Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Mina Laut Indonesia

Vol. 02 No. 06 Jun 2013

(59 68)

ISSN : 2303-3959

Kelimpahan Acanthaster planci pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Bero, Selat
Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara
Abundance of Acanthaster planci in Coral Reef Waters of Bero Island in Tiworo Strait, Muna
Regency, Southeast Sulawesi
Nur Ikhsan *), Baru Sadarun **), dan Romy Ketjulan ***)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo
Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232
e-mail: *iksan_skapak@yahoo.com, **s_sadarun@yahoo.com, dan ***romyketjulan@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan kelimpahan A. planci pada perairan
Pulau Bero Selat Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan MaretSeptember 2012
di perairan P. Bero. Stasiun penelitian dibagi menjadi 4 stasiun berdasarkan keberadaan
terumbu karang di lokasi penelitian. Penilaian kondisi terumbu karang ditentukan dengan metode Line Intercept
Transect (LIT) dan kelimpahan A. planci ditentukan dengan metode Belt Transect. Parameter kualitas perairan
yang ditemukan pada seluruh lokasi pengambilan sampel masih sesuai untuk kehidupan terumbu karang dan A.
planci. Terkecuali pada Stasiun III yang memiliki kecepatan arus (0,50 ms -1) yang sangat tinggi karena
berhadapan langsung dengan selat, sehingga kurang baik untuk kehidupan terumbu karang, terkecuali terumbu
karang dengan bentuk pertumbuhan coral massive, dan tidak sesuai untuk kehidupan A. planci sehingga pada
daerah ini tidak ditemukan A. planci. Hasil penelitian juga menunjukkan, kondisi terumbu karang di perairan P.
Bero tergolong kategori baik dengan rata-rata tutupan karang hidup sebesar 58,41%. Kelimpahan A. planci yang
ditemukan pada Stasiun I dan Stasiun IV sebanyak 12,50 ind/1000 m2 berada dalam kategori alami dan hampir
mengancam, sedangkan pada pada Stasiun II dengan kelimpahan sebanyak 25,00 ind/1000 m2 telah mengancam
kondisi terumbu karang di daerah tersebut.
Kata Kunci : Acanthaster planci, Terumbu Karang, Pulau Bero, Belt Transect

Abstract
The aim of this research was to know the condition of coral reef and abundance of A. planci located in Bero
island waters of Tiworo strait, Muna regency, Southeast Sulawesi. This research was conducted from March to
September in 2012 at Bero island waters. Observational station were devided into 4 stations based on coral reef
existences. Line Intercept Transect (LIT) was selected to find out the condition of coral reef and the abundance
of A. planci determined by Belt Transect method. Water quality parameters were measured in all sampling
stations considered appropriate for the coral reef and A. Planci life. The fastest water current (0. 50 ms -1) was
recorded in Stations III because directly opposite to the sea strait. Therefore, it was an unfavorable place to
support A. planci and coral reef life, except for massive. Result showed that the condition of coral reef at Bero
island waters were in good category with the average coral life coverage was 58.41%. Abundance of A. planci
which had been found on Station I and Station IV was 12.50 ind/1000 m2 and were in natural and threatened
category, meanwhile there were 25.00 ind/1000m2 on Station II which threatened coral reef at that region.
Keywords: Acanthaster planci, coral reef, bero island, belt transect

Pendahuluan
Terumbu karang merupakan ekosistem
perairan yang produktif dan mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi. Pentingnya peranan
ekosistem terumbu karang tidak diragukan lagi,
selain sebagai salah satu komponen penyokong
utama kehidupan perairan laut, juga merupakan
sumber kehidupan sehari-hari masyarakat
melalui berbagai kegiatan seperti perikanan dan
wisata.
Suatu
kondisi
yang
sangat
memprihatinkan saat ini adalah tingkat
kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

banyaknya aktivitas manusia yang bersifat


destruktif dan mengancam kelestarian sumber
daya terumbu karang seperti penambangan
terumbu karang untuk bahan bangunan,
pengambilan terumbu karang hidup untuk
hiasan, penggunaan alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan seperti bahan peledak dan
potassium sianida serta pencemaran di daerah
daratan yang turut menyumbang kerusakan
terumbu karang Indonesia (DKP, 2007).
Selain maraknya aktivitas masyarakat,
kehadiran Acanthaster planci turut andil dalam
menurunkan kualitas ekosistem terumbu karang,
dimana hewan ini merupakan salah satu hewan
59

predator karang. Kehadiran A. planci dalam


batasan populasi normal merupakan hal yang
umum di ekosistem terumbu karang, akan tetapi
dalam keadaan yang melimpah hewan ini dapat
memberikan dampak negatif bagi kehidupan
karang karena mampu merusak daerah terumbu
karang dalam skala yang luas. Menurut Azis
(1995) jika populasinya lebih dari 14
individu/1000 m2, maka keberadaannya sudah
mengancam terumbu karang.
Berdasarkan uraian tersebut sehingga
kehadiran pemangsa karang ini perlu terus
dipantau sebagai dasar dalam suatu pengambilan
tindakan pengelolaan yaitu dengan melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai kelimpahan A.
planci di kawasan terumbu karang Pulau Bero.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui kondisi terumbu karang dan
kelimpahan A. planci pada perairan Pulau Bero,
Selat Tiworo, Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi dasar bagi
pemerintah dan lembaga terkait mengenai
langkah pengelolaan ekosistem terumbu karang
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat
Tiworo yang bijaksana, serta sebagai informasi
dasar mengenai seberapa besar ancaman yang
disebabkan oleh keberadaan A. planci terhadap
ekosistem terumbu karang P. Bero.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Maret-September 2012. Lokasi penelitian
bertempat di perairan P. Bero, Selat Tiworo,
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Stasiun
pengamatan
ditetapkan
berdasarkan 4 (empat) arah mata angin (Utara,
Selatan, Barat, Timur) dan penentuan titik-titik
pengambilan sampel menggunakan metode time
swimming (snorkeling) yaitu seorang peneliti
melakukan penyelaman singkat di atas
permukaan air sejajar garis pantai untuk melihat
kondisi terumbu karang dan keberadaan A.
planci sehingga dapat mewakili kondisi terumbu
karang dan A. planci secara keseluruhan di
lokasi
penelitian.
Setelah
titik
lokasi
penelitian/titik
stasiun
telah
ditentukan,
kemudian
dicatat
posisi
geografisnya
menggunakan GPS (Global Position System) dan
dipasang penanda menggunakan pelampung agar
tidak terjadi perubahan posisi pada pengambilan
data berikutnya.
Metode yang digunakan untuk melihat
bentuk pertumbuhan karang yaitu metode Line
Intercept Transect (LIT) atau metode transek
garis, dimana pemasangannya secara horisontal
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

atau sejajar garis pantai. Pengamatan dilakukan


dengan melihat bentuk pertumbuhan karang
yang bersinggungan dan dilewati oleh garis
transek. Pengambilan data atau pengukuran
terumbu karang, menggunakan transek garis
sepanjang 10 m (Supriharyono, 2007).
Pengukuran diawali dengan pemasangan transek
garis menggunakan meteran roll sepanjang 100
m, kemudian melakukan pengukuran sepanjang
10 m dengan interval 20 m. Pengukuran pertama
dilakukan pada jarak 0-10 m, pengukuran kedua
dilakukan pada jarak 30-40 m, pengukuran
ketiga dilakukan pada jarak 60-70 m, dan
pengukuruan keempat dilakukan pada jarak
90-100 m (Gambar 2), sehingga pengukuran
yang dilakukan pada setiap stasiun pengamatan
sebanyak 4 kali pengambilan sampel.
Transek sabuk (belt transect) digunakan
untuk mengamati A. planci dimana pemasangan
dan cara pengukurannya mengikuti transek garis
(Gambar 3). Luasan transek yang digunakan
yaitu 20 m2 dengan panjang 10 m dan lebar
transek sepanjang 2 m, 1 m ke atas/kanan dan 1
m ke bawah/kiri (Johan, 2003). Pengamatan
dilakukan dengan melihat dan menghitung A.
planci yang berada dalam transek sabuk, setelah
itu dihitung kelimpahannya.
Dalam
rangka
mempermudah
pengambilan data terumbu karang, A. planci, dan
parameter lingkungan digunakan kamera bawah
air (alat pendukung) sebagai alat bantu foto atau
video bawah air. Pengambilan data kelimpahan
A. planci dilakukan pada siang hari, sehingga
hasil dari penelitian ini hanya bisa
menggambarkan kelimpahan A. planci pada
siang hari, mengingat kebiasaan makan A. planci
pada siang hari dan malam hari.
Pengukuran
parameter
lingkungan
dilakukan secara in situ pada setiap stasiun
pengamatan yang meliputi suhu, salinitas,
kecepatan arus, kecerahan, dan kedalaman.

60

Gambar 1. Sktsa lokasi penelitian.


Analisis Data
1. Persen Tutupan Karang
Menurut English et.al. (1994) dalam
Setyobudiandi, dkk. (2009), persen tutupan
karang hidup dihitung dengan menggunakan
rumus persen tutupan (cover) sebagai berikut:
% Cover=

Total panjang tiap kategori life form cm


Panjang transek garis cm

100 %

Menurut Keputusan Menteri Lingkungan


Hidup No. 47 Tahun 2001, kondisi penilaian
ekosistem terumbu karang berdasarkan persen
tutupan karang hidupnya yaitu sebagai berikut:
a. Karang rusak
= 0-24,9%;
b. Karang sedang
= 25-49,9%;
c. Karang baik
= 50-74,9%;
d. Karang sangat baik = 75-100%.
2. Kelimpahan A. planci
Menurut Brower dan Zar
kelimpahan
organisme
dihitung
persamaan:

dimana:
N = kelimpahan individu (ind/m2);
n = jumlah individu pada tiap stasiun ;
A = luas daerah pengamatan (m2).

(1997),
dengan

Hasil
A.

Keadaan Lokasi Penelitian

Berdasarkan status kawasannya, Pulau


Bero masuk ke dalam Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) Selat Tiworo, Kabupaten Muna,
Sulawesi Tenggara.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

Berdasarkan
tingkatan
admisistratif
pemerintahan desa, P. Bero masuk ke dalam
wilayah Desa Mandike Kecamatan Tiworo
Tengah dengan posisi geografis 04034330403454 LS dan 12201746-12201806 BT.
P. Bero dimekarkan pada tahun 1998.
Pulau ini memiliki luas wilayah sebesar
562.500 m2 dengan panjang dan lebar daratan
yang sama yaitu 750 m, serta panjang garis pantai
1.044 km. Pulau ini dihuni oleh 425 jiwa dengan
jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 112 KK.
Masyarakat pulau ini 100% beragama islam dan
sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yaitu
sebagai
nelayan
tangkap
dan
nelayan
pembudidaya (IPB, 2007).
Sebagian besar penduduk P. Bero
memanfaatkan sumber daya laut yang ada di
perairan KKLD Kabupaten Muna sebagai sumber
pendapatan atau mata pencahariannya. Penduduk
P. Bero terdiri dari berbagai macam etnis yaitu
etnis Muna, Bugis, dan Bajau. Masing-masing
etnis hidup dengan teratur, rukun, dan saling
menghargai.
Secara umum daerah ini memiliki
perairan yang landai dan curam, pantai berpasir,
bangunan, vegetasi mangrove, kelapa, dan juga
sering dilintasi oleh perahu. Tipe terumbu karang
di daerah ini yaitu terumbu karang tepi karena
menempel langsung pada pantai daratan P. Bero.
Sarana dan prasarana yang tersedia di
P. Bero dalam rangka menunjang kebutuhan
kegiatan sosial-ekonomi yaitu memiliki satu buah
sarana pendidikan (SD), satu buah kantor
pelayanan publik (kantor desa), satu buah masjid,
dan satu buah dermaga permanen. Ketersediaan
sarana pendidikan dasar lanjutan (SMP) yang
keberadaannya hanya di P. Mandike masih sangat
61

susah dijangkau oleh anak sekolah yang ada di P.


Bero, dimana jarak tempuh dengan perahu motor
sekitar 1-2 jam. Setelah menamatkan SMP
biasanya anak-anak P. Bero melanjutkan
pendidikannya di daratan P. Muna yang jaraknya
lebih jauh dan sebagian membantu orang tuanya
sebagai penangkap ikan atau pembudidaya
rumput laut untuk memenuhi kebutuhan seharihari.
Kecilnya ukuran pulau dan terbatasnya
lahan merupakan kendala berkembangnya
aktivitas sektor perkebunan di pulau ini.
Sekalipun ada, aktivitas perkebunan (kelapa)

hanya merupakan kegiatan


sebagian masyarakat setempat.

alternatif

oleh

B. Parameter Kualitas Air


Parameter
kualitas
perairan
P. Beromasidi yang diukur selama penelitian
berupa suhu, salinitas, kecerahan, dan kecepatan
arus. Parameter fisika-kimia ini diukur langsung
pada setiap stasiun pengamatan. Hasil
pengukuran
parameter
kualitas
perairan
P. Beromasidi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan Pulau Beromasidi


Stasiun Pengamatan

Suhu (0C)

Parameter Fisika - Kimia Perairan


Kecerahan (m)
Kecepatan arus (m/det)

1
28
2
29
3
29
4
29
Persen Tutupan Karang

C.

18
18
18
18

0.07
0.09
0.50
0.08

Salinitas (ppt)

30
30
30
30

Hasil pengukuran kondisi terumbu karang pada perairan P. Bero dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai persen tutupan terumbu karang pada tiap stasiun pengamatan
NO
1

3
4

St. I

% Cover
St. II
St. III

St. IV

Acropora Branching (CB)

25.43

24.15

7.63

25.08

20.57

Acropora Digitate (CD)

5.50

0.00

0.00

0.00

1.38

Coral Branching (CB)

5.75

7.13

0.00

1.63

3.63

Coral Massive (CM)

7.58

14.35

24.13

13.13

14.79

Coral Encrusting (CE)

2.50

4.38

1.75

6.25

3.72

Coral Foliose (CF)

5.75

5.68

0.00

6.13

4.39

Coral Mushroom (CMR)

3.65

5.25

0.00

4.50

3.35

Coral Submassive (CS)


Total (%)

12.13
63.90
Baik

8.75
69.68
Baik

7.00
38.50
Sedang

4.88
61.58
Baik

8.19
58.41
Baik

8.00

3.38

5.00

13.43

7.45

1.78

1.13

13.74

10.37

6.75

9.78
7.23

4.50
4.41

18.74
15.88

23.80
3.50

14.20
7.75

0.75
13.85
4.50
19.10

6.07
9.25
6.10
21.42

17.88
1.88
7.13
26.88

7.12
1.00
3.00
11.12

7.95
6.49
5.18
19.63

Bentuk Pertumbuhan

Rata Rata (%)

Karang Hidup

Kriteria Tutupan
Karang Mati
Dead Coral (DC)
Dead Coral With Alga
(DCA)
Total (%)
Biotik Lain
Abiotik
Sand (S)
Rubble (R)
Water (WA)
Total (%)

Dari hasil pengukuran, ditemukan


dominansi bentuk pertumbuhan, persentase
tutupan karang hidup, karang mati, abiotik, dan
biotik lain yang berbeda-beda pada tiap stasiun
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

pengamatan. Hasil pengukuran tersebut dapat


dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

62

Gambar 4. Grafik perbedaan persen tutupan karang hidup berdasarkan bentuk pertumbuhan pada
setiap stasiun pengamatan.
Karang Hidup

100

Karang Mati

% Cover

80

Biotik Lain

60

Abiotik

40
20
0
I

II

III

IV

Stasiun Pengamatan

Gambar 5. Grafik persen tutupan karang hidup, karang mati, biotik lain, dan abiotik.
D. Kelimpahan Acanthaster planci
Berdasarkan hasil pengamaatan di lokasi penelitian, ditemukan kelimpahan A. planci sebagai
berikut.
Kelimpahan A. planci
(ind/m2)

31.25
25.00
18.75
12.50
6.25
0.00
I

II

III

IV

Stasiun Pengamatan

Gambar 6. Grafik kelimpahan A. planci pada setiap stasiun pengamatan.


Pembahasan
A.

Parameter Kualitas Air

1.

Suhu
Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa, suhu
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

perairan pada tiap stasiun pengamatan berkisar


antara
28-290C (Tabel 1). Berdasarkan
Tabel 1, suhu terendah berada pada Stasiun I
(280C). Hal ini disebabkan, pada saat
pengukuran dilakukan pada pagi hari (sekitar
jam 08.00 Wita) dan kondisi cuaca saat itu
63

gerimis. Kisaran suhu pada semua stasiun


pengamatan merupakan kisaran yang baik untuk
pertumbuhan karang dan A. planci. Hal ini

sesuai pernyataan Sadarun et.al. (2006) yang


menyatakan bahwa suhu optimal bagi
pertumbuhan terumbu karang berkisar antara
23-300C. Suharsono (1991), juga menjelaskan
bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan A.
planci berkisar antara 26-280C. Suhu yang
terlampau tinggi atau terlampau rendah akan
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
A. planci, pada keadaan yang ekstrim yaitu 140C
dan 340C A. planci akan mengalami tingkat
kematian yang besar.
2.

Kecerahan
Rata-rata kecerahan yang ditemukan
pada tiap stasiun pengamatan sebesar 18 m
(Tabel 1). Hal ini disebakan, daerah tersebut
merupakan daerah dengan perairan yang jernih
sehingga cahaya matahari masih dapat
menembus sampai ke dasar perairan tersebut,
sehingga tergolong baik bagi pertumbuhan
terumbu karang dan A. planci. Supriharyono
(2007) menyatakan, pada perairan yang jernih
memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai
pada lapisan yang sangat dalam, sehingga hewan
karang juga dapat hidup pada perairan yang
cukup dalam.
Kedalaman pengukuran kondisi terumbu
karang dan kelimpahan A. planci berkisar antara
3-8 m. Menurut Supriharyono (2007), secara
umum karang dapat tumbuh dengan baik pada
kedalaman < 20 m. Hal ini erat kaitannya dengan
terdapatnya alga simbiotik yaitu zooxanthellae
yang memerlukan sinar matahari untuk
berfotosintesis. Moran et.al. (1990) juga
menjelaskan, kedalaman maksimum yang pernah
tercatat ditemukan A. planci adalah mencapai
65 m pada perairan Great Barrier Reef,
Australia.
3.

Kecepatan Arus
Berdasarkan
hasil
pengukuran,
menunjukkan bahwa kecepatan arus permukaan
pada lokasi penelitian berkisar antara 0,07-0,50
ms-1 (Tabel 1), dimana kecepatan arus pada
Stasiun I (0,07 ms-1), II (0,09 ms-1), dan IV (0,08
ms-1) relatif sama atau lebih rendah dari Stasiun
III (0,50 ms-1). Hal ini disebabkan, pada Stasiun
I, II dan IV disebabkan adanya pengaruh
halangan oleh pulau-pulau disekitarnya (P. Tiga,
P. Simuang, dan P. Maginti), sedangkan pada
Stasiun III berhadapan langsung dengan laut
lepas (Perairan Kasipute, Kabupaten Bombana)
sehingga kecepatan arus pada daerah tersebut
cukup tinggi.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

Kecepatan arus pada Stasiun I, II, dan IV


masih tergolong baik bagi pertumbuhan terumbu
karang dan A. planci. Hal ini sesuai pernyataan
Suharsono (1991), kisaran arus yang optimal
bagi terumbu karang adalah 0,05-0,08 ms-1,
sedangkan menurut Aziz (1995), umumnya A.
planci terdapat pada perairan dengan arus yang
lambat.
Kecepatan arus pada Stasiun III tidak
cocok untuk kehidupan A. planci karena hewan
tersebut tidak menyukai perairan terbuka dengan
kecepatan arus yang cukup tinggi. Kecepatan
arus pada Stasiun III juga kurang baik untuk
pertumbuhan terumbu karang terkecuali pada
terumbu karang dengan bentuk pertumbuhan
masif karena karang tersebut mampu bertahan
hidup pada kondisi perairan dengan arus yang
cukup kuat. Hal ini sesuai pernyataan Johan
(2003) bahwa, karang masif lebih banyak
tumbuh di terumbu terluar dengan perairan
berarus.
4.

Salinitas
Rata-rata salinitas yang diperoleh pada
tiap stasiun pengamatan yaitu 30 ppt (Tabel 1).
Kisaran salinitas tersebut masih tergolong
optimal bagi pertumbuhan terumbu karang. Hal
ini sesuai pernyataan Supriharyono (2007),
salinitas yang sesuai untuk pertumbuhan dan
pembentukan terumbu karang adalah 27-35 ppt.
Berbeda dengan pernyataan Birkeland
dan Lucas (1990) yang menyatakan, toleransi
salinitas bagi A. planci berkisar antara 19-25 ppt,
sehingga kisaran salinitas tersebut kurang baik
untuk kehidupan A. planci, namun berdasarkan
hasil yang diperoleh di lokasi penelitian, masih
ditemukan A. planci pada kisaran tersebut. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh pola adaptasi
A. planci untuk bertahan hidup dengan
menyesuaikan diri pada kisaran salinitas
tersebut.
B.

Persen Tutupan Karang dan Bentuk


Pertumbuhan Karang

Berdasarkan hasil pengamatan langsung,


secara umum terumbu karang pada perairan
P. Bero tumbuh dari daerah rataan terumbu
sampai ke arah tubir dengan kedalaman 30 m.
Tipe terumbu karang pada perairan pulau ini
merupakan tipe terumbu karang tepi, dengan
kondisi topografi yang landai sampai dengan
curam. Pengambilan data terumbu karang pada
semua stasiun pengamatan dilakukan di perairan
P. Bero pada daerah rataan terumbu pada
kedalaman 3-8 m.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan persen tutupan karang
64

hidup yang berbeda-beda pada setiap stasiun


pengamatan, dimana secara keseluruhan
didapatkan dua bentuk pertumbuhan dari genus
Acropora yaitu Acropora branching dan
Acropora
digitate,
dan
enam
bentuk
pertumbuhan dari genus Non-Acropora yaitu
Coral branching, Coral massive, Coral
encrusting, Coral foliose, Coral mushroom, dan
Coral submassive. Persentase tutupan karang
hidup yang ditemukan pada lokasi pengamatan
berkisar antara 38,50-61,58% dengan kategori
sedang-baik, sedangkan secara keseluruhan
kondisi terumbu karang pada perairan P. Bero
tergolong kategori baik dengan rata-rata
persentase tutupan karang hidup sebesar 58,41%
(Tabel 2).
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa,
persen tutupan karang hidup tertinggi berada
pada Stasiun II yaitu 69,68%, dimana persen
tutupan karang tersebut tidak berbeda jauh
dengan persen tutupan karang hidup yang berada
pada Stasiun I (63,90%) dan IV (61,58%).
Berdasarkan tutupan karang hidupnya Stasiun I,
II, dan IV tergolong kategori baik (Tabel 2). Hal
ini disebabkan daerah tersebut memiliki perairan
yang jernih dan rata-rata intensitas cahaya yang
tinggi, sehingga terumbu karang pada daerah
tersebut dapat tumbuh dengan baik. Kondisi
perairan ini juga sangat sesuai untuk kehidupan
zooxanthellae sebagai biota yang berasosiasi
dengan terumbu karang, dimana organisme ini
memberikan makanan kepada karang melalui
hasil fotosintesisnya dan berperan membantu
karang dalam pembuatan kerangka. CoralWatch
(2011) menjelaskan, zooxanthellae dapat
membantu karang dalam pembentukan kerangka
kapur. Melalui hasil fotosintesisnya, simbion
karang ini memungkinkan karang menggunakan
cahaya matahari untuk tumbuh dengan baik
seperti tumbuhan.
Berbeda dengan stasiun lainnya, tutupan
karang pada Stasiun III tergolong kategori
sedang dengan tutupan karang hidup sebesar
38,50% (Tabel 2). Hal ini disebabkan kondisi
perairan pada daerah tersebut memiliki
kecepatan arus yang sangat tinggi, dimana
kecepatan arus pada stasiun ini mencapai 0,50
ms-1 (Tabel 1) sehingga kurang baik bagi
pertumbuhan terumbu karang di daerah tersebut.
Hal ini sesuai pernyataan Suharsono (1998)
bahwa kisaran arus yang melebihi
0,05-0,08
ms-1 kurang baik untuk pertumbuhan terumbu
karang. Terkecuali untuk terumbu karang dengan
bentuk pertumbuhan masif karena karang
tersebut mampu tumbuh dengan baik pada
perairan yang berarus tinggi, sehingga bentuk
pertumbuhan yang mendominasi pada daerah ini
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

adalah karang masif (Gambar 4). Johan (2003)


menjelaskan, karang masif lebih banyak tumbuh
di terumbu terluar dengan perairan berarus.
Rendahnya persen tutupan karang hidup
pada Stasiun III bukan berarti kondisi terumbu
karang pada daerah ini mengalami kerusakan.
Tingginya tutupan abiotik, khususnya sand atau
pasir pada daerah ini yaitu 17,88% (Tabel 2)
merupakan alasan utama faktor penyebab
rendahnya tutupan karang hidup pada daerah ini.
Hal ini menunjukkan bahwa distribusi terumbu
karang pada daerah ini tidak merata atau berspotspot.
Secara berturut, persen tutupan untuk
Stasiun I, II, III, dan IV didominasi oleh karang
hidup, abiotik, karang mati, dan biotik lain
(Gambar 5). Adapun secara umum, bentuk
pertumbuhan yang mendominasi pada Stasiun I,
II, dan IV adalah acropora branching (Gambar
4). Hal ini berhubungan dengan kondisi
lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup,
dimana acropora branching merupakan salah
satu jenis karang yang tumbuh dengan baik pada
daerah rataan terumbu. Hal ini sesuai pernyataan
Johan (2003) bahwa karang dengan bentuk
bercaban (acropora branching) banyak terdapat
di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng,
terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.
Tingginya
tutupan
karang
mati
khususnya dead coral pada Stasiun IV yaitu
23,80% dan tutupan patahan karang (rubble)
pada Stasiun I yaitu 13,85% dan Stasiun II yaitu
9,25% (Tabel 2) diduga akibat pemboman dan
pembuangan jangkar di daerah terumbu karang
tersebut, sedangkan tingginya tutupan karang
mati yang telah ditumbuhi alga (dead coral with
algae) pada Stasiun III yaitu 13,74% dan Stasiun
IV yaitu 10,37% (Tabel 2) diduga akibat tekanan
yang berasal dari aktivitas manusia dan faktor
lingkungan yang sudah berlangsung lama.
Menurut Tarigan dan Edward (2003)
sejalan
dengan
krisis
ekonomi
yang
berkepanjangan dan sulitnya mata pencaharian
di darat, telah memaksa nelayan untuk
melakukan penangkapan ikan dengan cara
menggunakan bahan peledak, akibatnya banyak
karang yang hancur dan ikan-ikan kehilangan

tempat
makan.

tinggal

dan

tempat

mencari

Fachry dan Pertamasari (2011) juga


menjelaskan, lima aktivitas utama manusia yang
mengancaman kelestarian terumbu karang,
yaitu penangkapan ikan dengan bahan
beracun, penangkapan
ikan dengan bahan
peledak, pengambilan batu karang, sedimentasi,
dan pencemaran laut.
65

Menurut Bahartan et.al. 2010, penyebab


utama kerusakan terumbu karang adalah akibat
tekanan lingkungan dan antropogenik atau
tekanan manusia. Selanjutnya, Smith et.al.
(2008) menjelaskan, tekanan seperti ini dapat
menyebabkan penurunan tutupan karang secara
langsung melalui peningkatan angka kematian
karang, atau secara tidak langsung melalui
peningkatan penyakit karang dan penurunan
peremajaan karang untuk dapat pulih kembali
dari tekanan tersebut.
C.

Kelimpahan Acanthaster planci

Berdasarkan hasil pengamatan di


lapangan, ditemukan 4 individu Acanthaster
planci, dimana pada Stasiun I dan IV masingmasing ditemukan satu individu A. planci
dengan kelimpahan sebesar 12,50 ind/1000 m
(Gambar 6), sedangkan pada Stasiun III tidak
ditemukan individu A. planci karena daerah
tersebut memiliki kondisi perairan yang tidak
disukai oleh A. planci karena memiliki kecepatan
arus yang cukup tinggi. Adapun pada Stasiun II
ditemukan dua individu A. planci dengan
kelimpahan sebesar 25 ind/1000 m (Gambar 6).
Umumnya semua organisme A. planci tersebut
ditemukan pada jenis karang bercabang dengan
bentuk pertumbuhan Acropora branching. Hal
ini disebabkan, Acropora branching merupakan
bentuk pertumbuhan yang paling disukai oleh A.
planci setelah acropora tabulate. Hal ini sesuai
pernyataan Rani et.al. (2007) bahwa bentuk
pertumbuhan Acropora branching merupakan
bentuk pertumbuhan setelah Acropora tabulate
yang lebih banyak dimangsa pada kedua fase
hidup A. planci yaitu fase juvenile dan fase early
juvenile. Tanda et.al. (2008) menyatakan, A.
planci sangat menyenangi karang bercabang,
terutama yang berbentuk meja (tabulate).
Pratchett et.al. (2009) juga menjelaskan,
dari hasil penelitian yang mereka lakukan di
perairan Papua New Guinea, terlihat bahwa
A. planci lebih menyukai memangsa karang jenis
Acroporidae dan Pocilloporidae dibanding
karang jenis Poritiidae.
Menurut Azis (1995), tingkat populasi
normal dari A. planci adalah apabila jumlahnya
kurang dari 14 ind/1000 m2, sedangkan tingkat
kelimpahan yang melebihi 14 ind/1000 m2
dianggap telah mengkhawatirkan/mengancam.
Mengacu pada penjelasan tersebut, dapat
dikatakan bahwa kelimpahan A. planci pada
Stasiun I dan IV masih tergolong alami atau
belum mengancam kondisi terumbu karang pada
daerah tersebut. Kelimpahan dengan status alami
ini bermanfaat bagi terumbu karang yang
pertumbuhannya lambat untuk tetap tinggal di
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

daerah tersebut. Selain itu, dalam keadaan yang


masih alami, polip atau kerangka karang yang
mati akibat pemangsaan A. planci dapat menjadi
tempat penempelan larva dan spora penghuni
terumbu karang lainnya. Fraser et.al. (2000)
menjelaskan, pemangsaan selektif A. planci
mempunyai dampak ekologi yang positif karena
memberikan bantuan kepada karang yang
tumbuh lambat untuk tetap tinggal di terumbu
tersebut.
Kelimpahan A. planci pada Stasiun II
telah mengancam kondisi terumbu karang pada
daerah tersebut. Hal ini disebabkan, pada stasiun
tersebut dekat dengan pemukiman penduduk dan
merupakan wilayah dengan penduduk yang padat
atau lebih banyak penduduknya dibanding
wilayah lainnya sehingga limbah-limbah rumah
tangga yang berasal dari pemukiman penduduk
tersebut dapat manjadi makanan tambahan yang
dapat meningkatkan kelulushidupan larva A.
planci di wilayah perairan tersebut, karena
sebelum mencapai dewasa untuk memakan polip
karang, larva A. planci memakan bahan organik
yang diantaranya berasal dari limbah rumah
tangga yang masuk ke perairan. Hal ini sesuai
penjelasan CoralWatch (2011) bahwa kenaikan
persediaan unsur hara yang berasal dari limbah
industri, pertanian, dan rumah tangga yang
masuk ke perairan dapat menyebabkan
peningkatan populasi A. planci karena
menyediakan sejumlah besar alga yang dimakan
oleh larva A. planci.
Menurut Gerard et.al. (2008), hilangnya
pemangsa alami seperti Triton raksasa (Charonia
tritonis) yang tertangkap oleh nelayan,
merupakan penyebab peledakan populasi A.
planci.
Faktor lain yang mendukung kelimpahan
A. planci pada daerah tersebut adalah
ketersediaan makanan, dimana persen tutupan
karang hidup di daerah tersebut masih tergolong
tinggi atau baik, sehingga ketersediaan makanan
yang dibutuhkan untuk A. planci dewasa dapat
terpenuhi. Menurut Moran et.al. (1990), A.
planci menyukai daerah terumbu karang dengan
persentase tutupan karang yang tinggi.
Walaupun pada Stasiun I dan IV masih
dalam kategori alami, namun jika terjadi
penambahan satu individu A. planci atau lebih
pada daerah tersebut, maka kehadiran A. planci
di daerah tersebut sudah mengancam kondisi
terumbu karang di daerah tersebut, sehingga
dapat dikatakan bahwa kelimpahan A. planci
pada Stasiun I dan IV berada dalam kategori
hampir mengancam.
Menurut Budiyanto (2002), jika terjadi
peledakan populasi A. planci dampaknya
66

terhadap pemangsaan komunitas karang sangat


besar, utamanya akan mempengaruhi semua
kehidupan pada ekosistem terumbu karang,
karena kerusakan karang yang luas dapat
merusak komunitas binatang yang hidupnya
tergantung pada karang, baik sebagai tempat
mencari makan ataupun sebagai tempat
berlindung.
Simpulan
Secara rata-rata kondisi terumbu karang
pada Stasiun III dengan tutupan karang hidup
sebesar 38,50% tergolong kategori sedang dan
pada Stasiun I sebesar 63,90%, Stasiun II sebesar
69,68%, dan Stasiun IV sebesar 61,58%
tergolong kategori baik. Bentuk pertumbuhan
yang paling dominan pada semua stasiun
pengamatan adalah Acropora branching.
Kelimpahan A. planci yang ditemukan pada
Stasiun I dan IV sebanyak 12,50 ind/1000 m2
berada dalam kategori alami dan hampir
mengancam, sedangkan kelimpahan A. planci
yang ditemukan pada Stasiun II sebanyak 25,00
ind/1000 m2 telah mengancam kondisi terumbu
karang di daerah tersebut.
Persantunan
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. LM.
Aslan, M.Sc selaku dekan FPIK Unhalu yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk
melakukan penelitian, Ruslaini, S.Pi., M.Pi atas
pinjaman alat selam, dan Dr. Baru Sadarun,
S.Pi., M.Si atas bimbingannya selama penelitian,
serta Muh. Andi atas izinnya untuk melakukan
penelitian di pulau Bero.
Daftar Pustaka
Aziz, A. 1995. Beberapa Catatan tentang
Kehadiran
Bintang
Laut
Jenis
Acanthaster
planci
di
Perairan
Indonesia. Oseana. 20(2) : 23-32J.
Bahartan, K., Zibdah, M., Ahmed, Y., Israel, A.,
Brickner, I., Abelson, A. 2010.
Macroalgae in the coral reefs of Eilat
(Gulf of Aqaba, Red Sea) as a possible
indicator of reef degradation. Marine
Pollution Bulletin. 60(5) : 759-764.
Birkeland, C., Lucas, J.S., 1990. Acanthaster
planci: A Major Management Problem
of Coral Reefs. CRC Press. Boca Raton.
p 257.
Budiyanto, A. 2002. Sang Bintang Pemburu
Karang. Teknisi Litkayasa Bidang
Sumber Daya Laut. Puslit OseanografiLIPI. Warta Oseanografi. 16(4) : 3-19.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

Brower, J. E. and J. H. Zar, 1997. Field and


Laboratory Method forGeneral Ecology
Wm. C. Brown Company Publisher.
America. p 301.
CoralWatch. 2011. Terumbu Karang dan
Perubahan Iklim. Panduan Pendidikan
dan Pembangunan Kesadartahuan. The
University of Queensland. Australia.
272 hal.
DKP. 2007. Pengenalan Jenis-Jenis Karang di
Kawasan Konservasi Laut.
Ditjen.
KP3K. Jakarta. Edisi V. 67 hal.
Fachry, M.E., Pertamasari, A. 2009. Analisis
Efektifitas Metode Penyuluhan pada
Masyarakat Pesisir di Kabupaten
Pangkep Sulawesi Selatan.
Jurnal
Agribisnis. 10(3) : 69-80.
Fraser, N., Crawford, B.R., Kusen, J. 2000.
Panduan Pembersihan Bintang Laut
Berduri, Koleksi Dokumen Pesisir.
USAID-ICRMP, Jakarta. 45 hal.
Gerard, K., Charlotte, R., Nicolas, C., Bernard,
T., Anne, C., Jean P.F. 2008.
Assessment of three mitochondrial loci
variability for the crown-of-thorns
starfish: A first insight into Acanthaster
phylogeography.
Comptes
Rendus
Biologies. 331(2) : 137-143.
IPB. 2007. Profil Pulau-Pulau Kecil Gugus
Kepulauan Tiworo. IPB. Bogor. 22 hal.
Johan, O. 2003. Beberapa Genus Karang Yang
Umum Dijumpai di Indonesia. Training
Course.
PSK-UI
dan
Yayasan
TERANGI, serta didukung oleh IOIIndonesia. Jakarta. 98 hal.
Johan,O. 2003. Metode Survey Terumbu Karang
Indonesia. Yayasan Terangi. Jakarta.
9 hal.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
2001.
Himpunan
Peraturan
Perundangundangan di Bidang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Pengendalian
Dampak Lingkungan Era Otonomi
Daerah. Jakarta. 737-739 hal.
Moran, P.J., Bradbury, R.H., Greve, W.,
Reichelt, R.E. 1990. Acanthaster planci
outbreak initiation: A starfish-coral site
model. Ecological Modelling. 49(3-4) :
153-177.
Pratchett, M.S., Schenk, T.J., Baine, M., Sysms,
C., Baird, A.H. 2009. Selective coral
mortality associated with outbreaks of
Acanthaster planci in Bootless Bay,
Papua
New
Guinea.
Marine
Environmental Research. 67(4-5) :
230-236.
67

Rani, C., Yusuf, S., Benedikta, F. 2007.


Preferensi dan Daya Predasi Acanthaster
planci Terhadap Karang Keras. Jurusan
Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makassar. 14 hal.
Sadarun, B., Nezon, E., Wardono, S., Afandy, Y.
A., dan Nuriadi, L. 2006. Petunjuk
Pelaksanaan Transplantasi Karang.
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta. 36 hal.
Setyobudiandi,
I.,
Sulistiono,
Yulianda,
Kusmana, Hariyadi, Damar, Sembiring,
dan Bahtiar. 2009. Sampling dan
Analisis, Data Perikanan dan Kelautan.
312 hal.
Smith, T.B., Nemeth, R.S., Blondeau, J., Calnan,
J.M., Kadison, E., Herzlieb, S. 2008.
Assessing coral reef health across
onshore to offshore stress gradients in
the US Virgin Islands. Center for Marine

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU

and Environmental Studies. University


of the Virgin Islands. 56(12) : 83-91.
Suharsono. 1991. Bulu Seribu (Acanthaster
planci).
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan Biologi Laut. Puslitbang
Oseanologi-LIPI. Jakarta. 16(3) : 1-7.
Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem
Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta.
129 hal.
Tanda, L., Budimawan, dan Rani, C. 2008.
Status dan Kondisi Terumbu Karang dan
Ikan Karang pada Beberapa Daerah
Perlindungan Laut (DPL)-Coremap II,
Kabupaten Biak Numfor Tahun 2008.
Unhas. Makassar. 19 hal.
Tarigan, Z., dan Edward. 2003. Pemantauan
Kondisi Hidrologi di Perairan Raha
P. Muna Sulawesi Tenggara dalam
Kaitannya dengan Kondisi
Terumbu
Karang. Pusat Penelitian Oseanografi.
Lipi. Jakarta. 7(2) : 73-82.

68

Anda mungkin juga menyukai