Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KIMIA PANGAN

BAHAN TAMBAHAN PANGAN PEWARNA ERYTHROSINE

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK VIII

1) Billqis Hudaibiyah F1C115012


2) Rinaldi Satria F1C115027

DOSEN PENGAMPU
Andita Utami, S.Si., M.Si

PROGRAM STUDI S-1 KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
2018

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat-Nya lah tim penulis dapat menyelesaikan makalah “Kimia Pangan” ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah
serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Tim penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
dapat mendidik serta membangun makalah ini agar menjadi lebih baik dan
mendekati kesempurnaan. Dengan kekurangan yang masih ada, tim penulis
mengharapkan masukan untuk menutupi kekurangan tersebut.
Untuk itu tim penulis juga menghaturkan penghargaan dan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing kami ibu Andita
Utami, S.Si., M.Si. yang telah memberikan pengarahannya kepada tim penulis
untuk menyelesaikan tugas ini.
Akhir kata, tim penulis hanya bisa berharap bahwa dibalik kekurangan
yang ada dalam penyusunan makalah ini, masih dapat ditemukan sesuatu yang
dapat memberikan manfaat dan panduan serta perubahan yang lebih baik bagi
tim penulis, pembaca, serta pengguna lainnya.

Jambi, September 2018

Tim Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. 1


DAFTAR ISI............................................................................................. 2
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 4
1.3 Tujuan ....................................................................................... 4
II . PEMBAHASAN ................................................................................... 5
2.1 Deskripsi Umum ........................................................................ 5
2.2 Penggunaan ............................................................................... 8
2.3 Resiko Kesehatan ....................................................................... 8
2.4 Regulasi ................................................................................... 11
2.5 Analisa Kualitatif ..................................................................... 12
2.6 Analisa Kuantitatif ................................................................... 14
III. PENUTUP ........................................................................................ 16
3.1 Kesimpulan .............................................................................. 16
3.2 Saran ....................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 17

2
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mutu suatu bahan pangan biasanya ditentukan oleh beberapa faktor
yaitu cita rasa, tekstur, dan nilai gizinya, serta sifat mikrobiologisnya. Tetapi
sebelum mempertimbangkan faktor - faktor tersebut, faktor warna dari bahan
pangan tersebut biasanya dilihat terlebih dahulu dan kadang - kadang juga
sangat menentukan. Selain sebagai faktor yang menentukan mutu, warna juga
dapat menentukan kesegaran atau kematangan dari suatu bahan pangan.
Warna juga dapat menunjukkan baik tidaknya pencampuran atau cara
pengolahan (Cahyadi, 2008).
Warna merupakan salah satu faktor sensorik yang dipakai oleh manusia
untuk menilai suatu produk atau keadaan lingkungan. Manusia akan lebih
mengekspresikan perasaan dengan warna seperti warna pakaian, warna interior
rumah dan warna barang-barang konsumsi (termasuk makanan). Orang-
orang cenderung menyukai sesuatu yang berwarna karena terkesan menarik.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering sekali menggunakan berbagai jenis
pewarna baik untuk makanan, kosmetik, ataupun yang lainnya. Penampilan
luar dari suatu produk itu memang sangat menentukan tingkat penjualan dari
produk tersebut. Zat pewarna seringkali digunakan orang pada makanan untuk
menambah nilai estetika dari makanan tersebut. Makanan yang rasanya tidak
enak pun dapat tertutupi jika warna dari makanan itu menarik konsumen.
Zat warna alami seperti dari daun suji untuk pewarna hijau dan kunyit
untuk pewarna kuning sudah dikenal dan digunakan sejak lama. Sekarang
telah dikembangkan zat warna sintetis yang penggunaannya lebih praktis dan
lebih murah.
Suatu pangan menjadi bewarna karena adanya zat pewarna dalam
bahan pangan tersebut. Ada dua macam zat pewarna berdasarkan sumbernya,
yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis. Pewarna alami adalah pewarna yang
berasal dari bahan - bahan alami yang ditambahkan pada makanan atau
produk yang lain, sedangkan pada pewarna sintetis adalah pewarna yang
berasal dari bahan - bahan kimia. Secara umum, pewarna alami tidak
menimbulkan efek samping bagi tubuh manusia karena kandungan bahannya
adalah berasal dari alam. Sedangkan pewarna sintetis terutama yang
ditambahkan pada makanan harus diperhatikan cara penggunaan dan efek
samping dari pewarna tersebut. Bahkan ada penyalahgunaan bahan pewarna
yang seharusnya bukan untuk makanan tetapi ditambahkan untuk makanan
sehingga dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bagi tubuh kita. Oleh

3
karena itu, kita perlu mengenal berbagai macam zat pewarna sintetis yang
biasanya digunakan manusia terutama dalam hal makanan agar kita
mengetahui dampak dan bahaya penggunaan bahan pewarna tersebut (Sunarto,
2008).
Dari banyaknya zat pewarna sintetis, salah satu zat pewarna sintetis
yang diizinkan penggunaannya adalah eritrosin (erythrosine).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri - ciri zat pewarna sintetis eritrosin?
2. Bagaimana kegunaan dari zat pewarna sintetis eritrosin?
3. Bagaimana resiko kesehatan dari penggunaan zat pewarna sintetis
eritrosin?
4. Bagaimana regulasi penggunaan zat pewarna sintetis eritrosin?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui ciri - ciri pewarna sintetis eritrosin.
2. Untuk mengetahui penggunaan zat pewarna sintetis eritrosin.
3. Untuk mengetahui resiko kesehatan dari penggunaan zat pewarna
sintetis eritrosin.
4. Untuk mengetahui regulasi penggunaan zat pewarna sintetis eritrosin.

4
II . PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Umum


Bahan pewarna makanan terbagi dalam dua kelompok besar yakni
pewarna alami dan pewarna buatan. Di Indonesia, penggunaan zat pewarna
untuk makanan (baik yang diizinkan maupun dilarang) diatur dalam SK
Menteri Kesehatan RI No. 235/MenKes/Per/VI/79 dan direvisi melalui SK
Menteri Kesehatan RI No. 722/MenKes/Per/VI/88 mengenai bahan tambahan
makanan. Pewarna alami diperoleh dari tanaman ataupun hewan yang berupa
pigmen. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita antara lain
klorofil (terdapat pada daun – daun berwarna hijau), karotenoid (terdapat pada
wortel dan sayuran lain berwarna orange-merah). Umumnya, pigmen - pigmen
ini bersifat tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya, dan pH tertentu. Walau
begitu, pewarna alami umumnya aman dan tidak menimbulkan efek samping
bagi tubuh.
Pewarna buatan untuk makanan diperoleh melalui proses sintetis kimia
buatan yang mengandalkan bahan - bahan kimia, atau dari bahan yang
mengandung pewarna alami melalui ekstraksi secara kimiawi. Beberapa contoh
pewarna buatan, yaitu warna kuning (tartrazin, sunset yellow), warna merah
(allura, eritrosin, amaranth) , warna biru (biru berlian). Kelebihan pewarna
buatan dibanding pewarna alami adalah dapat menghasilkan warna yang lebih
kuat dan stabil meski jumlah pewarna yang digunakan hanya sedikit, pilihan
warna yang lebih banyak, mudah disimpan, dan lebih tahan lama. Beberapa zat
pewarna sintetis bisa saja memberikan warna yang sama, namun belum tentu
semua zat pewarna tersebut cocok dipakai sebagai zat aditif pada makanan dan
minuman. Perlu diketahui bahwa zat pewarna sintetis yang bukan untuk
makanan dan minuman (pewarna tekstil) dapat membahayakan kesehatan
apabila masuk ke dalam tubuh karena bersifat karsinogen (penyebab penyakit
kanker). Oleh karena itu, kita harus berhati - hati ketika membeli makanan
atau minuman yang memakai zat warna. Kita harus yakin dahulu bahwa
zat pewarna yang dipakai sebagai zat aditif pada makanan atau minuman
tersebut adalah memang benar-benar pewarna makanan dan minuman. Warna
yang dihasilkan dari pewarna buatan akan tetap cerah meskipun sudah
mengalami proses pengolahan dan pemanasan, sedangkan pewarna alami
mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan.
Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna alami, maka warna tersebut
akan segera pudar ketika mengalami proses penggorengan.

5
Berdasarkan sifat kelarutannya, zat pewarna makanan dikelompokkan
menjadi dye dan lake. Dye merupakan zat pewarna makanan yang umumnya
bersifat larut dalam air. Dye biasanya dijual di pasaran dalam bentuk serbuk,
butiran, pasta atau cairan. Lake merupakan gabungan antara zat warna dye
dan basa yang dilapisi oleh suatu zat tertentu. Karena sifatnya yang tidak larut
dalam air maka zat warna kelompok ini cocok untuk mewarnai produk - produk
yang tidak boleh terkena air atau produk yang mengandung lemak dan minyak
(Atmatsir, 1998).
Menurut Wirnano (2004), eritrosin adalah sebuah senyawa iodo-
anorganik terutama turunan dari flor. Zat pewarna ini merupakan senyawa
sintetis warna cherry-pink. Biasanya digunakan sebagai pewarna makanan.
Serapan maksimumnya terjadi pada panjang gelombang 530 nm dalam larutan
dengan akuades.

Gambar 1. Serbuk Pewarna Eritrosin


Eritrosin bernama kimia 9-(o-karboksifenil)-6-hidroksi-2,4,5,7-tetraiodo-
3-isoxanthone monohidrat garam dinatrium. Zat pewarna ini larut dalam air
dan ethanol. Ketika dilarutkan di air, terdapat kurang dari 0,2% bahan yang
tidak larut. Zat pewarna ini mengandung seng (Zn) tidak lebih dari 50mg/kg
dan mengandung timbal (Pb) kurang dari 2mg/kg. Melalui pengeringan pada
suhu 135°C, terjadi kehilangan bahan kurang dari 13% bersama dengan klorida
dan sulfat yang dihitung sebagai garam natrium. Eritrosin juga mengandung
iodium anorganik sebesar tidak lebih dari 0,1% yang dihitung sebagai natrium
iodida.
Beberapa sifat fisika dan kimianya memiliki massa molar 879 86 g/mol
dengan rumus kimia C20H6I4Na2O5 dengan titik lebur 142-144°C (288-29°F; 415-
417 K). Zat pewarna ini berupa tepung coklat, larutannya dalam alkohol 95%
menghasilkan warna merah yang berfluoresensi, sedangkan larutannya dalam

6
air berwarna merah cherry tanpa fluoresensi. Larut dalam gliserol dan glikol,
bersifat kurang tahan terhadap cahaya dan oksidator, tetapi tahan terhadap
reduktor dan NaOH. Mudah diendapkan oleh asam, karena itu tidak dapat
dipakai dalam produk minuman (beverages). Eritrosin juga dapat diendapkan
oleh tawas dan FeSO4. Logam Cu hanya sedikit berpengaruh terhadap warna
larutan. Zat pewarna ini terdaftar dengan nama sebagai berikut :
 FD&C Red No. 3
 E number E127 (Food Red 14)
 Color Index no. 45430 (Acid Red 51)
 Indian Standards No. 1697
Eritrosin juga direferesikan sebagai pewarna xanthene. Pewarna
xanthene adalah sekelompok pewarna florescent yang warnanya berkisar pada
kuning menjadi merah hingga merah kebiruan. Disebut pewarna xanthene
karena zat ini mengandung sebuah molekul xanthene sebagai dasarnya. Rumus
kimia untuk xanthene adalah C13H10O, yang berarti ada 13 atom karbon, 10
atom hidrogen, dan sebuah atom oksigen. Atom-atom tersebut tersusun seperti
berikut :

Gambar 2. Struktur Kimia Xanthene

Gambar 3. Struktur Kimia Eritrosin

7
2.2 Penggunaan
Eritrosin biasanya digunakan untuk mewarnai makanan. Buah ceri yang
ditempatkan dalam toples, seperti ceri maraschino, biasanya diwarnai dengan
eritrosin. Makanan lain yang diwarnai dengan pewarna sintetik ini termasuk
cake icing, kerang pistachio berwarna, makan siang, hot dog, pâté, dan salmon
spread. Zat pewarna ini juga digunakan pada obat gigi yang meninggalkan noda
merah pada gigi untuk mengindikasi area dimana adanya plak gigi. Selain itu,
eritrosin juga sering digunakan oleh industri percetakan untuk berbagai jenis
tinta merah atau cherry-pink. Dulunya zat pewarna ini digunakan sebagai
sensitizer untuk film fotografi ortokromatik.

Gambar 4. Contoh Pewarna Terhadap Makanan

2.3 Resiko Kesehatan


Banyaknya kasus keracunan makanan, food safety perlu ditingkatkan
secara terus - menerus, sehingga kejadian keracunan makanan dapat ditekan
seminimal mungkin. Dikarenakan hal tersebutlah maka perlu diadakan pengujian terlebih
dahulu sebelum makanan tersebut diedarkan ke masyarakat luas atau dikonsumsi.
Pengujian bahan kimia berbahaya atau toksisitas pada suatu bahan makanan
biasanya dilakukan melalui tiga macam percobaan yang dilakukan pada hewan. Pertama,
penentuan dosis suatu bahan. Kedua, penentuan dosis maksimum yang dapat ditolerir
yaitu dosis harian maksimum saat hewan dapat bertahan hidup untuk periode 21 hari,
dengan tujuan pengujian ini adalah untuk menunjukkan organ yang diperiksa
memperlihatkan adanya efek keracunan. Ketiga, pengujian pemberian makanan selama 90
hari, dimana setelah 90 hari percobaan dapat diketahui gejala tidak normal pada hewan
percobaan sehubungan dengan makanan yang diberikan. Hasil dari ketiga percobaan
tersebut dapat menunjukkan atau menetapkan dosis atau ambang batas wajar penggunaan
bahan tambahan makanan untuk dikonsumsi manusia. Penggunaan bahan kimia
berbahaya atau bahan tambahan makanan tersebut apabila melebihi ambang batas maka
akan menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, diantaranya penggunaan bahan
pewarna pada makanan.

8
Pemakaian bahan pewarna sintetis dalam makanan walaupun memiliki dampak
positif bagi produsen dan konsumen, yaitu dapat membuat suatu makanan
lebih menarik, meratakan warna makanan dan mengembalikan warna dari
bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, ternyata dapat pula
menimbulkan hal - hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberi efek negatif
bagi kesehatan manusia. Beberapa hal yang dapat menimbulkan dampak negatif tersebut
apabila terjadi :
a. Bahan pewarna sintetis yang terdapat dalam makanan ini dikonsumsi dalam jumlah
kecil, namun berulang.
b. Bahan pewarna sintetis yang terdapat dalam makanan ini dikonsumsi dalam jangka
waktu lama.
c. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda - beda, yaitu tergantung
pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu pangan sehari - hari, dan
keadaan fisik.
d. Berbagai masyarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis secara
berlebih.
e. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia
yang tidak memenuhi persyaratan.
Efek kronis yang dapat ditimbulkan dari pewarna sintetis ini adalah apabila
dikonsumsi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kanker hati.
Manfaat kesehatan dari eritrosin termasuk meningkatnya produksi susu
pada ibu menyusui. Mengonsumsi eritrosin dalam dosis tinggi dapat bersifat
kasinogen. Selain itu juga dapat mengakibatkan reaksi alergi pada pernafasan
(seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit), hiperaktif
pada anak dan efek yang kurang baik pada otak dan perilaku.
Efek samping lainnya adalah pada beberapa kasus berakibat pada
meningkatnya hiperaktivitas, juga adanya kemungkinan hubungan dengan
mutagenisitas. Eritrosin mengakibatkan kenaikan sensitivitas cahaya pada
orang yang sensitif terhadap sinar matahari. Pada konsentrasi yang tinggi,
eritrosin mengganggu metabolism iodium. Akan tetapi, konsentrasi tinggi ini
tidak dapat dicapai melalui konsumsi makanan yang mengandung eritrosin. Zat
pewarna ini aman dikonsumsi oleh orang yang vegetarian atau tidak (Atmatsir,
1998).
Menurut Guthrie (1990), penggunaan bahan pewarna yang digunakan
berlebihan dan terus menerus dapat menyebabkan alergi dan hyperkinesis
(kelainan di masa kanak-kanak yang ditandai dengan hiperaktivitas, gelisah,
impulsif, perhatian yang berpindah-pindah, masa perhatian pendek, toleransi
terhadap frustasi rendah dan kesulitan dalam belajar) pada anak.

9
Timbulnya efek karsinogenik atau toksisitas disebabkan oleh karena
terjadinya penimbunan bahan pewarna di dalam tubuh. Senyawa dengan
kelarutan di dalam air yang cukup tinggi relatif mudah diekresi, sebaliknya
senyawa yang kelarutan dalam air rendah akan mudah untuk diakumulasi
dalam jaringan lemak (Roe, 1970).
Bahan pewarna yang memiliki potensi karsinogenik adalah ponceau 3R,
butter yellow, methyl red, soudan R brown, soudan 7B red, orange SS, dan
crisoidine. Erythrosine merupakan sumber dari munculnya iodine, dan
berdasarkan penelitian toksikologi menyatakan bahwa erythrosine bersifat
karsinogenik pada kelenjar tiroid tikus jantan. Penelitian pada allura red tidak
menunjukkan adanya efek yang merugikan. Tapi hal yang dikhawatirkan dari
allura red adalah adanya bahan tambahan, seperti p-cresidine yang terbukti
bersifat karsinogenik.
Bahan pewarna maupun bahan pengawet yang digunakan dalam
pembuatan saos tomat termasuk kedalam xenobiotika atau karsinogen kimia.
Xenobiotika tersebut dapat mengakibatkan adanya perubahan sel dan dapat
bersifat karsinogen. Oleh karena itu, penggunaan bahan pewarna dan bahan
pengawet pada produk makanan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.722/Menkes/Per/IX/88. Karsinogen kimia tersebut bekerja secara tidak
langsung dan menjadi aktif hanya setelah mengalami perubahan metabolik,
sehingga agen tersebut disebut sebagai prokarsinogen. Sebagian besar amin
aromatik dan bahan pewarna azo diubah menjadi karsinogen utama dalam hati
oleh sistem enzim sitokrom oksigenase P-450, dan oleh karenanya pada hewan
percobaan menginduksi karsinoma hepatoselular (Robbins dan Kumar, 1995).
Metabolisme prokarsinogen melibatkan enzim monooksigenase dan
transferase. Enzim yang bertanggung jawab atas pengaktifan prokarsinogen
pada prinsipnya adalah spesies sitokrom P-450, yang terletak didalam
retikulum endoplasma. Sitokrom P-450 tersebut akan mengakibatkan reaksi
metabolit berupa penurunan sintesa protein sehingga terjadi ikatan kovalen
pada makromolekul (DNA, RNA, dan Protein), selanjutnya akan terjadi
kesalahan pemberian kode genetik atau bermutasi dan berakhir dengan
terjadinya kanker.
Aktivitas enzim yang memetabolisasi karsinogen kimia dipengaruhi oleh
sejumlah faktor seperti spesies, pertimbangan genetik, usia, atau jenis kelamin.
Variasi pada aktivitas enzim ini membantu menjelaskan sejumlah perbedaan
bermakna pada karsinogenisitas kimia diantara individu dari spesies yang sama
(Murray, 2005).

10
Penggunaan bahan pewarna dan bahan pengawet yang termasuk
kedalam xenobiotika atau karsinogen kimia secara histopatologis dapat
menyebabkan perubahan bentuk dan organisasi sel hati menjadi kronis dan
jaringan disekitarnya mengalami disintegrasi atau disorganisasi. Kerusakan
jaringan hati ditandai dengan adanya degenerasi lemak, piknotik, hiperkromatik
dari nukleus, dan sitolosis dari plasma.
Terjadinya degenerasi lemak disebabkan karena terhambatnya pasokan
energi yang diperlukan untuk memelihara fungsi dan struktur retikulum
endoplasmik sehingga sintesa protein menurun dan sel kehilangan daya untuk
mengeluarkan trigliserida, akibatnya menimbulkan nekrosis hati.
Perubahan morfologis pada nekrosis dapat meliputi perubahan
sitoplasma sel, tetapi yang paling menunjukan kematian sel yaitu pada inti sel.
Biasanya inti sel yang mati itu menyusut, batasnya tidak teratur, dan berwarna
gelap dengan zat warna yang biasanya digunakan oleh ahli patologi. Proses ini
dinamakan piknosis, dan intinya disebut piknotik. Kemungkinan lain, inti dapat
hancur, dan meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar
didalam sel. Proses ini dinamakan karioreksis. Akhirnya pada beberapa
keadaan, inti sel yang mati kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan
menghilang begitu saja proses ini disebut kariolisis (Price dan Wilson, 1995).
2.4 Regulasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor :
722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, penggunaan
eritrosin didasarkan pada makanan yang akan diberi warna.
Tabel 1. Jenis Makanan dan Batas Penggunaan Eritrosin
N
Jenis Bahan Pangan Batas Penggunaan
NO.

1 100 mg/kg produk akhir (total


Es krim dan sejenisnya
1. campuran pewarna 300mg/kg)

200 mg/kg, tunggal atau


2
Buah pir kalengan campuran dengan pewarna
2.
lain
300 mg/kg, tunggal atau
3 campuran dengan Ponceau
Buah prem (plum) kalengan
3. 4R, hanya untuk buah prem
merah atau ungu
4 200 mg/kg, tunggal atau
Selai dan jeli; saus apel kalengan
4. campuran dengan Ponceau 4R

11
30 mg/kg, tunggal atau
5
Udang kalengan campuran dengan pewarna
5.
lain
30 mg/kg, tunggal atau
6 campuran dengan pewarna
Udang beku
6. lain, hanya pada produk yang
telah dipanaskan
Yoghurt beraroma dan produk
7 27 mg/kg, berasal dari aroma
yang dipanaskan setelah
7. yang digunakan
fermentasi
8
Irisan daging 15 mg/kg
8.
300 mg/kg, tunggal atau
9
Makanan lain campuran dengan pewarna
9.
lain

Tabel 2. Perbandingan antara ADI dan Jumlah yang Diserap Tubuh

Perkiraan jumlah
Jumlah maksimum ADI
maksimum yang
Zat pewarna
mg/70kg berat diserap tubuh
mg/kg
badan (mg/hari/kapita)

FD & C Red no. 3 1,25 87 1,9

2.5 Analisa Kualitatif


Identifikasi zat pewarna sintetis pada analisa kualitatif menggunakan
metode Kromatografi Kertas (Papper Chromatografhy) (SNI, 01-2895-1992).
a. Analisa Kromatografi Kertas
Prinsip uji bahan Pewarna Tambahan Makanan (BTP) adalah zat warna
dalam contoh makanan/minuman diserap oleh benang wool dalam suasana
asam dengan pemanasan kemudian dilakukan kromatografi kertas untuk
mengetahui jenis zat pewarna umumnya digunakan metode Kromatografi
Kertas. Prinsip kerjanya adalah kromatografi kertas dengan larutan
pengembang (eluen). Setelah zat pewarna diteteskan diujung kertas rembesan
(elusi), air dari bawah akan mampu menyeret zat-zat pewarna yang larut dalam
air (zat pewarna makanan) lebih jauh dibandingkan dengan zat pewarna tekstil.
Setelah zat pewarna yang diidentifikasi telah diketahui, maka dapat
disimpulkan jenis zat warna yang digunakan pada makanan tersebut.

12
Kromatografi kertas sesuai untuk pemisahan pewarna, tetapi metode ini
memakan banyak waktu. Selain itu, metode ini memberikan resolusi yang jelek
dan kadang-kadang bercak yang terbentuk tidak terdeteksi dengan baik,
menunjukkan terbentuknya ekor yang dapat mempengaruhi harga Rf.
Berikut ini contoh prosedur analisis zat warna yang terdapat dalam
bahan makanan :
1. Tahap Ekstraksi
Untuk sampel cairan, ambil 25 mL sampel dimasukkan ke dalam
polyamida sepanjang 2 cm sedangkan sampel padatan dilarutkan dalam 25 mL
air panas. Zat pewarna yang terserap dicuci dengan 5 mL aseton sebanyak 5
kali, kemudian dengan 5 mL air panas sebanyak 5 mL untuk menghilangkan
pengotor seperti gula, asam dan sebagainya. Untuk melepas zat pewarnanya
dielusi dengan 20 mL NaOH-metanolat. Larutan yang diperoleh diatur pHnya
menjadi 5 – 6 dengan menambahkan larutan asam asetat metanolat. Larutan
zat warna metanolat diuapkan dengan Buchi rotary evaporator menjadi volume
1 mL sebelum diteteskan pada kertas untuk pemisahan kromatografi.
2. Analisa Kromatografi
Sampel sebanyak 2 µL diteteskan pada kertas Whatman dengan ukuran
12 x 20 cm. Jarak penetesan 1,5 cm dari batas bawah kertas dan jarak antara
penetesan berikutnya 1,5 cm. Kertas dibiarkan mengering selama 15 menit di
udara terbuka dan kemudian dielusi di dalam bejana yang telah berisi eluen
jenuh. Eluen yang digunakan untuk pemisahan campuran zat warna
ditunjukkan pada tabel berikut ini :
Tabel 3. Eluen Pemisahan Campuran Zat Warna
Eluen Komposisi
n-Butanol – Asam asetat – Air 20 : 10 : 50
n-Butanol – Etanol – Air – NH4OH 50 : 25 : 25 : 10

Setelah 45 menit di dalam bejana, kertas diambil dan dikeringkan untuk


selanjutnya di analisa secara kualitatif dan kuantitatif jika eluen dapat
memisahkan zat pewarna dengan baik. Analisa kualitatif dilakukan dengan
mengukur harga Rf sampel dibandingkan dengan zat pewarna standar yang
dipakai. Untuk analisa kuantitatif, noda yang terjadi discan menggunakan TLC-
scanner dan luas puncak yang diperoleh diubah menjadi konsentrasi dengan
kalibrasi standar
Metode Uji Kualitatif Kromatrografi Kertas, memasukan 10 ml sampel
cair atau 10–25 gram sampel padatan ke dalam gelas piala 100 ml. Diasamkan
dengan menambahkan 5 ml Asam asetat 10 %. Memasukan dan merendam

13
benang wool ke dalam sampel tersebut. Memanaskan dan mendiamkan sampai
mendidih (± 10 menit). Mengambil benang wool, dicuci dengan air dan dibilas
dengan aquades. Menambahkan 25 ml amoniak 10 % ke dalam benang wool
yang telah dibilas tersebut. Memanaskan benang wool sampai tertarik pada
benang wool (luntur). Benang wool dibuang, larutan diuapkan di atas water
bath sampai kering. Residu ditambah beberapa tetes metanol, untuk ditotolkan
pada kertas kromatografi yang siap pakai. Dieluasi dalam bejana dengan eluen
sampai mencapai tanda batas. Kertas kromatografi diangkat dan dibiarkan
mengering. Warna yang terjadi diamati, membandingkan Rf (Retardation factor)
antara Rf sampel dan Rf standar. Berikut Perhitungannya :
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛
𝑅𝑓 =
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛

2.6 Analisa Kuantitatif


Pengukuran zat pewarna sintetik pada analisa kuantitatif menggunakan
metode Spektrofotometri UV-Visibel. Spektrofotometer UV-Vis adalah alat yang
digunakan untuk mengukur transmitansi, reflektansi dan absorbsi dari
cuplikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrofotometer sesuai
dengan namanya merupakan alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer.
Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang
tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk
mengukur energi cahaya secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Suatu
spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum sinar tampak yang sinambung
dan monokromatis. Sel pengabsorbsi untuk mengukur perbedaan absorbsi
antara cuplikan dengan blanko ataupun pembanding.
Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah tempatkan larutan
pembanding, misalnya blangko dalam sel pertama sedangkan larutan yang akan
dianalisis pada sel kedua. Kemudian pilih foto sel yang cocok 200 nm - 650 nm
(650 nm - 1100 nm) agar daerah λ yang diperlukan dapat terliputi. Dengan
ruang foto sel dalam keadaan tertutup “nol” galvanometer didapat dengan
menggunakan tombol dark-current. Pilih h yang diinginkan, buka fotosel dan
lewatkan berkas cahaya pada blangko dan “nol” galvanometer didapat dengan
memutar tombol sensitivitas. Dengan menggunakan tombol transmitansi,
kemudian atur besarnya pada 100%. Lewatkan berkas cahaya pada larutan
sampel yang akan dianalisis. Skala absorbansi menunjukkan absorbansi
larutan sampel. Berikut langkah – langkah pengerjaannya :

14
a. Preparasi Standart
 Deret standar tartrazine (0 ppm – 10 ppm) Memipet masing-masing
1025,4 µl, 2050,8 µl dan 3076,3 µl standar tartrazine 487,6 ppm ke dalam
labutakar 100 ml. Menambahkan aquades masing-masing menjadi 100 ml
kemudian dikocok. Deret standar ini mengandung 0, 1, 2.5, 5, 7.5 dan 10 ppm
tartrazine
 Standar Rhodamin B (0 ppm – 10 ppm) Memipet masing-masing 1107,4
µl dan 2214,8 standar tartrazine 451,5 ppm ke dalam labu takar 100 ml.
Menambahkan aquades masing-masing menjadi 100 ml kemudian di kocok.
Deret standar ini mengandung 0, 1, 2.5, 5, 7.5 dan 10 ppm Rhodamin B
b. Preparasi Sampel
Metode preparasi sampel pada analisa kuantitatif secara
Spektrofotometri menggunakan metode preparasi sampel pada analisa kualitatif
(Kromatografi kertas), yaitu :
Memasukan ± 10 ml sampel cair atau 10 – 25 gram sampel padatan ke
dalam gelas piala 100 ml. Diasamkan dengan menambahkan 5 ml asam asetat
10 %. Memasukan dan merendam benang wool ke dalam sampel tersebut.
Memanaskan dan mendiamkan sampai mendidih (± 10 menit). Mengambil
benang wool, dicuci dengan air dan dibilas dengan aquades. Menambahkan 25
ml amoniak 10 % ke dalam benang wool yang telah dibilas tersebut.
Memanaskan benang wool sampai warna yang tertarik pada benang wool luntur
kembali. Warna yang telah ditarik dari benang wool dan masih larut dalam
amoniak kemudian di analisa dengan spektrofotometer UV-Visibel. Perhitungan
sebagai berikut dengan diketahui FP (Faktor Pengenceran) :

𝐸𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙) 1000 𝑔𝑟


𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑝𝑝𝑚) = 𝐾𝑢𝑟𝑣𝑎 (𝑝𝑝𝑚)𝑥 𝑥 𝑥 𝐹𝑃
1000 𝑚𝑙 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟)
Berdasarkan hasil penelitian secara kuantitatif bahan pewarna pada
saos tomat, didapatkan hasil bahwa terdapat 30% sampel saos tomat yang
kadarnya melebihi batas Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.722/Menkes/Per/IX/88 yaitu melebihi 300 ppm. Sedangkan berdasarkan uji
statistik menggunakan Wilcoxon Signed Range Test dengan α = 0,03 dapat
disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis sampel saos tomat yang melebihi
batas keamanan penggunaan bahan pewarna berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88. Sampel saos tomat tersebut, yaitu
sampel saos tomat merk G dengan jenis pewarna Ponceau, sampel saos tomat
merk H dengan jenis pewarna Ponceau, sampel saos tomat merk I dengan jenis
pewarna Eritrosin dan Ponceau.

15
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas adapun kesimpulan yang dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Eritrosin merupakan zat pewarna sintetis yang digunakan sebagai
pewarna makanan dan juga termasuk senyawa kimia dengan beberapa
sifat-sifat kimianya, dengan bernama kimia 9-(o-karboksifenil)-6-
hidroksi-2,4,5,7-tetraiodo-3-isoxanthone monohidrat garam dinatrium.
Zat pewarna ini larut dalam air dan ethanol. Ketika dilarutkan di air,
terdapat kurang dari 0,2% bahan yang tidak larut.
2. Eritrosin biasanya digunakan untuk mewarnai makanan. Buah ceri yang
ditempatkan dalam toples, seperti ceri maraschino. Bisa juga digunakan
pada obat gigi yang meninggalkan noda merah pada gigi untuk
mengindikasi area dimana adanya plak gigi dan industri percetakan
untuk berbagai jenis tinta merah atau cherry-pink.
3. Mengonsumsi eritrosin dalam dosis tinggi dapat bersifat kasinogen.
Selain itu juga dapat mengakibatkan reaksi alergi pada pernafasan
(seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit),
hiperaktif pada anak dan efek yang kurang baik pada otak dan perilaku.
4. Di Indonesia, zat ini diperbolehkan penggunaannya dengan batas
penggunaan yang sudah diatur oleh Menteri Kesehatan Republik
Indonesia dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor: 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan.
3.2 Saran
Penggunaan zat pewarna sintetis memang lebih praktis dan harganya
lebih murah daripada zat pewarna alami. Akan tetapi, penggunaan zat pewarna
sintetis ini, terutama eritrosin, perlu diperhatikan batas pemakaian dalam
bahan makanan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Atmatsir, S. 1998. Ilmu Gizi Dasar. Jakarta : Gramedia.


Cahyadi, W. 2008. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta : Bumi Aksara.
Guthrie, E. Frank., dan J. J. Perry. 1990. Introduction To Enviromental
Toxycology. United States of America : General Graphies Services Inc.
Murray, R. K., D. K. Granner., P. A. Mayes., dan V. W. Rodwell. 2005. Biokimia
Harper. Jakarta : EGC.
Price, S. A. dan L. M. Wilson. 1995. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses - proses
Penyakit). Jakarta : EGC.
Robbins dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi I. Jakarta : EGC.
Roe, F. J. R. 1970. Metabolic Aspect Of Food Safety. London : Blackwell
Scientific.
Setyorini, D., S. Subiantoro., dan Selviawati. 2010. “Identifikasi Bahan Pewarna
Dan Pengawet Pada Saos Tomat Yang Beredar Di Kota Jember“.
Stomatognatic (J. K. G. Unej). Vol.7(1). Hal : 37- 44.
Sunarto. 2008. Teknik Pencelupan Dan Pengecapan. Jakarta : Pusat Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.

17

Anda mungkin juga menyukai