirawat di RS Pertamina (didapatkan hasil
bahwa terdapat cairan di paru-paru). Berdasarkan data pada status
rekam medik, sebelumnya pasien pernah dilakukan punksi pleura 2
kali (di RS pertamina). Riwayat hipertensi disangkal, riwayat diabetes
mellitus (DM) ada (pasien mengetahui gula darahnya tinggi pada
tahun 2012, mengkonsumsi metformin 1x500 mg. pasien memiliki
riwayat merokok, 1 batang setiap hari, tetapi sudah berhenti sejak 2
tahun yang lalu. Pasien mengatakan sebelumnya bekerja sebagai
sopir, pernah menjadi sopir di perusahaan minuman bersoda, dan
mengkonsumsi minuman bersoda tersebut setiap hari karena
diperoleh dengan gratis dan terasa segar di badan. Pasien juga
mengatakan bahwa tidak pernah minum minuman keras seperti
alkohol.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit yang sama dengan
pasien. Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit ginjal,
dari keluarga.
4) Aktivitas/istirahat
Pasien seorang sopir namun sudah pensiun. Saat ini tidak punya
banyak kegiatan. Aktivitas sehari-hari terbatas karena napas terasa
sesak apabila berjalan, meski hanya 5 menit. Pasien tidur malam mulai
jam 19.00-23.00 (4 jam) kemudian terbangun dan kembali tertidur
lagi jam 01.00-06.00 (5 jam). di RS pasien merasa sulit tidur karena
napasnya sesak. Pasien kooperatif. Aktivitas di rumah sakit hanya
berbaring atau duduk disekitar tempat tidur.
5) Sirkulasi
Pasien mengatakan ujung jari tangan kiri terasa kesemutan. Saat
dilakukan pengkajian tanda-tanda vital awal, tekanan darah 150/110
mmHg, nadi radialis 98 x/menit teraba kuat dan regular, suhu 36,60C.
Bentuk dada simetris, perkusi pekak pada ICS 5 dan 6, tidak teraba
massa dan tidak ada nyeri tekan, auskultasi bunyi jantung I dan II
normal, tidak ada murmur/gallop. Ekstremitas suhu kaki dan tangan
teraba hangat dan lembab (berkeringat), kulit kaki tampak kering dan
pecah-pecah, warna kulit kaki agak cokelat kehitaman, pengisian
kapiler < 3 detik. Warna wajah sedikit pucat, membran mukosa bibir
cokelat, punggung kuku melengkung baik, konjungtiva agak pucat,
sclera putih.
6) Integritas ego
Pasien mengatakan tidak mau cuci darah, takut melihat pasien
disebelahnya menjadi tidak sadarkan diri setelah di cuci darah. Untuk
finansial tidak ada masalah karena sudah menggunakan kartu BPJS.
Status emosi tampak tenang.
7) Eliminasi
Pasien mengatakan BAB 3 x sehari (selama di RS), konsistensi lunak,
warna kuning, jumlah sedikit, tidak ada riwayat hemoroid. BAK
menggunakan folley catheter, warna urin kuning jernih, kateter sudah
terpasang selama 3 hari. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan data;
inspeksi abdomen tampak sedikit membuncit, auskultasi didapatkan
bising usus 10 x/menit, pada perkusi hipertimpani dan pada palpasi
tidak teraba massa, dan ada nyeri tekan pada daerah epigastrium
8) Makanan/ cairan
Pasien memiliki BB saat dikaji 62 Kg, BB sebelum sakit 49 Kg. Tinggi
badan (TB) 153 cm. Berat badan ideal pasien adalah 47,7 Kg (90%
(153-100)). Index masa tubuh pasien adalah 26,9 (tapi pasien tidak
bisa dikatakan obesitas, karena sedang mengalami edema). Maka
kebutuhan energi basalnya adalah 1431 Kkal. Sementara kebutuhan
kalori total pasien adalah 1860,3 Kkal. Pada saat di RS mendapat
terapi Diit ginjal 1900 kkalori dan protein 6 gr/kgBB. Pemeriksaan
laboratorium pasien menunjukkan nilai Hb 9,9 g/dl. Berdasarkan
penampilan klinis, pasien tidak tampak kurus (saat ini edema),
konjungtiva tampak pucat. Pasien makan nasi biasa dan lauk serta
sayur. Habis ½ porsi, kadang habis 1 porsi. Tidak ada mual dan
muntah. Ulu hati terasa nyeri. Tidak ada alergi makanan. Kemampuan
mengunyah dan menelan masih baik, bentuk tubuh tegak. Turgor kulit
elastis, kelembaban kering dan pecah-pecah pada kedua kaki di bagian
bawah. Terdapat edema pada ekstremitas atas kanan dan kiri, edema
derajat 2. Terdapat edema pada ekstremitas bawah kanan dan kiri,
derajat 3. Edema periorbita kanan dan kiri.
9) Kebersihan/ hygiene
Aktivitas sehari-hari dibantu oleh istrinya, mobilitas berjalan terbatas.
Makan dapat dilakukan sendiri, mandi dan berpakaian dibantu istri
(keluarga). Toileting dibantu keluarga, pasien menggunakan diaper,
cara berpakaian sesuai, tidak tercium bau.
10) Neurosensori
Pasien mengeluh kesemutan pada jari-jari tangan kiri dan jari-jari kaki
kiri. Penglihatan normal, pendengaran dapat mendengar tapi kurang
baik. Memori saat ini masih baik.
11) Nyeri/ ketidaknyamanan
Pasien mengeluh nyeri di daerah ulu hati dengan skala 2-3, nyeri saat
ditekan, frekuensi intermitten, tidak ada penjalaran ke area lain, faktor
pencetus bila ada mual, cara mengatasi dioles minyak kayu putih dan
dimasase lembut. Ekspresi saat menahan nyeri pasien tampak
mengerutkan mata dan menjaga area yang nyeri. Respon emosi
tenang dan merasa nyerinya akan hilang setelah minum sirup obat
maag.
12) Pernapasan
Pasien mengatakan napas terasa sesak, meskipun sedang beristirahat
sesak tetap terasa. Pasien memiliki riwayat merokok 1 batang per hari,
dan sudah berhenti merokok sejak 2 tahun yang lalu. Frekuensi
pernafasan 30 x/menit. Bentuk dada simetris, tidak tampak
penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi napas vesikuler, menurun
pada bagian basal, tidak ada sianosis, tidak ada sputum, perkusi sonor,
tidak teraba adanya masa.
13) Keamanan
Pasien tidak ada riwayat alergi,ROM aktif, tonus otot
5555 5555

5555 5555
Saat ini pasien tidak mampu berjalan jauh karena merasa sesak. Nilai
Braden scale: 18 (risiko sedang), Tingkat kecemasan: 18 (ringan)
14) Interaksi sosial
Pasien memiliki seorang istri dan dua orang anak, kedua anak pasien
sudah menikah dan tinggal terpisah. Saat ini peran dalam keluarga
sebagai ayah, interaksi dengan keluarga baik. Namun selama dirawat
anak perempuannya belum menjenguk dikarenakan sedang hamil dan
akan melahirkan. Bicara jelas dan dapat dimengerti dengan yang
menerima informasi.
c) Hasil lab.
Jenis
Tanggal Nilai Satuan Nilai normal
Pemeriksaan
9/5/2017 ₋Hematologi
Hemoglobin 8,8 g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 28 % 33-45
Lekosit 5,8 Ribu/ul 5,0-10,0
Trombosit 306 Ribu/ul 150-440
Eritrosit 3,24 Juta/ul 3,80-2,0
₋Kimia klinik
SGOT 37 U/l 0-34
SGPT 1 U/l 0-40
9/5/2017 -Fungsi ginjal
Ureum darah 98 mg/dl 20-40
Kreatinin darah 5,6 mg/dl 0,6-1,5
₋Diabetes
Glukosa darah 77 mg/dl 70-140
sewaktu
Glukometer 89 mg/dl
-Analisa gas darah
pH 7,328 mmHg 7,370-7,440
PCO2 26,4 mmHg 35,0-45,0
PO2 128,9 mmol/l 83,0-108,0
HCO3 13,5 21,0-28,0
O2 Saturasi 98,4
BE -10,6
-Elektrolit darah
Natrium 144 mmol/l 135-147
Kalium 4,27 mmol/l 3,10-5,10
Klorida 106 mmol/l 95-108
Calcium ion 1,15 mmol/l 1,5
-Seroimunologi
HBsAg Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
12/5/2017 ₋Hematologi
Hemoglobin 9,0 g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 32 % 33-45
Lekosit 5,6 Ribu/ul 5,0-10,0
Trombosit 308 Ribu/ul 150-440
Eritrosit 3,63 Juta/ul 3,80-,20
-Diabetes
Glukosa puasa 53 mg/dl
HBAIC 5,8 %
13/5/2017 ₋Hematologi
Hemoglobin 10,3 g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 34 % 33-45
Lekosit 6,3 Ribu/ul 5,0-10,0
Trombosit 339 Ribu/ul 150-440
Eritrosit 3,83 Juta/ul 3,80-,20
₋Kimia klinik
Fungsi ginjal
Ureum darah 133 mg/dl 20-40
Kreatinin 7,4 mg/d 0,6-1,5
13/5/2017 -Elektrolit darah
Natrium 143 mmol/l 135-147
Kalium 5,00 mmol/l 3,10-5,10
Klorida 116 mmol/l 95-108
Calcium ion 1,12 mmol/l 1,5
₋Asam urat darah 10,9 mg/dl
₋Fosfor 4,70 mg/dl
₋Magnesium 2,40 mg/dl
19/5/2017 Albumin 2,80 g/dl 3,40-4,80
₋Kimia klinik
Fungsi hati
Protein urin 5,288 mg24/ < 150
kuantitatif jam

Fungsi ginjal
Kreatinin darah 6,4 mg/dl 0,6-1,5
12/5/2017 KGDH
Jam 11.00 (Wib) 89 mg/dl 70-140
Jam 16.00 114

13/5/2017 Jam 06.00 90


19/5/2017 Jam 06.00 104
19/5/2017 -Urinalisa
Urobilinogen 0,2
Protein urin Positif 2
Berat jenis 1,020
Bilirubin Negatif
Keton Negatif
Nitrit Negatif
pH 6,0
Lekosit Positif 2
Darah/Hb Positif 3
Urin reduksi Negatif
19/5/2017 -Sedimen urin
Eritrosit 35-40
Lekosit Positif
Epitel >50000
Volume urin 4400 ml
24 jam
Kreatinin urin 29,0 mg/dl
CCT urin 15,9 ml/menit 97,0-
137,0
d) Hasil USG menyimpulkan bahwa :
• Hepar
Ukuran dan bentuk normal, permukaan regular. Sistemik bilier tidak
melebar, vena porta dan vena hepatica baik. Tampak ascites di
perihepatik.
• Ginjal kanan
Ukuran dan bentuk normal, ekhogenitas parenkim ginjal meningkat.
Sistem pelviokalises tak melebar. Tak ada batu/SOL.
• Ginjal kiri
Ukuran dan bentuk normal. Ekhogenitas parenkim ginjal meningkat.
Tak ada batu /SOL.
• Vesica urinaria
Ukuran dan bentuk normal, dinding menebal, tak ada batu.
• Aorta
Kaliber normal, tak tampak pembesaran KGB pada aorta.
• Kesan :
✓ Chronic kidney disease bilateral
✓ Ascites massif
✓ Efusi pleura bilateral
✓ Cystitis
e) Hasil Echokardiografi
• Fungsi global sistolik LV menurun, EF 22%
• Gangguan compliance, LVEDP meningkat
• Kontraktilitas RV menurun, efusi perikard tanpa tanda tamponade,
efusi pleura bilateral.
GFR (CCT hitung) = (140-53) x 62 = 13,3 ml/menit/1,73 m2
72 x 6
CTR= 70 %
f) Terapi medikasi

Nama obat Dosis Waktu Rute


Bicnat 1 tablet 2x PO
Paracetamol 1000 mg 3x PO
Captopril 12,5 mg 3x PO
Tramadol 2 ampul Bila perlu IV
Ceftriaxone 2 gr 1x IV
Furosemide 5 cc Per 24 jam IV
Balance cairan tanggal 12/5/2014 (jam 14.00-20.00)
Intake : 1400 cc
Output : 200 cc
IWL : (15 x BB) / 8 jam → dalam 1 shift
= 15 x 62 / 8 jam
= 116,25 cc
BC = I – O – IWL
= 1400 – 200 – 116,25
= +1083,75 cc/jam
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Tujuan Intervensi
No Diagnosa Keperawatan
Umum Khusus
1. Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan Pasien akan Mandiri :
ketidakseimbangan volume sirkulasi tindakan menunjukkan : 1.Auskultasi bunyi jantung dan paru.
& penurunan kerja miokard. keperawatan 4 x 1.Tekanan darah Evaluasi adanya edema
DS: Pasien mengatakan napas terasa 24 jam penurunan dalam batas perifer/kongesti vascular dan keluhan
sesak, sesak mulai terasa sejak 4 curah jantung normal dyspnea.
bulan sebelum masuk rumah sakit teratasi 2.Frekuensi 2.Kaji adanya derajat hipertensi, awasi
(SMRS), sesak terasa meskipun jantung dalam TD.
sedang beristirahat. batas normal 3.Evaluasi bunyi jantung, TD, nadi
DO: 3.Nadi perifer perifer, pengisian vaskuler, suhu dan
1. Frekuensi pernafasan 30 kuat, sensori.
x/menit. Bentuk dada simetris, 4.CRT <3 detik. 4.Kaji tingkat aktivitas
tidak tampak penggunaan otot Kolaborasi :
bantu pernapasan, bunyi napas 1.Awasi pemeriksaan lab: elektrolit,
vesikuler, menurun pada bagian BUN. Foto dada.
basal, tidak ada sianosis, tidak 2.Berikan obat antihipertensi
ada sputum, perkusi sonor, tidak 3.Berikan oksigen sesuai indikasi
teraba adanya masa.
2. Perkusi pekak pada ICS 5 dan 6,
tidak teraba massa dan tidak ada
nyeri tekan, auskultasi bunyi
jantung I dan II normal, tidak ada
murmur/gallop
3. Edema ekstremitas atas dan
bawah, edema periorbita kanan
dan kiri.
4. Tanda-tanda vital: Tekanan
darah: 150/110 mmHg, RR: 30
x/menit, Nadi: 98 x/menit, CTR:
70 %
5. Hasil echokardiografi: Fungsi
global sistolik LV menurun, EF
22%, gangguan compliance,
LVEDP meningkat,
kontraktilitas LV menurun, efusi
perikard tanpa tanda tamponade,
efusi pleura bilateral.
2. Kelebihan volume cairan b.d Setelah dilakukan Pasien akan Mandiri :
perubahan mekanisme regulasi tindakan menunjukkan: 1. Awasi denyut jantung dan tekanan
(gagal ginjal) dengan retensi air. keperawatan 1. Haluaran dan darah.
DS: pasien mengatakan badan selama 1 minggu berat jenis urin 2. Catat pemasukan dan pengeluaran
bengkak sejak 2 minggu sebelum volume cairan seimbang. akurat. Termasuk cairan tersembunyi
masuk rumah sakit. seimbang 2. Berat badan seperti aditif antibiotik.
DO: mendekati BB 3. Rencanakan penggantian cairan pada
1 . Hasil pengukuran balance cairan kering. pasien. Berikan minuman yang disukai
tgl 12/5/2014 : +1083,75 cc. 3. Tanda vital sepanjang 24 jam. Contoh kebutuhan
Terdapat edema pada dalam batas cairan dibekukan menjadi es.
ekstremitas atas kanan dan kiri, normal. 4. Timbang berat badan setiap hari
derajat 2. 4. Tidak ada (sesuai kemampuan pasien
2 . Terdapat edema pada edema 5. Auskultasi paru dan bunyi jantung
ekstremitas bawah kanan dan Nilai
kiri, derajat 3. laboratorium Kolaborasi :
Edema periorbita kanan dan kiri, fungsi ginjal dan 1.Awasi pemeriksaan laboratorium:
Ureum: 98 mg/dl, Kreatinin: 5,6 elektrolit elektrolit, HbHt. Dan foto dada.
mg/dl, BB sebelum sakit: 49 kg, BB membaik. 2.Berikan, batasi cairan sesuai indikasi
saat sakit: 62 Kg, Terjadi 3.Berikan obat sesuai indikasi:
peningkatan BB sebanyak 13 Kg. a. Diuretik (furosemide)
CCT hitung: 13,3 ml/menit/1,73 m2. b. Antihipertensif (captopril 12,5 mg)
Elektrolit darah: Natrium: 14,4 c. Pertahankan kateter tak menetap,
mmol/l, Kalium: 4,27 mmol/l, sesuai indikasi
Klorida : 106 mmol/l Siapkan untuk dialisis.
3. Intoleransi aktivitas b.d penurunan Setelah dilakukan Pasien akan Mandiri :
energi metabolik. tindakan menunjukkan : 1.Evaluasi adanya intoleransi aktivitas,
DS: Pasien mengatakan napas sesak, keperawatan 1.Tekanan darah perhatikan kemampuan tidur/istirahat
meskipun hanya berjalan 5 menit selama 4 x 24 jam normal selama dengan tepat.
DO: pasien dapat aktivitas, 2.Kaji kemampuan untuk berpartisipasi
1. Saat beristirahat tekanan darah mempertahankan 2.Tidak adanya pada aktivitas yang diinginkan/
150/110 mmHg, Nadi 98 aktivitas sesuai sesak napas, dibutuhkan.
x/menit, Respirasi 30 x/menit. kemampuan kelemahan dan 3.Rencanakan periode istirahat yang
Setelah beraktivitas (turun dari kelelahan. adekuat.
tempat tidur duduk di kursi) 4.Berikan bantuan dalam aktivitas
tekanan darah 160/110 mmHg, sehari-hari.
nadi 104xmenit, respirasi 5.Tingkatkan tingkat partisipasi sesuai
34x/menit. toleransi pasien.
2. Pasien tampak lebih sering di
tempat tidur dengan posisi
terlentang/miring dengan 1-2
bantal

4. Kerusakan integritas kulit b.d toksin Setelah dilakukan Pasien akan Mandiri :
uremik tindakan menunjukkan: 1. Inspeksi kulit terhadap perubahan
DS: Pasien mengatakan kulit terasa keperawatan 1.Mempertahan warna, turgor, vaskularisasi.
kencang selama 3 x 24 jam kan kulit utuh 2. Pantau masukan cairan dan hidrasi
DO: integritas kulit 2.Pasien/ kulit dan membran mukosa.
1. turgor kulit elastis, kelembaban membaik keluarga 3. Inspeksi area tergantung terhadap
kering dan pecah-pecah pada menunjukkan edema.
kedua kaki di bagian bawah. perilaku untuk 4. Berikan perawatan kulit, batasi
2. Terdapat edema pada ekstremitas mencegah penggunaan sabun, berikan salep,
atas kanan dan kiri, edema kerusakan/ krim atau minyak alami.
derajat 2. cedera kulit. 5. Pertahankan linen kering, bebas
3. Terdapat edema pada ekstremitas kerutan, selidiki keluhan gatal.
bawah kanan dan kiri, derajat 3. 6. Anjurkan menggunakan pakaian
4. Scrotum tampak edema dan katun longgar
mengkilap. Nilai Braden scale:
18 (risiko sedang).
5. Ketidakpatuhan terhadap rencana Setelah dilakukan Pasien akan Mandiri:
terapi b.d Regimen pengobatan tindakan menunjukkan: 1. Yakinkan persepsi/pemahaman
dialisis, penolakan dan kurang keperawatan 1.Pengetahuan pasien/orang terdekat terhadap
pengetahuan selama 2 x 24 jam akurat tentang situasi dan konsekuensi perilaku.
DS: Pasien mengatakan tidak mau kepatuhan penyakit dan 2. Tentukan sistem nilai
cuci darah, takut kondisinya meningkat pemahaman 3. Dengarkan dengan aktif pada
memburuk seperti pasien program keluhan/ pernyataan pasien.
sebelumnya terapi, 4. Identifikasi perilaku yang
DO: 2.Berpartisipasi mengindikasikan kegagalan untuk
1. Pasien didiagnosis GGK stage 5, dalam mengikuti program pengobatan
dan disarankan untuk menjalani membuat 5. Kaji tingkat ansietas, kemampuan
hemodialisa. tujuan dan kontrol perasaan tidak berdaya
2. Pasien tampak terlihat cemas rencana 6. Tentukan arti psikologis perilaku
(ringan) pengobatan, 7. Evaluasi sistem pendukung yang
3.Membuat digunakan oleh pasien
pilihan pada 8. Kaji perilaku pemberi perawatan
tingkat kesehatan pasien
kesiapan 9. Terima pilihan/ titik pandang pasien
berdasarkan 10. Buat sistem pengawasan diri:
informasi yang penimbangan BB dan pembatasan
akurat. cairan.
3. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Tanggal Diagnosa Implementasi Evaluasi


13-05-17 Penurunan curah 1. Melakukan auskultasi bunyi jantung S: Pasien mengatakan sesak napas bila banyak
jantung b.d dan paru-paru. Bunyi jantung I&II bergerak
ketidakseimbangan normal, bunyi paru- paru vesikuler. O:Pasien tampak terengah-engah saat
volume sirkulasi 2. Mengkaji tingkat aktivitas. (sesak bila bangun/merubah posisi dari tidur ke duduk
dan penurunan terlalu banyak bergerak edema ekstremitas masih terjadi, TD: 120/80
kerja miokard 3. Memberikan obat antihipertensi mmHg, Nadi: 92 x/menit, Respirasi: 28
x/menit.
A: Masalah belum teratasi
P:
1. Observasi nilai laboratorium (elektrolit)
2. Kaji adanya derajat hipertensi
Kelebihan volume 1. Mengobservasi tanda-tanda vital. TD: S: Pasien mengatakan bengkak-bengkak mulai
cairan b.d 120/80 mmHg, Nadi: 92 x/menit, berkurang.
perubahan Respirasi: 28 x/menit. O: Tanda-tanda vital dalam batas normal, edema
mekanisme 2. Mencatat pemasukan dan pengeluaran grade 3 di ekstremitas bawah, dan grade 2 di
regulasi (gagal Intake : 1400 cc ekstremitas atas. Edema periorbita hilang
ginjal) dengan Outake : 200 cc timbul,
retensi air. IWL : 116,25 A: Masalah belum teratasi
Balance: +1083,75 cc P:
3. Menimbang berat badan harian.BB: 1. Awasi nilai elektrolit
62 Kg 2. Tetap ukur Intake & output (libatkan
4. Melakukan auskultasi paru dan bunyi keluarga)
jantung. 3. Motivasi untuk dialisis
5. Bunyi paru-paru vesikuler, BJ I &II
normal.
6. Membatasi cairan sesuai indikasi
(IWL + jumlah urin output)
Memberikan terapi diuretik
(furosemide 5mg/jam)
Intoleransi 1. Mengevaluasi adanya intoleransi S: Pasien mengatakan lebih suka tidur terlentang
aktivitas b.d aktivitas atau miring saja.
penurunan energi 2. Menganjurkan keluarga untuk O: Nafas tampak terengah-engah saat berubah
metabolik. memberikan bantuan dalam aktivitas posisi dari tidur ke duduk. Keluarga tampak
sehari-hari membantu pasien saat makan dan ketika
pasien berpindah
A: Masalah belum teratasi
P: Tingkatkan partisipasi sesuai toleransi Pasien.
Kerusakan 1. Melakukan inspeksi pada kulit pasien. S: Pasien mengatakan kulit di sekitar kemaluan
integritas kulit b.d Kulit tangan tampak edema, tidak ada terasa perih.
toksin uremik luka, kulit kaki, tampak mengkilap, O: Tampak scrotum edema, menggunakan
kering dan pecah- pecah. pampers. Area tergantung tampak kering,
2. Menganjurkan keluarga untuk edema (+).
melakukan perawatan kulit dengan A: Masalah belum teratasi
lotion/minyak P:
1. Berikan perawatan kulit
2. Anjurkan menggunakan pakaian dari katun.
3. Sangga daerah yang menggantung
14-05-17 Penurunan curah 1. Melakukan auskultasi bunyi jantung S: Pasien mengatakan napas sesak, tapi sedikit
jantung b.d dan paru- paru. Bunyi jantung I&II berkurang dibandingkan kemarin, batuk tidak
ketidakseimbangan normal, bunyi paru-paru vesikuler. ada..
volume sirkulasi 2. Memberikan obat antihipertensi O: Hipertensi derajat 1. Takikardi, Respirasi 28
dan penurunan (captopril 12,5 mg) x/menit.
kerja miokard A: Masalah teratasi sebagian
3. Mengkaji adanya derajat hipertensi. P:
TD 140/100 mmHg. Nadi 102 x/menit 1. Awasi nilai lab elektrolit
4. Mengukur JVP. JVP 4+5 CmH2O 2. Motivasi dialisis
Kelebihan volume 1. Mengobservasi tanda-tanda vital, TD: S: Pasien mengatakan senang berat badannya
cairan b.d 140/100 mmHg, Nadi: 102 x/menit, berkurang.
perubahan Respirasi: 28 x/menit. O: Penurunan BB 1 Kg (pengeluaran cairan
mekanisme 2. Mencatat pemasukan dan pengeluaran 716,25 cc). Edema ekstremitas bawah grade
regulasi (gagal Intake : 1250 cc 3, edema ekstremitas atas grade 2. Edema
ginjal) dengan Outake : 600 cc pada scrotum berkurang.
retensi air. IWL : 116,25 cc A: Masalah teratasi sebagian
Balance: +533,75 cc P:
3. Menimbang berat badan harian.BB: 1. Awasi nilai elektrolit
60 Kg 2. Tetap ukur intake & output (libatkan
4. Membatasi cairan sesuai indikasi keluarga).
(IWL + jumlah urin output) 3. Beri reinforcement positif atas pencapaian
5. Memberikan terapi diuretik pasien
(furosemide 5 mg/jam)
Intoleransi 1. Mengidentifikasi faktor stress S: Pasien mengatakan sekarang sudah bisa tidur
aktivitas b.d 2. Meningkatkan tingkat partisipasi dengan posisi miring
penurunan sesuai kemampuan pasien O: Aktivitas masih dibantu keluarga. Napas
produksi energi 3. Menganjurkan keluarga memberi masih tampak sesak bila banyak bergerak.
metabolik bantuan dalam melakukan aktivitas A: Masalah teratasi sebagian
P: Rencanakan periode istirahat adekuat
Kerusakan 1. Menginspeksi kulit. Edema S: Pasien mengatakan kulit bokong terasa perih
integritas kulit b.d ekstremitas atas berkurang, kaki O: Kulit bokong tampak merah (iritasi diaper),
toksin uremik masih terlihat kering. edema scrotum berkurang, tampak scrotum
2. Menganjurkan keluarga untuk kemerahan. Kulit kaki masih kering.
berpartisipasi dalam perawatan kulit A: Masalah teratasi sebagian
pasien. Menggunakan lotion atau P: Anjurkan keluarga untuk menjaga kebersihan
minyak alami. daerah bokong, jangan menggunakan bedak
3. Melembabkan daerah kulit yang dengan jumlah banyak.
kering dengan melakukan kompres
menggunakan air (losion/minyak
sedang habis persediannya)
Ketidakpatuhan 1. Mendengarkan dengan aktif keluhan S: Pasien mengatakan saya tidak mau cuci darah,
terhadap rencana pasien takut seperti pasien yang sebelumnya (kondisi
terapi b.d regimen 2. Mengkaji tingkat ansietas. Ansietas memburuk).
pengobatan, ringan. O: Pasien dan keluarga mendengarkan dan
penolakan 3. Meyakinkan persepsi/pemahaman berpartisipasi aktif saat diberi penjelasan.
pasien/orang terdekat terhadap situasi Pasien tampak cemas ringan
dan konsekuensi perilaku. A: Masalah belum teratasi
P:
1. Tentukan arti psikologis perilaku
2. Buat sistem pengawasan diri.
15-05-17 Penurunan curah 1. Mengauskultasi bunyi jantung dan S: Pasien mengatakan rasa sesak berkurang
jantung b.d paru-paru. Bunyi jantung I&II berkurang, batuk tidak ada.
ketidakseimbangan normal, bunyi paru-paru vesikuler. O: Tekanan darah dalam batas normal, nadi
volume sirkulasi 2. Memberikan obat antihipertensi perifer kuat, respirasi 26 x/menit.
dan penurunan (captopril 12,5 mg) A: Masalah teratasi sebagian
kerja miokard 3. Mengkaji adanya derajat hipertensi. P: Anjurkan pasien agar mau menggunakan
TD 120/80 mmHg. oksigen apabila sesak.
Kelebihan volume 1. Mengobservasi tanda-tanda vital, TD: S: Pasien mengatakan saya senang timbangan
cairan b.d 120/80 mmHg, Nadi: 95 x/menit, BB sudah berkurang, bengkak di badan sudah
perubahan Respirasi: 26 x/menit. berkurang.
mekanisme 2. Mencatat pemasukan dan pengeluaran
regulasi (gagal Intake : 700 cc
ginjal) dengan Outake : 530 cc O: Edema ekstremitas awah grade 2, edema
retensi air. IWL : 116,25 cc periorbita hilang timbul, edema scrotum grade
Balance: +53,75 cc 1.
3. Menimbang berat badan harian.BB: A: Masalah teratasi sebagian
57 Kg P:
4. Membatasi cairan sesuai indikasi 1. Awasi nilai lab elektrolit
(IWL + jumlah urin output) 2. Tetap ukur intake & outtake
Memberikan terapi diuretik Libatkan keluarga.
(furosemide 5 mg/jam).
Intoleransi 1. Meningkatkan tingkat partisipasi S: Pasien mengatakan belum kuat untuk berjalan.
aktivitas b.d sesuai kemampuan pasien O: Tampak aktivitas dilakukan hanya di sekitar
penurunan 2. Menganjurkan keluarga memberi tempat tidur.
produksi energi bantuan dalam melakukan aktivitas A: Masalah teratasi sebagian
metabolik seperti toileting. P:
1. Rencanakan periode istirahat adekuat
2. Beri kenyamanan (hindarkan pasien dari
perasaan adanya nyeri).
Kerusakan 1. Melakukan inspeksi kulit. Edema S: Pasien mengatakan merasa lebih nyaman
integritas kulit b.d ekstremitas atas berkurang, kulit dengan kondisi kulitnya yang sekarang.
toksin uremik kering/pecah-pecah berkurang.. O: Pecah-pecah di kaki berkurang, edema derajat
2. Melakukan perawatan kulit dengan 2 pada metatarsal.
memberikan minyak alami dan pijatan A: Masalah teratasi sebagian
ringan pada daerah kaki P : Pantau masukan cairan dan hidrasi.
Ketidakpatuhan 1. Meyakinkan pasien terhadap rencana S: Pasien mengatakan saya sudah mendapatkan
terhadap rencana terapi (cuci darah) yang akan gambaran tentang penyakit dan prosedur,
terapi b.d regimen dilakukan, dengan cara melakukan akan saya pertimbangkan lagi.
pengobatan, penjelasan mengenai : O: Ekspresi wajah tenang, mendengarkan aktif..
penolakan ✓ Kondisi penyakit saat ini A: Masalah teratasi sebagian
✓ Pengertian hemodialisa P : Terima pilihan/titik pandang pasien
✓ Akibat apabila tidak hemodialisa
✓ Keuntungan hemodialisa
✓ Prosedur hemodialisa
2. Memberikan kesempatan kepada
pasien dan keluarga untuk membuat
keputusan/pilihan
16-05-17 Penurunan curah 1. Melakukan auskultasi bunyi jantung S: Pasien mengatakan sesak sudah berkurang.
jantung b.d dan paru- paru. Bunyi jantung I&II O: Tanda-tanda vital dalam batas normal,
ketidakseimbangan normal, bunyi paru- paru vesikuler. A: Masalah teratasi sebagian
volume sirkulasi 2. Memberikan obat antihipertensi P: Awasi laboratorium elektrolit.
dan penurunan (captopril 12,5 mg)
kerja miokard 3. Mengkaji adanya derajat hipertensi.
TD 120/80 mmHg.
4. Memberikan penguatan untuk
prosedur hemodialisa
Kelebihan volume 1. Mengobservasi tanda-tanda vital, TD: S: Pasien mengatakan badan terasa lebih ringan.
cairan b.d 130/80 mmHg, Nadi: 100 x/menit, O: Tanda-tanda vital dalam batas normal,
perubahan Respirasi: 24 x/menit. penurunan BB 1 Kg (pengeluaran cairan
mekanisme 2. Mencatat pemasukan dan pengeluaran 816,25 cc). Edema ekstremitas atas grade 1
regulasi (gagal Intake: 840 cc dan bawah grade 2.
ginjal) dengan Outake: 700 cc A: Masalah teratasi sebagian
retensi air. IWL : 116,25 cc P: Ganti kateter, awasi tanda-tanda infeksi
Balance: 3,75 cc
3. Menimbang berat badan harian. BB:
56 Kg
4. Membatasi cairan sesuai indikasi
(IWL + jumlah urin output)
5. Memberikan terapi diuretik
(furosemide 5 mg/jam)
Memberikan anjuran kepada keluarga
untuk memodifikasi cairan dengan cara
dibekukan (es batu).
Intoleransi 1. Meningkatkan tingkat partisipasi S: Pasien mengatakan sesak terasa bila berjalan
aktivitas b.d sesuai kemampuan pasien beberapa langkah.
penurunan 2. Menganjurkan keluarga memberi O: Tampak aktivitas hanya tiduran dan duduk di
produksi energi bantuan dalam melakukan aktivitas kursi. Napas tampak cepat, frekuensi 22
metabolik sehari-hari. xmenit.
A: Masalah teratasi sebagian
P: Berikan penguatan dan dukungan untuk
Kerusakan 1. Melakukan inspeksi kulit. Edema S: Pasien mengatakan kenapa kaki sebelah kiri
integritas kulit b.d ekstremitas atas berkurang, kulit betis lebih bengkak dibandingkan yang sebelah
toksin uremik sudah tidak terlalu kering. kanan.
2. Melakukan perawatan kulit dengan O: Edema ekstremitas bawah grade 2, kulit
memberikan minyak alami pada pecah-pecah berkurang, keluarga
kedua betis kaki. berpartisipasi dalam perawatan kulit.
A: Masalah teratasi sebagian.
P: Anjurkan pasien dan keluarga untuk selalu
menjaga dan memperhatikan kelembaban
kulit.
Ketidakpatuhan 1. Mengevaluasi tingkat ansietas. Skala S: Pasien mengatakan saya mau di cuci darah.
terhadap rencana cemas: 18 O: Ekspresi wajah tenang, tingkat kecemasan
terapi b.d regimen 2. Memberikan umpan balik positif ringan.
pengobatan, terhadap upaya keterlibatan pasien A: Masalah teratasi sebagian.
penolakan dalam terapi P: Berikan reinforcement positif atas keputusan
pasien.
B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN BENIGNA
PROSTAT HYPERPLASIA (BPH) DI RSUP FATMAWATI
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien :
Nama : Tn. D
Tanggal lahir : 05-02-1949
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 139.73.51
Umur : 67 tahun
Tanggal masuk : 27 Mei 2013
Tanggal pengkajian : 27 Mei 2013
Suku bangsa : Jawa
Dx. medis : Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
b) Keluhan utama ketika pasien datang
Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 3 minggu SMRS
c) Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan sulit BAK. Tiga minggu SMRS, pasien
mengeluh sulit BAK. Pasien harus mengejan saat BAK dan terasa tidak
tuntas. Urin masih menetes setelah BAK. Pasien lalu memeriksakan diri
ke rumah sakit pada tanggal 20 Mei 2013 dan dipasang selang kateter.
Pasien kembali kontrol pada tanggal 27 Mei 2013. Saat itu, selang di
lepas. Namun, sore harinya, kateter kembali dipasang karena pasien tidak
dapat BAK. Dokter memberikan terapi Terazosin yang diminum 2 kali
per hari. Saat ini, pasien masih terpasang kateter. Pasien mengatakan saat
ini tidak ada keluhan nyeri saat berkemih. Riwayat hipertensi (-), DM (-
), riwayat batuk darah (+) saat pasien berusia 12 tahun. Saat ini, keluhan
batuk (-), dahak (-), batuk darah (-), sesak (-), nyeri dada (-), demam (-),
mual (-), muntah (-). Hasil pemeriksaan TD : 120/80 mmHg, N:84 x/
menit, RR: 20 x/ menit, T: 360C.
d) Riwayat penyakit sebelumnya
Pada usia 12 tahun, pasien sempat mengalami batuk darah. Pada tahun
1972, pasien sempat mengalami sulit BAK. Jika BAK, terasa sulit dan
harus mengejan. Saat itu, pasien meminum obat yang diberikan oleh
temannya (pasien mengatakan tidak ingat dengan nama obat). Keesokan
harinya, pasien dapat BAK dengan lancar.
e) Pemeriksaan Fisik
1) KU/ tingkat kesadaran : KU sedang/ kesadaran CM
2) BB/ TB : 65 Kg/ 170 cm
3) IMT : 22,5
4) TTV :
• TD : 120/80 mmHg
• Nadi : 84 x/menit
• RR : 20 x/menit
• Suhu : 360 C
5) Mata :
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada gangguan
penglihatan. Reaksi pupil baik. Pasien menggunakan alat bantu
penglihatan (kacamata).
6) Hidung :
Tidak ada keluhan flu, tidak ada sumbatan, tidak ada gangguan
penciuman, nafas cuping hidung (-).
7) Telinga :
Tidak ada cairan abnormal yang keluar dari lubang telinga. Telinga
simetris. Pasien tidak menggunakan alat bantu dengar.
8) Mulut :
Sebagian gigi sudah tanggal, pasien menggunakan gigi palsu, tidak
ada bau mulut, tidak ada sariawan, kebiasaan membersihkan gigi dan
mulut 2x/hari.
9) Leher :
Tidak terlihat peningkatan JVP, tidak ada keluhan sakit menelan, tidak
ada pembengkakan kelenjar tiroid.
10) Dada
• Paru-paru
✓ Inspeksi : dada terlihat simetris, tidak ada penggunaan otot
bantu nafas
✓ Palpasi : lapang kanan dan kiri dada pasien sama
✓ Perkusi : sonor
✓ Auskultasi : bronkhial (+), bronkovesikuler (+), vesikuler (+),
Rh -/-, Whezing -/-, mengi -/-,
• Jantung : BJ1 dan BJ 2 normal , murmur (-) gallops (-)
11) Abdomen
• Inspeksi : tidak ada perbesaran
• Auskultasi : BU (+)
• Palpasi : tidak ada masaa, lembek
• Perkusi : dullnes
12) Ektrimitas : akral hangat, bengkak/ edema ekstrimitas (saat
pengkajian) tidak ada
f) Pengkajian dengan pendekatan sistem tubuh
1) Aktivitas/ Istirahat
Pasien merupakan pensiunan PPD sejak tahun 2003. Saat itu pasien
bekerja di bagian teknisi. Pasien mengatakan, saat ini pasien memiliki
sebuah counter pulsa yang dikelola oleh anaknya. Sesekali pasien
mengunjungi counter pulsa. Pasien mengatakan tidak memiliki hobi
khusus. Selam dirawat di rumah sakit pasien mengatakan tidak
memiliki perasaan bosan. Pasien selalu membuat suasana santai.
Pasien mengatakan meskipun saat ini terpasang kateter, pasien tetap
dapat beraktivitas seperti biasanya. Pasien tidak merasa terganggu
meskipun terpasang kateter. Biasanya pasien menggantungkan urine
bag di bagian pinggang dan menutupinya dengan sarung jika hendak
pergi ke sekitar rumah. Pasien mengatakan saat di rumah, tidur tidak
tentu. Terkadang pasien tidur pukul 10 malam atau lebih dan bangun
jam 4.30 pagi.
Hasil pemeriksaan menunjukkan pasien merasakan segar saat
terbangun. kesadaran baik dan status mental CM (compos mentis)
dengan GCS 15. Penilaian kekuatan otot :
Kanan Kiri
Tangan5555 5555
Kaki 5555 5555
Rentang gerak pasien normal, tidak ditemukan deformitas pada
ekstremitas, tidak terdapat tremor, dan tonus otot baik.
2) Sirkulasi
Pasien mengatakan tidak ada rasa kesemutan atau baal pada kaki.
Riwayat hipertensi (-), masalah jantung (-), riwayat
batuk/hemoptisis(+) saat pasien berusia 12 tahun, riwayat DM tipe 2
(-), CRT < 3”, tanda homans (-), warna lidah = merah muda ;
konjungtiva = tidak anemis ; sklera = tidak ikterik, diaforesis tidak
ada, turgor kulit : elastis, membran mukosa lembab, edema ekstrimitas
: tidak ada, asites : tidak ada, distensi vena jugularis : tidak ada,
pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada
3) Integritas Ego
Pasien mengatakan tidak memikirkan penyakit yang sedang
dideritanya saat ini. Namun, pasien mengatakan cemas dengan
tindakan operasi yang akan dilakukan. Pasien mengatakan ini
merupakan pertama kalinya pasien melakukan operasi. Pasien
mengatakan sebelumnya sudah pernah dijelaskan tentang prosdur
yang akan dilakukan. Dokter mengatakan pasien akan menjalani
prosedur pembedahan prostat namun tidak dijelaskan terkait anestesi
dan efek yang akan dirasakan setelah operasi. Hasil pengamatan
menunjukkan status Emosi pasien stabil dan kooperatif. Pasien
nampak tenang namun merasa sedikit khawatir dengan tindakan
operasi yang akan dijalani. Beberapa kali pasien nampak menarik
nafas panjang dan menanyakan pertanyaan terkait tindakan operasi
yang akan dijalani.
4) Eliminasi
Pasien mengatakan tidak ada keluhan diare . BAB lancar 1x/hari, BAB
konsistensi padat. Saat ini, pasien terpasang kateter dengan produksi
per 24jam 3000-3500 cc. Hasil pemeriksaan menunjuukan nyeri tekan
tidak ada. Abdomen lunak, tidak ada massa, bising usus (+)
5) Makanan dan Cairan
Diit biasa 3x/hari porsi, keluhan muntah dan mual (-), gangguan
menelan (-), alergi terhadap makanan tertentu (-). Sebelum masuk
rumah sakit, pasien makan 3x per hari. Alergi makanan (-), masalah
menelan (-). Hasil pemeriksaan berat badan pasien 65 kg dengan
tinggi badan 170 cm. Sehingga didapatkan IMT pasien 22,5 dan masih
dalam batas normal.
6) Hygiene
Aktifitas sehari-hari dilakukan secara mandiri. Saat ini pasien masih
dapat beraktivitas seperti biasa meskipun terpasang selang kateter.
umum pasien bersih, tidak ada bau badan, pakaian sesuai dengan
kondisi/keadaan, kutu rambut (-).
7) Neurosensori
Pasien mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala. Tidak merasa
kebas dan tidak ada gangguan pendengaran. Hasil pemeriksaan
menunjukkan status mental/ tingkat kesadaran pasien adalah compos
mentis (CM). Pasien masih terorientasi waktu, tempat dan orang.
Pasien dapat dapat mengingat memori jangka panjang (riwayat pasien
masuk RS) dan riwayat jangka pendek. Reaksi pupil baik. Pasien
menggunakan alat bantu penglihatan. Penggunaan alat bantu dengar
tidak ada.
8) Nyeri/ Ketidaknyamanan
Saat ini pasien mengatakan nyeri sudah tidak ada setelah dipasang
kateter. Namun, saat selang kateter dilepas, pasien mengatakan nyeri
saat BAK dengan skala 7 dari total 10. Saat dilakukan pengkajian,
pasien tidak merasakan nyeri. Mengerutkan muka (-), penyempitan
fokus (-).
9) Pernapasan
Saat dilakukan pengkajian, pasien mengatakan tidak merasakan sesak.
Pasien juga mengatakan tidak ada keluhan batuk ataupun sakit
tenggorokan. Pasien memiliki riwayat perokok berat namun saat ini
pasien sudah tidak merokok. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan
RR pasien adalah 20 kali/menit, nafas cuping hidung tidak ada.
Penggunaan otot bantu nafas tidak ada. Paru kanan dan kiri simetris.
Tidak ada sianosis. Auskultasi dilakukan dengan mendengarkan suara
pernapasan diperoleh hasil suara nafas bronkhial (+), bronkovesikuler
(+), vesikuler (+), Rh -/-, Whezing -/-, mengi-/-.
10) Keamanaan
Pasien dapat berakitivitas secara normal. Pasien masih mampu
berjalanjalan dan tidak menggunakan alat bantu. Alergi terhadap obat
tidak ada. Pemeriksaan TTV khususnya suhu adalah 360C (afebris),
tidak ada diaforesis. Tonus otot baik. Rentang gerak aktif, cara
berjalan normal.
11) Seksualitas
Sebelumnya pasien tidak pernah memiliki riwayat pembesaran
prostat. Pasien terpasang chateter folley, dan kadang pasien
menggantungkan urin bag di bagian pinggang saat akan beraktivitas.
12) Interaksi Sosial
Pasien sudah menikah selama 43 tahun. Pasien memiliki lima orang
anak yakni tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Namun,
anak ketiga pasien meninggal dunia pada tahun 2003 karena
kecelakaan motor. Saat ini pasien sudah memiliki lima orang cucu.
Bicara pasien jelas. Pasien selalu berkomunikasi baik dengan keluarga
terutama istri. Istri pasien selalu menunggui pasien. Anak-anak pasien
secara bergantian menjenguk pasien setiap harinya. Anak-anak pasien
tidak menunggui pasien karena harus bekerja esok hari.
13) Penyuluhan dan pembelajaran
Bahasa dominan pasien adalah bahasa Indonesia. Pasien mampu
membaca dan menulis, tingkat pendidikan terakhir pasien adalah
SMP. Pasien mengetahui tentang penyakit yang dialaminya saat ini.
g) Pemeriksaan penunjang
Data laboratorium

Test Hasil Pemeriksaan Nilai normal


Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 12,10 5 – 10 ribu/mm3
Hitung Jenis
Netrofil 72,1 50 – 70 %
Limfosit 21,8 25 – 40%
Monosit 4,6 2 – 8%
Eosinofil 0,8 2 -4 %
Basofil 0,7 0 – 1%
Eritrosit 5,21 3,6 – 5,8 juta/ul
Hb 14,8 12 – 16 g/dl
Ht 44 35 – 47 fL
MCV/VER 84,5 80,0- 100,0 %
MCH/HER 33,5 26,0- 34,0 pg
MCHC/KHER 33,5 32,0-36,0 %
RDW - CV 12 11,5- 14,5 %
150 – 440
Trombosit 290
ribu/mm3
GDS 173 < 200 mg/dl
SGOT 15 0-37 U/L
SGPT 16 0-40 U/L

Hemostasis
Test Hasil Pemeriksaan Nilai normal
PT INR
PT 10,7 10-14 detik
INR 0,90
Control 11,7 10-13,8 detik
APTT
APRR os 35,1 29-40 detik
Control 34,2 28,9-38,3 detik

Test Hasil Pemeriksaan Nilai normal


Elektrolit
Na 137 135 – 145 mmol/L
K 4,50 3,5 – 5,5 mmol/L
Cl 101,0 98 – 109 mmol/l
Ureum 55 20 – 40 mg/dl
Creatinin 1,3 0,8 – 1,5 mg/dl

h) Laporan operasi
1) Pre operasi
• Pengkajian
Pasien dijadwalkan operasi pada tanggal 28 Mei 2013. Pada pukul
24.00 tanggal 27 Mei 2013 atau 8 jam sebelum operasi pasien
diminta untuk puasa. Pasien tidak diperbolehkan makan dan
minum sampai tindakan operasi selesai. Sehari sebelum operasi
atau tanggal 27 Mei 2013, pasien diberikan informasi terkait
tindakan operasi TURP yang akan dijalani. Pasien juga diajarkan
teknik nafas dalam untuk mengurangi ansietas. Pasien diantar ke
ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS) pada pukul 08.00 pagi pada
tanggal 28 Mei 2013. Sebelumnya pasien diberikan premedikasi
dan dilakukan pengecekan checklist pre op yang meliputi tidak
menggunakan gigi palsu, pewarna kuku, maupun perhiasan. Tn. D
diantar ke ruang IBS dengan menggunakan kursi roda.
Sesampainya di ruang IBS, Tn. D dibantu untuk berganti baju
pasien. pasien mengatakan sedikit cemas setelah diantar ke ruang
operasi. Tn. D diingatkan kembali cara melakukan nafas dalam
untuk mengurangi ansietas.
2) Intra operasi
• Pengkajian
Pasien dibawa ke ruang operasi pada pukul 09.15 WIB. Pasien
dipindahkan dari tempat tidur biasa ke tempat tidur operasi. Pasien
berada pada posisi litotomi dengan anestesi spinal. Medikasi yang
digunakan Bupivacain spinal 5% 12,5 gr dam fentanyl 25 mg.
Pasien lalu terpasang O2 liter/menit. Pemantauan TTV pukul
09.30, TD : 140/90 N: 80. Pukul 09.35 operasi TURP dimulai. Alat
sitoskopi dimasukkan dan dokter memantau besarnya ukuran
prostat melalui sebuah monitor. Setelah alat mencapai prostat,
secara perlahan-lahan jaringan prostat yang membesar mulai
dikikis. Jaringan yang telah dikikis di keluarkan dengan
menggunakan cairan irigasi dextrose 5%. TURP dilakukan
secara sistematis dan didapat jaringan prostat sebanyak 30
gr. Setelah jaringan prostat selesai di kikis, pasien lalu dipasang
kateter threeway dengan ukuran 24 fr. Traksi dilakukan dan
dipasang di bagian paha pasien. Irigasi langsung dilakukan dengan
menggunakan cairan NaCl 0,9%. Tanda-tanda vital post op 124/62,
N 60 kali per menit. Operasi selesai pada pukul 10.45. Setelah itu,
pasien dibawa ke ruang pemulihan dengan instruksi pemantauan
TTV post op dan irigasi non stop selama 24 jam.
3) Post Operasi
• Pengkajian
Pada pukul 10.45 WIB, pasien diantar ke Recovery Room (RR)
menggunakan tempat tidur. Kesadaran dalam kondisi CM,
orientasi pasien terhadap waktu, tempat, dan orang baik. Pasien
tidak mengeluh pusing, mual, dan nyeri pada area luka operasi.
TTV pada pukul 10.45 WIB diperoleh hasil TD124/62 mmHg, N
60, SPO2 100%. Pasien terpasang kateter threeway dengan cairan
irigasi Nacl 0,9% dengan tetesan lebih dari 30 tpm. Instruksi post
op diantaranya bedrest selama 24 jam, pantau cairan irigasi jangan
sampai habis, pantau tanda-tanda vital setiap 15 menit sekali pada
2 jam pertama pot operasi, anjurkan makan dan minum sedikit
demi sedikit, berikan kaltopren supp 3x1 jika terasa nyeri. Pada
pukul 11.00 pasien diantar ke ruang rawat anggrek tengah kanan.
Sesampainya di ruangan, pasien diberikan posisi semi fowler.
Mahasiswa menjelaskan terkait cairan irigasi yang harus diganti
dan jangan sampai terputus. Mahasiswa melakukan pemantauan
tanda- tanda vital setiap 15 menit pada 2 jam pertama post operasi.
Saat dilakukan monitoring irigasi, terlihat urine pasien berwarna
merah muda, tidak ada clot, dan lancar. Pasien mengatakan nyeri
pada luka post op. Pasien mengatakan sudah mulai makan dan
minum sedikit demi sedikit.
i) Daftar terapi medis
Jenis Obat Nama Obat Dosis Cara Kerja Obat
Pre Op
Injeksi Ceftizoxim 2 x 1gr Termasuk antibiotika
belaktam golongan
sefalosporin. Mekanisme
kerja dengan menghambat
sintesis dinding sel
mikroba. Indikasi untuk
menghilangkan bakteri
yang menyebabkan
berbagai penyakit pada
paru-paru, kulit, tulang,
sendi,
perut, darah, dan saluran
kencing
Post Op
Injeksi Ceftizoxim 2 x 1 gr Termasuk antibiotika
belaktam golongan
sefalosporin. Mekanisme
kerja dengan menghambat
sintesis dinding sel
mikroba. Indikasi untuk
menghilangkan bakteri
yang menyebabkan
berbagai penyakit pada
paru-paru, kulit, tulang,
sendi,
perut, darah, dan saluran
kencing
Injeksi Vit K 3x1 Meningkatkan biosintesis
beberapa faktor
pembekuan darah yang
berlangsung di hati.
Digunakan untuk
mencegah atau mengatasi
perdarahan akibat
defisiensi
vitamin K
Injeksi Vit C 1 x 400 Berfungsi sebagai
mg antioksidan dan
meningkatkan sistem imun
tubuh
Injeksi Transamin 3x1 Bekerja dengan
menghambat fibrinolisi.
Biasanya digunaka untuk
mengatasi perdarahan pada
kasus paru, THT, interna,
dan
bedah
Supositoria Kaltrofen 3x1 Memiliki efek analgesik
dan antipiretik. Bertindak
dengan cara menghambat
produksi
prostaglandin tubuh

Analisis Data
Pre Op
Masalah
Data Pengkajian
Keperawatan
Ds: Ansietas
- Pasien mengatakan khawatir dengan prosedur
operasi yang akan dilakukan
- Pasien mengatakan tidak mengetahui prosedur
yang akan dilakukan

Do:
- Pasien nampak tegang
- Pasien nampak nervous
Ds: Kurang
- Pasien mengatakan mendapatkan penjelasan pengetahuan
bahwa pasien akan menjalani operasi TURP
- Pasien tidak mengetahui prosedur operasi yang
akan dijalani
- Pasien mengatakan belum mendapatkan
penjelasan tentang anestesi yang akan digunakan
- Pasien mengatakan tidak mengetahui dampak yang
terjadi setelah operasi

Do:
- Melaporkan masalah yang dihadapi
- Pasien tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan
yang diajukan

Post Op
Masalah
Data Pengkajian
Keperawatan
Ds: Nyeri
- Pasien mengeluhkan nyeri saat berkemih
- Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang
terpasang kateter
- Pasien mengatakan skala nyeri yang dirasakannya
adalah 6 dari nilai maksimal 10
- Pasien mengatakan setelah minum obat, nyeri
sedikit berkurang namun tidak hilang

Do:
- Pasien terlihat mengernyitkan wajah
- Pasien nampak menarik nafas panjang beberapa kali
Faktor risiko Risiko
- Kurang pengetahuan perdarahan
- Prosedur pembedahan
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Intervensi Keperawatan
Dx. Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Rencana Tindakan
Ansietas Setelah - Pasien mengungkapkan 1. Diskusikan tentang 1. Dengan mengenal
dilakukan perasaan ansietas, penyebab perasaan pasien saat ansietasnya, pasien akan
asuhan ansietas, dan perilaku akibat sedang menghadapi lebih kooperatif terhadap
kekeperatan ansietas masalah atau tekanan. tindakan keperawatan.
selama 1 x 20 - Pasien mampu 2. Identifikasi situasi 2. Menyamakan persepsi
menit, mendemonstrasikan cara yang membuat pasien bahwa ansietas terjadi
Pasien akan mengatasi ansietas secara ansietas pada pasien
menunjukkan positif 3. Ajarkan pasien 3. Membantu mengurangi
cara koping - Tanda – tanda vital dalam teknik relaksasi ansietas
adaptif batas normal :
terhadap stres TD 100/70-120/90 mmHg
RR 18-20 x/mnt
Suhu 36-37 oC
Nadi 60-100 x/mnt
Kurang Setelah - Memahami tentang prosedur Mandiri Mandiri
pengetahuan b.d dilakukan operasi yang akan dijalani 1. Observasi tanda vital 1. Mengetahui
tidak familiar asuhan - Tanda – tanda vital dalam 2. Dorong pasien perkembangan lebih
dengan sumber keperawatan batas normal : menyatakan rasa takut lanjut terkait kondisi
informasi/ kurang selama 1x30 TD 100/70-120/90 mmHg persaan dan perhatian. pasien
informasi menit pasien RR 18-20 x/mnt 3. Kaji ulang proses 2. Membantu pasien
dapat Suhu 36-37 oC penyakit,pengalaman dalam menyelami
memahami Nadi 60-100 x/mnt pasien perasaan.
Ds: tentang proses
4. Jelaskan terkait prosedur 3. Memberikan dasar
- Pasien tidak penyakit dan
operasi yang akan dijalani pengetahuan dimana
mengetahui prognosisnya. pasien dapat membuat
prosedur pilihan informasi
operasi yang terapi.
akan dijalani 4. Meningkatkan
- Pasien pengetahuan pasien.
mengatakan
tidak
mengetahui
dampak yang
terjadi setelah
operasi

Do:
- Melaporkan
masalah yang
dihadapi.
- Pasien tidak
dapat
menjawab
beberapa
pertanyaan
yang diajukan

Nyeri b.d Setelah - Pasien mengatakan nyeri Mandiri Mandiri


spasme kandung dilakukan berkurang / hilang. 1. Observasi tanda vital 1. Mengetahui
kemih dan insisi asuhan - Ekspresi wajah pasien 2. Berikan lingkungan yang perkembangan lebih
sekunder pada keperawatan tenang. tenang dan nyaman lanjut terkait kondisi
TURP selama 3x30 - Pasien akan 3. Tingkatkan tirah baring, pasien
menit rasa menunjukkan ketrampilan bantulah kebutuhan 2. Menurunkan reaksi
Ds: nyeri yang relaksasi. perawatan diri yang terhadap stimulasi
- Pasien dirasakan - Pasien akan tidur / istirahat penting dari luar atau
mengeluhkan pasien dapat dengan tepat. 4. Dukung untuk sensitivitas pada
nyeri saat berkurang - Tanda – tanda vital dalam menemukan posisi yang cahaya dan
berkemih atau hilang batas normal : nyaman meningkatkan
- Pasien TD 100/70-120/90 mmHg 5. Anjurkan pada pasien istirahat/relaksasi
mengatakan RR 18-20 x/mnt untuk tidak duduk dalam 3. Menurunkan gerakan
nyeri pada Suhu 36-37 oC waktu yang lama sesudah yang dapat
bagian yang Nadi 60-100 x/mnt tindakan TURP meningkatkan nyeri
terpasang 6. Latih pasien teknik 4. Menurunkan
kateter relaksasi untuk iritasi meningeal,
- Pasien mengurangi nyeri resultan
mengatakan 7. Jagalah selang drainase ketidaknyamanan
skala nyeri urine tetap aman dipaha lebih lanjut
yang untuk mencegah 5. Mengurangi tekanan
dirasakannya peningkatan tekanan pada pada luka insisi
adalah 6 dari kandung kemih. 6. Dapat membantu
nilai maksimal merelaksasikan
10 Kolaborasi ketegangan otot yang
- Pasien Berikan analgesik sesuai meningkatkan reduksi
mengatakan indikasi nyeri atau rasa tidak
setelah minum nyaman
obat, nyeri 7. Sumbatan pada selang
sedikit kateter oleh bekuan
berkurang darah dapat
namun tidak menyebabkan distensi
hilang kandung kemih
dengan peningkatan
Do: spasme.
- Pasien terlihat
mengernyitkan Kolaborasi
wajah Diperlukan untuk
- Pasien nampak menghilangkan nyeri
menarik nafas yang berat dan tidak
panjang dapat ditolerir pasien
beberapa kali
Risiko perdarahan Setelah - Pasien tidak 1. Jelaskan pada pasien 1. Menurunkan
menunjukkan tanda
d – tanda tentang sebab terjadi kecemasan pasien
perdarahan. i perdarahan setelah dan mengetahui
- Tanda – tandal vital dalam pembedahan dan tanda – tanda – tanda
batas normal : a tanda perdarahan . perdarahan
TD 100/70-120/90k mmHg 2. Irigasi aliran kateter jika 2. Gumpalan dapat
RR 18-20 x/mnt u terdeteksi gumpalan dalm menyumbat kateter,
o
Suhu 36-37 C k saluran kateter menyebabkan
a
Nadi 60-100 x/mnt 3. Pantau traksi kateter: peregangan dan
n kateter .
- Urine lancar lewat catat waktu traksi di perdarahan kandung
a pasang dan kapan traksi kemih
s dilepas 3. Traksi kateter
u 4. Pantau urin : warna, menyebabkan
h jumlah, konsistensi pengembangan balon
a 5. Observasi tanda vital ke sisi fosa prostatik,
n 6. Anjurkan pasien untuk menurunkan
k tidak melakukan valsava perdarahan.
e manuver Umumnya
p dikendurkan 3 – 6 jam
e Kolaborasi setelah pembedahan.
r 7. Sediakan diet makanan 4. Mengetahui
a tinggi serat dan memberi adanya
a obat untuk memudahkan perdarahan
defekasi . 5. Mengetahui
perkembangan
kondisi pasien
6. Mencegah
peningkatan
tekanan intra
abdomen
7. Mencegah
konstipasi
karena
pembatasan
aktivitas
3. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Tgl/Jam Diagnosa Implementasi Evaluasi


Senin, Ansietas Mandiri S:
27 Mei 1. Mendiskusikan tentang - Pasien mengatakan ini pertama kalinya
2013 perasaan pasien saat sedang pasien melakukan operasi
menghadapi masalah atau - Pasien mengatakan cemas karena akan
Jam
tekanan. operasi besok
13.00-
2. Mengidentifikasi situasi - Pasien mengatakan cemas berkurang
13.15
yang membuat pasien setelah melakukan nafas dalam
ansietas O:
3. Mengajarkan pasien teknik - TD 120/80 mmHg
relaksasi - Nadi 84 x/menit
- RR 20 x/menit
- Suhu 36,5 0C
- Pasien dapat melakukan nafas dalam
dengan benar
- Ekspresi wajah tenang
A: Masalah teratasi
Senin, Kurang pengetahuan b.d tidak Mandiri S:
27 Mei familiar dengan sumber 1. Mengobservasi tanda vital - Pasien mengatakan memahami
2013 informasi/ kurang informasi 2. Mendorong pasien penjelasan yang diberikan
menyatakan rasa takut O:
Jam
Ds: persaan dan perhatian. TD 120/80 mmHg
13.15-
- Pasien tidak mengetahui 3. Menjelaskan terkait prosedur- Nadi 80 x/menit
13.30
prosedur operasi yang akan operasi yang akan dijalani - RR 20 x/menit
dijalani • Prosedur operasi TURP - Suhu 36,5 0 C
- Pasien mengatakan tidak • Anestesi yang akan- Pasien mengerti dengan penjelasan yang
mengetahui dampak yang terjadi digunakan beserta efek diberikan
setelah operasi anestesi yang akan dirasakan A: Masalah teratasi
Do: • Efek post operasi
- Melaporkan masalah yang • Hal-hal yang perlu
dihadapi diperhatikan setelah operasi
- Pasien tidah dapat menjawab seperti pemantauan cairan
beberapa pertanyaan yang irigasi, meningkatkan intake
diajukan cairan minimal 3 liter
Rabu, Nyeri b.d spasme kandung kemih Mandiri S:
29 Mei dan insisi sekunder pada TURP 1. Mengobservasi tanda vital - Pasien mengatakan nyeri pada bagian
2013 2. Memberikan lingkungan yang terpasang kateter
Ds: yang tenang dan nyaman - Pasien mengatakan nyeri jika akan BAK
Jam
3. Meningkatkan tirah baring, - Pasien mengatakan skala nyeri 6 dari 10
16.00- - Pasien mengeluhkan nyeri saat
bantulah kebutuhan - Pasien mangatakan melakukan nafas
16.20 berkemih
perawatan diri yang penting dalam jika terasa nyeri
- Pasien mengatakan nyeri pada
4. Membantu untuk O:
bagian yang terpasang kateter
menemukan posisi yang - TD 130/90 mmHg
- Pasien mengatakan skala nyeri
nyaman - Nadi 84 x/menit
yang dirasakannya adalah 6 dari
5. Menganjurkan pada pasien - RR 20 x/menit
nilai maksimal 10
untuk tidak duduk selama - Suhu 36,5 0C
- Pasien mengatakan setelah
12 jam post op TURP - Pasien dapat melakukan teknik nafas
minum obat, nyeri sedikit
6. Melatih pasien teknik dalam dengan baik
berkurang namun tidak hilang
relaksasi untuk mengurangi - Ekspresi wajah meringis
Do:
nyeri - Pasien berada pada
- Pasien terlihat mengernyitkan
7. Menjaga selang drainase - Posisi 30 derajat
wajah
urine tetap aman dipaha - Selang terfikasasi dengan kuat
- Pasien nampak menarik nafas
untuk mencegah A: Masalah teratasi sebagian
panjang beberapa kali
peningkatan tekanan - Memberikan lingkungan yang nyaman
8. pada kandung kemih. - Membantu menemukan posisi yang
nyaman
Kolaborasi - Mengajarkan teknik relaksasi nafas
Memberikan analgesik dalam
sesuai indikasi - Menjaga fiksasi selang kateter
-Kaltopren supp 3x1 P:
- Evaluasi skala nyeri pasien
- Evaluasi terknik nafas dalam
- Observasi TTV
Kamis, Nyeri b.d spasme kandung kemih Mandiri S:
30 Mei dan insisi sekunder pada TURP 1. Mengobservasi tanda vital - Pasien mengatakan nyeri masih ada
2013 2. Membantu untuk namun berkurang
Ds: menemukan posisi yang - Pasien mengatakan masih nyeri jika
Jam - Pasien mengeluhkan nyeri saat nyaman BAK
13.15- berkemih 3. Mengevaluasi skala nyeri - Pasien mengatakan skala nyeri 4 dari 10
13.25 - Pasien mengatakan nyeri pada pasien - Pasien mengatakan melakukan nafas
bagian yang terpasang kateter 4. Mengevaluasi teknik dalam jika sedang merasa nyeri
- Pasien mengatakan skala nyeri relaksasi nafas dalam - Pasien mengatakan sebelumnya takut
yang dirasakannya adalah 6 dari 5. Mengendurkan traksi selang untuk duduk karena takut sakit
nilai maksimal 10 kateter O:
- Pasien mengatakan setelah 6. Memotivasi pasien untuk - TD 120/80 mmHg
minum obat, nyeri sedikit latihan duduk - Nadi 80 x/menit
berkurang namun tidak hilang 7. Memotivasi pasien untuk - RR 20 x/menit
menggerakkan kaki - Suhu 36,3 0C
Do: - Pasien terlihat duduk secara bertahap
- Pasien terlihat mengernyitkan - Pasien nampak menggerakkan kakinya
wajah (ke atas) secara berhgantian
- Pasien nampak menarik nafas A: Masalah teratasi sebagian
panjang beberapa kali - Skala nyeri berkurang
- Membantu pasien menemukan posisi
yang nyaman
- Memotivasi pasien untuk beraktivitas
secara bertahap
P:
- Evaluasi skala nyeri pasien
- Observasi TTV
- Lakukan discharge palnning
Jumat, 31 Nyeri b.d spasme kandung kemih Mandiri S:
Mei dan insisi sekunder pada TURP 1. Mengobservasi tanda vital - Pasien mengatakan skala nyeri 3 dari 10
2013 2. Membantu untuk - Pasien mengatakan setelah selang dilepas,
Ds: menemukan posisi yang masih terasa nyeri saat BAK
Jam
- Pasien mengeluhkan nyeri saat nyaman - Pasien mengatakan sudah mulai latihan
17.00-
berkemih 3. Mengevaluasi skala nyeri berjalan
17.15
- Pasien mengatakan nyeri pada pasien - Pasien mengatakan memahami tentang
bagian yang terpasang kateter 4. Memotivasi pasien untuk hal yang tidak boleh dilakukan setelah
- Pasien mengatakan skala nyeri melakukan aktivitas bertahap operasi TURP
yang dirasakannya adalah 6 dari 5. Melakukan discharge O:
nilai maksimal 10 planning - TD 120/80 mmHg
- Pasien mengatakan setelah - Nadi 80 x/menit
minum obat, nyeri sedikit - RR 20 x/menit
berkurang namun tidak hilang - Suhu 36,3 0C
Do: - Kateter sudah dilepas
- Pasien terlihat mengernyitkan - Pasien memahami penjelasan yang
wajah diberikan
- Pasien nampak menarik nafas A: Masalah teratasi
panjang beberapa kali
Rabu, Risiko perdarahan Mandiri S:
29 Mei 1. Menjelaskan pada pasien - Pasien mengatakan memahami tentang
2013 tentang sebab terjadi penyebab terjadinya perdarahan
perdarahan setelah
Jam
pembedahan dan tanda – O:
16.20-
tanda perdarahan . - TD 130/90 mmHg
16.30
2. Pantau traksi kateter: catat - Nadi 84 x/menit
waktu traksi di pasang dan - RR 20 x/menit
kapan traksi dilepas. - Suhu 36,5 0C
3. Pantau urin : warna, jumlah, - Traksi terpasang dengan kuat
konsistensi - Traksi terpasang pukul 10.30 di ruang
4. Observasi tanda vital operasi
5. Anjurkan pasien untuk tidak - Urin murni/24 jam 3000 cc, warna
melakukan valsava manuver merah
6. Memberitahu keluarga agar - Tidak ada clot
cairan irigasi tidak terputus - Tidak ada distensi kandung kemih

Kolaborasi A: Masalah teratasi sebagian


7. Kolaborasi dengan ahli - Menjelaskan tentang tanda dan penyebab
gizi untuk menyediakan perdarahan
diet makanan tinggi serat - Memantau traksi kateter
8. Memberikan terapi - Memantai urin
medikasi sesuai indikasi - Menganjurkan agar tidak melakukan
- Vit K 2 x 1 valsava manuver
- Kalnex 3 x 1 P:
- Evaluasi tanda perdarahan
- Melepas traksi kateter
- Memantau urin
Kamis, Risiko perdarahan Mandiri S:
30 Mei 1. Memantau tanda perdarahan - Pasien mengatakan BAK sudah tidak
2013 2. Memantau urin : warna, terlalu sakit
jumlah, konsistensi - Pasien mengatakan sudah makan buah
Jam 3. Mengobservasi tanda vital O:
13.25- 4. Menganjurkan pasien untuk - TD 120/80 mmHg
13.55 tidak melakukan valsava - Nadi 80 x/menit
manuver - RR 20 x/menit
5. Memberitahu keluarga agar - Suhu 36,3 0C
cairan irigasi tidak terputus - Traksi sudah dilepas
6. Menganjurkan pasien untuk - Kateter terfikasasi di paha
makan makanan tinggi serat - Urin jernih namun sedikit berwarna
seperti sayur dan buah merah
- Urin murni/24 jam 2800cc.
Kolaborasi - Tidak ada clot
7. Kolaborasi dengan ahli gizi - Tidak ada distensi kanung kemih
untuk menyediakan diet A: Masalah teratasi sebagian
makanan tinggi serat - Memantau urin
8. Memberikan terapi - Memantau irigasi kateter
medikasi sesuai indikasi - Memantau tanda perdarahan
- Vit K 2 x 1 P:
- Kalnex 3 x 1 - Evaluasi urin
- Obbservasi tanda perdarahan
- Lakukan bladder training
- Lepas kateter jika respon (+)
- Observasi TTV
- Lakukan discharge palnning
Jumat, 31 Risiko perdarahan Mandiri S:
Mei 1. Memantau tanda perdarahan - Pasien mengatakan BAK sudah lancar,
2013 2. Memantau urin : warna, tidak terputus-putur, tidak perlu
jumlah, konsistensi mengedan, dan terapas puas setelah
Jam
3. Mengobservasi tanda vital berkemih
17.15-
4. Mengevaluasi kemampuan - Pasien mengatakan warna urin jernih
17.30
berkemih pasien tidak ada darah
5. Melakukan discharge - Pasien mengatakan memahami tentang
planning hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan
setelah operasi TURP
Kolaborasi O:
6. Memberikan terapi - TD 120/80 mmHg
medikasi sesuai indikasi - Nadi 80 x/menit
- Vit K 2 x 1 - RR 20 x/menit
- Kalnex 3 x 1 - Suhu 36,3 0C
- Kateter sudah dilepas
- Pasien dapat menjelaskan hal yang
harus dilakukan
- Minum minimal 8 gelas per hari
- Makan tinggi serat
- Hindari minum teh
- Pasien dapat menjelaskan hal yang tidak
boleh dilakukan
- Berhubungan seksual
- Mengangkat beban berat
- Tidak mengendarai kendaraan
A: Masalah teratasi
BAB 4
PENUTUP

A. SIMPULAN
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh
tubuh.
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap-akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah)
(Suzanne & Brenda, 2002).
Cairan rumatan normal saline merupakan cairan yang paling tepat
digunakan utnuk irigasi bladder karena bersifat isotonik sehingga tidak mudah
diabsorbsi oleh area di sekitar prostat yang akan menyebabkan sindrom TUR.
Pemantauan ballance cairan dilakukan untuk mengetahui adanya sindrom
TURP yang disebabkan karena absorbsi cairan irigasi oleh area di sekitar
prostat. Pemantauan warna dan konsistensi urine dilakukan untuk mengetahui
adanya hematuria atau adanya urin dalam darah.
Konsumsi air putih disarankan mencapai tiga liter per hari untuk mencapai
urin output yang baik dan mengurangi risiko terjadinya hematuria. Kecepatan
tetesan dipertahankan 500ml/jam atau diatas 30 tpm untuk mencegah
penumpukan clot.
Infeksi saluran kemih atau ISK merupakan istilah umum yang
menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Ada tiga tingkatan
pencegahan penyakit secara umum, yaitu pencegahan tingkat pertama (primary
prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus,
pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosis dini
serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.
Ketiga tingkatan pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga dalam
pelaksanaannya sering dijumpai keadaan tumpang tindih (Noor, 2006).

B. SARAN
1. Bagi Pasien
Diharapkan pasien dapat menjalani perawatan dan pengobatan yang
berlangsung cukup lama agar pemulihan kesehatan dapat segera membaik.
2. Bagi Keluarga
Diharapkan adanya kerjasama dengan seluruh anggota keluarga
dalam memberikan perhatian kepada anggota keluarga yang sakit dan
sehat agar tidak merasa sendiri dan dapat meningkatkan derajat kesehatan.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Diharapkan agar tenaga kesehatan memberikan dukungan atau
informasi yang jelas mengenai penyakit yang diderita oleh pasien dan
memberikan pelayanan keperawatan yang terbaik.

Anda mungkin juga menyukai