Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas
rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul “Demam
Tifoid”. Penulisan laporan kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh
kepanitraan klinik di bagian departemen ilmu kesehatan anak.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan laporan kasus ini tidak terlepas dari
bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama
kepada konsulen yang telah memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan
padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari penulisan presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan presentasi kasus ini. Akhir kata penulis
berharap penulisan presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Serang, Juli 2018

Penulis
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. K
Umur : 7 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : Serang, 4 April 2011
Agama : Islam
Alamat : Sawah Kasemen
Masuk IGD : 10 July 2018
Masuk Ruangan : 11 July 2018
Ruang Rawat : Flamboyan 3 (3 bed 1)

IDENTITAS ORANG TUA PASIEN

Data orang tua Ibu Ayah


Nama Ny. K Tn. S
Agama Islam Islam
Pendidikan Tamat SLTA Tamat SLTP
Pekerjaan TKW dan Ibu Rumah Buruh
Tangga

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan orang tua pasien pada 11 July 2018
Keluhan utama :
Demam
Keluhan tambahan :
Sakit perut, mencret
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa orangtuanya ke IGD dengan keluhan demam sudah 7 hari SMRS. Pola demam
naik turun, demam tinggi saat malam hari disertai menggigil, saat 5 hari SMRS pasien di
bawa ke klinik, sempat sembuh namun kembali demam lagi. Lalu pasien mengeluh sakit
perut dan mencret 2x sehari, BAB cair tidak disertai darah, tidak disertai lendir. Nafsu makan
pasien berkurang. Pasien memiliki kebiasaan jajan di pinggir jalan dan tidak dibiasakan cuci
tangan sebelum makan oleh orang tuanya. Orangtua pasien menjelaskan bahwa anaknya
sangat suka minum teh, saat puasa anaknya hanya minum teh gelas saat berbuka. Beberapa
bulan terakhir pasien tidak memiliki riwayat berpergian ke luar kota, keluhan tidak disertai
gusi berdarah, tidak ada pilek, tidak ada keluhan nyeri otot di seluruh badan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat sakit serupa : Pasien pernah dirawat di Puskessmas saat usia 4 tahun
dengan diagnosis Demam Typhoid selama 4 hari
- Riwayat alergi obat/makanan: Pasien gatal-gatal saat makan ikan tongkol dan udang
- Riwayat batuk lama : tidak ada
- Riwayat asma : tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : tidak ada
- Riwayat alergi : tidak ada
- Riwayat batuk lama : tidak ada
- Riwayat asma : tidak ada

Riwayat Persalinan
Anak ke 1 dari 2 bersaudara
BBL : 3100 gr
PB :-
Persalinan oleh Dukun
Usia kehamilan : 9 bulan
Tidak ada kelainan
Lahir tanpa bantuan alat
Langsung menangis

Riwayat imunisasi:
Hepatitis B :-
Polio :-
BCG :-
DPT :-
Hib :-
Campak :-
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Perkembangan :
Orang tua hanya dapat menyebutkan anaknya berjalan usia 1 tahun

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda Vital
- Nadi : 115 x/menit
- RR : 22 x/menit
- Suhu : 36,1 oC (axilla)
Antropometri
- BB : 18 kg
- TB : 110 cm
- LK : 50 cm
- Status gizi : BMI : 14,87
Gizi kurang ( -2 < SD < 2)

Status Generalis:
Kepala Bentuk : Normocephali (Lingkar Kepala : 50 cm)
Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-), edema
palpebra (-/-)
Hidung : PCH (-), POC (-), epistaksis (-)
Mulut : Bentuk normal, labioschisis (-), lidah kotor,
: sariawan (+)
Inspeksi : Bentuk normal, deviasi trakea (-)
Palpasi : Tidak ada pembesaram KGB

Thoraks Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Tidak tampak ictus kordis
Palpasi : Teraba ictus cordis di sekitar papilla mammae sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Datar, pelebaran vena (-), sikatrik (-)


Palpasi : Supel, defans muscular (-), Nyeri Tekan
epigastrium (+)
Auskultasi : bising usus (+)

Ekstremitas Superior : deformitas (-), edema (-/-), CRT < 2 detik


Inferior : deformitas (-), edema (-/-), CRT < 2 detik

Kulit Inspeksi : Ikterik (-), sianosis (-)


Palpasi : Turgor kulit baik (2-5 detik)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan darah di PROLAC 6/7/2018

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hemoglobin 10,9 g/dL 11,0-16,5
Leukosit 8.700 /µL 4.500-13.500
Eritrosit 3,60 /µL 3,5-5,5
Hematokrit 33,0 % 35-52
Trombosit 167.000 /µL 150.000-450.000

TES WIDAL di PROLAC 6/7/2018

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN


S. Typhi O 1/320 Negative
S. Typhi H 1/320 Negative
S. Paratyphi A O 1/60 Negative
S. Paratyphi A H Negative Negative
S. Paratyphi B O Negative Negative
S. Paratyphi B H 1/80 Negative
S. Paratyphi C O 1/80 Negative
S. Paratyphi C H 1/80 Negative

Pemeriksaan H2TL awal pada tanggal 10/07/2018

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hemoglobin 9,6 g/dL 10,80 – 15,60
Leukosit 6.000 /µL 4.500 – 13.500
Hematokrit 27,1 % 33,00 – 45,00
Trombosit 156.000 /µL 1500.000 – 440.000
GDS 76 mg/dL Normal : <100
Pre DM: 100-195
DM >=200
Pemeriksaan darah pada tanggal 13/7/2018

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hemoglobin 9,7 g/dL 10,80 – 15,60
Leukosit 5.300 /µL 4.500 – 13.500
Hematokrit 27,5 % 33,00 – 45,00
Trombosit 205.000 /µL 1500.000 – 440.000
Salmonella AG/O (+) / Skala 6 Skala <4
Tubex
V. DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
VI. DIAGNOSIS TAMBAHAN
ISPA
Anemia
Stomatitis
VII. PENATALAKSANAAN
IVFD 2A 8 tpm
Ceftriaxon 1 x 1 gr i.v.
Paracetamol 3 x 250 mg i.v.
Ranitidine 2 x 20 mg i.v.
L. Bio 1 x 1 sachet

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
IX. FOLLOW UP
Tanggal Follow up
12/07/2018 S/ sakit perut (+), menggigil, muntah (+)
O/
Hari ke 1 KU : TSS KS : Compos Mentis
TD : 100/50 HR : 110 x/menit
T : 37,1 ºC RR : 23 x/menit
Kepala : normocephale
Mata : CA: -/- , SI: -/- ,
THT : Bibir luka, sariawan, PCH (-), POC (-)
Thorax : simetris, retraksi -
Cor : S1S2 reguler , Gallop - , Murmur –
Pulmo : Ves +/+, Rh -/- ,Wh -/-
Abdomen : BU +, NT (+)
Ekstermitas : Akral dingin
A/ Demam Typhoid
P/ IVFD KaEn 2a 8 tpm
Cefotaxime 3x600mg i.v.
Paracetamol 3x200mg i.v.
Ranitidine 2x20mg i.v.
Tanggal Follow Up
13/07/2018 S/ demam (+), batuk (+), sariawan (+),
O/
Hari ke 2 KU : TSS KS : Compos Mentis
TD : 100/60 HR : 118 x/menit
mmHg
T : 38,4 ºC RR : 24 x/menit
Kepala : normocephale
Mata : CA: -/- , SI: -/- ,
THT : Bibir luka, sariawan PCH-/- ,POC -
Thorax : simetris, retraksi -
Cor : S1S2 reguler , Gallop - , Murmur –
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : BU +, NT +
Ekstermitas : Akral hangat
A/ - Demam Typhoid
- Stomatitis
- ISPA
- Anemia

P/ IVFD 2A 8 cc/ jam


Ceftriaxone 1 x 1 gram i.v.
Ranitidine 2 x 20 mg i.v.
Paracetamol 3 x 60 mg i.v.
Ambroxol 3 x 1 cth Syr
Kenalog oral base
Diit DSP
Instruksi:
- Periksa H2TL ulang
- Pemeriksaan Feses
- Pemeriksaan Tubex

Tanggal Follow Up
14/07/2018 S/ Demam (-), sakit perut (-)
O/
Hari ke 3 KU : TSS KS : Compos Mentis
TD : 100/65 HR : 77 x/menit
mmHg
T : 36 ºC RR : 24 x/menit
Kepala : normocephale
Mata : CA: -/- , SI: -/- ,
THT : Bibir lembap, PCH -/-, POC-
Thorax : simetris, retraksi -
Cor : S1S2 reguler , Gallop - , Murmur –
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : BU +, NT +
Ekstermitas : Akral dingin
A/ Demam Typhoid
ISPA
Anemia
Stomatitis
P/ IVFD 2A 8 cc/ jam
Ceftriaxone 1 x 1 gram i.v.
L. Bio 2 x 1 sachet
Apyalis 1 x 1 cth

Tanggal Follow Up
16/07/18 S/ Demam (-), muntah (-), mencret (-), sakit perut (-)
O/
Hari ke 5 KU : TSS KS : Compos Mentis
TD : 100/60 HR : 80 x/menit
mmHg
T : 36,0 ºC RR : 28 x/menit
Kepala : normocephale
Mata : CA -/- , SI -/-
Thorax : simetris, retraksi -
Cor : S1S2 reguler , Gallop - , Murmur –
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Bu +, NT +
Ekstermitas : Akral hangat
A/ Demam Typhoid
ISPA
Anemia
Stomatitis
P/ BLPL
Ceftriaxon 1 x 1gr

Obat Pulang:
Cefixime 2 x cth I
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Demam Typhoid
2.1.1 Definisi

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar
typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan
infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam
demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid.1

2.1.2 Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini
dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data WHO tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009,
demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat
inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang
dengan Case Fatality Rate sebesar 1,25%.10 Sedangkan berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2010 demam tifoid atau paratifoid juga menempati urutan ke-3 dari 10
penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus,
yang meninggal 274 orang dengan Case Fatality Rate sebesar 0,67 %. Menurut Riset
Kesehatan Dasar Nasional tahun 2007, prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6%. Sedang
prevalensi hasil analisa lanjut ini sebesar 1,5% yang artinya ada kasus tifoid 1.500 per
100.000 penduduk Indonesia. 2

2.1.3 Etiologi

Basil Salmonella dan Reservoir

Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus Salmonella. Basil ini
adalah gram negative, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki
fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Ukuran antara (2-4) x 0,6 µm. suhu optimum
untuk tumbuh adalah 37oC dengan pH antara 6-8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Sedangkan
reservoir satu-satu nya adalah manusia yaitu seseorang yang sedang sakit atau karier.

Basil ini dibunuh dengan pemanasan (suhu 60oC) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinisasi. Masa inkubasi tifoid 10-14 hari pada anak, masa inkubasi ini
lebih bervariasi berkisar 5-40 hari, dengan perjalanan penyakit kadang-kadang juga tidak
teratur. Pertumbuhan dalam kaldu: terjadi kekeruhan menyeluruh sesudah dieramkan
semalam tanpa pembentukan selaput. Pada agar darah; koloni nya besar bergaris tengah 2
sampai 3 mm, bulat agak cembung, jernih, licin, dan tidak menyebabkan hemolysis.

Pada perbenihan Mac Conkey tidak meragikan laktosa sehingga tidak berwarna. Pada
perbenihan Deoksikolat sitreat: koloninya tidak meragikan laktosa sehingga tidak berwarnna.
Pada perbenihan bismuth sulfit Wilson dan Blair. Tumbuh koloni hitam berkilat logam akibat
pembentukan H2S. perbenihan selenit F dan terationat sering dipakai sebagai perbenihan cair
diperkaya.5

a. Reaksi Biokimiawi

Kuman ini meragikan glukosa, mannitol, dan maltose dengan disertai pembentukan
asam dan gas kecuali Salmonella typhi yang hanya membuat asam tanpa pembentukan gas.
Tidak membuat indol, tetapi reaksi metal merah positif. Tidak menghidrolisiskan urea dan
membentuk H2S.

Telah lama dikenal bahwa basil Salmonella typhi dan paratyphi ini mempunyai
struktur yang dapat diketahui secara serologis.

- Antigen Somatik (O)


Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan terhadap
pendidihan, alcohol dan asam. Aglutinasi O berlangsung lebih lambat dan
bersifat kurang imunogenik, namun mempunyai nilai diagnosis yang tinggi.
Titer antibody yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah dari titer
antibody H.
- Antigen Flagel (H)
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini
rusak dengan pendidihan dan alcohol, tetapi tidak rusak oleh formaldehid
- Antigen Vi
Merupakan antigen permukan dan bersifat termolabil. Antibody yang
terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi pentujuk bahwa
individu tersebut sebagai pembawa kuman (karier). Antigen Vi terdapat pada
S. typhi, S. paratyphi C dan S. Dublin.

b. Klasifikasi Berdasarkan Antigen

Berdasarkan antigen somatic, Salmonella dapat dibagi dalam 65 kelompok serologic.


Tiap kelompok ditandai dengan huruf A,B,C,D dan lain-lain.

Cara penularan dan factor-faktor yang berperan

Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi makanan atau
minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau urin dari
pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan, pada penularan
adalah:

 Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal
ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
 Higiene makanan dan minuman yang rendah
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini
diantaranya ; makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan
yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak,
dan sebagainya.
 Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah
yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
 Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
 Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
 Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
 Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid
 Dll.

2.1.4 Patogenesis

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Penularan
ke manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar dengan feses manusia. Setelah
melewati lambung kuman mencapai usus haslus dan invasi ke jaringan limfoid (plak peyer)
yang merupakan tempat predileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesenteric
kuman masuk aliran darah sistemik (bakterimia I ) dan mencapai sel-sel retikulo endothelial
dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini
kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bacteremia II) melalui ductus torasikus dan mencapai
organ-organ tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu.

Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida dan


dianggap berperan penting pada pathogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik
serta memperbesar reaksi peradangan dimana kuman Salmonella berkembang biak.
Disamping itu merupakan mediator-mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia
(proinflammatory). Oleh karena basil salmonella bersifat intraseluler maka hampir semua
bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul
fokal-fokal infeksi.

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama di ileum bagian distal dimana
terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plak peyer terjadi hyperplasia
berlanjut menjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi pada minggu ke 3, akhirnya
terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan
komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel
mononuclear lainnya serta kelenjar mesentrika. Kelainan-kelainan patologis yang sama juga
dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput
otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses-abses pada banyak
organ, sehingga dapat ditemukan bronchitis, arthritis septik, pielonefritis, meningitis, dll.
Kandung empedu merupakan tempat yang disenangi basil Salmonella. Bila penyembuhan
tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir. Ke dalam usus, sehingga
menjadi karier intesitinal.

Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga menjadi
karier (urinary carrier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan basil ini, memungkinkan
penderita mengalami kekambuhan (relaps).

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan.
Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam
lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus,
bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme
membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler.
Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam
pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan
biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan
menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial,
yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam
makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem
peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya
periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit
kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak
diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada
Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang meng-akibatkan nekrosis dan
iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan
dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan
berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia
diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier

2.1.5 Manifestasi Klinis

Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid. Beberapa
gejala klinnis yang sering pada tifoid diantaranya adalah:

a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih
rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermittent). Dari hari ke
hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit
kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea frontal, nyeri otot, pegel-pegel,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin
tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka
pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir
minggu ke 3. Perlu diperhatikan terhadap laporam, bahwa demam yang khas tifoid
tersebut tidak selalu ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin
karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada
anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang
b. Gangguan Saluran Pencernaaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering
dan kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan
tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), dan pada
penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri
perut, terutama regio epigastric (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah.
Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma
atau dengan gejala-grjala psychosis (organ brain syndrome). Pada penderita dengan
toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.
e. Bradikardia relative dan gejala lain
Bradikardi relative tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang
sulit dilakukam. Bradikardi relative adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti
oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah setiap
peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1
menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot
yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala-gejala
klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat
jaran ditemukan justru lebih sering epitaksis

2.1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi


dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada
perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.

2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif
palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

 Faktor teknik, yaitu


1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:


 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling
sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam
5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B,
C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang
dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu
(false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan
pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh
Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar
89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.

Ada 4 interpretasi hasil :


 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan
H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap
sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :


 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode
Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah
dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%,
nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6%
dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar
79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan


spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga
dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas
kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain
adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum
ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu
4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum
pasien.

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel
urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100%
pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini
terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin
lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis
tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika
tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.


typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan


pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-
80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi
terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media


yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai


sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku
dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah


mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar
100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk
(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur
darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi
yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara
cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR
(hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

2.1.7 Tatalakasana

1.1. Non Medika Mentosa


a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5

b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat
pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7

1.2. Medika Mentosa


a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi
2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan


pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi
dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan
Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazole.
2.1.8 Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

 Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.

 Hindari minum air yang tidak dimasak.


Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol
atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi.

 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.


Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan
sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran
tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar
sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.

 Pilih makanan yang masih panas.


Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun
tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli
makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

 Sering cuci tangan.


Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.

 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.


Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

 Hindari memegang makanan.


Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda
tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda
tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

 Gunakan barang pribadi yang terpisah.


Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan
menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa
ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita
hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum
antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas
2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)


Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-
12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval
4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam
pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek
samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya
proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi
dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan
pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
2.1.9 Komplikasi

Pada minggu ke 2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang ringan
sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya:

a. Tifoid Toksik (Tifoid ensefalopati)


Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium
sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa
cairan otak biasanya dalam batas-batas normal
b. Syok Septik
Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena bacteremia
Salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid diaatas, penderita jatuh ke dalam
fase kagagalan vascular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat
serta akral dingin. Akan berbahaya bisa syok menjadi irreversible.
1. Perdarahan dan perforasi intestinal
Perdarahan dan perforasi terjadi pada minggu ke 2 demam atau setelah
itu. Perdarahan dengan gejala berak berdarah (hematoskhezia) atau
dideteksi dengan tes perdarahan tersembunyi (occult blood test).
Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang dan
nyeri tekan yang paling nyata di kuadran kanan bawah abdomen. Suhu
tubuh tiba-tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan
berakhir syok. Pada pemeriksaan perut di dapatkan tanda tanda ileus,
bising usus melemah dan pekak hati menghilang, perforasi dapat
dipastikan dengan pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Perforasi
intestinal adalah komplikasi tifoid yang serius karena sering
menimbulkan kematian
2. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi.
Ditemukan gejala-gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat,
kembung serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas lebih khas untuk
peritonitis
3. Hepatitis Tifosa
Demam Tifoid yang disertai gejala-gejala icterus, hepatomegaly dan
kelainan tes fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT,
dan bilirubin darah. Pada histopatologi hati didapatkan nodul tifoid dan
hiperplasi sel-sel kuffer
4. Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejal-gejalanya adalah
sama dengan gejala pankreatitis. Penderita nyeri perut hebat yang
disertai mual dan muntah warna kehijauan, meteorismus dan bising
usus menurun. Enzim amilase dan lipase meningkat
5. Pneumonia
Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan mikroba
lain yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan
didapatkan gejala-gejala klinis pneumonia serta gambaran khas
pneumonia pada foto polos toraks
6. Komplikasi lain
Karena basil Salmonella bersifat intra makrofag, dan dapat beredar
keseluruh bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang
menimbulkan infeksi yang bersifat fokal diantaranya:
 Osteomieltits, artritis
 Miokarditis, pericarditis, enokarditis
 Pielonefritis, orkhritis
 Serta peradangan-peradangan ditempat lain

2.1.9 Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan


kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak
– anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.
BAB III
ANALISA KASUS
1. Anamnesis
 Pasien datang dengan keluhan demam 7 hari SMRS, disertai
menggigil, demam naik saat malam hari
 Pasien mengeluh nyeri perut
 Nafsu makan menurun

Manifestasi klinik yang timbul pertama kali oleh pasien adalah demam yang tinggi
saat malam hari. Keluhan demam juga disertai nyeri perut pada ulu hati, nafsu makan
pasien menurun.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik ditemukan:
 Mulut : lidah kotor (+), sariawan (+)
 Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)

Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan epigastrium, lidah kotor dan sariawan.

3. Pemeriksaan laboratorium
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa tes yang mendukung untuk menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan darah dan serologi pada tanggal 13/7/2018

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hemoglobin 9,7 g/dL 10,80 – 15,60
Leukosit 5.300 /µL 4.500 – 13.500
Hematokrit 27,5 % 33,00 – 45,00
Trombosit 205.000 /µL 1500.000 – 440.000
Salmonella AG/O (+) / Skala 6 Skala <4
Tubex
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat ditegakkan
diagnosis demam tifoid.

PENATALAKSANAAN

 Diit Saluran Pencernaan


 Kausal
- Ceftriaxone 18 x 80 mg/kgBB/hari i.v. sekali sehari selama 5 hari
 Simptomatis
- Paracetamol 18 kg x 10 mg/ kgBB/kali = 180mg/hari/ 4-8 jam
- IVFD D5 ½ NS 17 tpm makro = 1400 cc/hari
Kebutuhan cairan :

10 kg pertama 10 x 100 = 1000 cc


8 kg kedua 8 x 50 = 400cc
Total 1400cc

15 x 1400 = 14,6 tpm


60 x 24
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan
dan lebih bervariasi. Demam adalah gejala yang paling konstan di antara semua
penampakan klinis.

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun,
sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik
hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore
dan malam hari.

Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi
terus menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-
pecah /terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan
tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, perut kembung.
Anak nampak sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur
pasif, acuh tak acuh (apatis) sampai berat (delirium, koma).
DAFTAR PUSTAKA

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed.
2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45

Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.


Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.

Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.

Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18 Th ed.
Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
Garna,H, Nataprawira,HM. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak,ed 5.
Bandung : departemen/SMF ilmu kesehatan anak fakultas kedokteran universitas
padjajaran/RSUP dr.Hasan sadikin,2014 :h.409-12

Nelwan, RHH. 2012. “Tata Laksana Terkini Demam Tifoid”. CDK-192/ vol. 39 no. 4, th.
2012. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-
Jakarta

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006


Tentang “Pedoman Pengendalian Demam Tifoid”

Anda mungkin juga menyukai