Anda di halaman 1dari 12

ANALISA DAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI

(dalam kajian teoritis dan kerangka Peraturan Kapolri


Nomor 10 Tahun 2010 tentang pengelolaan barang bukti)

Oleh
Akhmad Wiyagus*

I. Pendahuluan

Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana merupakan suatu tanggung jawab

yang besar yang diemban oleh seorang penyidik. Muaranya adalah terbuktinya

sebuah tindak pidana di pengadilan dan memperoleh keputusan yang memiliki

kekuatan hukum tetap. Namun permasalahan timbul ketika pembuktian tindak

pidana tersebut tidak kuat, dan tidak dapat membentuk keyakinan Hakim bahwa

telah terjadi suatu tindak pidana, yang bagi Hakim akan menjadi dasar adanya

penjatuhan hukuman terhadap terdakwa.1

Banyak hal yang dapat melemahkan pembuktian tersebut, salah satu diantaranya

adalah alat bukti yang ada tidak dapat diterima di pengadilan ( not admissible at

court ). Banyak hal yang menyebabkan sebuah barang bukti tidak dapat diterima

menjadi alat bukti di pengadilan, proses ekstraksi atau pengambilan barang bukti

yang tidak profesional, tidak ada kesesuaian antara perkara dengan alat bukti

yang ditampilkan, atau hal - hal lain yang merupakan kesalahan dari penyidik.

Terkait dengan hal itu, makalah ini akan mengkaji proses analisa dan pengelolaan

barang bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Harus diakui bahwa kajian

ini hanya merupakan kajian singkat dan hanya menyentuh permasalahan secara

                                                            
1
 Republik Indonesia,  Undang – Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang  Hukum Acara Pidana, pasal 183.  


 
teoritis sehingga tidak dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan tugas penyidik di

kemudian hari. Diperlukan literatur dan pelatihan yang lebih mendalam bagi setiap

penyidik, agar lebih memahami bagaimana memanfaatkan barang bukti secara

efektif guna kepentingan pembuktian perkara yang sedang ditangani.

II. Proses pengumpulan dan analisa data

Terlepas dari apapun definisi yang diberikan dalam aturan perundang - undangan

kita mengenai pengertian penyidik dan penyelidik, dan tugas yang

diembannya,2ada hal yang bisa digeneralisir bahwa fungsi dari seorang penyidik

dan penyelidik adalah nyaris serupa dengan seorang peneliti, yaitu mencari fakta

dan kebenaran. Untuk itu seorang penyidik dan penyelidik harus memiliki

kemampuan untuk melakukan pengumpulan dan analisa data.

Secara teori, pengumpulan dan analisa data dalam proses penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana adalah sebagai berikut

Penyusunan hipotesa 
 Ditemukan Mens 
Penyelidikan 
Mendapatkan data awal  rea  danactus reus 
Penyusunan rencana 
kegiatan 

Penyidikan 

Data mining 

Data awal  Data refinery 
didapatkan dari  
Data clasification

                                                            
2
 Ibid, pasal 1,4,6, 


 
Penting bagi seorang penyidik untuk memperoleh data awal untuk kemudian

ditelaah serta digunakan untuk mengambil hipotesa awal. Seorang penyelidik

dan penyidik, sebelum memulai kegiatan penyidikan maupun penyidikan, harus

dapat menggali data sebanyak - banyaknya dari data yang sudah dimiliki

( data mining ) untuk kemudian dilakukan penyaringan ( data refinery ) guna

mengetahui data yang layak digunakan maupun tidak, serta melakukan

pengelompokan dan analisa dari data yang sudah mengalami proses

penyaringan tersebut.

Dari semua data yang sudah melalui proses diatas, kemudian seorang penyelidik

atau penyidik harus mampu menyimpulkan hipotesis ( menduga - duga )

peristiwa apa yang terjadi, dengan cara menyimpulkan hubungan - hubungan

atau interkoneksi antara data tersebut. Penyusunan hipotesis ini sangat berguna

untuk mempersempit ruang lingkup penyelidikan dan menghemat waktu serta

sumber daya dalam proses lidik.

Tahap berikutnya adalah memperdalam data yang ada untuk mencari perbuatan

pidana ( actus reus ) maupun motif dari perbuatan pidana tersebut ( mens rea).

Sampai di titik ini seorang penyidik harus tetap obyektif. Seorang penyelidik

harus berusaha sekuat tenaga untuk dapat menemukan motif kejahatan dan

perbuatan yang terjadi untuk memutuskan apakah sebuah kejadian atau insiden

layak dinaikkan statusnya ke tingkat penyidikan.


 
III. Analisa barang bukti

Terminologi barang bukti memang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam

KUHAP. Kata barang bukti tersebut muncul dalam pasal 181 KUHAP tentang

kewajiban Hakim untuk menunjukkan barang bukti yang ada kepada terdakwa

dan saksi, serta pasal 39 ayat 1 KUHAP terkait dengan penyitaan barang.

meskipun dalam hukum acara kita tidak diatur secara eksplisit apa yang

dimaksud dengan barang bukti, dan hanya menjelaskan mengenai pengertian

alat bukti,3 dalam pembahasan ini barang bukti akan dimaknai sebagai seluruh

dokumen atau barang yang digunakan oleh penyidik maupun penyelidik dalam

proses penyelidikan sebuah perkara, sedangkan alat bukti adalah barang bukti

yang sudah ditampilkan ke pengadilan dalam sebuah proses persidangan.

Menurut Andi Hamzah ciri - ciri benda yang dapat menjadi barang bukti adalah :

1. Merupakan objek materiil;

2. Berbicara untuk diri sendiri;

3. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian

lainnya;

4. Harus diidentifikasi dengan saksi dan keterangan terdakwa.4

                                                            
3
 Ibid, pasal 184 
4
 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 254.  


 
Barang bukti merupakan komponen penting dari penyelidikan tindak pidana

korupsi. Dari barang bukti terutama yang bersifat dokumen minimal dapat

diketahui :

1. Orang - orang yang berperan dalam peristiwa pidana tersebut;

2. Tanggal - tanggal penting yang berguna bagi penyusunan kronologis

perkara;

3. Back ground story atau cerita yang mendasari adanya terjadinya tindak

pidana tersebut.

Namun, sebelum barang bukti tersebut berbicara, harus diingat bahwa biasanya

barang bukti terkait dengan proses penyelidikan tindak pidana korupsi sangat

banyak. Hal ini terjadi karena penyelidik atau penyidik biasanya punya

kecenderungan untuk mengambil dokumen apa saja, terkait dengan penyelidikan

perkara yang ditangani, salah satu sebabnya adalah karena waktu pengumpulan

dokumen biasanya terbatas dan adanya pembatasan - pembatasan oleh

undang - undang yang berlaku.

Banyaknya dokumen atau barang bukti yang ada sering menjadi masalah dalam

proses analisa barang bukti. Terkait dengan hal ini, menjadi penting bagi seorang

penyelidik untuk mencari barang bukti yang relevan terkait dengan perkara.

Harus diingat, bahwa tidak selamanya dokumen yang diperoleh oleh penyidik

penting bagi penyelidikan maupun penyidikan. Association Certified Fraud

Examiner sendiri mengatakan bahwa dokumen yang diperoleh tersebut seorang

penyidik atau penyelidik memiliki 2 ( dua ) sifat :


 
1. Dapat menolong proses penyidikan atau penyelidikan sebuah perkara;

2. Dapat menciderai proses penyidikan atau penyelidikan perkara tersebut.

Lebih lanjut lagi Association Certified Fraud Examiner menjelaskan bahwa kedua

hal tersebut terjadi tergantung dari bagaimana seorang penyidik atau penyelidik

tersebut melakukan analisa maupun mengelola barang bukti yang ada sehingga

menjadi alat bukti yang diterima di pengadilan.5

Perlu diingat bahwa relevansi dari sebuah barang bukti tidak dapat dengan

mudah ditentukan diawal penyelidikan, maka untuk itu diperlukan analisa

mendalam oleh penyelidik, dengan cara melakukan penyaringan dan menyusun

klasifikasi dokumen sebagaimana sudah dijelaskan diatas. Namun yang paling

penting bahwa proses analisa tersebut tidak menyebabkan adanya perubahan

maupun kerusakan dari dokumen tersebut.

Ada aturan dasar mengenai bagaimana sebuah dokumen dikumpulkan guna

kepentingan penyelidikan dan penyidikan antara lain :

1. Apabila mungkin dapatkan dokumen yang asli;

2. Buat copy dari dokumen tersebut sebagai kertas kerja bagi penyelidik dalam

menganalisa dokumen tersebut;

3. Usahakan bahwa dokumen yang asli disimpan secara terpisah dan aman;

4. Jangan pernah mengakses dokumen asli terlalu sering. Apalagi dokumen

yang berbentuk data digital karena ada mungkin ada kepentingan

pembuktian forensik yang bisa dilakukan, antara lain pembuktian keaslian

tanda tangan, waktu pembuatan dokumen, umur tinta dan lain - lain;

                                                            
5
 ACFE, International Fraud Examiners Manual 2013, 3.101 


 
5. Buat sistem penomoran dan filling terhadap dokumen tersebut, terutama

apabila penyelidik maupun penyidik menerima dokumen atau barang bukti

dalam jumlah besar. Penomoran dan fillng tersebut sangat penting karena

dapat menjaga chain of custody dari dokumen atau barang bukti tersebut.6

Terkait dengan pengorganisasian dokumen atau barang bukti yang besar dapat

dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Pemisahan dokumen. Secara umum penyelidik maupun penyidik harus

mampu untuk mampu untuk melakukan pemisahan dokumen atau barang

bukti yang terkait

a. Dengan saksi – saksi yang diperiksa

b. Peristiwa, atau kronologis kasus sesuai dengan temuan awal atau

hipotesa yang kita buat

2. Tentukan barang bukti kunci, atau barang bukti yang akan sering digunakan

untuk kepentingan penyidikan maupun penyelidikan. Barang bukti kunci

tersebut harus disisihkan karena akan sering digunakan dalam proses

penyelidikan. Barang bukti kunci tersebut harus sering di review karena

penyelidikan mengalami dinamika dan selalu membuat back up dari

dokumen tersebut.

3. Database barang bukti harus dibuat segera setelah dokumen atau barang

bukti tersebut didapatkan dan dilakukan penomoran serta kode yang mudah

dimengerti penyelidik, penyidik atau pihak - pihak lain yang memerlukan

barang bukti tersebut.

                                                            
6
 ibid 


 
4. Membuat dokumentasi, atau mutasi dari pergerakan barang bukti tersebut,

maupun rencana kerja kedepan terkait dengan penggunaan barang bukti

tersebut ( pembuatan To do list ). 7

Hipotesa atau kronologis kasus merupakan hal yang harus ditentukan diawal

ketika kita akan mengelola atau menganalisa barang bukti. Dengan

menggunakan kronologis yang kita buat, kita akan dengan mudah menyusun

barang bukti yang mungkin relevan guna pembuktian kasus yang sedang

ditangani.

Sebagai rangkuman, pengelolaan barang bukti dan analisa barang bukti tersebut

akan berhasil apabila seorang penyelidik maupun penyidik yang melakukan

analisa dan pengelolaan paham benar mengenai pasal atau perkara yang

dipersangkakan, kemudian sudah memiliki konstruksi kasus yang dibuat dari

hipotesa maupun data awal, dimana konstruksi kasus tersebut dapat selalu di

update sesuai dengan fakta yang didapatkan. Konstruksi kasus tersebut juga

berguna untuk mengetahui peran masing - masing pihak yang terlibat dalam

perkara yang dianalisa serta barang bukti yang mendukung peran orang - orang

tersebut.

Untuk mempermudah, dalam sebuah barang bukti kita dapat menggali apa yang

ada di dalamnya dengan menggunakan alat bantu TED dan 5W 1H yang sering

digunakan untuk menyusun pertanyaan terhadap terperiksa. TED ( Tell me,

Explain, Describe ) merupakan hipotesa kita sendiri mengenai kegunaan alat

bukti tersebut dalam penanganan perkara. Sedangkan 5W 1H

                                                            
7
 Ibid, 3.103 


 
( What, Where, When, Who, Why, How ) merupakan sarana refinering

( penyaringan ) antara lain,

1. Apa hubungan antara barang bukti dengan perkara yang sedang dilakukan

penyelidikan;

2. Dimana dan kapan peristiwa yang diduga tindak pidana tersebut terjadi;

3. Siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tersebut, dan;

4. apa yang mendasari dibuatnya dokumen tersebut.

diterimanya barang bukti sebagai alat bukti di pengadilan

Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita menjaga barang bukti dapat

diterima oleh pengadilan sebagai alat bukti. Sesuai dengan pasal 184 KUHAP,

alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk dan

keterangan terdakwa, dimana alat bukti tersebut kemudian diperluas dengan

adanya Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi

elektronik ( ITE ) yang menjelaskan bahwa informasi elektronik dan / atau

dokumen elektronik dan / atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum

yang sah8.

Dalam praktek terkadang sebuah alat bukti gagal untuk memperkuat perkara

yang sedang disidangkan dikarenakan kegagalan penyidik dan penyelidik dalam

proses pengambilan dan pengelolaan barang yang akan dijadikan alat bukti di

pengadilan. Yang memperburuk keadaan ini adalah terkadang, seorang penyidik

merasa cukup puas apabila berkas perkaranya sudah diterima oleh penuntut

                                                            
8
 Republik Indonesia, Undang – Undang  Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan 
Transaksi elektronik , pasal 5. 


 
umum, tanpa mempedulikan kualitas analisa dan pengelolaan barang bukti yang

ada.

Menjaga kualitas dan admisibilitas barang bukti, meskipun dianggap sepele,

sangat penting untuk dilakukan, karena sebagaimana diterangkan diatas, barang

bukti memiliki dua sifat yang sangat bertolak belakang, memperkuat perkara,

atau bahkan menciderai perkara yang dipersangkakan.

Dalam dunia peradilan di Indonesia, terkenal istilah dua alat bukti yang sah guna

membentuk keyakinan hakim dalam mengambil keputusan.9 Sehubungan

dengan hal tersebut, penting bagi seorang penyelidik maupun penyidik untuk

memahami aturan atau protokol pengambilan alat bukti sesuai dengan hukum

acara yang berlaku di yuridiksi dari penyidik maupun penyidik tersebut agar

memenuhi beberapa persyaratan yang secara teori dijelaskan sebagai berikut :

1. Dapat diterima di pengadilan ( admissible );

2. Orisinalitasnya terjaga ( authentic );

3. Dapat membantu menjelaskan sebuah perkara secara lengkap ( complete );

4. Prosedur pengambilan, dan pengelolaan barang bukti dapat diuji dan

dipertanggung jawabkan ( reliable );

5. Alat bukti tersebut disajikan dengan baik dan dapat dimengerti seluruh pihak

yang mengikut persidangan ( believable ).10

                                                            
9
 Above n 1, pasal 183 
10
 Scott M Giordano, “Electronic Evidence and the Law”, Information systems frontiers(Netherlands, 2004) 161. 

10 
 
Teori diatas, dapat diaplikasikan secara general di yuridiksi manapun, tinggal

kecermatan, keterampilan dan pengetahuan seorang penyidik maupun

penyelidiklah yang kelak akan menentukan kualitas sebuah barang bukti yang

digunakan untuk menuntaskan sebuah perkara.

IV. Pengelolaan barang bukti oleh Polri berdasar Perkap Nomor 10 Tahun 2010

Pengelolaan barang bukti oleh Polri sudah diatur pelaksanaannya berdasarkan

Perkap Nomor 10 Tahun 2010 tentang pengelolaan barang bukti di lingkungan

Kepolisian Republik Indonesia dimana dalam pelaksanaannya tetap mengacu

pada prinsip - prinsip legalitas, transparan, proporsional, akuntabel, efektif dan

efesien. Legalitas artinya prinsip pengelolaan dilaksanakan mengacu pada

hukum acara yang berlaku yakni KUHAP, baik dalam rangka proses

penyitaannya, maupun menjaga agar barang bukti tersebut tetap terjaga chain of

custodynya.

Transparan proporsional dan akuntabel sendiri mengacu kepada proses

pencatatan dan penyimpanan barang bukti atau barang sitaan tersebut, hal ini

mengacu pada proses dimana barang bukti yang ada harus tetap

dipertanggungjawabkan keberadaannya, pengelolaannya dan penggunaannya

dalam rangka penyidikan maupun penyelesaian perkara, dimana dalam hal ini

berarti barang bukti tersebut sudah diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam Peraturan Kapolri ini, juga diatur pejabat pengelola barang bukti yang

selanjutnya disingkat PPBB, dimana pejabat ini adalah anggota Polri yang

mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, menyimpan, mengamankan,

11 
 
merawat, mengeluarkan dan memusnahkan benda sitaan dari ruang atau tempat

khusus penyimpanan barang bukti.

Harus diakui bahwa terkait dengan pengelolaan barang bukti yang dilakukan oleh

PPBB, Polri masih sangat tergantung dari fasilitas yang dimiliki oleh

Kemenkumham, seperti rupbasan. Sedangkan dalam konteks uang, pada saat

ini Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim sudah menjalin kerjasama

dengan Bank Mandiri untuk menerbitkan rekening khusus yang digunakan

sebagai tempat penyimpanan barang bukti uang dalam hal fisik uang tersebut

tidak dipentingkan dalam proses pembuktian, dan Bank Mandiri juga sudah

menyediakan brankas dalam konteks uang sitaan diperlukan fisiknya, seperti

pentingnya nomor seri uang, pita pengikat dan lain - lain yang terkait langsung

dengan tindak pidananya. Diharapkan kedepannya, ada suatu mekanisme dan

fasilitas khusus terkait dengan pengelolaan barang bukti yang dilakukan oleh

penegak hukum baik Kepolisian maupun Kejaksaan sehingga memungkinkan

adanya tata kelola pengelolaan barang bukti yang baik dan didukung dengan

fasilitas dan anggaran yang memadai.

Jakarta, November 2016

12 
 

Anda mungkin juga menyukai