Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di
atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi
kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan
darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi,
pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih
ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan
saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota
dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara
serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh
masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang
lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing,
yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.
Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-
negara yang mayoritas penduduknya Islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah
perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-
hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan
bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk
kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu A’lam bish-Showab.
F. BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa setiap muslim wajib mentaati
pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak
memerintahkan dengan suatu kemaksiatan. Adapun jika penguasa memerintahkan rakyatnya
dengan suatu kemaksiatan maka rakyat (kaum muslimin) dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban membayar pajak dengan berbagai
jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عةا لاطا ا صيا ِة فِى ا ِ َ عة إِنَ اما
ِ ّللا ام ْع َ ْال ام ْعروفِ فِى
الطا ا
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya
kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja.” (HR. Bukhari no.6830, dan Muslim
III/1469 no.1840).
Akan tetapi, bagaimana sikap kaum muslimin jika penguasa memaksa atau menggunakan
kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah melakukan perlawanan atau
pemberontakan?
Dalam keadaan demikian kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau
pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta
mereka diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang
yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa. Di dalam
hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwasiat kepada umatnya:
اى يا ْهت ادونا لا أائِ َمة با ْعدِى ياكون
سياقوم بِسنَتِى يا ْستانُّونا اولا بِه اد ا ين قلوب قلوبه ْم ِر اجال فِي ِه ْم او ا ِ ِشيااط َ ان فِى ال ِ ِإ ْنس جثْ ام. ْف ق ْلت قاا ال ْ ياا أ ا
صناع اكي ا
ّللا ارسو الِ َ ير اوتطِ يع ت ا ْس امع قاا ال ذالِكا أاد اْر ْكت ِإ ْن ِ ِما أل ل
ِ ْ
ن إو
ِِ اب
ا رض كا رهْ ا
ظ ا ذ ِخ أوا كا الما اع
ْ م س
ْ اا ف ع
ْ ِطا أوا
“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak
melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan
dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?”
Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun
punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR.
Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini.
Beliau mengatakan: “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar
sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta
kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan
berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum
muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).” (Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya
Al-Ashriyyah halaman.93)
Demikian penjelasan kami tentang hukum pajak dalam pandangan Islam. Jika ada kesalahan dan
kekurangan maka itu datangnya dari diri kami pribadi dan setan. Dan jika benar, maka ini
datangnya dari Allah Ta’ala semata. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi 17 Volume 2 / Juni 2011]
Persetujuan para
ahli/cendikiawan yang
berakhlak
PERBANDINGAN PAJAK KONVENSIONAL DENGAN PAJAK SYARIAH
1. Segi Definisi
Pengertian pajak (dharibah) dalam Islam berbeda dengan pajak atau tax dalam sistem ekonomi
kapitalis dan sosialis. Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya :
kondisi tertentu dan juga syarat tertentu, seperti harus adil, merata dan tidak membebani
rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah
mencukupkan diri dari sumber-sumber pendapatan yang jelas ada nashnya dan kembali kepada
sistem anggaran berimbang (balance budget).
pajak dibolehkan setelah zakat ditunaikan. Atau dengan kata lain, bayar zakat dulu baru
kemudian pajak dipungut.
Kewajiban pajak bukan karena adanya harta melainkan karena adanya kebutuhan mendesak,
sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi. Pemberlakuan pajak adalah situasional,
tidak harus terus menerus. Ia bisa saja dihapuskan bila baitul maal sudah terisi kembali.
Dalam hal unsur -unsur pajak, sebenarnya dalam pajak syariah sudah dapat dilihat pada
definisi pajak syariahnya yang dikemukakan oleh slah satu ulama yaitu menurut Abdul Qadim
unsure pajak syariah yaitu :
Sedangkan Pajak konvensional memiliki unsur-unsur yang berbeda dengan pajak syariah bila dilihat dari segi
subyek dan objek pajaknya sebagai berikut:
- Wajib pajak (subyek pajak) adalah bisa perseorangan atau badan usaha/perusahaan yang sudah
wajib bayar pajak.
3. Segi Ciri-cirinya
Ternyata pajak syariah memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda dengan pajak konvensional. Dalam hal ini lah
kita bisa membedakan secara pasti dan jelas antara kedua pajak ini yang memiliki cirri-ciri yang saling berbalik.
Perbedaan dari segi ciri-cirinya dapat dibandingkan sebagai berikut :
a. P a j a k ( dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh dipungut ketika di
baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mals u d a h t e r i s i k e m b a l i , m a k a k e w a j i b a n
pajak bisa dihapuskan. Berbedadengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak
a d a l a g i p i h a k y a n g membutuhkan (mustahik). Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional adalah
selamanya (abadi).
b. P a j a k ( dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kau m
muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk p e m b i a y a a n w a j i b t e r s e b u t , t i d a k
b o l e h l e b i h . S e d a n g k a n p a j a k d a l a m perspektif konvensional ditujukan untuk seluruh warga tanpa
membedakanagama.
c. P a j a k ( dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-muslim. Sedangkan teori pajak
konvensional tidak membedakan muslim dan non -muslim dengan alasan tidak boleh ada diskriminasi
d. P a j a k ( dharibah) h a n y a d i p u n g u t d a r i k a u m m u s l i m y a n g k a y a , t i d a k dipungut
dari selainnya. Sedangkan pajak dalam perspek tif konvensional, kadangkala juga dipungut atas orang
miskin, seperti PBB.
UUD 1945
UU No.17/Th.2000-Pajak Penghasilan(PPh)
UU No.18/Th.2000-Pajak Pertambahan Nilai Barang/ Jasa dan Pajak Penjualan Barang atas Barang
Mewah
PP No.24/Th.2000-Bea Materai
Sedangkan dalam pajak syariah, secara umum dasar hukumnya berdasarkan Al-quran dan Hadits. Tapi di
Indonesia dasar hukumnya selain berdasarkan Al-quran dan Hadits juga lebih kepada dasar hukum dalam
penerapan transaksi pajak syariahnya saja, yaitu diantaranya :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. nomor 25 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan kegiatan
usaha berbasis syari’ah
Rancangan Undang Undang Perpajakan (RUU) tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
transaksi Murabahah pada Bank Syariah. Meskipun demikian, karena RUU tersebut belum resmi
diundangkan, saat ini aturan yang masih berlaku atas transaksi tersebut adalah Surat Edaran (SE) dari
Dirjen Pajak yang menyatakan bahwa transaksi tersebut merupakan jual beli biasa yang dikenakan PPN.
5. Segi Fungsi
Pada pajak syariah selain ada fungsi budgetair dan regulair, juga berfungsi sebagai fungsi distribusi,
pendorong investasi dan konsumsi serta pengatur kebijakan moneter. Sedangkan pajak konvensional, selain
fungsi budgetair dan regulair juga terdapat fungsi stabilitas dan fungsi retribusi pendapatan.
Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain.
Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa
nafsu.
Terlihat bahwa kesamaan antara syarat pemungutan pajak syariah dan pajak konvensional adalah
menutamakan akan keadilan. Sisanya dalam pajak syariah syarat lainnya lebih kepada kesejahteraan dan juga
pertimbangan yang benar-bennar harus diperhatikan dalam pemungutan pajak, sedangkan konvensional lebih
kepada keefesienan dalam pemungutan pajak.
Dalam perpajakan syariah terdapat beberapa transaksi khusus dibandingkan dengan transaksi yang terjadi
dalam pajak konvensional yang hanya terjadi Transaksi Umum saja. Transaksi-transaksi yang terjadi dalam pajak
syariah yang khusunya terkena pada usaha berbasis syariah yaitu dengan menggunakan pendekatan :
c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik dan
Dari transaksi tersebut tentu saja akan berimplikasi pada perbedaan yang menyebabkan perlakuan
perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka
perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah
menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya
terkait dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu,
apabila ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari
kegiatan usaha tersebut.
Unsur-unsur Pajak Obyek Pajaknya adalah Harta, Subyek pajaknya adalah bisa perseorangan
atau badan usaha/perusahaan yang sudah
sedangkan Subyek pajaknya
wajib bayar pajak.
adalah kaum muslim yang Kaya
Obyek pajak adalah seperti pendapatan,
peristiwa/kejadian, dan lain-lain
Jenis pajak Pajak Langsung, Pajak Tidak Pajak kas, pajak persediaan, pajak piutang,
Langsung, Pajak Negara pajak pangan, pajak ineffisiensi
atau Pajak, Pusat,Pajak
Daerah, Pajak Subjektif, Pajak
Objektif
Syarat pemungutan · Pemungutan pajak harus · Benar – benar harta itu dibutuhkan dan
adil tak ada sumber lain.
- Hanya dipungut
dari kaum muslim
yang kaya
- H a n y a d ipungut
sesuai dengan jumlah
pembiayaan
yang diperlukan, tidak
boleh lebih
Landasan Teori Pajak teori kekuasaan (pajak Teori beban umum, teori
sebagai upeti), teori khilafah, teori pembelaan
perjanjian, antara pribadi dan
masyarakat, teori
persaudaraan
Soni Devino dan Siti Kurnia Rahayu,Perpajakan : Konsep, teori dan isu,Kencana, 2006