RHINOSINUSITIS
Oleh
Adib Wahyudi 1102010005
Arif Gusaseano 1102010033
Gwendry Ramadhany 1102010115
Pembimbing
dr. Arroyan Wardhana, Sp.THT
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Usia : 37 Tahun
Tanggal lahir : 01 Januari 1978
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Sunda
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Sukamelang, Subang
Tanggal Pemeriksaan : 19 November 2015
2
terasa menurun. Pasien menyangkal adanya demam. Keluhan tersebut sudah
dirasakan sejak ± 6 Bulan SMRS. Pasien mengaku sering berobat ke dokter untuk
mengatasi keluhannya tersebut.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal. Riwayat maag disangkal.
Riwayat asma disangkal. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penggunaan
obat dalam jangka panjang disangkal dan batuk-batuk lama disangkal.
Riwayat penyakit keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang dialami oleh
pasien. Riwayat hipertensi, penyakit kencing manis, dan penggunaan obat dalam
jangka panjang, dan batuk-batuk lama disangkal.
Riwayat Kebiasaan :
Riwayat kebiasaan merokok disangkal
3
STATUS LOKALIS
1. TELINGA
TELINGA KANAN TELINGA KIRI
TEST PENALA :
RINNE : Positif Positif
WEBER : Tidak ada lateralisasi tidak ada lateralisasi
SCWABAH : Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
TEST BERBISIK : tidak dilakukan tidak dilakukan
AUDIOGRAM : tidak dilakukan tidak dilakukan
4
2. HIDUNG
2.1. Rhinoskopi Anterior
Hidung Luar : edema(-/-),hiperemis(-/-),massa(-/-)
Vestibulum : tenang (+/+), rambut (+/+)
Lubang Hidung : mukosa hiperemis (-/+)
Rongga Hidung : lapang / sempit
Septum : Deviasi (-)
Konka Inferior : pucat(-/-), hipertrofi (-/+)
Meatus Inferior : sekret (+/+), polip (-/-)
Pasase Udara : (+/+)
5
3. FARING
Arkus faring : hiperemis (-)
Uvula : berada di tengah
Dinding Faring : hiperemis (-)
Tonsil : T1-T1. Kripta melebar (-),
detritus (-)
Palatum : Tenang
Post Nasal drip : (+)
Reflek Muntah : (+)
4. LARING
Laringoskopi Indirek
Epiglotis : Dalam batas normal
Plika Ariepiglotika : Dalam batas normal
Pita Suara Asli : Dalam batas normal
Pita Suara Palsu : Dalam batas normal
Aritenoid : Dalam batas normal
Rima Glotia : Dalam batas normal
Fossa Piriformis : Dalam batas normal
Trakhea : Dalam batas normal
5. MAKSILOFASIAL
Simetris
Nyeri tekan pada sinus
a. Frontalis (-/+)
b. Maksilaris (-/-)
c. Ethmoidalis (-/-)
d. Sfenoidalis (-/-)
7
IX. PENATALAKSAAAN
Non mendikamentosa :
Hindari faktor pencetus, makan dan minuman yang dingin
Banyak makan makanan yang mengandung vitamin c, bioflavonoids, dan omega 3
Olahraga yang teratur
Mendikamentosa :
Cefadroxil 2 x 500 mg
Ambroxol 3 x 30 mg
Decongestan 3 x 1 nasal spray
Vitamin C 1 x 500 mg
X. PROGNOSA
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
8
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari:
• tulang hidung (os nasalis),
• prosesus frontalis os maksila dan
• prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu:
• sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
• sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
• beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.
Pada dinding lateral terdapat:1
4 buah konka
- konka inferior
- konka media
9
- konka superior
- konka suprema (rudimenter)
kartilago nasalis lateralis superior
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
beberapa pasang kartilago alar minor
tepi anterior kartilago septum.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
10
II.1.2. Anatomi Sinus Paranasal
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior),
sinus maksila dan sinus kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara
dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari
sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap
berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak belum ada
sinus frontalis karena belum terbentuk.
Pada meatus Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Fungsi sinus paranasal
Membentuk pertumbuhan wajah
Sebagai pengatur udara (air conditioning)
Peringan cranium
Resonansi suara
Membantu produksi mukus
11
II.2. Sinusitis
II.2.1. Definisi
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyakit utamanya adalah selesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis.
Sinus paranasal yang sering terkena ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan sinus
frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut juga antrum
Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus,
disebut sinusitis dentogen.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena meyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
II.2.3. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar di dalam kompleks osteo-meatal. Mukus juga mengandung substansi
12
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama dengan udara pernapasan.
Organ-organ yang membentuk kompleks osteo-meatal letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap
rhinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
dengan rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan
ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi
kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan tindakan operasi.
13
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah
Streptococcus pneumonia (30 - 50%), Haemophylus influenzae (20 – 40%), da Moraxella
catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis paling sering ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada
lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan anaerob.
Sinusitis dentogen
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronis. Dasar
sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus
maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi. Bahkan kadang-kadang tanpa
tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi
jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah
dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila.
Sinusitis jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak
jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian
antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan
predisposisi antara lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS, dan perawatan yang
lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah
spesies Aspergilus dan Candida.
Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur pada kasus sebagai berikut: sinusitis
unilateral, yang sukar disembuhkan dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakan
tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwarna putih keabu-abuan pada irigasi antrum.
Para ahli membagi sinusitis jamur sebagai bentuk invasif dan non-invasif. Sinusitis
jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik indolen.
Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular. Sering terjadi
pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan imunosupresi seperti leukemia dan
neutropenia, pemakaian steroid lama dan terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan
invasi pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak
14
dinding sinus, jaringan orbita, dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa berwarna biru
kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering berakhir dengan
kematian.
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan
imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik progresif dan bisa juga
menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gambaran kliniknya tidak sehebat yang
bersifat fulminan karena perjalanan penyakitnya lebih lambat. Gejalanya seperti sinusitis
bakterial, tetapi sekretnya kental dengan bercak-bercak kehitaman, yang bila dilihat dengan
mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam
rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak sampai mendestruksi tulang. Sering
mengenai sinus maksila. Gejala klinis sering menyerupai sinusitis kronis berupa rinore
purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur juga di kavum nasi.
Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna cokelat kehitaman dengan atau tanpa pus
di dalam sinus.
Terapi untuk sinusitis jamur invasif ialah pembedahan, debridemen, anti jamur
sistemik, dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya. Obat standar ialah amfoterisin B, bisa
ditambah dengan rifampisin atau flusitosin agar lebih efektif. Pada misetoma hanya perlu
terapi bedah untuk membersihkan massa jamur, menjaga ventilasi dan drainase sinus. Tidak
diperlukan anti jamur sistemik.
15
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2
gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke
paru seperti bronkhitis (sino-bronkhitis), bronkhiektasis dan yang penting adalah serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis.
II.2.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah
adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut,
mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan pada
kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos
posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, air-fluid level, atau
penebalan mukosa.
CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan
dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis
sinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan
operator saat melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret
dari meatus medius/superior, untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi
bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui
meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.
16
II.2.7. Terapi
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di
kompleks osteo-meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-
klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama
10-14 hari walaupun gejala klinik sudah menghilang. Pada sinusitis kronik diberikan
antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
diatermi. Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin
generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement juga merupakan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua
jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik
setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
II.2.8. Komplikasi
Komplikasi sinusitis yang berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata, yaitu
sinus ethmoid, kemudian frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perikontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses periosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
17
kavernosus. Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural/subdural, abses
otak dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: Osteomielitis dan abses
periosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru seperti bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-bronkhitis. Selain itu, dapat juga
menyebabkan kambuhnya asma bronkhial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Mangunkusumo, Endang dan Damajanti Soetjipto. 2007. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 150-3.
Mangunkusumo, Endang dan Retno S. Wardani. 2007. Polip Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 123-5.
Adams GL,Boeis LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT BOEIS Edisi keenam:Anatomi
dan Fisiologi Telinga.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.1997.p; 30-38.
Braunwald, Eugene et al. 2009. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 17. Amerika
Serikat: McGraw-Hill.
19