Anda di halaman 1dari 27

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AZ
Umur : 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jebres, Surakarta
Tanggal masuk : 30 September 2017
Tanggal Pemeriksaan : 3 Oktober 2017
No. RM : 01381xxx

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
BAB cair
B. Riwayat Penyakit Sekarang
1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien dikeluhkan orang tua
mengeluarkan BAB cair dengan air lebih banyak dibandingkan ampas.
Frekuensi BAB 6x/hari, volume BAB sekali dikeluarkan ± ¼ - ½ gelas
belimbing, berwarna kuning bercampur lendir, darah (-), pasien tidak
ada muntah. Sejak BAB cair, orang tua mengatakan pasien minum susu
bertambah banyak yaitu ± 10 x 60 – 100 ml/hari. orang tua pasien
mengatakan pasien bergerak aktif, tidak lemas, batuk (-), pilek (-).
12 jam sebelum pasien masuk rumah sakit, BAB Cair disertai
demam tinggi, demam terjadi sepanjang hari, tidak turun setelah
diberikan obat penurun panas, batuk (-), pilek (-), muntah (-). Orang tua
pasien mengatakan bahwa pasien tampak kehausan saat minum susu.
Saat di IGD Anak RSDM, pasien tampak bergerak aktif, rewel,
demam tinggi 38.9o C. Pasien terakhir BAK tidak diketahui. Pampers
saat di IGD didapatkan BAK, berwarna kuning jernih, darah (-). Minum
terakhir pukul 12 malam dengan volume ± 40 ml. BAB terakhir pukul
23.00 sebanyak ± ¼ gelas belimbing, air lebih banyak dibandingkan
ampas, lendir (+), darah (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya : disangkal
Riwayat Rawat Inap sebelumnya : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
E. Riwayat Kehamilan dan Antenatal
Ketika hamil, ibu pasien berumur 25 tahun dengan status paritas
P1A0. Ibu pasien rajin melakukan pemeriksaan kehamilan di dokter.
Pada usia kehamilan trimester I ibu pasien melakukan kontrol
sebanyak1x dalam 2 bulan. Pada usia kehamilan trimester II ibu pasien
melakukan kontrol sebanyak 1x/bulan dan pada trimester ke III juga
melakukan kontrol 1x/bulan. Keluhan selama kehamilan berupa mual,
muntah pada awal usia kehamilan. Obat-obatan yang diminum selama
masa kehamilan meliputi vitamin, tablet penambah darah, dan sempat
meminum anti muntah. Tidak terdapat penyulit selama masa kehamilan
riwayat trauma saat kehamilan disangkal. Kesan kehamilan dalam batas
normal.
F. Riwayat Kelahiran :
Pasien lahir dari ibu dengan umur kehamilan 38 minggu secara
sc atas indikasi hipertensi dan ketuban pecah diniditolong dokter dengan
berat badanlahir 2600 gram dan panjang 48 cm, langsung menangis kuat
segera setelah lahir dan tidak ada kebiruan. Kesan riwayat kelahiran
tidak ada kelainan.
G. Riwayat Imunisasi
Hb 0 : 0 bulan
BCG, Polio 1 : 1 bulan
DPT/Hb 1, Polio 2 : 2 bulan
DPT/Hb 2, Polio 3 : 3 bulan
DPT/Hb 3, Polio 4 : 4 bulan
Kesimpulan : Imunisasi lengkap sesuai Kemenkes 2013
H. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
a. Pertumbuhan
Pasien lahir di dokter dengan berat badanlahir 2600 gram dan
panjang 48 cm. Menurut ibu pasien, saat pasien diperiksa di
posyandu berat badan dan tinggi badan pasien selalu naik.
Kesan : pertumbuhan pasien sesuai usia
b. Perkembangan
1 bulan : menatap wajah, bersuara, bereaksi terhadap bel,
mengangkat kepala.
2 bulan : tersenyum spontan, kedua tangan bersentuhan, bersuara
“ooo/aaa” dan kepala mengangkat 45o.
3 bulan : mengamati tangannya sendiri, mengikuti objek 180o,
berteriak, kepala terangkat 90o.
4 bulan : melihat barang yang ditunjukkan, tengkurap sendiri.
6 bulan : duduk dengan dibantu
Kesan : Perkembangan sesuai usia.
J. Riwayat Makan dan Minum Anak
Sejak lahir hingga usia 2 bulan pasien minum ASI tiap 2 jam,
setelah minum ASI pasien tertidur. Sejak usia 2 bulan, pasien meminum
susu formula. Sejak tanggal 19 september 2017 sudah mulai
mendapatkan susu soya.
Kesan: kualitas dan kuantitas makan sama dengan saat sehat

K. Pohon Keluarga
An. AZ
7 bulan, 5.7 kg,
62 cm

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS
E4V5M6
b.Tanda Vital
Nadi : 112x/ menit
Respiratory Rate : 24x/menit
Suhu : 36.10C
SiO2 : 98%
c. Status Gizi
1) Secara klinis: gizi baik
2) Secara Antropometri
BB: 5.7 kg, TB: 62 cm, Umur: 7 bulan
BB/U:
TB/U:
BB/TB:
Status gizi secara antropometri: gizi baik
d.Kepala : Mesosefal (LK : 40 cm)
e. Mata : Konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik (-/-), air
mata (+/+)
f. Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
g.Telinga : Sekret (-/-)
h.Mulut : Mukosa basah (+)
i. Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
j. Thorax : Retraksi (-), simetris
1) Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler,bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor// sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
k. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut // dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi :Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepardan lien
tidak teraba, turgor kulit kembali cepat
Perkusi :Timpani diseluruh lapang perut
l. Ekstremitas :
Oedema Akral dingin
- - - -
- - - -
ADP melemah
CRT<2”

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium Darah (30September 2017 pukul 03.43)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin 11.3 g/dl 11.1 – 14.1
Hematokrit 36 % 31 – 41
Leukosit 26.4 ribu/ul 5.0 – 19.5
Trombosit 596 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.35 juta/ul 3.90 – 5.50
INDEX ERITROSIT
MCV 83.2 /um 80.0 – 96.0
MCH 26.0 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 31.2 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 13.3 % 11.6 – 14.6
MPV 6.9 fl 7.2 – 11.1
PDW 15 % 25 – 65

HITUNG JENIS
Eosinofil 0.90 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.40 % 0.00 – 1.00
Netrofil 50.50 % 29.00 – 72.00
Limfosit 43.80 % 36.00 – 52.00
Monosit 4.40 % 0.00 – 5.00
Golongan Darah B
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 80 mg/dl 50-80
ELEKTROLIT
Natrium darah 135 mmol/L 129-147

Parasitologi Tinja (30 September 2017)


Hasil : Ditemukan Kista Entamoeba histolytica dan Blastocystis hominis
pada sample tinja

Gambaran Darah Tepi (30 September 2017, pukul 05.44)


Kesimpulan : Leukositosis dan trombositosis mengarah proses infeksi

V. RESUME
Pasien anak anak perempuan usia 7 bulan diperiksakan dengan
keluhan BAB cair sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB cair
dengan air lebih banyak dibandingkan ampas. Frekuensi BAB 6x/hari,
volume BAB sekali dikeluarkan ± ¼ - ½ gelas belimbing, berwarna
kuning bercampur lendir, darah (-), pasien tidak ada muntah. Sejak BAB
cair, orang tua mengatakan pasien minum susu bertambah banyak yaitu
± 10 x 60 – 100 ml/hari. orang tua pasien mengatakan pasien bergerak
aktif, tidak lemas, batuk (-), pilek (-).
12 jam sebelum pasien masuk rumah sakit, BAB Cair disertai
demam tinggi, demam terjadi sepanjang hari, tidak turun setelah
diberikan obat penurun panas, batuk (-), pilek (-), muntah (-). Orang tua
pasien mengatakan bahwa pasien tampak kehausan saat minum susu.
Saat di IGD Anak RSDM, pasien tampak bergerak aktif, rewel,
demam tinggi 38.9o C. Pasien terakhir BAK tidak diketahui. Pampers
saat di IGD didapatkan BAK, berwarna kuning jernih, darah (-). Minum
terakhir pukul 12 malam dengan volume ± 40 ml. BAB terakhir pukul
23.00 sebanyak ± ¼ gelas belimbing, air lebih banyak dibandingkan
ampas, lendir (+), darah (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-).
Pada pemeriksaan fisik anak tampak bergerak aktif dan rewel,
kesadaran komposmentis (GCS E4V5M6), Suhu 36.1 oC per aksiler.
Mukosa mulut basah, turgor kulit kembali cepat, arteri dorsalis pedis
melemah dan CRT <2 detik.
Hasil pemeriksaan lab darah pada tanggal 30 September 2017
didapatkan hemoglobin 11.3 g/dl (N=10.8 – 12.8), hematokrit 36% ( N=
31 – 43), Leukosit 26.4 ribu/ul, Trombosit 596 ribu/ul, MCH 26.0 pg
(N=28.0-33.0), MCHC 31.2 g/dl, MPV 6.9 fl, PDW 15% (N-25-65),
limfosit 43.80% (N=36-52). Hasil pemeriksaan parasitologi tinja 30
September 2017 ditemukan Kista Entamoeba histolytica dan
Blastocystis hominis pada sample tinja. Hasil pemeriksaan gambaran
darah tepi 30 September 2017 Leukositosis dan trombositosis mengarah
proses infeksi.
VI. DAFTAR MASALAH
Anak perempuan usia 7 dengan :
- BAB cair sejak 4 hari yang lalu
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Amoebiasis
2. Giardiasis
3. Disentri
4. Diare akut dehidrasi ringan – sedang
5. Gizi baik klinis
VIII. DIAGNOSIS KERJA
1. Amoebiasis ec entamoeba hystolitica dan Blastocystis hominis
2. Diare akut dehidrasi ringan – sedang (terhidrasi)
3. Gizi baik klinis
IX. PENATALAKSANAAN
1. Rawat bangsal gastrohepatologi anak
2. IVFD D5 ¼ NS 24 ml/jam
3. Diet susu soya 12 x 60 ml
4. Oralit 6 ml/BAB cair
5. Injeksi metronidazol 90 mg/8 jam IV
6. Injeksi ampicillin sulbaktam 150 mg/6 jam IV
7. Paracetamol 60 mg/8 jam p.o
8. Zinc 10 mg/24 jam
X. PLANNING
-
XI. MONITORING
KU/VS/BCD/ 8 jam
XII. EDUKASI
1. Edukasi keluarga tentang penyakit pasien
2. Menjaga kebersihan dan tidak makan di sembarang tempat
3. Mengonsumsi banyak air putih untuk mencegah dehidrasi

XIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Amoebiasis

A. Definisi
Amebiasis intestinalis (disentri amoeba, enteritis amoeba, colitis amoeba)
adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus
Entamoeba Histolytica.Entamoeba histolytica merupakan protozoa usus,
sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar
manusia. Apabila kondisi memungkinkan dapat berubah menjadi patogen
dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus
sehingga menimbulkan ulserasi.1

B. Etiologi
Amebiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh protozoa organisme
E histolytica, yang dapat memberikan meningkat baik untuk penyakit usus
(misalnya, kolitis) dan berbagai manifestasi ekstraintestinal, termasuk abses
hati (paling umum) dan pleuropulmonary, jantung, dan penyebaran otak.2
Genus Entamoeba berisi banyak spesies, beberapa di antaranya (yaitu, E
histolytica, Entamoeba dispar, Entamoeba moshkovskii, Entamoeba polecki,
Entamoeba coli, dan Entamoeba hartmanni) dapat berada dalam lumen
interstisial manusia. Dari jumlah tersebut, E histolytica adalah satu-satunya
pasti terkait dengan penyakit; yang lain dianggap nonpathogenic. Penelitian
telah pulih E dispar dan E moshkovskii dari pasien dengan gastrointestinal (GI)
gejala, tetapi apakah spesies ini menyebabkan gejala-gejala ini masih harus
ditentukan.2
Meskipun E dispar dan E histolytica tidak dapat dibedakan dengan cara
pemeriksaan langsung, teknik molekuler telah menunjukkan bahwa mereka
memang 2 spesies yang berbeda, dengan E dispar menjadi komensal (seperti
pada pasien dengan infeksi HIV) dan E histolytica patogen.2
Saat ini diyakini bahwa banyak individu dengan infeksi Entamoeba
sebenarnya dijajah dengan E dispar, yang tampaknya menjadi 10 kali lebih
umum daripada E histolytica; Namun, di daerah tertentu (misalnya, Brasil dan
Mesir), E dispar tanpa gejala dan infeksi histolytica E sama-sama lazim. Di
negara-negara Barat, sekitar 20% -30% dari laki-laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki yang terjajah dengan E dispar.2
E histolytica ditularkan terutama melalui rute fecal-oral. kista infektif dapat
ditemukan di fecally makanan yang terkontaminasi dan air dan terkontaminasi
tangan penjamah makanan. penularan seksual adalah mungkin, terutama dalam
pengaturan praktek oral-anal (anilingus). gizi buruk, melalui efeknya pada
kekebalan, telah ditemukan menjadi faktor risiko untuk amebiasis.3

C. Patogenesis
Patogenesis ini berhubungan dengan infeksi E. Histolytica yang dapat
berbentuk penyakit noninvasif usus atau dapat menjadi penyakit invasif dan
juga penyakit ekstraintestinal. Pada penyakit noninvasif sering asimptomatik
tetapi dapat menyebabkanterjadi diare atau gejala gastrointestinal lainnya
seperti nyeri perut atau kram. Kebanyakan infeksi tidak meunjukkan
manifestasi klinis dan dapt sembuh sendiri dalam beberapa bulan. Infeksi
noninvasif dapat dikarenakan penyakit kronik noninvasif atau perjalanan
menuju penyakit invasif yang mana trofozoit penetrasi di mukosa usus.
Penyakit invasif ini dapat menjadi buruk dan mengawali terjadinya penyakit
yang lebih serius. Amoeba dapat bermetastasis ke organ lain dan memproduksi
amoebiasis ekstraintestinal. Dalam kata lain, E. Histolytica merupakan patogen
fakultatif yang menunjukkan daerah virulensi yang luas.3
Pada penyakit yang invasif, trofozoit membunuh sel epitel dan menginvasi
epitel kolon. Lesi awal yang terbentuk adalah daerah kecil nekrosis atau ulkus,
ditandai dengan tepi luka yang terangkat dan tidak terdapat peradangan
diantara lesi. Sindrom klinis yang berhubungan dengan tahap ini adalah kolitis
amoebic atau disentri. Disentri ditandai dengan BAB sering dengan adanya
lendir dan darah. Lesi ini dimulai denga ulkus kecil di lapisan mukosa. Amoeba
akan menyebar ke lateral dan kebawah dalam submukosa (dibawah epitel) dan
membunuh sel host. Hal ini menghasilkan ulkus “flask shaped” yang sedikit
terbuka dengan dasar yang luas. Amoeba invasif ini membunuh dan menelan
sel host bersamaan perluasan ke submukosa. Tofozoit yang menelan eritrosit
sering terlihat dalam lesi dan trofozoit hematofagus sering ditemukan dalam
feses disentri. Trofozoit ini bereplikasi secara cepat dalam jaringan host.
Namun, produksi kista menurun selama tahap invasif dari infeksi dan kista
tidak pernah ditemukan dalam jaringan lesi.4

D. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala klinik dari amoebiasis tergantung daripada lokalisasi dan
beratnya infeksi. Penyakit disentri yang ditimbulkannya hanya dijumpai pada
sebagian kecil penderita tanpa gejala dan tanpa disadari merupakan sumber
infeksi yang penting yang kita kenal sebagai “carrier”, terutama didaerah
dingin, yang dapat mengeluarkan berjuta -juta kista sehari. Penderita
amoebiasis intestinalis sering dijumpai tanpa gejala atau adanya perasaan tidak
enak diperut yang samar-samar, dengan adanya konstipasi, lemah dan
neurastenia. Infeksi menahun dengan gejala subklinis dan terkadang dengan
eksaserbasi kadang-kadang menimbulkan terjadinya kolon yang “irritable”
sakit perut berupa kolik yang tidak teratur.4
Amoebiasis yang akut mempunyai masa tunas 1 –14 minggu. Dengan
adanya sindrom disentri berupa diare yang berdarah dengan mukus atau lendir
yang disertai dengan perasaan sakit perut dan tenesmusani yang juga sering
disertai dengan adanya demam. Amoebiasis yang menahun dengan serangan
disentri berulang terdapat nyeri tekan setempat pada abdomen dan terkadang
disertai pembesaran hati. Penyakit menahun yang melemahkan ini
mengakibatkanmenurunnya berat badan.5
Amoebiasis ekstra intestinalis memberikan gejala sangat tergantung kepada
lokasi. Yang paling sering dijumpai adalah amoebiasis hati disebabkan
metastasis dari mukosa usus melalui aliran sistem portal. Sering dijumpai pada
orang-orang dewasa muda dan lebih sering pada pria daripada wanita dengan
gejala berupa demam berulang, kadang-kadang disertai menggigil, icterus
ringan, bagian kanan diafragma sedikit meninggi, sering ada rasa sakit sekali
pada bahu kanan dan hepatomegali. Abses ini dapat meluas ke paru -paru
disertai batuk dan nyeri tekan intercostal, pleural effusion dengan demam
disertai dengan menggigil.4
Pada pemeriksaan darah dijumpai lekositosis kadang-kadang amoebiasis
hati sudah lama diderita tanpa tanda-tanda dan gejalanya khas yang sukar
didiagnosa. Infeksi amoeba di otak menunjukkan berbagai tanda dan gejala
seperti abses atau tumor otak. Sayang sekali infeksi seperti ini baru didiagnosa
pada autopsi otak. Amoebiasis ekstra intestinalis ini dapat juga dijumpai di
penis, vulva, perineum, kulit setentang hati atau kulit setentang colon atau di
tempat lain dengan tanda-tanda suatu ulkus dengan pinggirnya yang tegas,
sangat sakit dan mudah berdarah.6

E. Diagnosis
Ditemukan Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik, biopsi dinding
abses. Pemeriksaan serologis dapat menunjang diagnosis. Diagnosis terutama
dilihat dari gejala klinis dan reaksi tes imunologi. Pemeriksaan dengan sinar x
dapat mendiagnosis adanya abses dalam hati. Pemeriksaan sampel feses cukup
baik dilakukan untuk mendiagnosis infeksi dalam usus. Pemeriksaan beberapa
kali terhadap feses pasien untuk menemukan trofozoit cukup baik dilakukan.
Diagnosis secara imunologik cukup baik hasilnya. Penggunaan teknik
fluoerscens antibodi cukup baik tetapi tidak dapat membedakan antara E.
histolytica dengan E. hartmanni.4

Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90%
penderita asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi
sekitarnya.4
1. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.
histolytica dengan E. dispar. Selain itu pemeriksaan berdasarkan satu
kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif. Sehingga pemeriksaan
mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1
minggu baik untuk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah
merah dalam sitoplasma E.histolytica stadium trofozoit merupakan
indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang hanya disebabkan
oleh E.histolytica.
2. Pemeriksaan Serologi untuk Mendeteksi Antibodi
Sebagian besar orang yang tinggal di bagian
endemis E.histolytica akan terpapar parasit berulang kali. Kelompok
tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan antibodi
sulit membedakan antara current atau previous injections.
Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis
pada kelompok yang tidak tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-
80% penderita dengan gejala yang disebabkan E.
histolytica memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi
antibodi terhadap E. histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan
berbagai macam uji serologi seperti IHA, lateks
aglutinasi, counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji
komplemen, dan ELISA. Biasanya merupakan uji standar adalah IHA,
sedangkan ELISA merupakan alternatif karena lebih cepat, sederhana
dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat
dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada
penderita kolitis maupun abses hati amoeba. Bila hasilnya meragukan,
uji serologi tersebut dapat diulang. Walaupun demikian, hasil
pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari previous
infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada minggu
pertama sampai minggu ketiga pada seorang penderita kolitis amoeba.
Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan
respons terhadap pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang
diberikan berhasil, titer antibodi tetap tidak berubah. Antibodi yang
terbentuk karena infeksi E.histolyticadapat bertahan sampai 6 bulan,
bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
3. Deteksi Antigen
Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi
dalam tinja, serum, cairan abses, dan air liur penderita. Hal ini dapat
dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan dengan
teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen
pada tinja merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik
dalam mendiagnosis amoebiasis intestinalis.
4. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
sebanding dengan deteksi antigen pada tinja penderita amoebiasis
intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang diperlukan lebih lama,
tekniknya lebih sulit dan juga mahal.
Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan
dengan kombinasi pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada
indikasi, dapat dilakukan kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal atau pada
cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding abses. Berbagai
penelitian memperlihatkan rendahnya sensitivitas pemeriksaan mikroskopik
dalam mendiagnosis amoebiasis intestinal atau abses hati amoeba. Metode
deteksi anti gen atau PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk
menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, syarat untuk melakukan uji ini
perlu diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap dilakukan untuk
menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain baik parasit
maupun non-parasit.7
F. Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang
berbeda dengan non-invasif. Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat
diberikan paromisin. Pada penderita amoebiasis invasif terutama diberikan
paromomisin. Pada penderita amoebiasis invasif terutama diberikan golongan
nitroimidazol yaitu metronidazol. Obat lain yang dapat diberikan adalah
tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.
II. Diare Akut
A. Definisi
Diare cair akut merupakan diare yang terjadi secara akut dan berlangsung
kurang dari 14 hari (bahkan kebanyakan kurang dari 7 hari), dengan
pengeluaran tinja yang lunak / cair. Mungkin disertai muntah dan panas. Diare
cair akut menyebabkan dehidrasi, dan bila masukan makanan kurang dapat
mengakibatkan kurang gizi. Kematian yang terjadi disebabkan karena
dehidrasi. Penyebab terpenting diare pada anak-anak adalah Shigella,
Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium, Vibrio cholera, Salmonella, E.
coli, rotavirus.8
B. Epidemiologi
Kuman penyebab diare menyebar masuk melalui mulut antara lain makanan
dan minuman yang tercemar tinja atau yang kontak langsung dengan tinja
penderita.9
Terdapat beberapa perilaku khusus meningkatkan resiko terjadinya diare
yaitu tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama kehidupan,
menggunakan botol susu yang tercemar, menyimpan makanan masak pada
suhu kamar dalam waktu cukup lama, menggunakan air minuman yang
tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan setelah
buang air besar, sesudah membuang tinja atau sebelum memasak makanan,
tidak membuang tinja secara benar.9
Faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap diare antara lain tidak
memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi, campak, imunodefisiensi /
imunosupressif.9
Umur kebanyakan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan, insiden
paling banyak pada umur 6 – 10 bulan (pada masa pemberian makanan
pendamping). Variasi musiman pola musim diare dapat terjadi melalui letak
geografi. Pada daerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada
musim panas sedangkan diare karena virus (rotavirus) puncaknya pada
musimdingin. Pada daerah tropik diare rotavirus terjadi sepanjang tahun,
frekuensi meningkat pada musim kemarau sedangkan puncak diare karena
bakteri adalah pada musim hujan.9

C. Etiologi
1. Faktor infeksi
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli,
Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi
virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit
(E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).8
Infeksi parenteral yaitu infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat
menimbulkan diare seperti otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia,
ensefalitis dan sebagainya.8
2. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat yaitu disakarida (intoleransi laktosa,
maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan
galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting
pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak
dan protein.
3. Faktor Makanan
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun
dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).
Gambar 1. Bagan Penyebab penyakit diare

Gejala Klinis Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera

Konsistensi Cair Lembek Lembek Cair Lembek Cair

Lendir darah - Sering Kadang - + -

Bau - - Busuk + - Amis khas


Warna Kuning- Merah- kehiajauan Tak Merah- Seperti air
hijau hiaju berwana hijau cucian beras
Leukosit - + + - - -

Lain lain Anoreksia Kejang Sepsis Meteorism Inf -


us sistemik
Gambar 2. Mikroorganisme penyebab diare
D. Patofisiologi
Terdapat beberapa mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare
yaitu:
1. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus
yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga
timbul diare.10
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus
dan selanjutnya timbul diare karena peningkatan isi lumen usus.10
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus
untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan,
selanjutnya dapat timbul diare.10

E. Diagnosis
Pada diare cair akut dapat ditemukan gejala dan tanda-tanda sebagai berikut:
1. BAB lebih cair/encer dari biasanya, frekuensi lebih dari 3 kali sehari
2. Apabila disertai darah disebut disentri (diare akut invasif)
3. Dapat disertai dengan muntah, nyeri perut dan panas
4. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama, yaitu kesadaran,
rasa haus, turgor kulit abdomen. Perhatikan juga tanda tambahan, yaitu
ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau tidak, ada atau tidak
adanya air mata, kering atau tidaknya mukosa mulut, bibir dan lidah.
Jangan lupa menimbang berat badan.
Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai kriteria sebagai berikut:9
1. Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan < 5% berat badan)
 Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
 Keadaan umum baik, sadar
 Tanda vital dalam batas normal
 Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah
 Turgor abdomen baik, bising usus normal
 Akral hangat
 Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi
lain (tidak mau minum, muntah terus-menerus, diare frekuen)
2. Dehidrasi sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)
 Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan
 Keadaan umum gelisah atau cengeng
 Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata
kurang, mucosa mulut dan bibir sedikit kering
 Turgor kurang
 Akral hangat
 Pasien harus rawat inap
3. Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
 Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dengan dua atau lebih
tanda tambahan
 Keadaan umum lemah, letargi atau koma
 Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada,
mucosa mulut dan bibir sangat kering
 Anak malas minum atau tidak bisa minum
 Turgor kulit buruk
 Akral dingin
 Pasien harus rawat inap
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam,
tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling
fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah
kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseorang
yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata
cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun
serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air
yang isotonik.8
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan
asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang
merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan
lebih dalam (pernapasan Kussmaul).
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit),
tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka
pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium
pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun
sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul
penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal
akut.

F. Tatalaksana
Apabila derajat dehidrasi yang terjadi akibat diare sudah di tentukan, baru
kemudian menentukan tatalaksana yang akan diterapkan secara konsisten..
Terdapat lima lintas tatalaksana diare, yaitu:11
 Rehidrasi
 Dukungan nutrisi
 Supplement zinc
 Antibiotik selektif
 Edukasi orang tua
1. Diare cair akut tanpa dehidrasi
Penanganan lini pertama pada diare cair akut tanpa dehidrasi antara lain
sebagai berikut:
a. Memberikan kepada anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk
mencegah dehidrasi. Dapat kita gunakan cairan rumah tangga yang
dianjurkan, seperti oralit, makanan cair (seperti sup dan air tajin) dan
bila tidak ada air matang, kita dapat menggunakan larutan oralit untuk
anak. Pemberian larutan diberikan terus semau naak hingga diare
berhenti. Volume cairan untuk usia kurang dari 1tahun : 50-100cc,
untuk usia 1-5 tahun mendapat 100-200cc, untuk usia lebih dari 5 tahun
dapat diberikan semaunya.
b. Pemberian tablet Zinc
Pemberian tablet zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut
meskipun anak telah sembuh dari diare. Dosis zinc untuk anak
bervariasi, untuk anak usia dibawah 6 bulan sebesar 10mg (1/2 tablet)
perhari, sedangkan untuk usia diatas 6 bulan sebesar 20 mg perhari.
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anak telah
sembuh dari diare.
c. Memberikan anak makanan untuk mencegah kekurangan gizi
d. Membawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik
dalam 3 hari atau menderita sebagai berikut buang air besar cair lebih
sering, muntah terus menerus, rasa haus yang nyata, makan atau minum
sedikit, demam, dan tinja berdarah.
e. Anak harus diberi oralit di rumah Formula oralit baru yang berasal dari
WHO dengan komposisi sebagai berikut:
 Natrium : 75 mmol/L
 Klorida : 65 mmol/L
 Glukosa, anhydrous : 75 mmol/L
 Kalium :20 mmol/L
 Sitrat :10 mmol/L
 Total osmolaritas :245 mmol/L
Ketentuan pemberian oralit formula baru :
Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 200 ml air matang,
berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar dengan
ketentuan untuk anak usia kurang dari 1 tahun berikan 50-100 ml setiap
kali buang air besar, sedangkan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun
berikan 100-200 ml tiap kali buang air besar.
2. Diare cair akut dengan dehidrasi ringan-sedang
Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75cc/kgBB dalam 3 jam
pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang
berlangsung sesuai umur seperti diatas setiap kali buang air besar.
3. Diare Cair akut dengan Dehidrasi Berat
Anak-anak dengan tanda-tanda dehidrasi berat dapat meninggal
dengan cepat karena syok hipovolemik, sehingga mereka harus
mendapatkan penanganan dengan cepat.
Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.Ada beberapa hal yang
penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
a. Menentukan cara pemberian cairan
Penggantian cairan melalui intravena merupakan pengobatan pilihan
untuk dehidrasi berat, karena cara tersebut merupakan jalan tercepat
untuk memulihkan volume darah yang turun. Rehidrasi IV penting
terutama apabila ada tanda-tanda syok hipovolemik (nadi sangat cepat
dan lemah atau tidak teraba, kaki tangan dingin dan basah, keadaan
sangat lemas atau tidak sadar). Cara lain pemberian cairan pengganti
hanya boleh bila rehidrasi IV tidak memungkinkan atau tidak dapat
ditemukan disekitarnya dalam waktu 30 menit.
b. Jenis cairan yang hendak digunakan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena
tersedia cukup banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah
bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja. Bila RL tidak tersedia
dapat diberikan NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan
dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik.
Pada keadaan diare akut awal yang ringan dapat diberikan cairan oralit
untuk mencegah dehidrasi dengan segala akibatnya.
c. Jumlah cairan yang hendak diberikan.
Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak
diberikan harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan.
Jika memungkinkan, penderita sebaiknya ditimbang sehingga
kebutuhan cairannya dapat diukur dengan tepat. Kehilangan cairan
pada dehidrasi berat setara dengan 10% berat badan (100 ml/kg).
Bayi harus diberi cairan 30 ml/kg BB pada 1 jam pertama,
diikuti 70ml/kg BB 5 jam berikutnya, jadi seluruhnya 100 ml/kgBB
selama 6 jam. Anak yang lebih besar dan dewasa harus diberi 30
ml/kgBB pada 30 menit pertama, diikuti 70 ml/kgBB dalam 2,5 jam
berikutnya sehingga seluruhnya 100 ml/kgBB selama 3 jam. Sangat
berguna memberi tanda pada botol, untuk menunjukan jumlah cairan
yang harus diberikan setiap jam bagi setiap penderita.
Sesudah 30 ml/kg cairan pertama diberikan , nadi radialis yang
kuat dapat teraba. Bila masih lemah dan cepat, infuse 30 ml/kg harus
diberikan lagi dalam waktu yang sama. Meskipun begitu hal ini jarang
dibutuhkan. Larutan oralit dalam jumlah kecil harus juga diberikan
melalui mulut (sekitar 5ml/kg BB per jam) segera setelah penderita
dapat minum, untuk memberi tambahan kalium dan basa. Hal ini biasa
dilakukan setelah 3-4 jam untuk bayi dan 1-2 jam untuk penderita yang
lebih besar.
d. Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan meliputi oral dan intravena. Larutan
oralit dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g NaBik
dan 1,5 g KCl stiap liternya diberikan per oral pada diare ringan
sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi inisial untuk
mempertahankan hidrasi.
Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan
dengan keadaan klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui
pemeriksaan biakan tinja disertai dengan pemeriksaan urine lengkap dan tinja
lengkap.11
Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas
melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum,
kreatinin dan BJ plasma. Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi
sistemik pemeriksaan biakan empedu, widal, preparat malaria serta serologi
Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi
amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil
pemeriksaan penyaring.11
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
 Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
 Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan
kadang-kadang darah.
Memberikan terapi simtomatik
Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan
keuntungannya. Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk
diare yang diakibatkan oleh bakteri entero-invasif karena memperpanjang
waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya cepat dieliminasi.12
Memberikan terapi definitif.
Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:11
1. Kolera-eltor : Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
2. V. parahaemolyticus,E. coli, tidak memerluka terapi spesifik
3. A. aureus : Kloramfenikol
4. Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan
Quinolon seperti Siprofloksasin
5. Shigellosis : Ampisilin atau Kloramfenikol
6. Helicobacter : Eritromisin
7. Amebiasis : Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
8. Giardiasis : Quinacrine atau Chloroquineitiform atau
Metronidazol
9. Balantidiasis : Tetrasiklin
10. Candidiasis : Mycostatin
11. Virus : simtomatik dan support

DAFTAR PUSTAKA
1. Santos, R.V., Fontes, G., Duarte, I.A., Santos-Júnior, J.A., Rocha, E.M.
2016. Identification of Entamoeba histolytica and E. dispar infection in
Maceió, Alagoas State, northeast Brazil. J Infect Dev Ctries. 10(10):1146-
1150. doi: 10.3855/jidc.6781.
2. Fotedar R, Stark D, Beebe N, Marriott D, Ellis J, Harkness J. 2007.
Laboratory diagnostic techniques for Entamoeba species. Clin Microbiol
Rev. 20(3):511-32, table of contents
3. Verkerke HP, Petri WA Jr, Marie CS. 2012. The dynamic interdependence
of amebiasis, innate immunity, and undernutrition. Semin Immunopathol.
34(6):771-85.
4. Garlands science. 2010. Entamoeba and amoebiasis. 31-46.
5. Alberta Health and wellnes. 2011. Amoebiasis. Pulic Health
notifabledisease management.
6. Ma C. 2014. Treatment Methods of Traditional Chinese Medicines Against
Intestinal Protozoan Infections. Department of Pathogen Biology and
Immunology, Guangzhou Medical University.
7. Nath J, Ghosh SK, Singha B. 2013. Problem in Amoebiasis Diagnosis in
Clinical Setting: A Review fromConventional Microscopy to Advanced
Molecular Based Diagnosis. Journal of academia and industrial research.
2: 257-261.
8. Bergman R, Afifi A. Hydrocephalus. In : Functional Neuroanatomy text
and atlas. 2Ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p 380-4.
9. Ardhani punky, 2008, Art of Theraphy: Ilmu Penyakit Anak, Pustaka
Cendekia Press: Jogjakarta
10. Poorwo sumarso et all. 2003. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi &
Penyakit Tropis, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
11. Hasan Rusepno et all. 2007. Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11,
Infomedika : Jakarta.
12. Pusponegoro hardiyono et all, 2004, Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak: edisi I, Ikatan Dokter Anak Indonesia

Anda mungkin juga menyukai