Anda di halaman 1dari 5

MOJOK.

CO – Mendengar kisah seputar Konflik Poso dari sisi lain yang belum pernah
diulas sebelumnya, mulai dari humor ironi hingga sarkasme.

“Komandang Mas Bro, ada di kantor, kah? Saya sedang ada di Yogya. Saya mau mampir
ke tempat Komandang, kalo bole.”

Pesan SMS itu masuk ke HP saya. Barang tentu, saya sambut dengan gembira
permintaan salah satu eks-komandan perang Tentena kubu Nasrani di konflik Poso ini,
Jimmy Methusala.

Lepas Magrib ia tiba. Singkat saja kunjungannya, seusia satu cangkir kopi dan 2-3 batang
rokok.

“Jadi ada kegiatan apa ngana di Yogya?”

“Oh, itu Mas Bro, saya diundang mengikuti workshop tentang food security. Besok
acaranya mulai. Ngomong-ngomong, apa sih food security itu?”

“Pasti terkait isu-isu pangan. Kedaulatan pangan, pangan impor pangan lokal, organik dan
non-organik. Gitu-gitulah.”

“Oh, saya pikir food security itu makanan satpam.”

Konflik berdarah Poso terjadi beberapa fase, sejak akhir 1998 sampai sekisar paruh tahun
2000. Dendam, marah, kesedihan, luka dan entah apa lagi pasti berada di sekitar para
korban dan pelaku konflik sosial, begitu juga Jimmy. Tapi, Jimmy dan kawan-kawan,
terhadap orang-orang eks musuhnya di dalam konflik itu, telah menjalin rekonsiliasi unik
tanpa campur tangan negara.

Malah, Jimmy telah membuat catatan atas kejadian-kejadian lucu pada periode penuh
luka tersebut. Baik ironi maupun sarkasme, semua keluar seperti yang dibayangkan Freud
dalam teorinya tentang pelepasan inhibisi. Dorongan agresif yang mengendap di bawah
sadar, kemudian dikeluarkan lewat humor, dan plong.

Jadi, marilah kita membaca kisah-kisah Jimmy.

Ijazah SMA Ketinggalan


Ketika kampung kami dibakar, setelah mendengar saran untuk mengambil dokumen-
dokumen penting seperti ijazah, seorang teman langsung lari tergopoh-gopoh turun dari
gunung ke rumahnya.

”Kau mau kemana?” seseorang mencegatnya.

”Ke rumah! Ijazah SMA-ku tertinggal.”

”Hah? Ijazah SMA? Kau, kan, tidak tamat SMA?!”

”Tuhang Allah, betul! Saya lupa!” katanya sambil menekuk muka.

Pengungsi Kutuan

Kali lain, seorang pengungsi marah-marah datang menghampiri Jimmy, gerundelan:

”Jangan-jangan, PMI (Palang Merah Indonesia) itu gila.”

”Tenang. Duduk dulu. Ada apa dengan PMI?”

”Ketika saya dengar ada pemeriksaan kesehatan dari PMI, beramai-ramai kami datang
untuk memeriksa kesehatan. Sampai di sana, seorang petugas PMI bertanya, ‘Bapak
kenapa mengungsi?’ Saya pikir ini pertanyaan bodoh yang tak perlu dijawab. Seluruh
dunia juga tahu kami mengungsi karena ada konflik. Tapi, yang lebih bodoh lagi, ia
memberikan sebotol obat tanpa menjelaskan apa gunanya obat itu. Mungkin vitamin, pikir
saya. Sampai di luar, saya baca baik-baik tulisan di botol obat itu. Di situ tertulis Peditox,
obat kutu rambut! Saya masuk lagi ke dalam menemui petugas PMI tadi dan bilang, ‘Jadi
kau pikir saya mengungsi karena ada kutu rambut masuk ke otak saya, kah?’”

Baca juga: Rabun Dekat dan Dua Juta Orang Murtad

Teringat Peliharaan

Ada seorang tua yang juga pengungsi dan paling rajin mengunjungi kami. Ia seorang guru
yang kami hormati di Poso.

Suatu hari, dia memperhatikan teman kami yang diam saja dan tidak ikut bersenda gurau.
Katanya,
”Sudahlah, tidak usah kau pikirkan apa yang menimpa kita. Anggap saja semua ini
cobaan.”

”Saya tidak apa-apa, Om. Rumah saya baru satu kali dibakar, sedangkan rumah Om
sudah dua kali dibakar, tahun 1998 dan bulan lalu. Om yang rumahnya sudah dibakar dua
kali saja masih tenang-tenang, apalagi saya yang baru satu kali.”

Ia diam sebentar, lalu melanjutkan, “Yang saya pikirkan monyet saya, Om. Siapa yang
akan memberinya makan?”

Ya, ia memang memelihara monyet yang sempat ia lepaskan ketika kami mau lari.

Benarkah Damai Itu Indah?

Pada tanggal 14 – 20 Desember 2001. diselenggarakan pertemuan Molimo, eh Malino,


oleh pemerintah, untuk memfasilitasi proses rekonsiliasi dan perdamaian. Sayangnya
pertemuan ini cenderung hanya melibatkan para tokoh dan elite.

Suatu hari setelah pertemuan Malino, kami duduk-duduk di beranda Limbue (tempat
berkumpul dan membicarakan sesuatu), rumah tua tempat kami tinggal. Rumah itu
terletak di atas punggungan bukit, yang dapat dengan jelas melihat orang lalu-lalang di
bawah.

Lalu kami melihat seorang teman yang berdiri menatap sebuah spanduk bertuliskan
“Damai Itu Indah,” sambil tertawa-tawa. Penasaran, kami lalu memanggil teman itu untuk
naik ke Limbue.

“Kau kenapa?”

“Saya tadi diajak untuk ikut pertemuan sosialisasi deklarasi Malino. Selesai pertemuan,
saya diminta menandatangani daftar hadir. Ketika mau pulang, saya diberi amplop berisi
uang.”

“Terus apa hubungannya dengan tingkahmu tertawa-tawa di bawah spanduk tadi?”

”Tulisan di spanduk itu salah,” ujarnya polos dan membingungkan kami semua.

”Seharusnya yang ditulis di situ adalah, ‘Ternyata, Dana Itu Indah’.”

Ya Tuhan, Saya Cuma Menyamar


Sejak 2003, kelompok Islam dan Kristen sering kali berkonflik. Dari konflik ini, dikenallah
nama Desa Tokorondo yang sempat hancur diserang pasukan Kristen, sekaligus desa
yang dianggap momok bagi warga Kristen. Cerita berikut menggambarkan bagaimana
warga Kristen sering merasa takut melewati Tokorondo.

Seorang ibu beragama Kristen, mendapat kabar anaknya yang sudah selesai kuliah akan
diwisuda di Palu. Sang anak sangat ingin ibunya hadir saat wisuda, tapi keamanan belum
kondusif karena masih ada upaya sweepingKTP oleh masyarakat Muslim. Namun
akhirnya, sang ibu tetap naik bus ke Palu.

Baca juga: Dalam Diriku, Agama Mencerahkanku, dalam Masyarakat, Agama


Menindasku

Hari itu, bus akan melewati daerah muslim. Dari dalam mobil kelihatan pos-pos palang
masyarakat yang melakukan sweeping KTP. Si ibu mulai ketakutan dan berpikir keras
mencari kiat. Sehelai selendang ia atur dan kenakan sedemikian rupa menyerupai jilbab.
Di sebuah pos palang, bus berhenti, lalu seorang pemuda masuk.

“Ada penumpang nasrani di mobil ini!?” teriaknya lantang.

Ibu itu diam dan berdoa dalam hati.

“Tidak ada,” jawab supir.

Bus melanjutkan perjalanan. Di kampung berikutnya, terjadi peristiwa serupa, tapi bus
tetap bisa melanjutkan perjalanan.

Satu desa lagi yang harus dilewati, yaitu Tokorondo. Si ibu semakin ketakutan. Di pos
masyarakat, bus dihentikan, dua orang pemuda masuk.

“Ada penumpang Nasrani di bus ini?” Si ibu mengatur letak “jilbabnya” dan pura-pura
tertidur.

Supir menjawab, “Tidak ada.” Bus kembali bergerak gontai. Si ibu merasa lega.

Lewat sudah daerah yang menakutkan itu. Tapi, si ibu kemudian galau dan bertanya
dalam hati: apakah ia telah melakukan dosa dengan mengubah selendangnya menjadi
jilbab? Ia merasa telah mengkhianati agamanya.
Dengan perasaan bersalah, ia berdoa, “Ya Tuhan, saya tidak berhianat. Saya cuma
menyamar.”

Sudah Azan, Harus Solat Dulu

Ketika pasukan Jimmy menyerang basis pasukan Ateng, alias Andi Baso Thahir (tokoh
kombatan Muslim dari Desa Tokorondo) yang rupanya tak berpenghuni, pasukan Jimmy
menulis di sebuah tembok: “Pasukan Jet Li baru dari sini.”

Hal ini kemudian dibalas oleh pasukan Ateng ketika melakukan serangan ke basis
pasukan Jimmy, dengan tulisan: “Pasukan Van Dam baru dari sini.”

Ketika akhirnya mereka saling baku tembak dan serang secara berhadapan, terdengarlah
suara azan dari sebuah masjid. Maka, pasukan Ateng berteriak, “Hoi, berhenti dulu, ya?
Kami mau salat dulu.”

Permintaan ini kemudian dibalas oleh suara dari pasukan Jimmy, “Oke…”

Pertanyaan Para Pembela Agama

Dalam satu kesempatan, ketika kedua kelompok tersebut bertemu dan berdialog, Jimmy
pernah menyatakan,

“Coba Kawan-Kawan pikirkan, kita berperang, masing-masing membela agama dan


keyakinannya. Eehh… Ketika penghakiman terakhir, ternyata yang masuk surga adalah
orang-orang yang tidak beragama. Apakah Kawan-Kawan berani protes ke Tuhan?”

Dari Lawan Jadi Kawan

Keakraban Jimmy dan Ateng sudah melebihi keakraban seorang teman. Lebih mirip
seperti saudara yang bisa saling mengingatkan dan mendukung.

Bila isu yang potensial menyulut kerusuhan merebak di Poso, mereka saling baku kontak
untuk cek dan ricek.

Malah, di antara eks kombatan kedua kubu, telah tercipta EWSBMK, Early Warning
System Berbasis Mantan Kombatan

Anda mungkin juga menyukai