Strategi PDF
Strategi PDF
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimak-
sud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT
DALAM MENGHADAPI BENCANA
BANJIR PASANG AIR LAUT
DI KOTA PEKALONGAN
Su Rito Hardoyo
Muh Aris Marfai
Novi Maulida Ni’mah
Rizki Yustiana Mukti
Qori’atu Zahro
Anisa Halim
Magister Perencanaan
encanaan dan Pengelolaan
P
Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS)
Program S-2 Geografi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Tahun 2011
STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR
PASANG AIR LAUT DI KOTA PEKALONGAN
Penulis:
Su Rito Hardoyo
Muh Aris Marfai
Novi Maulida Ni’mah
Rizki Yustiana Mukti
Qori’atu Zahro
Anisa Halim
copyright©
Magister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS)
Program S-2 Geografi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Jalan Kaliurang Bulaksumur – Yogyakarta, 55281
Telepon : +62.274.6492340
Fax : +62.274.589595
Website: http://mppdas.geo.ugm.ac.id
Email: mppdas@geo.ugm.ac.id
Diterbitkan atas kerja sama dengan:
RedCarpet Studio
Website: www.redcarpetstudio.net
Email: info@redcarpetstudio.net
ISBN: 978-602-19549-4-2
978-602- -4-2
Dicetak oleh:
Percetakan Pohon Cahaya
Kata Pengantar
Penulis
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • v
Daftar Isi
Bab II Kebencanaan...................................................................................3
A. Pengertian Bencana .............................................................................3
B. Bencana Banjir Pasang Air Laut ......................................................... 4
C. Manajemen Bencana ..........................................................................5
D. Persepsi terhadap Risiko (Risk Perception) ....................................... 6
E. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Bencana ..................................7
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • vii
C. Sikap Masyarakat terhadap Banjir Pasang Air Laut.........................32
D. Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi
Banjir Pasang Air Laut .......................................................................34
E. Konsepsi Adaptasi Masyarakat terhadap Banjir Pasang Air Laut .. 46
Daftar Gambar
Gambar 2.1. Konsep Adaptasi, berdasarkan penyesuaian dari Adaptasi
dalam Perubahan Iklim oleh Smit dkk., (1999) ....................................... 8
Gambar 3.1. Proses Analisis Data ........................................................................... 12
Gambar 3.2. Kerangka Berfikir Penelitian ..............................................................13
Gambar 4.1. Piramida kelompok Usia Kerja (sumber: Podes, 2008) ................... 17
Sumber: Kesbangpolinmas Kota Pekalongan, 2010 ............................................. 20
Sumber: Kesbangpolinmas Kota Pekalongan 2010 ...............................................22
Sumber: Kesbangpolinmas Kota Pekalongan 2010 ...............................................23
Gambar 5.1. Keadaan tanggul yang langsung bersentuhan dengan air laut
(Sumber: Survei Lapangan, 2011) .............................................................25
Gambar 5.2. Ilustrasi Kejadian Banjir Pasang Surut Ekstrem
(Sumber: analisis data, 2011) ................................................................... 26
Gambar 5.3. Proyek Perumahan Ciputra di wilayah Panjang Baru
(Sumber: Survei Lapangan, 2011) .............................................................27
Gambar 5. 4. Rumah yang telah terendam oleh banjir pasang air laut .............. 28
Gambar 5.5. Perabot rumah yang rusak akibat banjir pasang air laut ................ 29
Gambar 5.6. Lantai semen sebuah rumah yang rusak......................................... 29
Gambar 5.7. Genangan di jalan permukiman kampung ......................................30
viii • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Gambar 5.8. Genangan yang menyebabkan batas pematang tambak
dengan lahan sekitarnya tidak terlihat lagi .............................................30
Gambar 5.9. Genangan di sawah warga yang tidak surut..................................... 31
Gambar 5.10. Jalan lingkungan yang telah ditinggikan sebanyak 4 kali ..............35
Gambar 5.11. Teras yang menjadi tanggul bagi bagian dalam rumah
setinggi 20 cm ...........................................................................................35
Gambar 5.12. Salah satu rumah yang ditinggikan .................................................36
Gambar 5.13. Jalan menuju ke sebuah rumah hasil dari urugan tanah ...............36
Gambar 5.14. Pembuatan tanggul bamboo di pintu saluran air...........................37
Gambar 5.15. Pintu air yang telah diperbaiki.........................................................37
Gambar 5.16. Model tanggul isi tanah yang dibuat secara swadaya ...................38
Gambar 5.17. Tanggul isi tanah yang diletakkan di tepi sepanjang jalan
untuk menahan air akibat tanggul pantai yang jebol ............................38
Gambar 5.18. Jalan yang ditinggikan 2 kali telah membuat portal
saat ini hanya setinggi lutut orang dewasa ........................................... 40
Gambar 5.19. Rumah yang telah ditinggikan (kanan) dibandingkan
dengan rumah yang belum ditinggikan (kiri) ....................................... 40
Gambar 5.21. Pintu saluran air yang ada di sekitar perumahan
yang lokasinya berdekatan dengan tambak ............................................ 41
Gambar 5.20. Rumah dengan tanggul buatan di depan pintu ............................. 41
Gambar 5.22. Pompa sedot swadaya masyarakat yang pada saat
penelitian sudah jarang digunakan ......................................................... 41
Gambar 5.23. Saluran air yang menjadi tempat dari pompa air swadaya ............42
Gambar 5.25. Mesin pompa air untuk menyedot air yang telah
ditampung di bak penampung ...............................................................42
Gambar 5.24. Polder yang berada disebelah timur perumahan berada
di sebelah gedung STAIN ........................................................................42
Gambar 5.26. Saluran pembuangan air ketika disedot keluar ............................42
Gambar 5.27.Jaring atau Waring ........................................................................... 44
Gambar 5.28. Jaring yang dipasang di saluran air tambak .................................. 44
Gambar 5.29. Pipa untuk buka tutup saluran penghubung sungai-tambak .......45
Gambar 5.30. Pipa ketika di pasang untuk menutup saluran air .........................45
Gambar 5.31. Identifikasi Bentuk Adaptasi Masyarakat Terhadap Banjir Pasang
Air laut di Kota Pekalongan (Sumber: Hasil analisa data, 2011)............ 48
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • ix
Daftar Tabel
Tabel 3.1. Pertanyaan Penelitian dan Metode Pengambilan Data ........................ 10
Tabel 5.1. Kejadian Banjir Pasang Air Laut Kecamatan Pekalongan Utara......... 20
Tabel 5.2. Lokasi Kejadian Genangan Banjir Pasang Air Laut
di Perumahan Kelurahan Panjang Baru ..................................................22
Tabel 5.3. Daerah Banjir Pasang Air Laut Kelurahan Krapyak Lor tahun 2010 ...23
x • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Bab I
Pendahuluan
Banjir pasang air laut termasuk bencana banjir yang disebabkan oleh
masuknya air laut ke daratan sebagai akibat dari pasang air laut yang tinggi (Marfai,
2004; Marfai dan King, 2008). Wilayah pesisir utara Pulau Jawa rawan terhadap
bencana banjir karena kondisi pesisir utara Pulau Jawa bertopografi landai
sehingga banjir dapat dengan mudah masuk jauh sampai ke daratan. Fenomena
alam ini dapat dikategorikan sebagai bencana alam ketika berhubungan dengan
manusia dan aktivitasnya. Wilayah pesisir utara Pulau Jawa identik dengan
wilayah pesisir lainnya yang memiliki keragamanan penggunaan lahan dan
kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Disamping itu, wilayah pesissir utara
Pulau Jawa dicirikan oleh cepatnya pertumbuhan ekonominya yakni sebesar
5,2% dalam lima tahun terakhir (www.kompas.com, 2008). Oleh karena itu,
dengan adanya bencana banjir tidak hanya berakibat kerusakan fisik bangunan
rumah dan sarana prasarana umum, tetapi juga terganggunya aktivitas sosial dan
ekonomi masyarakat.
Bencana alam di suatu wilayah memiliki implikasi secara langsung terhadap
masyarakat di wilayah tersebut. Partisipasi masyarakat untuk mengurangi dan
menghindari resiko bencana penting dilakukan dengan cara meningkatkan
kesadaran dan kapasitas masyarakat (Suryanti dkk, 2010). Zein (2010) menjelaskan
bahwa masyarakat merupakan pihak yang memiliki pengalaman langsung
dalam kejadian bencana sehingga pemahaman yang dimiliki menjadi modal
bagi pengurangan resiko bencana. Dalam konteks manajemen bencana alam
di wilayah pesisir, respon masyarakat terhadap bencana sangat penting untuk
dipahami (Marfai, dkk., 2008). Respon merupakan awal dari sebuah strategi
adaptasi oleh masyarakat yang dihasilkan melalui pemahaman terhadap bencana
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 1
alam yang terjadi. Pemahaman masyarakat berupa pengetahuan persepsi yang
teraktualisasi dalam sikap dan atau tindakan dalam menghadapi bencana. Hasil
dari sikap dan atau tindakan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah
strategi adaptasi yang berarti penyesuaian yang dilakukan akibat dari ancaman
lingkungan. Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian
dengan fokus kajian strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat, baik pada
tingkat individu maupun kelompok, dalam menghadapi bencana banjir pasang
surut.
Adaptasi merupakan hasil akhir sikap masyarakat yang muncul berdasarkan
persepsi dan pengetahuan mereka terhadap banjir pasang surut. Kajian
mengenai adaptasi ini dilakukan dengan menilai populasi pada kondisi sosio-
ekologi berbeda. Mileti dan Gottschlich (2001) mengemukakan bahwa kerugian
bencana merupakan hasil dari interaksi dari proses fisik alam, karakteristik sosial
kependudukan, dan kondisi lingkungan terbangun. Perbedaan karakteristik dari
ketiga sistem tersebut menghasilkan kerugian berbeda pada bencana alam yang
berbeda. Secara lebih dalam, penelitian mengungkap tentang strategi adaptasi
masyarakat dalam menghadapi bencana banjir pasang surut berdasarkan
perbedaan karakteristik tersebut.
Penelitian dilakukan di Kota Pekalongan. Kota Pekalongan sebagai salah satu
kota di Provinsi Jawa Tengah yang rawan terhadap banjir pasang surut. Peristiwa
banjir pasang surut di kota ini pada tanggal 1 Februari 2011 mencapai radius 4 km,
menggenangi areal permukiman, sawah, tambak, jalan-jalan utama, dan meluas
hingga mencapai Jalan Pantura. Banjir pada tanggal 29 Maret 2011 banjir telah
mencapai 3 km dari garis pantai ke arah daratan dengan ketinggian air mencapai
50 cm. Banjir telah merendam sebagian besar daerah Kecamatan Pekalongan
Utara (www.mediaindonesia.com, 2011).
Penelitian strategi adaptasi dilakukan di tiga desa dengan langkah-langkah
pengamatan sebagai berikut:
(1) Mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap banjir pasang air laut di
desa dengan corak sosioekologi pertanian, tambak dan permukiman.
(2) Mengetahui sikap masyarakat terhadap banjir pasang air laut di desa
dengan corak sosioekologi pertanian, tambak dan permukiman.
(3) Memahami strategi adaptasi masyarakat terhadap banjir pasang air laut
di desa dengan corak sosioekologi pertanian, tambak dan permukiman.
2 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Bab II
Kebencanaan
A. Pengertian Bencana
Makna bencana menurut UU No. 24 Tahun 2007 adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat, yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau
faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
Pengertian secara khusus dijelaskan dalam UU No.27 tahun 2007, sebagai
kejadian akibat peristiwa alam atau karena perbuatan orang, yang menimbulkan
perubahan sifat fisik dan atau hayati pesisir, dan mengakibatkan korban jiwa,
harta, dan atau kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dua makna bencana baik secara umum maupun secara khusus, mengandung
arti bahwa tinggi rendahnya risiko dampak bencana bergantung pada kerentanan
setiap komponen yang terkena dampak. Hal ini seperti yang diungkap Hyogo
Framework for Action 2005-2015, bahwa resiko bencana akan meningkat dengan
adanya kerentanan fisik, sosial ekonomi, dan lingkungan. Mileti dan Gottschlich
(2001) sebelumnya telah mengungkap tentang 3 sistem utama yang mengalami
kerugian akibat bencana yaitu lingkungan fisik (physical environment),
sosial kependudukan (socio-demographic), dan lingkungan terbangun (built
environment). Karakteristik dari ketiga sistem tersebut menentukan derajat atau
tingkat kerugian dari sebuah bencana alam.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 3
(1) Lingkungan fisik
Sistem ini berkaitan dengan proses fisik alami bumi yang selalu berubah
dan dinamis, seperti perubahan iklim dan proses geologi. Kedinamisan
pada sistem ini berimplikasi pada kondisi yang tidak menentu pada
suatu lingkungan hidup.
4 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
secara umum, menurut Baru (2011) dinyatakan sebagai kemungkinan terjadinya
banjir dan konsekuensi yang terjadi akibat banjir.
C. Manajemen Bencana
Carter (2001) menyatakan bahwa konsep manajemen bencana (concept of
disaster management) harus memiliki pendekatan yang secara komprehensif
memuat seluruh siklus manajemen bencana, yaitu pencegahan (prevention),
mitigasi (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), respon (respond), pemulihan
(recovery), dan pembangunan berkaitan dengan bencana (disaster-related
development).
Paradigma dalam konsep manajemen bencana makin berkembang, dari
pendekatan teknokratik menjadi pendekatan manajemen resiko bencana.
Pendekatan ini merupakan hasil dari inter-relasi dari 3 komponen yaitu,
penilaian terhadap bahaya (hazard assessment), analisis kerentanan (vulnerability
analysis), dan peningkatan kapasitas pengelolaan (enhancement of management
capacity). Perubahan pendekatan dalam proses manajemen bencana, juga
dilakukan dengan beralihnya sistem top-down menjadi bottom-up. Masyarakat
memegang peran penting dalam pengurangan risiko bencana di wilayahnya
(Yodmani, 2001).
Demikian pula halnya dengan manajemen bencana banjir berkembang
menjadi manajemen resiko banjir (flood risk management). Pendekatan
tersebut menurut Messner & Meyer (2005), memuat keterkaitan antara persepsi
resiko banjir (flood risk perception), kesiapsiagaan (preparedness), kerentanan
(vulnerability), kerusakan akibat banjir (flood damage), dan manajemen banjir
(flood management). Semua elemen tersebut menghasilkan desain analisis
kerusakan akibat banjir (flood damage analysis) dan management resiko banjir
(flood risk management).
Manajemen bencana banjir menurut Twigg (2004) terdiri dari 3 komponen,
yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, dan pencegahan. Ketiga komponen tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
(1) Mitigasi adalah hal-hal yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana
baik struktural (pembangunan fisik bangunan) maupun non struktural
(pendidikan dan pelatihan terkait bencana dan kebijakan penggunaan
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 5
lahan). Dalam UU No. 27 tahun 2007, mitigasi bencana di wilayah pesisir
diartikan sebagai: “Upaya untuk mengurangi resiko bencana baik secara
struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan
maupun non struktural atau non fisik melalui peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.”
(2) Kesiapsiagaan adalah langkah-langkah yang diambil sebelum bencana
terjadi seperti prakiraan, peringatan dini, dan tanggap pada bencana.
(3) Pencegahan adalah aktivitas yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
bencana.
6 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
E. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Bencana
Hardesty (1977) mengemukakan tentang adaptasi bahwa: “adaptation is the
process through which beneficial relationships are established and maintained
between an organism and its environment”, maksudnya, adaptasi adalah proses
terjalinnya dan terpeliharanya hubungan yang saling menguntungkan antara
organisme dan lingkungannya.
Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) (Alland, 1975;
Harris, 1968; Moran, 1982) mendefinisikan, bahwa adaptasi adalah suatu strategi
penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon
terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial.
Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem
merupakan keseluruhan situasi, di mana adaptabilitas berlangsung atau terjadi.
Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitas
sangat berbeda-beda. Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan
diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu
populasi atau masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan
yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan dapat saja membutuhkan
waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri (Moran 1982). Sahlins (1968)
menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis, karena lingkungan dan
populasi manusia terus dan selalu berubah.
Smit dkk., (1999) dalam kajiannya mengenai perubahan iklim, mengartikan
adaptasi sebagai penyesuaian di dalam sistem ekologi-sosial-ekonomi sebagai
respon terhadap kondisi ikilm dan dampaknya seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1. Smit dan Wandel (2006) juga menyatakan bahwa adaptasi manusia
dalam perubahan global merupakan proses dan hasil dari sebuah sistem, untuk
mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, tekanan, bahaya, risiko,
dan kesempatan. Dalam perubahan iklim terdapat 2 peran adaptasi yaitu
sebagai bagian dari penilaian dampak dengan kata kunci yaitu (1) adapatasi yang
dilakukan, dan (2) respon kebijakan dengan kata kunci rekomendasi adaptasi.
Kerangka dalam mendefiniskan adaptasi adalah dengan mempertanyakan: (1)
adaptasi terhadap apa?; (2) siapa atau apa yang beradaptasi?; dan (3) bagaimana
adaptasi berlangsung?. Hal ini berarti bahwa adaptasi adalah proses adaptasi
dan kondisi yang diadaptasikan.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 7
Gambar 2.1. Konsep Adaptasi, berdasarkan penyesuaian dari Adaptasi
dalam Perubahan Iklim oleh Smit dkk., (1999)
8 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Bab III
Analisis Strategi Adaptasi
Masyarakat
A. Pengumpulan Data
Riset ini berfokus pada informasi-informasi kualitatif tentang persepsi,
sikap, dan strategi masyarakat dalam menghadapi banjir pasang air laut.
Pada penelitian ini, ditentukan sampel lokasi penelitian berdasarkan kriteria
perbedaan sosioekologi yang dimiliki setiap desa. Konsep sosioekologi merupakan
interaksi sosial manusia yang mendiami suatu wilayah dengan lingkungan fisik
di sekitarnya. Sikap manusia akan berpengaruh terhadap lingkungan fisik,
demikian juga sebaliknya. Dengan demikian di desa-desa dengan ciri fisik yang
berbeda, didapatkan karakter sosial yang berbeda pula.
Daerah resiko banjir pasang surut di Pekalongan Utara, setidaknya terdapat
3 karakter sosioekologi yang berbeda, yaitu daerah permukiman padat, daerah
pertanian sawah, dan daerah tambak. Oleh karena itu diambil 3 sampel desa/
kelurahan yang masing-masing mewakili 3 karakter sosiologi yang berbeda.
Ketiga desa tersebut adalah:
a. Desa Degayu dengan karakter sosioekologi pertanian
b. Desa Krapyak Lor dengan karakter sosioekologi tambak,
c. Desa Panjang Baru dengan karakter sosioekologi permukiman padat.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 9
c. Kejadian banjir pasang air laut di lokasi penelitian
d. Sosial ekonomi masyarakat di lahan pertanian
Pada tahap kerja lapangan, fokus utama yang dilakukan adalah pengumpulan
data primer. Data dikumpulkan berdasarkan kebutuhan data untuk menjawab
pertanyaan penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 3.1.
10 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Wawancara mendalam dilakukan dalam pengumpulan data primer-
kualitatif dan kuantitatif dimana responden menjawab seperangkat pertanyaan
dari peneliti. Dengan indepth interview didapatkan informasi mendalam dari
responden tentang suatu fenomena. Dalam pelaksanaan indepth interview pada
penelitian ini, sangat diperhatikan dua aspek penting untuk memperoleh data
yang valid ;
a. Aspek perhatikan pada topik penelitian sehingga informasi yang
didapatkan terarah. Oleh karena dalam wawancara selalu mengacu
pada pertanyaan penelitian yang dapat mengarahkan pembicaraan
pada saat wawancara berlangsung. Disamping itu, dengan adanya
acuan pertanyaan, kedalaman informasi dari setiap responden dapat
dibakukan, sehingga informasi dari satu responden dengan responden
lain dapat tersusun secara sistematik.
b. Aspek obyektifitas dalam arti informasi yang diperoleh berkualitas dan
seobyektif mungkin. Untuk menjaga obyektifitas informasi, dilakukan
teknik triangle check. Dalam teknik ini, dilakukan konfirmasi informasi
yang didapatkan dari satu responden dengan responden yang lain.
Unit analisis penelitian adalah individu yang diwakili oleh setiap responden.
Untuk mendapatkan sampel individu, dilakukan teknik purposive sampling.
Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan responden tertentu yang dapat
memberikan informasi sesuai dengan tujuan dan konsep dari strategi adaptasi.
Untuk memahami strategi adaptasi masyarakat dalam kondisi ekologi dan sosial
ekonomi yang berbeda, dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggali
informasi dari responden dengan variasi yang berbeda baik dari kondisi fisik
lingkungan (seperti dominasi penggunaan lahan) maupun kondisi sosial
ekonomi (seperti usia, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya)
Disamping wawancara terhadap individu masyarakat, juga dilakukan
wawancara dengan aparat pemerintah sebagai salah satu stakaholder dalam topik
banjir pasang surut. Aparat pemerintah dipilih berdasarkan pada kompetensi
kedinasannya. Dinas yang menjadi sasaran adalah: 1)Dinas pekerjaan umum, 2)
Kesbangpolinmas, 3)Dinas sosial, 4)Aparat Kecamatan dan Kelurahan.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 11
B. Analisis Data Spasial
Seusai survei lapangan dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh.
Prinsip dasar analisis menggunakan konsep analisis data induktif seperti pada
Gambar 3.1.
Secara teknis, analisis data menggunakan analisis tabulasi frekwensi maupun
tabulasi silang. Analisis kualitatif dengan cara menginterpretasi data tabel dan
gambar (foto) lapangan sesuai dengan sub-sub bahasan. Berbagai informasi
data tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar penarikan kesimpulan hasil
penelitian, berupa beberapa pernyataan yang terdapat di lapangan.
12 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Secara skematis pelaksaan metode penelitian dapat disajikan pada Gambar
3.2.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 13
Bab IV
Deskripsi Wilayah Pesisir Pekalongan
A. Kondisi Fisik
Desa Degayu, Desa Panjang Baru dan Desa Krapyak Lor secara fisik merupakan
3 desa yang berada di pesisir utara Kota Pekalongan. Secara administratif ketiga
desa ini termasuk kedalam daerah Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan.
Luas Desa Degayu, Krapyak Lor, dan Panjang Baru berturut-turut adalah 4.102
ha, 3.193 ha dan 1.112 ha, sehingga secara keseluruhan daerah penelitian ini seluas
8.407 ha.
Ketiga desa tersebut ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sisi utara
dengan ketinggian tanah antara 0-1 meter di atas permukaan air laut. Beberapa
tempat di Desa Panjang Baru memiliki ketinggian yang relative sama dengan
ketinggian permukaan air laut. Kondisi ini menjadi salah satu faktor terjadinya
banjir pasang surut di pesisir utara Kota Pekalongan. Curah hujan rata-rata 200
mm/th dengan suhu rerata 300C, menyebabkan suhu udara wilayah ini cukup
panas pada siang hari.
Ketiga desa ditinjau dari aksesibilitas memiliki lokasi yang cukup strategis.
Selain memiliki pelabuhan besar berskala nasional juga dekat dengan jalur lintas
Pantai Utara Jawa (Pantura) yang dikenal sebagai jalur nadi penghubung antara
kota-kota besar di Pulau Jawa. Kota Pekalongan yang tumbuh dengan pesat juga
menjadi faktor yang menyebabkan wilayah ini memiliki daya tarik lokasional di
tengah masalah banjir pasang air laut.
Pemanfaatan lahan suatu daerah merupakan salah satu aspek penting
yang perlu dipertimbangkan dalam kajian suatu wilayah. Penggunaan lahan
menunjukkan karakter dinamika atau perubahan ekonomi dan sosial masyarakat
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 15
yang mendiami wilayah tersebut. Data Tahun 1999 masih menunjukkan
penggunaan lahan yang dominan Desa Degayu dan Krapyak Lor sebagai lahan
sawah irigasi, namun demikian saat ini luas lahan sawah irigasi menurun sangat
drastis, karena sawah sebagian luas telah terendam permanen oleh banjir pasang
surut. Di Desa Panjang Baru didominasi permukiman, fenomena yang sama
dengan yang tergambarkan pada data Tahun 1999. Sawah irigasi yang terendam
permanen sebagian besar dialihfungsikan untuk lahan tambak bandeng dan
tambak udang.
Tiga desa ini merupakan bagian dari DAS Kupang, yang berhulu di wilayah
Kecamatan Petungkriyono dan bermuara di Laut Utara Jawa. Ketiga desa ini
juga merupakan bagian dari downstream atau kawasan hilir sungai. Sungai-
sungai yang melalui dan bermuara di 3 desa ini di antaranya Sungai Sikenting,
Sungai Sibulangan dan Sungai Loji. Sungai-sungai ini merupakan saluran
yang memasok air dari darat masuk ke laut, juga menjadi jalur masuknya air
dari laut ke darat pada saat pasang. Untuk mengatasi hal ini, di satu sisi Sungai
Sibulangan ditanggul atau dipotong. Selama ini upaya tersebut cukup berhasil
sebagai pengendali air pasang.
16 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Gambar 4.1. Piramida kelompok Usia Kerja (sumber: Podes, 2008)
Sektor unggulan di ketiga desa adalah sektor primer, baik pertanian maupun
perikanan darat dan laut. Hal ini tampak pada besarnya jumlah penduduk
bermatapencaharian pada kedua sektor tersebut. Sektor sekunder riil yakni
perdagangan barang primer dan buruh. Jasa pariwisata yang berada di Desa
Panjang Baru yang seharusnya menjadi sektor utama, nampaknya belum berhasil
mengangkat sektor ini menjadi sector unggulan masyarakat. Hasil pengamatan
lapangan menunjukkan, objek pariwisata Pantai Panjang Baru dan Krapyak Lor
tidak nampak menonjol, atau relative sepi pengunjung.
Fenomena mobilitas penduduk di ketiga desa, juga merupakan hal yang
menarik, yakni justru faktor pendorong penduduk keluar dari daerah, karena
lingkungan yang tidak nyaman, kumuh, dan rawan banjir. Namun demikian juga
terdapat faktor penduduk masuk ke daerah ini, yakni karena murahnya harga
lahan dan bangunan. Harga satu rumah dan tanah tipe 36 di kawasan perumahan
kelas menengah di Desa Panjang Baru, hanya sekitar Rp. 30.000.000,-. Hal ini
sulit menemukan harga yang sama di Kota Pekalongan. Rasio penduduk masuk
dan keluar daerah dari periode pencatatan ke periode pencatatan berikutnya
hampir sama yakni 1:1. Hal ini berarti banyak penduduk yang masuk, namun
banyak pula penduduk yang keluar.
Jika dilihat dari pertambahan penduduk alami (dari kelahiran dan kematian),
jumlah penduduk bayi lahir lebih banyak dari pada penduduk meninggal. Hal
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 17
ini berpotensi meningkatkan kepadatan penduduk di daerah ini, walaupun
terlalu tidak signifikan. Rasio penduduk mati terhadap penduduk lahir adalah
1:2, dimungkinkan karena ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan
setempat.
C. Sarana Prasarana
Jalan dan jembatan sebagai sarana penghubung darat antar wilayah, utama-
nya antar 3 desa (Panjangbaru, Krapyak Lor, dan Degayu) telah tersedia dengan
kondisi baik. Jalan penghubung dengan pusat kota dan jalan arteri nasional juga
dapat dimanfaatkan dengan optimal oleh masyarakat, meskipun pada beberapa
bagian mengalami kerusakan karena sering terendam banjir.
Polder penampung air telah dibangun, namun hanya di Desa Panjang Baru.
Polder ini berfungsi untuk menampung air banjir dari permukiman, kemudian
dipompa keluar untuk dibuang ke saluran menuju laut. Polder ini dibangun
oleh pemerintah dengan partisipasi dan inisiasi dari masyarakat. Saluran air
dan tanggul juga telah ada, namun kondisinya sudah tidak mampu menampung
desakan banjir pasang air laut. Akibatnya setiap pasang (terkadang 2 kali sehari)
permukiman masih tergenang banjir.
18 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Bab V
Persepsi, Sikap dan Adaptasi Masyarakat
Terhadap Banjir Pasang Air Laut
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 19
drainase yang belum baik, serta kondisi wilayah kurang mampu menerima debit
air buangan.
Berdasarkan pada data kejadian bencana banjir pasang surut menurut
kelurahan, dan jumlah kepala keluarga yang tergenang (kejadian tanggal 5
oktober 2010), dapat ditunjukkan pada Tabel 5.1.
No Kelurahan Jumlah KK
5 Bandengan 475
6 Pabean 1085
20 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Selain STAIN juga terdapat beberapa perumahan kelas ekonomi menengah.
Kompleks perumahan dibangun pada tahun 1995, sebelum kejadian banjir
pasang surut menimbulkan kerugian dan merusak banyak infrastruktur. Saat ini
di perumahan tersebut sebagian besar bangunan rumah kosong, karena ditinggal
penghuninya yang memilih pindah untuk menghidari banjir pasang surut, yang
selalu terjadi pada musim-musim tertentu.
Data kejadian genangan banjir pasang surut di Kelurahan Panjang Baru,
yang terjadi pada bulan Juni Tahun 2010 dapat disajikan pada Tabel 5.2. sebagai
salah satu fakta peristiwa banjir di kelurahan ini.
Selain menggenangi kawasan permukiman, banjir pasang air laut juga
menggenangi dan bahkan menimbulkan kerusakan kawasan tambak di
Kelurahan Krapyak Lor. Di kelurahan ini mayoritas penduduk bekerja di sektor
tambak. Tambak di desa yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa ini, pernah
mengalami banjir pasang surut, khususnya pada tambak yang berbatasan
langsung dengan saluran air. Akibat seringnya banjir pasang air laut, petani
tambak selalu mengalami kerugian, karena ikan di tambak berpindah ke tempat-
tempat genangan lain di luar tambak atau bahkan ke tambak milik orang lain
saat banjir pasang air laut terjadi. Menurut salah satu informan kerugian yang
dialami dapat mencapai 90% dari hasil yang seharusnya diperoleh setiap kali
panen.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 21
Tabel 5.2. Lokasi Kejadian Genangan Banjir Pasang Air Laut
di Perumahan Kelurahan Panjang Baru
Boyongsari 60 372
Gedangan 50 189
Cangring 50 223
Jumlah 1881
Selain merugikan petani tambak, banjir pasang air laut di Kelurahan Krapyak
Lor juga menimbulkan kerugian bagi warga di permukiman. Karena banjir pasang
surut yang terjadi sering menggenangi rumah mereka dalam beberapa waktu
dengan variasi ketinggian antara 20 cm hingga 60 cm. Sebagaimana peristiwa
banjir yang terjadi pada tahun 2010 dapat disajikan pada Tabel 5.3.
22 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Tabel 5.3. Daerah Banjir Pasang Air Laut Kelurahan Krapyak Lor
tahun 2010
1 270
2 150
3 223
4 182
10 227
11 148
12 147
Jumlah 12 RW 1484
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 23
oleh angin yang besar pula. Akibatnya air laut yang menuju daratan semakin
besar, dan genangannya menjadi semakin tinggi. Walaupun waktu dan tinggi
dari genangan pasang air laut tidak dapat diketahui secara pasti oleh masyarakat,
namun terdapat sebagian warga yang memanfaatkan data dari pelabuhan, untuk
mengetahui prediksi ketinggian pasang air laut untuk antisipasi terhadap banjir.
Meskipun demikian ada juga yang mengetahui tingginya pasang air laut dari
perhitungan penanggalan jawa, karena selain merasa mudah dipahami, mereka
tidak perlu mencari informasi ke pelabuhan.
Mereka tidak lagi merasakan banjir pasang air laut sebagai salah satu
bentuk ancaman, tetapi mereka lebih menggangap hal tersebut sebagai sebuah
keterbatasan yang mereka hadapi sehari-hari. Walaupun masyarakat menganggap
banjir pasang air laut sebagai hal yang wajar dan menjadi bagian dari proses alam
yang terjadi akibat pasang air laut, namun masyarakat merasakan perubahan dari
ketinggian genangan. Di area permukiman dan tambak, masyarakat menyatakan,
bahwa banjir pasang air laut mengalami peningkatan ketinggian secara nyata
mulai tahun 2000-an, Masyarakat mulai merasakan genangan banjir semakin
tinggi dan meluas masuk ke dalam rumah dengan durasi rata-rata 3-4 hari setiap
bulannya. Sedangkan di area pertanian, masyarakat menyatakan bahwa banjir
pasang air laut mulai menggenangi sawah setelah tahun 1990-an. Genangan parah
yang terjadi di sawah dimulai sejak 4-5 tahun terakhir, atau sekitar tahun 2005-
an. Masyarakat merasakan puncak banjir terjadi tahun 2009 s.d awal tahun 2010.
Di area permukiman durasi genangan mencapai hampir 6 bulan. Sedangkan di
area pertanian, sampai penelitian ini dilakukan masih tergenang dan sebagian
telah berubah menjadi genangan air asin.
Sebagai ilustrasi peningkatan banjir pasang air laut, di Kelurahan Panjang
Baru sebuah rumah di kampung Pandanarum dengan pondasi 40 cm dari
ketinggian jalan pada tahun 2001, telah tergenang mencapai ketinggian 40 cm
sama pada tahun 2011. Hal ini menggambarkan bahwa ketinggian puncak banjir
pasang air laut dalam rentang waktu 10 tahun terakhir, telah meningkat hampir
40 cm.
Peningkatan banjir pasang air laut diduga masyarakat terjadi akibat dari
air laut yang semakin menjorok ke daratan, air laut yang semakin tinggi, dan
daratan yang semakin rendah. Pada tahun 1980-an, masyarakat melihat laut
masih jauh dari areal permukiman. Saat itu pantai masih berjarak sekitar 50 m
24 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
dari tanggul batu yang dibangun di sepanjang pantai Kelurahan Panjang Baru,
saat ini sepanjang jarak tersebut telah tergenang oleh air pasang air laut (Gambar
5.1.).
Kejadian banjir pasang air laut sebagian besar terjadi melalui saluran-saluran
air atau saluran drainase yang bermuara ke laut. Khusus di Kelurahan Panjang
Baru, kejadian ekstrim banjir pasang air laut di permukiman dan tambak yang
berjarak cukup dekat dengan garis pantai, pada tahun 2009 s.d 2010 diperparah
dengan adanya tanggul pantai yang jebol, yaitu barat bangunan crematorium
yang ada di bagian barat pantai Kelurahan Panjang Baru. Banjir pasang air laut
masuk ke daratan melalui bagian pantai yang tidak bertanggul, masuk ke daratan,
dan genangan menyebar melalui saluran air.
Kejadian banjir di Perumahan Panjang Indah, yang berjarak ± 1 km dari
garis pantai memiliki genangan tinggi saat banjir seperti pada Gambar 5.2. Hal
ini disebabkan oleh saluran drainase yang tidak berfungsi dengan baik, dan
adanya alih fungsi guna lahan di sekitar perumahan. Pembangunan STAIN
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 25
dan perumahan milik Sampoerna (Ciputra) di areal persawahan dengan proses
urug, menyebabkan hilangnya beberapa saluran drainase yang merupakan jalur
air untuk keluar dari perumahan (Gambar 5.3.). Selain itu, dengan diurugnya
lahan di sekitar perumahan Panjang Indah menyebabkan areal perumahan ini
lebih rendah dari wilayah yang lain sehingga air mengalir dan berkumpul di
Perumahan Panjang Indah.
26 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Berdasarkan wawancara dan observasi lapangan, serta data dari Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) Kelurahan Degayu (2011) kejadian banjir pasang air
laut yang terjadi di ketiga kelurahan memiliki dampak sebagai berikut.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 27
(2.) Di areal tambak
Kerugian para petani tambak akibat gagal panen karena lepasnya ikan
bandeng atau udang ketika banjir pasang air laut datang dan ketinggian
air mencapai batas pematang tambak. Berdasarkan wawancara, kerugian
dapat mencapai 50% s.d 90 % dari 10.000 bibit yang ditebar tiap 5 bulan
sekali
28 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 29
30 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Berdasarkan kejadian banjir pasang air laut dan persepsi masyarakat
terhadap kesadaran tersebut, terdapat dua pendapat mengenai banjir pasang air
laut, yaitu banjir pasang air laut sebagai gangguan, dan banjir pasang air laut
sebagai bencana. Secara umum pendapat bahwa banjir pasang air laut sebagai
gangguan dikemukakan oleh warga yang berada di Kelurahan Panjang baru dan
Krapyak Lor. Namun, pendapat lain dikemukan oleh warga di Kelurahan Degayu
yang berpendapat banjir pasang air laut sebagai bencana.
Pendapat yang mengemukakan banjir pasang air laut sebagai gangguan
dilatar belakangi oleh beberapa alasan berikut:
1. Masyarakat bermukim dekat dengan pantai dan telah lama mengetahui
adanya genangan akibat pasang air laut yang terjadi di pantai.
2. Masyarakat telah lama mengalami banjir pasang air laut yang
menggenangi area permukiman hingga masuk ke dalam rumah.
3. Pengalaman yang cukup lama dalam menghadapi banjir pasang air laut
telah membuat hal tersebut sebagai hal yang biasa dalam kehidupan
masyarakat.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 31
4. Masyarakat hanya merasa terganggu ketika banjir pasang air laut mencapai
ketinggian tertentu dan masuk ke dalam rumah atau tambak sehingga
menghambat aktivitas masyarakat. Artinya, bahwa banjir pasang air laut
pada masyarakat penghuni dekat pantai telah beradaptasi, sehingga
tantangan Lingkungan yang sebenarnya menjadi kendala kehidupan,
mereka anggap sebagai hal yang wajar dan harus disesuaikan dengan
kehidupannya. Hal itu sebagai akibat mereka terpaksa tinggal di daerah
itu karena tidak ada pilihan lain.
Pendapat lain yang menyatakan banjir pasang air laut sebagai bencana
disebabkan oleh dampak dari kejadian ekstrim banjir pasang air laut yang
menggenangi lahan sawah dan menyebabkan sawah menjadi tidak produktif.
Padahal Kelurahan Degayu merupakan salah satu penghasil padi yang cukup besar
di Kota Pekalongan sebelum banjir menggenangi area sawah. Dampak permanen
yang terjadi di lahan sawah tersebut telah menyebabkan perubahan kondisi
ekonomi masyarakat kelurahan. Artinya bahwa, aspek pemenuhan kebutuhan
ekonomi terganggu mengakibatkan banjir pasang air laut dipersepsikan sebagai
bencana yang merugikan.
32 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Sikap masyarakat untuk tetap bertahan tidak berarti bahwa keinginan untuk
berpindah tidak ada. Keinginan untuk pindah dan bertempat tinggal di tempat
yang lebih nyaman seringkali muncul ketika banjir pasang air laut datang dan
mereka merasa terganggu. Namun, ketika genangan telah surut dan aktivitas
masyarakat kembali normal maka keinginan untuk pindah hilang. Beberapa
alasan yang menyebabkan masyarakat tetap bertahan adalah sebagai berikut:
(1) Masyarakat memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan
di wilayah pesisir seperti nelayan, buruh (pelabuhan, industri ikan
asin, dan industri jaring), dan pemilik atau buruh tambak. Kurangnya
pendidikan dan keahlian telah meyebabkan masyarakat tidak memiliki
pilihan pekerjaan lain di luar wilayah pesisir. Sehingga tempat tinggal
yang dekat dengan pekerjaan menjadi pilihan bagi mereka.
(2) Masyarakat tidak memiliki biaya untuk memiliki tempat tinggal baru di
luar dari kawasan rawan banjir pasang air laut.
(3) Masyarakat yang telah bermukim cukup lama merasakan bahwa tempat
tinggal mereka saat ini adalah rumah yang tepat bagi mereka/lingkungan
yang telah terbentuk.
(4) Properti yang mereka miliki baik berupa rumah, tambak, maupun
sawah tidak memiliki daya jual yang tinggi sehingga apabila dijual tidak
mendapatkan biaya yang cukup untuk membeli kembali properti di luar
wilayah tersebut.
(5) Perasaan senasib yang dirasakan antar warga.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 33
D. Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Banjir Pasang Air
Laut
Proses persepsi dan sikap masyarakat untuk bertahan terhadap banjir pasang
air laut, merupakan awal bagi adaptasi masyarakat untuk menghadapi tekanan
dari dampak banjir pasang air laut. Beberapa adaptasi yang dilakukan dalam
menghadapi banjir pasang air laut di setiap tipe lingkungan dapat dibedakan
sebagai berikut.
1) Adaptasi dalam Tipe Lingkungan Permukiman
Dua karakteristik permukiman yang berbeda di daerah penelitian yaitu
permukiman kampung dan permukiman perumahan memiliki karakteristik
adaptasi yang berbeda.
34 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Untuk lebih jelasnya, proses adaptasi masyarakat dapat ditunjukkan pada
Gambar 5.10 sampai dengan Gambar 5.17. (Sumber: Survei lapangan,
2011).
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 35
36 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 37
38 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
b. Adaptasi terhadap lingkungan permukiman perumahan memiliki ciri
khas beberapa kegiatan sebagai berikut.
(1) Meninggikan jalan lingkungan melalui swadaya maupun bantuan
dari pemerintah kota.
(2) Meninggikan pondasi rumah oleh masing-masing individu atau
membuat tanggul di teras rumah yang dapat menghalangi air masuk
ke dalam rumah. Hal ini dilakukan sesuai dengan kemampuan
finansial masing-masing individu atau rumah tangga.
(3) Memperbaiki pintu saluran air secara swadaya sehingga dapat
berfungsi dengan baik ketika banjir pasang air laut datang.
(4) Mengoperasikan mesin sedot kecil yang dibeli melalui swadaya
masyarakat untuk menyedot air yang kemudian dibuang ke saluran
air di bagian utara perumahan. Pada saat pembelian mesin sedot,
setiap rumah tangga iuran sebesar Rp 5.000,00.
(5) Membangun polder melalui inisiatif warga perumahan dengan
bantuan pemerintah kota. Warga mengajukan bantuan kepada
pemerintah kota serta berkontribusi sebesar 10% (berupa uang
tunai atau bahan bangunan atau tenaga kerja) dari total biaya
pembangunan. Pembangunan polder berupa penampungan air
ukuran 2,75 x 3 x 30 meter yang dibangunan di bawah jalan masuk
ke perumahan, pompa air otomatis beserta ruangannya, dan saluran
drainase yang mengalirkan air hasil sedotan menuju saluran air di
luar perumahan menuju Kali Sepucung.
(6) Melakukan pengelolaan mandiri terhadap polder di bawah peng-
awasan BKM Kelurahan Panjang Baru.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 39
40 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 41
42 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
2) Adaptasi dalam Tipe Lingkungan Tambak
Adaptasi dalam tipe lingkungan tambak terwujud dalam beberapa aktifitas
masyarakat sebagai berikut.
(1) Membuat jaring atau oleh warga disebut waring yang dipasang di
sepanjang kolam dan pintu saluran air tambak untuk menghalangi ikan
berpindah dari kolam ketika air tambak menjadi luber akibat banjir
pasang air laut. Kegiatan ini dilakukan oleh masing-masing pemilik atau
buruh tambak.
(2) Membuat alat dari pipa pralon yang digunakan untuk membuka saluran
air yang menghubungkan sungai dengan tambak ketika surut dan
menutupnya ketika pasang sehingga air tambak tidak meluap.
(3) Memperbaiki tambak menjadi lebih tinggi serta tidak tergenang lagi
dan mengeruk lahan tambak lebih dalam 1 meter dibandingkan tambak-
tambak pada umumnya sehingga tambak akan sangat sulit untuk
dikeringan. Kegiatan ini dilakukan oleh masing-masing petani tambak.
(4) Menyusun proposal bantuan dana yang akan digunakan untuk pembelian
benih oleh paguyuban petani tambak.
(5) Mencoba budidaya rumput laut di area tambak karena dianggap tidak
begitu terpengaruh oleh kejadian banjir pasang air laut. Hal dilakukan
sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan masing-masing petani
tambak.
(6) Melakukan panen lebih awal sebelum waktunya oleh para petani tambak
yang mengetahui jadwal puncak pasang air laut.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 43
44 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 45
3) Adaptasi dalam Tipe Lingkungan Pertanian Sawah
Adaptasi dalam tipe lingkungan pertanian sawah di Kelurahan Degayu
terwujud dalam beberapa kegiatan berikut.
(1) Meninggikan tanggul/pematang sawah oleh masing-masing pemilik
lahan sehingga genangan air asin tidak masuk ke dalam lahan sawah.
Usaha ini dilakukan per hektar sawah membutuhkan 12 orang buruh,
dengan bayaran Rp 35.000,00. Sehingga per hektar sawah memerlukan
biaya untuk meninggikan tanggul sebanyak Rp. 420.000,00. Tanggul ini
akan bertahan untuk setiap satu kali musim tanam.
(2) Mengganti bibit padi dari bibit air tawar menjadi bibit yang tahan dengan
air asin. Kegiatan ini ditawarkan baik bagi pemilik lahan maupun buruh
penggarap sawah melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dengan
bantuan bibit dari Dinas Pertanian.
(3) Bagi para buruh tani yang tidak lagi dapat menggarap sawah, pilihannya
adalah dengan beralih profesi menjadi buruh di wilayah lain; pemulung
TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah); dan pencari ikan, kepiting,
dan udang.
(4) Penataan ruang oleh pemerintah (DKP dan DPU) dan masyarakat
melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dengan pembuatan
irigasi dan tanggul yang akan memisahkan lahan sawah menjadi 3 fungsi
utama yaitu budidaya tambak (bagian utara), pertanian sawah (bagian
selatan), dan budidaya air tawar (bagian tengah).
46 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Langkah kesiapsiagaan yang dilakukan oleh masyarakat juga minim.
Mahalnya biaya pembangunan fasilitas penunjang kesiapsiagaan dan luasnya
area cakupan bencana menjadikan langkah kesiapasiagaan, khususnya yang
dilakukan oleh individu, minim dilakukan. Pemerintah selaku fasilitator
hendaknya membantu masyarakat dengan menginisiasi dan memastikan
kelangsungan upaya kesiapsiagaan.
Upaya mitigasi bencana yang dilakukan oleh masyakat secara individu adalah
peninggian rumah dan jalan. Hal ini dirasa cukup efektif oleh masyarakat karena
secara konkret mampu mencegah masuknya air ke dalam rumah. Namun, karena
hal ini dilakukan secara sporadis maka masyarakat yang tidak meninggikan
rumah karena alasan keuangan justru mengalami kerugian. Karena air terjebak
di rumah mereka dan tidak dapat mengalir.
Bangunan polder yang diinisiasi oleh masyarakat dan dikembangkan oleh
pemerintah merupakan usaha yang besar dan memberikan kontribusi positif bagi
pengurangan genangan air. Namun, karena polder ini hanya mampu menyerap
genangan pada wilayah yang sempit, maka wilayah lain justru tergenang karena
aliran polder ke laut yang tidak lancar.
Sementara bagi para pemilik tambak, usaha kesiapsiagaan yang dilakukan
secara swadaya guna meminimalisir kerugiaan adalah memanen ikan lebih dini.
Mitigasi yang selama ini mereka laksanakan adalah dengan pengajuan proposal
bantuan benih melalui kelompok petani tambak, dan dengan percobaan budi
daya rumput laut secara swadaya atau individu.
Mitigasi juga dilaksanakan oleh para pemilik sawah atau para buruh tani.
Beberapa pemilik sawah secara inisiatif mengganti bibit padi mereka dari bibit
air tawar menjadi bibit air asin atau setidaknya bibit padi yang tahan dengan air
asin. Sementara bagi para buruh tani, mereka beralih profesi menjadi pemulung,
pencari ikan atau hanya sekedar berpindah wilayah garapan. Selain upaya yang
dilakukan secara individu, pemerintah juga membantu petani dengan melakukan
penataan ruang di areal persawahan. Bentuk-benttuk adaptasi masyarakat
terhadap banjir pasang air laut di Kota Pekalongan secara ringkas disajikan pada
Gambar 5.31.
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 47
Permukim Permukim Permukim
Permukim Permukim Permukim
an an an Tamb Sawa
an Tambak Sawah an Tambak Sawah an
Perumaha Perumaha Perumaha ak h
Kampung Kampung Kampung
n n n
Swadaya
individu/ru
Pencegahan
mah tangga
Swadaya
komunitas
Bantuan
pemerintah
panen
tambak
lebih dini
Swadaya
pada
individu/ru
perkiraa
mah tangga
n puncak
pasut
Kesiapsiagaan
Gotong Gotong
royong royong
pembersih pembersih
an saluran an saluran
Swadaya
air dan air dan
komunitas
perbaikan perbaikan
pemutar pemutar
pintu air pintu air
Bantuan
pemerintah
peninggia percoba
n lantai pembuata percobaa an bibit
rumah, n jaring peninggi n padi air Swadaya
Mitigasi
Swadaya
Gambar 5.31. Identifikasi Bentuk Adaptasi Masyarakat Terhadap Banjir Pasang Air
laut di Kota Pekalongan (Sumber: Hasil analisa data, 2011)
48 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Bab VI
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Pengetahuan warga mengenai banjir pasang air laut di tiga kelurahan cukup
seragam. Dari wawancara yang telah dilakukan dengan warga pemukiman
kampung dan perumahan, warga petani tambak, serta warga petani sawah,
mereka memiliki pemahaman mengenai banjir pasang air laut yang sama yaitu
sebagai sebuah fenomena alam.
Bagi warga pemukiman kampung, mereka memiliki kesadaran bahwa
mereka hidup di wilayah yang rentan akan banjir pasang air laut, bahkan jauh
sebelum banjir pasang air laut mencapai wilayah mereka. Kesadaran ini diperoleh
dari pengetahuan mereka akan tanda-tanda alam. Namun, kesadaran ini tidak
menjadikan mereka mengambil langkah untuk melakukan relokasi karena
wilayah ini adalah wilayah yang rentan bencana, justru menjadikan pengetahuan
itu sebagai proses awal mereka dalam beradaptasi dengan bencana. Hal inilah
yang menjadikan banjir pasang air laut akhirnya hanya menjadi sebuah gangguan
harian saja bagi mereka. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara, mereka
akan tetap beraktifitas meskipun banjir pasang air laut sedang terjadi. Kerusakan
harta benda berupa alat transportasi sangat banyak terlihat di rumah warga.
Bertahannya mereka di kawasan tersebut dipicu oleh beberapa hal yakni
lingkungan tinggal yang sudah terbentuk dalam hal ini adalah kebersamaan
antar warga dalam menghadapi banjir pasang air laut; dekat dengan tempat
mereka bekerja; serta faktor ekonomi yang kurang mendukung.
Berdasar atas wawancara yang telah dilakukan, diperoleh sikap yang dominan
dilakukan oleh warga yaitu mereka bertahan dengan mentolelir banjir pasang air
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 49
laut sebagai sebuah gangguan dalam hidup mereka dan bertahan dengan alasan
kemampuan ekonomi yang tidak mendukung mereka untuk pindah dari lokasi
tersebut. Pergi dari kediaman mereka saat ini juga menjadi tidak sebanding
dengan apa yang telah mereka jalani selama ini. Warga telah mencurahkan
seluruh tenaganya untuk bertahan di wilayah ini. Jika mereka pergi, maka sama
saja dengan meninggalkan kehidupan mereka. Kebersamaan warga dalam
menghadapi banjir pasang air laut menjadi salah satu modal kekuatan dalam
bertahan di lokasi rentan bencana.
Selain itu mereka juga mendapatkan harapan yang mendukung sikap
bertahan mereka yaitu bantuan dari pemerintah kota. Berdasarkan hasil
wawancara, Kelurahan Panjang Indah merupakan kelurahan dengan tingkat
kemiskinan yang paling tinggi di Pekalongan Kota, dan hal ini menjadikan
bantuan dari pemerintah dialokasikan ke kelurahan tersebut. Hal ini dituturkan
bahkan bukan hanya oleh perangkat desanya sendiri melainkan juga oleh warga
Kelurahan Krapyak Lor dan Degayu. Perlakuan pemerintah ini yang pada akhirnya
mempengaruhi sikap dan bentuk adaptasi di wilayah pemukiman kampung,
yaitu kurang berinisiatif dan lebih suka menunggu bantuan dari pemerintah.
Berdasar atas wawancara serta pengamatan langsung di lapangan yang telah
dilakukan adaptasi yang berkembang di masyarakat adalah adaptasi secara teknis,
dimana masyarakat secara inisiatif membangun bangunan yang berfungsi untuk
meminimalisir kerusakan atau kerugian yang akan mereka alami ketika banjir
pasang air laut melanda.
Upaya penanganan secara fisik tersebut pada perkembangannya dipengaruhi
oleh tingkat kemampuan sosial ekonomi mereka. Wilayah dengan dominasi
warga tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki strategi adaptasi yang lebih
memberikan solusi yang nyata. Hal ini terjadi di wilayah Perumahan Panjang
Indah dimana warganya berinisiatif mengajukan proposal pembuatan polder
untuk wilayah mereka kepada pemerintah. Meskipun antisipasi tersebut hanya
berlaku satu wilayah saja, namun pada dasarnya jika semua wilayah di sekitarnya
juga menerapkan sistem tersebut, maka dampak genangan akibat banjir pasang
air laut akan sangat dapat diminimalisir.
Hal tersebut akan sangat berbeda jika terlihat dari upaya penanganan yang
dilakukan di wilayah pemukiman kampong. Berdasarkan hasil wawancara,
mereka lebih dominan menunggu bantuan dari pemerintah, inisiatif warga
50 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
baru sekedar modal sosial berupa gotong royong membersihkan saluran dan
sejenisnya. Pembangunan atau perbaikan bangunan juga menunggu bantuan
dari pemerintah, karena merka didominasi oleh warga dengan tingkat pendidikan
dan ekonomi yang rendah.
B. Saran
Saran yang diberikan sebagai kontribusi penelitian ini terhadap warga di
lokasi penelitian, pemerintah, maupun penelitian selanjutnya adalah sebagai
berikut:
1. Upaya migitas dan pengurangan banjir pasang air laut harus dilakukan
secara komprehensif, Sehingga tidak menimbulkan masalah baru.
Seperti contohnya pembanguan polder di kawasan perumahan justru
semakin memicu banjir di wilayah luar kawasan perumahan jika tidak
diikuti dengan pambangunan polder serupa di wilayah luar kawasan
tersebut.
2. Pemerintah harus pro-aktif tidak menunggu bencana datang terlebih
dahulu baru disikapi.
3. Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam penanggulangan banjir
pasang air laut. Baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
hingga evaluasi terhadap upaya penanggulangan tersebut.
4. Upaya mitigasi dan penanggulangan bencana harus dilakukan secara
berkesinambungan
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 51
Batasan Istilah
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya (PP No. 26 tahun 2008)
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/ atau aspek fungsional (PP No. 26 tahun 2008)
Masyarakat adalah perseorangan, kelompok orang dan/ atau badan hukum (PP
No. 21 tahun 2008)
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 53
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat(PP No. 21 tahun 2008)
Bahaya adalah suatu peristiwa, fenomena atau aktivitas manusia secara fisik
yang mempunyai potensi merusak yang dapat mengakibatkan hilangnya
nyawa atau luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau
kerusakan lingkungan. Bahaya dapat mencakup kondisi laten yang bisa mewakili
ancaman masa depan dan dapat mempunyai berbagai sebab: alam (geologis,
hidrometeorologis dan biologis) atau disebabkan oleh proses-proses manusia
(kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi) (UN/ISDR, Geneva 2004)
54 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan
Daftar Pustaka
Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan • 55
Messner, F. & Meyer, V. (2005). “Flood Damage, Vulnerability, and Risk
Perception: Challenge for Flood Damage Research”, UFZ Discussion
Paper, Leipzig-Halle.
Moran, E.F. (1982). Human Adaptability An Introduction to Ecological
Anthropology, Boulder, Colorado: Westview Press, Inc.
Sahlins, M.D. (1968). “Culture and Environment: The Study of Cultural
Ecology”, dalam Manners, R.A. and Kaplan, D. (eds.), Theory in
Anthropology: A Source Book, hal 367-73. Chicago: Aldine.
Smit, B., Burton, I., Klein, R.J.T., dan Street, R. (1999). “The Science Of
Adaptation: A Framework For Assessment”, Mitigation and Adaptation
Strategies for Global Change 4: 199–213.
Smit, B. dan Wandel, J. (2006). “Adaptation, Adaptive Capacity and
Vulnerability”, Global Environmental Change, 16: 282–292.
Sunil, Santha. (2011). “Community-based adaptation to coastal hazards: A
scoping study among traditional fishing communities in Kerala, India”,
Disaster, Risk and Vulnerablity Conference 2011, Mahatma Gandhi
University, India.
Suryanti, E.D., Rahayu, L., dan Retnowati, A. (2010). “Motivasi dan Partisipasi
Masyarakat dalam Upaya Pengurangan Multirisiko Bencana di Kawasan
Kepesisiran Parangtritis” dalam Penaksiran Multirisiko Bencana di
Wilayah Kepesisiran Parangtritis, Yogyakarta, PSBA UGM.
Twigg, John., 2004, Disaster Risk reduction (Mitigation and Preparedness in
Development and Emergency Programming), Good Practice Review, No.
9 March 2004 Overseas Development Institute, London.
Zein, M. (2010). “A Community Based Approach to Flood Hazard and
Vulnerability Assessment in Flood Prone Area: A Case Study in Kelurahan
Sewu, Surakarta City, Indonesia”, Thesis, ITC, The Netherland.
Yodmani, S. (2001). “Disaster Risk Management and Vulerability Reduction”,
The Asia and Pacific Forum on Poverty: Reforming Policies and Institutions
for Poverty Reduction, ADB, Manila.
_____. (2005). Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience
of Nations and Communities to Disasters, I S D R International Strategy
for Disaster Reduction, Kobe.
www.kompas.com, 2008
56 • Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota Pekalongan