Anda di halaman 1dari 14

Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan

Koagulasi (Dissmeenated Intravascular Coagulation /DIC)

Disusun Oleh :
Riventi Pali’ Kamoda C12116003 Muh syahrul C12116515
Indah aprilia C12116025 Ishmah Rosyidah M. C12116521
Andi Dewi Sumaya C12116013 Ayu Wardhani C12115038
Tinctoria Citra Amalia C12116016 Jetliani Nicepa Doran C12116 017
Surpia C12116304 Sri Hepti Sutiba Sanjaya C12116 524
Andi Taufiqurrahman C12116327 Salsa bella C12116702
Rizky Amalia C12116331 Trivosa Rombe C12116 503
Leni Hartati C12116505 Nurfadillah C12113331

Program Studi Ilmu keperawatan


Fakultas Keperawatan
Universitas Hasanuddin
2018
Kata Pengantar

Assalamu alaikum warahmatulahi wabarakatuh.

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat-Nya kami dapat
menyelasaikan makalah Askep Pasien pada pasein dengan Gangguan Koagulasi (Dissmeenated
Intravascular Coagulation (DIC) atau Koagulasi Intravaskular Diseminata).

Kami tahu makalah ini masih memeliki banyak kekerungan, tapi kami harap makalah ini
dapat digunakan mahasiswa dan bagi yang membacanya dapat memahami Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan gangguan Dissmeenated Intravascular Coagulation (DIC) atau Koagulasi
Intravaskular Diseminata.

Semoga makalah ini dapat berguna, dan diharapkan saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat membuat makalah ini, menjadi lebih baik dan mendekati kesempurnaan. Terima
kasih.

Wassalamu alaikum warahmatulahi wabarakatuh.


PEMBAHASAN
1. Defenisi
Dissmeenated Intravascular Coagulation (DIC) atau Koagulasi Intravaskular
Diseminata adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh
aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya
faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan (Desmawati, 2017).
DIC terjadi sebagai komplikasi pada penyakit atau keadaan yang mempercepat pembekuan
sehingga timbul oklusi (sumbatan) pembuluh darah halus), nekrosis organ, deplesi faktor
pembekuan serta trombosit dalam sirkulasi darah, pengaktivan sistem fibrinolitik, dan
perdarahan hebat sebagai konsekuensinya. Pembekuan di dalam sirkulasi mikro biasanya
memengaruhi ginjal dan ekstermitas, tetapi dapat pula terjadi di dalam otak, paru-paru,
kelenjar hipofisis serta adrenal, dan mukosa GI (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2003).
DIC adalah suatu sindrom komplek yang terdiri atas banyak segi, yang system
homeostatik dan fisiologik normalnya mempertahankan darah tetap cair berubah menjadi
system patologik yang menyebabkan pembentukan trombi fibrin difus, yang menyumbat
mikro vascular tubuh (Price & Wilson, 2006). DIC juga dinamakan koagulopati konsumsi
atau sindrom defibrinasi umumnya merupakan keadaan akut tetapi dapat pula bersifat kronis
pada para penderita penyakit kanker. Prognosis penyakit ini bergantung pada deteksi dan
penanganan dini, intensitas perdarahan dan penanganan penyakit yang mendasarinya
(Kowalak et al., 2003).
Deposit fibrin intravascular yang luas dengan konsumsi faktor-faktor pembekuan dan
trombosit terjadi akibat berbagai kelainan yang melepaskan materi prokoagulan ke dalam
darah atau menyebabkan kerusakan endotel atau agregasi trombosit yang luas. keadaan ini
mungkin terkait dengan sindrom perdarahan atau thrombosis fulamin, atau melalui
perjalanan penyakit yang lebih ringan dan lebih kronis (Hoffbrand, Pettit, & Moss, 2012).
2. Etiologi
Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya
dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Karena jumlah faktor pembekuan darah
berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.
Sistem fibrinolik diaktivasi oleh thrombin didalam sirkulasi, yang memecah
fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga merangsang agregasi trombosit , melepas
activator plasminogen, yang membentuk plasmin. aktivasi thrombin yang berlebihan
mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor koagulasi, dan
fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus. DIC bukan merupakan penyakit, tetapi
akibat proses penyakit yang mnedasarinya. perubahan pada segala komponen vascular yaitu
dinding pembuluh darah, protein plasma, dan trombosit dapat menyebabkan suatu gangguan
konsumtif. Masuknya zat atau aktivitas prokoagulen ke dalam sirkulasi darah mengawali
sindrom tersebut dan dapat terjadi pada segala kondisi yang tromboplastin jaringannya
dibebaskan akibat destruksi jaringan, dengan inisiasi jalur pembekuan ekstrinsik. karena
plasenta merupakan sumber yang kaya akan trombo plastin jaringan, maka salah satu
penyebab tersering DIC adala solusio plasenta (plasenta lepas secara dini).
Keadaan ini menyebabkan retensi produk-produk konsepsi (plasenta,janin) yang
menyebabkan nekrosis dan kerusakan jaringan lebih lanjut. produk-produk tumor, luka
bakar, cedera remuk menyebabkan pelepasan tromboplastin. pada leukimia promielistik,
promielosit granular mengeluarkan aktivitas seperti tromboplastin yang sering pada saat
dimulainya kemoterapi dan dilepasnya granula. selama proses koagulasi, trombosit
peragregasi dan bersamaan dengan faktor-faktor koagulasi akan digunakan dan jumlahnya
berkurang. Hasil thrombus fibrin dapat atau tidak menyumbat mikrovaskular, bersamaan
dengan ini sistim fibrinolik diaktivasi untuk pemecahan trombi fibrin, menghasilkan banyak
fibrin dan produk degraasi fibrinogen yang mengganggu polimerisasi fibrin dan fungsi
trombosit. Aksi ini menyebabkan perdarahan difus yang khas pada DIC.
Penyebab koagulasi intravascular diseminata yaitu:
 Infeksi yang mencakup septikemia gram-negatif atau positif dan infeksi virus, fungus,
riketsia, atau protozoa
 Komplikasi obstetric, termasuk solusio plasenta, emboli cairan ketuban, retensi janin
yang sudah mati, abortus septic, eklamsia
 Penyakit neoplastik, termasuk leukimia akut, karsinoma metastatic, anemia aplastik
 Gangguan yg menimbulkan nekrosis dan meliputi luka bakar serta trauma yang luas,
kerusakan jaringan otak, penolakan jaringan yang dicangkokkan, nekrosis hati
 Kondisi lain, termasuk heatstroke (sengatan panas), syok, gigitan ular berbisa, sirosis
hepatis, emboli lemak, transfuse darah yang tidak cocok, henti jantung, pembelahan yang
memerlukan tindakan pintas (by-pass) kardiopulmoner, hemangioma raksasa, thrombosis
vena yang berat, dan purpura fulminant (Kowalak et al., 2003).
Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:
 Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi
dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah
 Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang
menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
 Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung pancreas maupun prostat
Orang-orang yang memiliki resiko rendah untuk menderita DIC:
 Penderita cedera kepala yang hebat
 Pria yang telah menjalani pembedahan prostat
 Terkena gigitan ular berbisa (Desmawati, 2017)
3. Patofisiologis
Pada DIC, mekanisme hemostatic normal mengalami perubahan sehingga terbentuk
bekuan-bekuan kecil di dalam mikrosirkulasi tubuh. Bekuan tersebuut menghabiskan
trombosit dan factor pembekuann, yang ada pada akhirnya menyebabkan gangguan koagulasi
dan terjadilah pendarahan. Pendarahan tersebut dikarakteristikkan dengan kadar fibrinogen
dan trombosit yang rendah; masa protombin (PT), mas tromboplastin parsial (PTT), dan
masa thrombin yang memanjang dan peningkatan produk penghancuran fibrin (D-dimer).
Faktor prognostic utama adalah kemampuan utama untuk mengatasi gangguan yang
mencetuskan DIC (Smeltzer, 2011).
Pembekuan berlebihan dapat dipicu oleh koagulasi jalur interinsik atau ekstrinsik.
Jalur ekstrinsik merupakan respons terhadap kerusakan jaringan besar-besaran (terbakar atau
trauma); jalur intrinsic berespon terhadap kerusakan pembulu darah (endothelium).
Keduanya melepaskan thrombin yang mengaktifkan fibrinogen. Hal tersebut mengakibatkan
timbunan fibrin pada mikrosirkulasi. Pembentukan fibrin dipicu oleh meningkatnya produksi
thrombin,penekanan mekanisme antikoagulan, dan penghambatan pembuangan fibrin karena
gangguan fibrinolysis. Sel darah merah terperangkap dalam benang fibrin dan dihancurkan
(hemolisis), hasilnya darah mengalir dengan lambat sehingga distribusi oksigen dan nutrisi
menurun. Pembekuan berlebihan mengaktifkan mekanisme fibrinolitik, yang menyebabkan
produk pendegradasi fibrin. Produk pendegradasi fibrin berperan menghambat fungsi
pembekuan trombosit, yang nantinya akan menyebabkan perdarahan. Akhirnya dengan lisis
bekuan dan deplesi factor pembekuan darah, mengakibatkan darah kehilangan kemampuan
untuk membeku (Saunders, 2009).
4. Manifestasi Klinis
DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika keadaan ini terjadi
setelah pembedahan atau persalinan, maka pembukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa
mengalami perdarahan hebat dan tidak terkendali (Desmawati, 2017).
Manifestasi klinis bergantung pada luas dan lamanya pembentukan thrombin fibrin,
organ-organ yang terlibat, dan nekrosis serta perdarahan yang ditimbulkan Organ-organ
yang paling sering terlibat adalah ginjal, kulit, otak, hipifisis, paru dan adrenal, serta mukosa
saluran cerna. Terdapat perdarahan membrane mukosa dan jaringan dalam, serta perdarahan
di sekitar tempat cedera,pungsi vena, penyuntikan, dan pada setiap orifisium. Sering
dijumpai petekie dan ekimosis, manifestasi lain berupa hipotensi (syok), oliguria atau anuria,
kejang kejang, koma, mual dan muntah, diare, nyeri abdomen, nyeri punggung,dispnea, dan
sianosis (Price & Wilson, 2006).
Gambaran klinis didominasi oleh perdarahan, khususnya dari tempat pungsi vena
atau luka. Mungkin terdapat perdarahan generalisata pada saluran cerna, orofaring, paru,
saluran urogenital, dan pada kasus-kasus obstetrik perdarahan vagina mungkin saat berat.
Mikrotombus dapat menyebabkan lesi pada kulit, gagal ginjal, gangrene jari-jari tangan atau
kaki, atau iskemia serebral (lebih jarang terjadi) (Hoffbrand et al., 2012).
Perdarahan bisa menetap di daerah tempat penyuntikan atau tusukan; perdarahan
massif bisa terjadi di dalam otak, saluran pernapasan, kulit, otot dan rongga tubuh. Bekuan
darah di dalam pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap)
sehingga tidak berbentuk air kemih (Desmawati, 2017).
Tanda dan gejala koagulasi intravascular diseminata yang disebabkan oleh aktivitas
antikoagulan pada produk penguraian fibrin dan deplesi faktor faktor pembekuan meliputi:
1. perdarahan yang abnormal
2. perembesan serum kedalam kulit
3. petekie atau lepuhan (bullae) yang berisi darah
4. perdarahan dari traktus GI
5. epistaksis
6. hemoptisis
Adapun tanda dan gejala yang lain meliputi:
1. jari jari tangan dan kaki yang sianotik, dingin, dan berbintik-bintik karena terdapat
bekuan fibrin alam sirukulasi mikro yang mengakibatkan iskeima jaringan
2. nyeri otot, punggung, abdomen, dan dada yang hebat akibat hipoksia jaringan
3. mual dan muntah ( yang bisa merupaka manifestasi perdarahan GI)
4. syok akibat perdarahan
5. konfusi (kebingungan) akibat thrombus arteri serebri dan penurunan perfusi serebral
6. dispnea akibat perfusi dan oksigenasi jaringan yang buruk]
7. aliguria akibat penurunan perfusi renal (Kowalak et al., 2003)
5. Diagnosis
Pemeriksaan darah menunjukkan :
 Penurunan jumlah faktor pembekuan
 Adanya bekuan-bekuan kecil yang tidak biasa
 Sejumlah besar hasil pemecahan bekuan darah (Desmawati, 2017)
Pemeriksaan hemostatsis :
 Hitung trombosit rendah
 Uji penyaring, titer atau pemeriksaan fibrinogen menunjukkan adanya defisiensi
 Masa thrombin memanjang
 Produk pemecahan fibrinogen (dan fibrin) seperti D-dimer dalam kadar yang tinggi
ditemukan dalam serum dan urin
 PT dan APTT memanjang pada sindrom akut.
Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi “
Pada banyak pasien, dijumpai anemia hemolitik (mikroangiopatik) dan eritrosit
memperlihatkan fragmentasi nyata karena kerusakan saat melewati benag-benang fibrin
dalam pembuluh darah kecil (Hoffbrand et al., 2012).
 penegakan jumlah trombosit yang biasanya kurang dari 100.000/𝜇l karena trombosit akan
terpakai selama proses thrombosis
 kadar fibrinogen kurang dari 150 mg/dl karena fibrinogen akan terpakai alam
pembentukan bekuan darah
 waktu protrombin yang melebihi 15 detik
 waktu tromboplastin partial yang melebihi 60 detik
 peningkatan produk penguraian fibrin yang secara khas melebihi 45 mkg/ml sebagai
akibat fibrinolisis oleh plasmin
 tes D-dimer (keberadaan fragmen senyawa karbon yang asimetris karena terdapat produk
pemecahan fibrin) yang positif
 penurunan haluaran urine (kurang dari 30 ml/jam), kenaikan kadar ureum dan kenaikan
kadar kreatinin serum (lebih dari 1,3 mg/dl) (Kowalak et al., 2003).
6. Pengobatan
Pengobatan terpenting adalah mengobati penyebab yang mendasari. Terapi suportif
dengan plasma beku segar dan konsentrat trombosit diindikasikan pada pasien yang
mengalami perdarahan yang berbahaya atau luas. kriopresipitat menyediakan sumber
fibrinogen yang lebih terkonsentrasi, dan mungkin diperlukan transfusi eritrosit (Hoffbrand
et al., 2012).
DIC bisa berakibat fatal, sehingga harus diatasi sesegera mungkin. Diberikan
transfusi trombosit dan faktor pembeuan untuk menggantikan kekurangan dan menghentikan
perdarahan (Desmawati, 2017). Penggunaan heparin atau obat-obatan antitrombosit untuk
menghambat proses koagulasi biasanya tidak diindikasikan karena pada beberapa kasus
perdarahan yang terjadi mungkin berat. Inhibitor fibrinolitik sebaiknya tidak
dipertimbangkan karena kegagalan untuk melisiskan trombus dalam organ-organ seperti
ginjal mungkin menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Penggunaan konsentrasi
antitrombin dan protein C untuk menghambat DIC pada kasus-kasus berat (septicemia
meningokokus) tampaknya memberi hasil menjanjikan (Hoffbrand et al., 2012) .
Sediaan apus darah perifer dapat menunjukkan fragmentasi eritrosit sekunder dengan
bentuk yang beraneka ragam akibat kerusakan oleh serabut fibrin. penanganan ditujukan
pada perbaikan mekanisme yang mendasarinya yang mungkin memerlukan penggunaan
antibiotik, agen-agen kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular, serta pada keadaan retensio
plasenta, isi uterus dikeluarkan, penggantian faktor-faktor plasma dengan plasma dan
kriopresipitat, serta tranfusi trombosit, dan sel darah merah mungkin diperlukan. Bila terjadi
perdarahan yang hebat peran heparin yang merupakan suatu antikoagulan, anti thrombin
yang kuat masih sangat controversial. Heparin menetralkan aktivitas thrombin, dan dengan
demikian menghambat penggunaan faktor-faktor pembekuan dan trombosit dengan
memberikan infuse plasma dan trombosit seharusnya menghambat diathesis perdarahan.
Heparin diindikasikan kapan pun jika terjadi kegagalan terapi penggantian untuk
meningkatkan faktor-faktor koagulasi dan perdarahan tetap ada, heparin juga diindikasikan
pada keadaan adanya pengendapan fibrin yang menyebabkan nekrosis dermsn. Heparin
dosis rendah telah berhasil digunakanbersama dengan agen kemoterapeutik pada pengobatan
leukimia promiolisitik, untuk mencegah DIC akibat pelepasan tromboplastin oleh granula
leukosit, dapat terjadi juga keadaan hiperkoagulasi yang disertai dengan peningkatan insiden
thrombosis (Price & Wilson, 2006).
Penanganan meliputi:
1. Pengenalan secara dini gangguan yang mendasari dan penanganan yang segera
2. Transfusi darah, fresh frozen plasma, plasma kaya trombosit ataupun packed red cells,
untuk mendukung hemostasis pada pendarahan yang aktif
3. Pemberian heparin pada stadium awal untuk mencegah pembekuan mikro dan sebagai
upaya terakhir dalam penanganan perdarahan (Kowalak et al., 2003).
7. Pertimbangan khusus
1. perawatan pasien harus berfokus pada pengenalan dini perdarahan yang abnormal,
penanganan segera gangguan yang mendasari, dan pencegahan perdarahan selanjutnya
2. untuk menghindari pelepasan bekuan darah yang menyebabkan perdarahan ulang, jangan
menggosok baguian tubuh yang berdarah, lakukan penekanan dan gunakan kompres
dingin serta preparat topical hemostatik untuk mengendalikan perdarahan
3. untuk mencegah cedera, anjurkan pasien untuk tirah baring selama episode perdarahan .
jika pasien berontak berikan bantal pada rel samping tempat tidurnya.
4. periksa semua lokasi pemasangan infuse dan fungsi vena dengan sering untuk mendeteksi
perdarahan. lakukan penekanan pada tempat suntikan pada sedikitnya 20 menit. siapkan
semua petugas untuk mewaspadai kemungkinan perdarahan
5. pantau asupan dan haluaran cairan setiap jam pada koagulasi intravascular deseminata
yang kuat, khususnya ketika melakukan tranfusi dan tanda-tanda kelebihan muatan cairan
6. awasi kemungkinan perdarahan dari traktus IG dan urogenital
7. pantau hasil pemeriksaan serial darah (khususnya nilai hematokrit, kadar haemoglobin,
dan waktu pembekuan )
8. jelaskan semua pemeriksaan diagnostic dan prosedur yang dilakukan. berikan waktu
untuk bertanya
9. informasikan kelurga tentang perkembangan pasien (Kowalak et al., 2003) .
8. Komplikasi
 nekrosis tubular akut
 syok
 gagal organ multiple
9. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah untuk mengatasi penyebab DIC dan untuk
memperbaiki dampak seunder iskemia jaringan dengan memperbaiki oksigenasi, mengganti
cairan yang hilang, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit, dan memberikan medikasi
vasopressor. Jika terjadi hemoragi yang serius, factor pembekuan dan trombosit yang
terkuras dapat diganti (kriopresipitat untuk mengganti fibrinogen dan faktor V dan VII;
plasma segar-beku untuk mengganti factor pembekuan lainnya.
Infusi heparin, yang merupakan metode penatalaksanaan kontroversial, dapat digunakan
untuk menghentikan proses thrombosis. Terapi lainnya mencakup protein C teraktivasi
rekombinan dan infuse AT (Smeltzer, 2011).
10. Penatalaksanaan keperawatan
1) Mempertahankan Status hemodinamik
a. Hindari prosedur dan aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan
intracranial, seperti batuk dan mengejan.
b. Pantau TTV dengan ketat, termasuk pemeriksaan neurologis, dan kaji
jumlah pendarahan eksternal.
c. Hindari medikasi yang mengganggu fungsi trombosit, jika
memmungkinkan (mis, antibiotic beta-laktam, asa asetilsalisilat, obat-
obatan antiinflamasi no-steroid)
d. Hindari tindakan colok dubur atau medikasi injeksi intramuscular atau
rektal
e. Gunakan tekanan rendah pada saat melakukan pengisapan
f. Lakukan hygiene oral dengan hati-hati: gunakan swab berujung spons,
cairan kumur garam atau soda; hindari swab gliserin-lemon, hydrogen
peroksida, cairan kumur yang dijual dipasaran.
g. Jangan melepaskan bekuan yang terbentuk, termasuk bekuan disekitar
lokasi IV, lokasi injeksi, dsb.
2) Menjaga integritas kulit
a. Kaji kulit, beri perhatian khusus pada area tonjolan tulang dan lipatan
kulit.
b. Atur posisi pasien dengan hati-hati; gunakan matras pengurang tekanan
dan benang wool di antara jari-jari daan disekeliling telinga dan bahan
penyerap yang lembur di lipatan kulit, sesuai kebutuhan.
c. Lakukan perawatan kulit setiap 2 jam; lakukan hygiene oral dengan hati-
hati.
d. Tekan agak lama (minimal 5 menit) setelah tindakan injeksi esensial.
3) Memantau keseimbangan Volume cairan
a. Auskultasi bunyi napas setiap 2- 4 jam.
b. Pantau luasnya edema.
c. Pantau volume medikasi IV dan produk darah, kurangi volume medikasi
IV, jika memungkinkan.
d. Berikan diuretic sesuai resep.
4) Mengkaji ketidakefektifan Perfusi Jaringan Akibat Mikrotombi
a. Kaji system kulit, paru, neurologis
b. Pantau respon pasien terhadap terapi heparin; pantau kadar fibrinogen
c. Kaji luas pendrahan
d. Hentikan asam epsilon-aminokaproat jika muncul gejala trombosis
5) Mengurangi Ketakutan dan Kecemasan
a. Identifikasi mekanisme koping terdahulu, jika memungkikan; dorong
pasien untuk menggunakannya jika sesuai
b. Jelaskan semua prosedur dan rasional dalm istilah yang dapat dipahami
pasien dan keluarga (Smeltzer, 2011).
Daftar Pustaka

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). (I. Nurjannah & R. D. Tumanggor, Eds.) (6th ed.).
Singapura: Elsevier.
Desmawati. (2017). Sistem Hematologi dan Imunologi. (D. Juliastuti, Ed.). Jakarta: IN MEDIA.

Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., & Moss, P. A. H. (2012). Hematologi. (D. A. Mahanani, Ed.) (4th
ed.). Jakarta.

Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2003). Patofisiologi. (R. Komalasari, A. O.
Tampubolon, & M. Ester, Eds.). Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcome
Classification (NOC). (I. Nurjannah & R. D. Tumanggor, Eds.) (5th ed.). Singapura:
Elsevier.
NANDA International. (2002). Diagnosa Keperawatan Defenisi dan Klasifikasi. (T. H. Herdman
& S. Kamitsuru, Eds.) (10th ed.). Jakarta: EGC.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (H.
Hartanto, N. Susi, P. Wulansari, & D. A. Mahanani, Eds.) (6th ed., Vol. 1). Jakarta: EGC.

Saunders. (2009). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Hasil yang Diharapkan. (S.
Aklia, G. Faqihani, & L. P. Puji, Eds.) (8th ed.). Singapura: Elsevier.

Smeltzer, S. C. (2011). Keperawatan Medikal Bedah. (M. E. Anisa, Ed.) (12th ed.). Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai